#ziya_khan21
#tugas_revisi_1#CEO_3_terima_ayyaAlayya mendelik tak terima dengan penilaian Mustika. Benar dia memang wanita malam, tetapi dia bukan perempuan murahan yang bersedia tidur dengan sembarang pria.“Bisa jaga mulut Anda, Nyonya!” sentak Alayya dengan wajah geram.“Ayya, bersikaplah sopan pada Tanteku,” kata Ibrahim berang dengan ucapan Alayya.Alayya berdecak sebal, lalu menatap kesal pada pria rupawan itu. “Aku akan bersikap sopan pada orang yang sopan padaku. Jelas-jelas Tante Anda yang mulai duluan.”“Kamu pikir siapa kamu ini, berani bicara seperti itu di rumahku?” Mustika menyela dengan nada naik satu oktaf.Alayya tertawa sumbang. “Oh ya? rumah Anda? Saya nggak tuli ya, Nyonya. Ini rumah Tuan Ibrahim bukan rumah Anda!”Mustika melotot mendapati perlawanan dari orang yang bahkan tidak dia kenal sama sekali. Wanita paruh baya yang selalu dominan di dalam rumah besar ini pun tidak terima dengan sikap Alayya yang dirasa kurang ajar.“Ibrahim cepat katakan sama Tante siapa dia, kenapa dia tidak punya sopan santun seperti itu pada Tante?Ibrahim memijat pelipisnya pelan. Belum ada satu jam Alayya ada di rumahnya, tetapi sudah berhasil membuat sang Tante naik darah. “Dia Ayya, Tan. Orang yang sudah menerima donor jantung dari Nissa.”“Apa?” Mustika tercengang, lalu matanya kembali menelisik Alayya yang berpakaian mini dress ketat sepuluh centi di atas lutut membungkus tubuh sintal dan seksinya, rambut panjang kecokelatannya dibiarkan tergerai, make up-nya tidak tebal, tetapi eye liner pada kelopak mata besarnya mempertegas garis mata wanita itu belum lagi bibirnya yang tipis dipoles lipstik merah merona, sungguh Mustika tidak bisa tidak mengira kalau perempuan ini adalah wanita baik-baik.“Ini mustahil Ibrahim, Tante nggak bisa percaya begitu saja,” sanggah Mustika segera setelah menilai alayya dari pandangan matanya.“Tadinya aku juga begitu Tante. Tapi, semua bukti menunjukkan kalau Ayyalah penerima donor itu. Orang yang selama ini aku cari. Jadi, Tante nggak bisa menyangkal atau pun menolak kehadiran Ayya di rumah ini,” terang Ibrahim dengan nada yang tegas.“Lalu, maksud kamu apa membawa dia ke mari?” Meski tidak percaya, Mustika juga tidak mungkin membantah keinginan keponakannya itu.“Aku minta dia meninggalkan pekerjaannya dan sementara dia akan tinggal di sini sampai dia bisa mendapatkan pekerjaan baru dengan kebiasaan baru.”“Kamu nggak berniat menikahinya ’kan, Ibrahim?”Alayya yang mendengar pernyataan itu pun langsung mengajukan protesnya. “Tunggu ya, Tante. Jangan asal ngomong deh, siapa juga yang mau nikah sama dia.”Ibrahim berdecak mendengar penolakan Alayya. “Dengan senang hati Nona Ayya, saya pun nggak punya keinginan untuk menikah denganmu. Christy ….” Panggilnya kepada kepala asisten rumah tangganya.Wanita berpakaian formal itu pun tergopoh menghampiri Tuannya.“Antarkan Nona Ayya ke kamarnya dan jangan biarkan dia pergi selangkah pun dari rumah ini, mengerti!” titahnya tanpa basa basi.“Baik, Tuan. Saya akan suruh dua ajudan untuk menjaga di depan kamarnya,” jawab Christy sambil melirik pada wanita yang kembali terkejut dengan perintah Ibrahim.“Apa-apaan ini, Tuan?” tanya Alayya ketus .“Hanya antisipasi Ayya. Saya belum percaya sepenuhnya padamu, jadi biarkan ajudan menjaga kamarmu. Kamu akan keluar saat jam makan setelah itu tetaplah berada di kamar jika saya tidak memanggilmu.”“Apa! Aku ini bukan tawananmu, Tuan!” Jelas Alayya tidak bisa terima kalau kebebasannya terenggut. “Kalau tahu begini alasan Anda membawaku, aku nggak akan pernah mau ikut dengan Anda,” ucap Alayya dengan wajah memerah karena kesalnya sudah sampai di ubun-ubun.Ibrahim pun menutup matanya demi menahan segala gejolak rasa amarahnya yang tiba-tiba menyeruak. “Terserah! Kalau kamu mau pergi dari rumah ini pun dari kehidupan saya, tapi sekarang juga kembalikan jantung istriku.”