Share

Wanita Milik Tuan Muda
Wanita Milik Tuan Muda
Penulis: AL

Rasa yang Saling Melukai

Malam yang mencekam dengan jalanan lenggang nan sepi. Ditemani hujan deras yang mengguyur sejak sore tadi. Ditengah kebisuan malam, sebuah mobil mewah berwarna hitam melaju kencang. Tak peduli pada minimnya cahaya di jalan ataupun hujan yang seolah menyelimuti dalam gelapnya malam.

Mobil mewah tersebut berdecit kencang saat pengemudi tak mampu menguasai lagi jalan, hingga akhirnya menabrak pembatas jalan dan terpelanting jauh beberapa meter dari lokasi awal.

Jalanan tak bertamukan mobil lain hanya melukiskan asap putih yang mengepul dari bagian mobil yang rusak parah. Pecahan kaca mobil yang berserakan di aspal jalan terlihat begitu mengerikan, bahkan jejak mobil yang membekas di aspal menjadi saksi seberapa kerasnya sang pengemudi berusaha menyelamatkan haluannya.

Di tengah heningnya malam, sebuah rintihan penuh kesakitan terdengar dari arah mobil nahas itu.

Tak menunggu lama, ketukan demi ketukan dari dalam mobil mengikuti rintihan tersebut.

Dengan susah payah, seseorang berusaha memecahkan kaca mobil yang tersisa. Tak perduli pada lengannya yang terlihat terluka parah, ataupun darah yang membasahi pipinya.

Semua usahanya membuahkan hasil, gadis dengan gaun putih berlumuran darah berhasil mengeluarkan salah satu kakinya dari mobil nahas itu, kaki lainnya berusaha bergerak dengan sisa tenaga yang ia punya.

Belum sepenuhnya ia mengeluarkan seluruh tubuhnya, ia berbalik dan menatap pergelangan tangannya yang nampak ditahan oleh sesuatu.

“Jangan pergi, kumohon.”

Gadis itu hanya menatap dingin tanpa merasa iba pada sosok pria yang terlihat terluka parah di kursi kemudi.

“Kumohon,” pinta pria itu terbata menahan sakit.

Sayang, tanpa perduli sedikit pun, wanita itu menghempas kasar tangan pria yang memegangnya dan berjalan tertatih meninggalkannya.

Pria itu hanya bisa pasrah saat tangannya terasa dingin tak lagi menggenggam tangan yang ia inginkan. Ia memejamkan matanya menahan rasa sakit di tubuh dan juga hatinya.

__*__

Seorang dokter dan beberapa perawat nampak berlari menuju pintu gawat darurat saat sebuah ambulans baru saja terparkir di sana.

Beberapa perawat dibantu petugas ambulans dengan sigap menurunkan brankar keluar dari mobil dan segera mendorong masuk kedalam gedung rumah sakit.

Puluhan pasang mata nampak memperhatikan pasien yang terbaring di atas brankar dengan kondisi yang begitu mengenaskan.

Bahkan di antara pengunjung rumah sakit berbisik memperbincangkan kondisi pasien tersebut.

Tak jauh dari sana, wanita berusia senja dan pria paruh baya mengenakan setelan hitam beserta beberapa pengawalnya turut masuk kedalam rumah sakit dengan wajah pucat penuh kepanikan.

“Dimana Tuan Muda?” tanya wanita tersebut sambil menggenggam sapu tangannya erat.

“Tuan Muda baru saja masuk kedalam ruang operasi, Nyonya,” balas salah satu pria sambil membungkuk hormat pada wanita tersebut.

Wanita itu begitu terkejut dan terpukul mendengar kondisi cucunya. Matanya yang renta menahan tangis dan memeluk putranya yang ada di sampingnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya sambil menangis.

“Sabarlah, Bu. Semuanya akan baik-baik saja,” ucap pria di sampinya sambil memegang kedua pundak Ibunya dan menuntunnya duduk disalah satu kursi tunggu.

Pria paruh baya itu terdiam menatap pintu di depannya dan berharap hal buruk tak terjadi pada putra bungsunya.

__*__

“Kau harus segera kerumah sakit.”

Teresa memandang sedih kondisi sahabatnya yang terbaring lemah diatas ranjangnya sejak dua hari yang lalu. Kondisinya sangat memprihatinkan. Luka di beberapa bagian tubuh dan kepalanya terlihat jelas. Bahkan bahunya terlihat memar membiru bekas jahitan yang ia dapatkan kemarin.

“Aku tak bisa,” balasnya dengan suara pelan menahan sakit.

“Kau sudah gila! Lihatlah kondisimu. Aku tak akan membiarkan kau seperti ini.”

“Kumohon,” pinta gadis itu saat sahabatnya tetap memaksa dirinya untuk segera kerumah sakit.

“Viola,” ucapnya frustasi dengan watak keras sahabatnya itu.

Viola yang sejak tadi berbaring, berusaha bangkit dan mendudukkan dirinya dengan salah satu tangan menopong badan nya.

