Rahasia Hati Mafia Dingin
Ethan Ellias Zaferino, pewaris dinasti mafia paling ditakuti di Asia, mengelola jaringan usaha bawah tanah berupa perdagangan gelap, kasino ilegal, dan penyelundupan barang mewah. Namun, sebuah kecelakaan tragis membuatnya kehilangan ingatan. Tanpa identitas dan masa lalu, dia hidup sebagai Nio Alenka, seorang buruh miskin.
Hidupnya berubah ketika dia menyelamatkan Zhen Ruby Ashaki, seorang wanita baik hati yang kemudian memintanya menikah untuk menghindari perjodohan.
Saat ingatannya kembali karena sebuah insiden misterius, Ethan dihadapkan pada pilihan berat: kembali ke dunia kelam yang dulu dia pimpin, atau memperjuangkan cinta murni Ruby dan meninggalkan segalanya.
Mampukah Ethan meninggalkan dunia dan segalanya termasuk Ruby?
Read
Chapter: RHMD 187Nio menarik napas panjang, sebelum akhirnya menjawab, “Karena aku tahu kau merindukan keluargamu, Tuan. Dan aku yang membawakan putrimu kembali padamu. Anggap saja ini sebagai awal hubungan baru… yang saling menguntungkan.”Ucapan itu membuat Tuan Yakuza terdiam. Ia menatap Sarah beberapa saat, lalu kembali pada Nio. Sorot matanya kini lebih sulit dibaca antara marah, terkesan, dan penasaran.“Aku akan berpikir,” katanya akhirnya. “Tapi ingat, Ethan… sekali kau membuatku kecewa, tidak akan ada lagi negosiasi.”Nio mengangguk sekali, lalu melangkah mundur. “Itu risiko yang sudah kupahami sejak awal.”Udara di ruangan masih terasa berat, tapi ketegangan sedikit mereda. Sarah menghela napas lega, walau dalam hati ia masih khawatir karena ia tahu, ini baru permulaan dari permainan yang jauh lebih berbahaya.***Pagi pun tiba, aroma kopi hitam memenuhi ruang tamu rumah besar Tuan Yakuza. Nio duduk santai di kursi panjang, menyandarkan
Last Updated: 2025-08-10
Chapter: RHMD 186Tatapan Tuan Yakuza mengeras mendengar jawaban Nio. Udara di ruangan itu seakan membeku, dan hanya terdengar bunyi jam dinding tua yang berdetak pelan. Sarah yang berdiri di samping Nio merasakan jantungnya berdegup semakin cepat, takut kalau-kalau percakapan ini akan berakhir dengan letusan peluru atau pedang yang terhunus.Tuan Yakuza mengangkat dagunya sedikit, lalu menatap lurus ke arah Nio.“Kau… benar-benar berani bicara begitu padaku, bocah,” ucapnya pelan, namun setiap kata mengandung ancaman. “Kalau benar aku yang mengundang, lalu apa maksudmu datang bersama anakku di jam seperti ini?”Nio tetap santai, meski tatapan matanya tak pernah goyah.“Karena aku tidak datang untuk main-main,” jawabnya tegas. Ia melangkah dua langkah lebih dekat, membuat dua penjaga Tuan Yakuza otomatis merapatkan posisi, siap bertindak jika diperintah.“Aku datang untuk membicarakan sesuatu yang bahkan kau sendiri takkan abaikan.”Tuan Yakuza terkekeh pelan, meski nada tawanya terdengar sinis. “Lucu
Last Updated: 2025-08-10
Chapter: RHMD 185Nikolai mendengus pelan, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.Nio menarik napas panjang, menatap hamparan pelabuhan yang terbentang di depannya. Angin laut yang dingin masih menyelimuti pelabuhan saat Nio berjalan cepat menuju mobil sewaan yang sudah disiapkan sejak kemarin. Di belakangnya, Sarah mengejar dengan tatapan bingung.“Ethan, kau mau ke mana?” tanyanya heran, menarik jaketnya lebih erat ke tubuh.Nio membuka pintu mobil, lalu menoleh dengan senyum tipis yang mencurigakan. “Ayo ikut. Aku tak mau pergi sendirian.”Sarah mengerutkan kening. “Pergi ke mana?”“Ke Tokyo,” jawab Nio singkat.“Tokyo? Tengah malam begini?” Sarah memandangnya dengan ragu. “Ada urusan apa di sana?”Nio masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin. “Ayahmu sudah menunggu kedatanganku.”Sarah terdiam di tempatnya, tubuhnya membeku oleh pernyataan itu. “Ayahku?” tanyanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: RHMD 184Ruby hanya mengangguk pelan. Matanya menerawang ke jendela, menatap langit biru yang terasa jauh dan dingin.Nio… apa yang sebenarnya sedang kau hadapi sendirian?“Kalau begitu saya pamit Bu Ruby,” ucap Thomas.“Ya, berikan saya informasi apa pun meski pun itu sesuatu yang masih meragukan,” perintah Ruby dengan serius.“Baik, permisi.”Setelah Thomas berpamitan dan meninggalkan ruangan, Ruby masih berdiri terpaku di tengah ruang kerjanya. Matanya kosong, pikirannya terus berputar tanpa arah. Detak jam dinding terdengar jelas di antara keheningan, seolah menertawakan kekalutan yang melanda dadanya.Ruby mulai mondar-mandir, langkahnya tak menentu, seolah berharap dengan berjalan, pikirannya bisa lebih jernih. Namun yang ada, kegelisahan semakin menusuk. Bayangan wajah Nio, suara tawa dan tatapannya semalam terus terngiang. Mengapa harus sekarang? Mengapa tanpa sepatah pun kata perpisahan?Pintu ruangannya terbuka pelan. L