“Itu namanya saya mengantarkan nyawa saya pada Anda, Tuan Ibrahim!”“Kalau begitu, turuti saya dan nggak ada protes!” tegas Ibrahim dengan iris mata menghujam langsung pada netra Alayya. Tanpa ingin mendengar apa pun juga dari bibir merah itu, Ibrahim memilih menyingkir dari ruangan itu meninggalkan Alayya yang masih ingin membantah.“Brengsek! Aku nggak terima diperlakukan begini!” ujar Alayya gusar. Mustika yang menyadari pun berusaha mendekati wanita itu.“Aku juga nggak suka kamu ada di rumah ini, tapi ini semua keinginan keponakanku. Mau nggak mau, aku harus terima, kan?” Seringai senyuman dari bibir Mustika membuat hati Alayya tidak nyaman. Ada maksud tersirat dari kata-kata orang tua itu padanya. Namun, apa itu?***“Brengsek! Siapa yang sudah berani mengambil ladang uangku!” Darel Agustino mengamuk. Pria bertubuh oversize itu menggebrak meja kerjanya tanpa peduli telapak tangannya panas dan suara yang ditimbulkan memekakkan telinga semua orang yang ada di ruangan itu.“Tuan Ibrahim Adhitama, Tuan. Pemilik sekaligus CEO CULTURE Company. Dia yang udah membawa pergi Ayya dari hotel tempat Ayya dan Tuan Hardiawan seharusnya bersenang-senang,” lapor salah satu penjaga klub miliknya.Darel membeliakkan matanya. Dia terkejut dengan nama orang yang sudah membawa pergi salah satu aset berharga klubnya.“Aku nggak peduli, ya, John. Siapa pun dia, dia sudah mengusik ketenanganku. Cepat cari di mana orang itu tinggal dan bawa kembali Ayya padaku!” titahnya dengan raut wajah memerah karena menahan kesal dan marah bersamaan.“Tapi, Tuan. Kita nggak bisa mengambil Ayya begitu saja. Tuan Ibrahim bukan orang sembarangan, saya udah mencari tahu tentang pria itu. Bisa-bisa Anda dan klub kita yang akan jadi korban.” Tora –asisten Darel– memberi peringatan.Darel nampak berpikir setelah mendengar ucapan Tora. Selama ini dia menjalankan klub malam tanpa pernah berurusan dengan pihak yang merugikan. Kalau pun salah satu anak buahnya pergi, dia tidak akan mempermasalahkan, tapi ini Ayya Cantika. Wanita malam favorit banyak pria hidung belang yang menjadi pelanggan klubnya, jadi mana mungkin Darel bisa melepas sumber uangnya begitu saja?“Kalau begitu, buat janji dengan Tuan Ibrahim, aku harus dapatkan Ayya kembali atau minta tebusan yang besar padanya,” ucap Darel dengan seringai senyum yang tercetak di bibir tuanya itu.***“Silakan istirahat, Nona.” Christy membuka pintu kamar tamu di lantai dua rumah mewah Ibrahim.Alayya masuk ke kamar itu dengan hati tak senang. Dia wanita bebas, tidak biasa dipaksa dan selalu berbuat sesukanya. Masuk ke kamar ini berarti dia harus menanggalkan semua kebiasaannya itu. Untuk apa? Demi siapa? Wajah cemberut Alayya pun tidak bisa dia sembunyikan.“Mana baju tidurku? Aku nggak bisa tidur dengan baju seperti ini,” ucapnya sambil membawa matanya menelusuri setiap sudut kamar mewah ini. Biarpun kamar tamu, kemewahan yang tidak pernah dilihat Alayya tersaji di dalam kamar bernuansa broken white dan gold ini. Di hadapannya ada Ranjang berukuran besar dengan bed cover seputih salju dengan lampu hias di kedua meja nakas kanan kirinya juga gorden berwarna kuning keemasan menutup dinding sebelah kanan yang Alayya yakin itu pasti jendela kamar ini. Tidak ketinggalan di sisi kiri ada sofa yang menghadap televisi dan di sebelah kanan ranjang ada meja rias dengan cermin berbentuk oval.Christy menjawab dengan sopan, “Semua pakaian Anda sudah ada di walk in closet kamar ini, Nona. Silakan pakai sesuka Anda.”Mendengar ucapan itu mendadak mata Alayya berbinar terang. Pakaian dan perhiasan adalah barang kesukaan Alayya. Karena hatinya bahagia, dia seakan-akan lupa dengan rasa kesalnya pada Ibrahim.Tanpa menunggu perintah lagi, Alayya masuk ke satu ruangan di sudut kiri kamar didekat kamar mandi. Dia hidupkan lampu ruangan itu dan melihat ada enam pintu lemari yang menempel di dinding. Di paling ujung terdapat cermin besar seukuran tinggi tubuhnya. Alayya pun membuka pintu salah satu lemari. Sontak mata Alayya membola melihat semua pakaian di dalam lemari itu. Dia pun berteriak memanggil Christy.“Ada apa Nona?” tanya wanita paruh baya itu khawatir.“Apa-apaan ini? Kenapa semua baju ini tertutup? Di mana bajuku!”Bersambung …Kalau saja menemukan gunting di dalam kamarnya, Alayya sudah pasti akan memotong gaun tidur panjang berbahan satin ini. Sayangnya, sudah membongkar semua isi laci yang ada di ruang ber-AC ini, wanita itu tidak juga menemukan benda tajam itu. Bagaimana tidak, Alayya tidak pernah tidur dengan baju sepanjang ini. Baju tidur yang biasa dia pakai hanya sebatas paha atasnya, sering kali hanya mengenakan pakaian dalam saja, tapi sekarang lihatlah dirinya. Baju tidur yang Alayya paham pasti harganya mahal ini melekat di tubuhnya. Tidak ingin memakai, tetapi protes yang dia lontarkan pada Christy juga Ibrahim sama sekali tidak di dengar. Apa tadi yang Ibrahim bilang, “Nggak akan ada baju-baju lama kamu di sini.”“Kenapa?” Alayya jelas terperangah saat itu, padahal dia tahu kalau Ibrahim akan menyuruh orang untuk mengambil baju-bajunya di kos-kosan. “Semua pakaian di lemari itu bukan selera saya.” protesnya lagi. “Saya tahu, tapi mulai sekarang kamu harus pakai itu, meski belum bisa seperti
Alayya berjengit kaget, hampir saja dia menjatuhkan hair dryer yang sedang dia pakai untuk mengeringkan rambut panjangnya itu di kursi depan meja riasnya ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan paksa. “Apa begitu cara orang masuk ke kamar tamu di rumah ini, Tante?” Alayya menyambut Mustika melalui cermin di depannya dengan tatapan sinis meski tangannya masih mengerakkan mesin pengering rambut itu. “Tutup mulutmu wanita tidak tahu diri, aku bukan Tantemu,’’ salak Mustika tanpa basa basi. Langkahnya pun mantap sekali mendekati wanita yang tengah tersenyum mengejek itu. Alayya berdecih sambil meletakkan hair dryer kembali ke atas meja rias. Masih dengan melihat pantulan bayangan Mustika di cermin Alayya pun berkata, “Oke, Nyonya. sekarang katakan padaku apa keperluan Anda datang ke kamarku.”Wanita berusia 58 tahun itu berdecak tak suka. Wajah judesnya kentara sekali sekarang. “Tolong ya, itu mulut dijaga bicaranya. Ini bukan kamarmu tapi milik keponakanku Ibrahim.” Perkataan M
Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. “Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. “Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya be
Ibrahim mengalihkan tatapan matanya pada objek di depan mobilnya sambil menjawab, “Saya Ibrahim. Mulai saat ini, Ayya akan tinggal bersama saya, jadi kamu tidak perlu menunggunya pulang atau pun mencarinya.” “Kenapa begitu?” sela Ghania cepat. “Ayya sahabat saya, saya harus tahu di mana dia dan siapa Anda sampai bisa membawanya pergi? Apa Anda tidak tahu kalau Tuan Darel pasti akan marah dan mencari dia?” Ucapan Ghania berhasil menarik perhatian Ibrahim. “Darel? Siapa dia?”Wanita yang bibirnya masih berpoles lipstik merah menyala itu berdecak. “Sudah saya duga Anda pasti nggak tahu dia.” Ghania memiringkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Ibrahim yang mana dress-nya tersingkap memamerkan paha atasnya yang mulus. Bersyukur Ibrahim bukan pria mata keranjang. Suguhan tiba-tiba itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sama sekali. “Tuan Darel Agustino adalah pemilik klub tempat kami bernaung. Dan saya beritahukan pada Anda,