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: RHMD 183Tangan Ruby gemetar saat menggenggam ponselnya. Nafasnya memburu, dadanya sesak oleh kecemasan yang terus menggerogoti ketenangannya. Tanpa berpikir panjang, ia segera menelpon Laila, sekretaris kepercayaannya.Suara dering terdengar tiga kali sebelum akhirnya diangkat.“Halo, Bu Ruby?”“Laila… cepat pesan tiket ke Jepang untuk hari ini! Sekarang juga!” suara Ruby terdengar hampir histeris, membuat Laila langsung terjaga.“A-apakah saya salah dengar, Bu?” tanya Laila gugup. “Hari ini? Tapi, itu sangat mendadak, Bu. Maskapai biasanya—”“LAILA!” seru Ruby, tak bisa menahan emosinya. “Kau pikir aku bercanda?! Aku bilang pesan sekarang! Pesan tiket pertama yang tersedia! Apa pun! Kelas apa pun! Aku harus ke Jepang!”Suasana di ujung telepon langsung sunyi sejenak, lalu Laila segera menjawab. “B-baik, Bu. Saya akan urus sekarang juga.”Ruby langsung menutup telepon sebelum Laila menyelesaikan kalimatnya. Ia duduk di depan setir mobil, napasnya tersengal karena kepanikan, tapi perlahan… kes
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: RHMD 182Nio terdiam. Tak ada respons langsung darinya. Ia hanya menatap laut, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Lalu, perlahan, ia menarik napas panjang.“Kalau aku harus masuk ke kandang harimau demi memastikan orang-orang yang aku sayangi tetap hidup… maka aku akan melakukannya tanpa ragu,” gumamnya akhirnya.Sarah menatapnya, mencoba membaca makna di balik kalimat itu. “Orang-orang yang kau sayangi?” ulangnya pelan. “Dan bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanya Sarah, suaranya nyaris berbisik. “Kalau kau tak bisa kembali?”“Aku tak pernah mengkhawatirkan soal kembali,” balas Nio, kali ini menatap langsung ke arah Sarah. “Aku hanya khawatir jika aku pergi tanpa meninggalkan apa pun.”Sarah menunduk, membuang pandangan. Kata-kata itu menghantamnya lebih dalam dari yang ia perkirakan. Ia tahu sekeras apa pun ia menyangkal pria ini memang tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri.Mentari mulai mengintip malu-malu dari balik c
Last Updated: 2025-08-08
Chapter: Bab 178 Akhir yang IndahEnam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Last Updated: 2025-04-01
Chapter: Bab 177 Kembali ke New York Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Last Updated: 2025-04-01
Chapter: Bab 176 Haruskah?Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Last Updated: 2025-03-31
Chapter: Bab 175 BersatuWaktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Last Updated: 2025-03-31
Chapter: Bab 174 Satu Keluarga Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Last Updated: 2025-03-30
Chapter: Bab 173 Steven SelamatWaktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Last Updated: 2025-03-30
Chapter: 111. WHFLAurora offered a small smile, then nodded and took a cold compress from the small ice box provided by the hotel. She gently placed it over the swollen area, careful not to hurt Rafael. He winced slightly but didn’t complain. Instead, his hand moved to Aurora’s hair, stroking it softly.For several minutes, they remained silent. Only the sound of the rain and their breathing filled the room. Aurora kept pressing the compress gently, making sure it stayed cold. She replaced the ice a few times and wrapped Rafael’s leg in a warm towel afterward.“Let’s skip going out tomorrow,” Aurora said softly. “You need to rest.”“But we haven’t gone to the Japanese art museum you were so excited about…” Rafael protested gently.Aurora looked at him with a tender smile. “The museum can wait. Your leg can’t. I’d rather see you healthy and walking freely than watch you push yourself like this.”Rafael fell silent, then chuckled quietly. “Since when did you
Last Updated: 2025-08-10
Chapter: 110. WHFLThe night breeze drifted softly through the large restaurant windows, carrying the crisp chill of the base of Mount Fuji. From their window-side seat, the twinkling lights of the small town of Gotemba shimmered in the distance, like silent witnesses to their togetherness. Soft classical music played in the background, creating a dreamlike atmosphere.Aurora sipped her red wine while gazing at Rafael. The man looked unusually calm tonight, even though the cane beside his chair was a quiet reminder that his leg hadn’t fully healed. But that wasn’t what kept Aurora looking at him. It was something in Rafael’s smile a calmness and strength all in one glance that always managed to ease her mind.“You know,” Aurora said softly, setting down her glass. “I think people must be really jealous of me. Having dinner with you in a place this beautiful.”Rafael tilted his head, his smile widening. “Why would they be jealous?”“Because,” Aurora lowered her gaze, fidgeting with the napkin in her lap,
Last Updated: 2025-08-09