Alayya tidak pernah menyangka kalau dia akan mengalami kejadian seperti ini. Memalukan sekaligus menyedihkan itulah dirinya sekarang ini. Bagaimana tidak. Seusai dirinya makan siang tadi, dia sudah berencana kembali ke kamarnya, tetapi melihat suasana rumah yang sepi apalagi tidak ada Nyonya Lampir (ini panggilan Alayya pada Mustika) jiwa ingin tahu Alayya pun meronta-ronta untuk dipuaskan. Perempuan yang dua bulan lagi berumur 24 tahun ini beranjak dari kursinya di ruang makan, bukan lantai dua tujuannya, dia ingin melihat-lihat isi rumah Ibrahim di lantai satu sembari mencari celah kalau-kalau ada jalan untuknya keluar. “Non, mau ke mana?” Christy bertanya saat Alaya baru saja menginjak pintu keluar menuju kolam renang“Hai, Chris. Aku mau jalan-jalan di luar sebentar. Boleh ya?” tanya Alayya dengan wajah berseri. Tidak ada kecurigaan sedikitpun pada diri Christy terhadap sikap Alayya, maka tanpa ragu wanita paruh baya itu
“Chris, apa Tuan Ibrahim udah pulang?” Alayya bertanya pada Christy yang sedang mengganti perban di lututnya. Sejak pulang marah-marah tadi siang, pria itu belum terlihat lagi olehnya.Sambil menggunting plester, Christy pun menjawab. “Tuan nggak akan makan malam di rumah hari ini, Nona.”“Oh, ya? terus biasanya pulang jam berapa, Chris?” entah mengapa tiba-tiba dia mengkhawtirkan Ibrahim. “Nggak tentu, Non. Kadang jam sepuluh malam kadang lewat tengah malam.” Christy bangkit dari duduknya dengan kotak P3K ada di tangannya. “Non tenang aja, saya akan bawakan makan malam Anda ke sini. Saya permisi dulu, ya?’Alayya mengangguk saja. Namun, baru dua langkah berjalan, pertanyaan Alayya membuat kakinya berhenti bergerak. “Aku mau lihat foto Nisa, apa boleh, Chris?’Christy menengok. Wajah Alayya terlihat serius sekali menatapnya. “Maaf, Non. bukan saya yang bisa memutuskan hal itu karena jujur saja semu
“Apa Anda bisa menemani saya ngobrol Tuan? Saya belum ngantuk soalnya,” seru Alayya dengan beraninya dari atas balkon padahal dia tahu malam semakin larut dan Ibrahim baru saja kembali.Namun, bukannya marah, pria tampan itu sejenak berpikir lalu tanpa ragu dia pun menjawab, “Tunggu saya di dalam, saya akan segera datang.”Ucapan itu tentu saja membuat Alayya merekahkan senyumnya. Manis sekali, untuk sesaat Ibrahim merasa melihat senyum sang istri di sana. cepat dia menggeleng agar menghilangkan bayangan itu dari pikirannya, lalu dia pun bergegas masuk ke rumah. Melihat ibrahim tidak lagi berada di teras, Alayya pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Sesuai ucapannya, lima belas menit kemudian ibrahim yang sudah melepas jas meninggalkan kemeja putih yang digulung hingga siku mengetuk pintu kamar Alayya. Pria itu pun masuk setelah si empunya kamar memberinya izin. “Saya pikir A
Untuk pertama kalinya dalam hidup Alayya, Dia bisa bangun pagi, bahkan lebih pagi dari yang pernah dia lakukan selama ini, tepat saat adzan subuh Ibrahim berhasil membuat wanita muda itu bangun dari tidurnya“Anda benar-benar resek, ya, Tuan! Orang masih enak-enak tidur disuruh bangun,” gerutu Alayya yang sudah duduk di atas ranjangnya. Matanya masih separuh terpejam.“Nanti kamu juga akan terbiasa. Pertama memang seperti itu, sangat berat membuka mata dan nggak nyaman sekali. Makanya harus dibiasakan,” ucap Ibrahim masih dari sisi ranjang. “Dih, males banget! Nggak deh. Mending Tuan aja, ya? Saya baru tidur Tuan. Mata saya berasa lengket. Saya mau tidur lagi, ya?” “Eh … Kok malah balik tidur lagi?” Ibrahim menahan lengan alayya yang akan kembali berbaring di tempat tidurnya.“Bukannya semalam kamu tidur lebih awal? Kenapa masih nggak bisa juga bangun pagi?” tanya Ibrahim dengan nada kesal, karena seingat dia, lampu kamar Alayya sudah mati pukul sebelas malam.Alayya mendelik heran.