Chapter: 109. WHFLThe car slowly stopped in a relatively quiet parking area on one side of Gotemba Premium Outlets. The clear sky, streaked with thin white clouds and the majestic shadow of Mount Fuji in the distance, made the atmosphere feel like a warm dream. Aurora looked out the window, her eyes sparkling with curiosity.“Wow…” she whispered softly as the door opened and the cool air touched her face. “This place is huge.”Rafael, sitting in the driver’s seat, now opened his door and slowly stepped out using his walking stick. His eyes never left Aurora’s amazed face it was like watching a child brought to an amusement park.“Welcome to every tourist’s favorite shopping paradise,” Rafael said with a playful smile. “Didn’t you say you like relaxing walks?”Aurora nodded eagerly. “But I didn’t expect it to be this beautiful. And look at that! Mount Fuji is so clear from here!” She pointed toward the clock tower at the center of the outlet area, standing proudly w
Last Updated: 2025-08-08
Chapter: 108. WHFL The nearest clinic to the ski area wasn’t very big, but it was comfortable and modern. The staff welcomed Rafael and Aurora warmly, quickly bringing Rafael to the examination room upon seeing the cast on his leg and the slight paleness on his face.Aurora walked beside the rolling bed, holding Rafael’s hand tightly. She kept her head down, saying nothing since they arrived. Guilt weighed heavily in her chest, becoming clearer with every pained movement Rafael made.A middle-aged doctor, wearing a white coat and thin glasses, entered with a calm smile.“Good afternoon. I’m Dr. Yamato. May I take a look at your leg, sir?”Rafael nodded. “Of course. Sorry for the trouble.”Carefully, Dr. Yamato examined Rafael’s cast, then asked him to remove the outer protective layer. When the area around Rafael’s calf was exposed, swelling around the previously injured bone was clearly visible. The reddish color was striking, though not as bad as a serious injury.“Hm,” Dr. Yamato murmured, gently pre
Last Updated: 2025-08-08
Chapter: 107. WHFLAurora took a light fall for the third time. She laughed to herself as she tried to get up, brushing the snow off her gloves. Though a bit tired, her face was glowing. She started getting ready to glide down the small hill again, eager to try out the turning technique the instructor had just taught her.From a distance, Rafael, still seated on the observation bench, watched her every move attentively. He smiled, until suddenly, his smile faded and was replaced by a tense expression. His eyes caught a shadow speeding rapidly from the right side of the arena. A teenage boy, seemingly an amateur, had lost control while coming down a bigger slope and was heading straight toward Aurora’s path.“Aurora! Turn! Watch out!” Rafael shouted at the top of his lungs, panic-stricken.But Aurora, only vaguely hearing Rafael’s voice, simply smiled and waved at him. She thought he was just cheering her on. “Yes! I got this!” she replied playfully, lowering her body, ready
Last Updated: 2025-08-06
Chapter: 106. WHFL Aurora kept humming in delight as she took in the breathtaking view.Rafael chuckled at the sight. “Come on, my turn to take a look.”Aurora immediately stepped aside, and Rafael began peeking into the binoculars. “You’re right. The view is insane… But still, the best view today is you.”Aurora turned quickly and gave him a playful slap on the arm while laughing, “You’re ridiculously romantic!”They both laughed together, and the cold morning air felt warm with their laughter and happiness.Aurora hugged herself as the wind began to blow a little harder. Rafael, standing beside her, reached into his small bag and gently wrapped a scarf around Aurora’s neck.“Don’t catch a cold. I don’t want you coming down with a fever after this,” he said softly.Aurora looked at Rafael, now standing so close to her. “You’ve been carrying this scarf the whole time?” she asked, touched.“Always prepared. Remember, you’re dating a CEO,” Rafael smiled teasingly.Aurora let out a soft laugh, her eyes spa
Last Updated: 2025-08-06
Chapter: CEO 91 Bahagia telah Tiba"Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj
Last Updated: 2024-11-12
Chapter: Bab 90 Akhir dari Mustika “Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di
Last Updated: 2024-11-11
Chapter: CEO 89 Rencana Terakhir "Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin
Last Updated: 2024-11-09
Chapter: CEO 88 Bersiaplah, Tante Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut
Last Updated: 2024-10-31
Chapter: CEO 87 Kepastian Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu
Last Updated: 2024-10-29
Chapter: CEO 86 Atur Rencana "Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu
Last Updated: 2024-10-28