“Bukankah kekasihmu sudah memberikanku obat. Dia calon dokter yang hebat. Lihatlah jahitan di bahuku sangaaaaat sempurna.” Sebuah candaan keluar  dari bibir pucat Viola yang tak sedikitpun terlihat menahan sakit.

“Di saat seperti ini kau masih bisa bercanda? Apa kau tak memiliki kewarasan karena kepalamu ikut terbentur?” umpatnya marah.

Viola hanya menyunggingkan senyum tipis yang membuat sahabatnya menggelangkan kepala tak percaya.

“Istirahatlah. Aku harus segera bekerja. Telepon aku jika kau membutuhkan sesuatu.”

Viola mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang seminggu ini harus mengalami hal yang begitu menguras semua energi.

Di khianati oleh orang yang ia cintai, melewati malam yang membuatnya trauma, dan nasib buruk masih menemaninya saat ia nyaris kehilangan nyawanya.

Bahkan luka di tubunya tak sebanding dengan luka di hatinya. Ia telah bertekad untuk membenci pria yang dulu ia cintai.

Kenangan demi kenangan indah yang pernah ia dapatkan, ia hancurkan tanpa ampun oleh rasa amarahnya. Gadis itu mengutuk dirinya yang pernah menaruh hati pada pria yang mengahncurkannya.

“Aku akan membunuhmu,” ujarnya pelan bersamaan dengan air mata yang jatuh di ujung matanya.

Ia meremas ujung bantalnya kuat menahan semua kebencian di dalam dirinya yang menuntut keadilan.

__*__

Rintik hujan kembali bermain melukis hiasan garis-garis kecil di atas kaca jendela sebuah gedung bertingkat tinggi.

Sesosok pria tengah berdiri menatap keluar jendela, dengan segelas wine yang ia mainkan di tangan kanannya. Bola matanya yang berwarna hitam kecoklatan terfokus pada jajaran gedung-gedung tinggi yang menyamai bangunannya.

“Tuan.”

Pria yang memiliki tatapan tajam, dan garis rahang tegas serta rambut hitam yang tertata rapi penuh pesona menengok kearah suara yang memanggilnya.

Tanpa menjawab ia melangkah menghampiri meja kerjanya, meletakkan wine di sisi meja kemudian duduk di kursi kekuasaanya.

“Tuan Besar, meminta anda segera kembali kerumah.”

William Dexter menatap sekretaris ayahnya, “Apa yang terjadi?” tanyanya tanpa basa basi.

Pria yang berdiri di depannya hanya mampu menunduk dan menelan salivanya.

“Apa terjadi sesuatu pada adikku?” tebaknya dengan mata tajam membaca pikiran pria di depannya.

“Tuan ... itu,” jawabnya terbata karena aura menakutkan yang ia rasakan.

“Katakan!” ujarnya dingin penuh perintah.

“Tuan Muda Felix mengalami kecelakaan seminggu lalu.”

William yang tadi sibuk membaca berkas-berkas di mejanya seketika menghentikan kegiatannya.

Pria itu menatap terkejut beserta marah kearah asisten ayahnya.

“Bagaimana kondisinya?”

“Tuan Muda masih dalam keadaan kritis. Luka yg diderita cukup parah terutama di bagian kepala dan kakinya,” jelasnya.

William bangkit dari kursinya dan meraih jasnya.

“Siapkan keberangkatanku sekarang!” perintahnya dan berjalan lebih dulu di ikuti pria yang tadi bersamanya dan juga asistennya.

__*__

William kembali menginjakkan kakinya du tanah kelahirannya setelah lima tahun lalu memutuskan untuk meraih mimpinya membangun perusahaan di negara lain.

Merintis usahanya dari nol dan tanpa bantuan dari keluarganya, ia mampu menunjukkan kualitas dirinya dengan berkembangnya perusahaan yang ia bangun.

Pengusaha muda dengan paras tampan, wawasan luas juga kemampuan yang tak diragukan lagi membuat siapa pun yang melihatnya berdecak kagum dengan semua yang ia miliki.

“Selamat datang Tuan.”

Beberapa pengawal yang berjaga di depan sebuah kamar rumah sakit membungkuk hormat saat melihat sosok William.

Pria dengan paras dingin dan tatapan tajam itu tak berniat membalas sapaan pengawal di depannya dan memilih melangkah masuk kedalam ruangan .

“William,” sapa sang nenek ketika pria itu masuk kedalam ruang rawat adiknya.

Pria itu tertegun menatap seseorang yang terbaring lemah dengan luka di beberapa tubuh dan juga wajahnya. Ia tak bergeming dan memperhatikan alat bantu pernapasan dan medis yang terpasang di tubuh Felix.

Dengan tenang, ia melangkah lebih dekat, mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah pasien itu.

“Aku sudah kembali, Felix,” ucapnya pelan dan mengusap lembut kepala sang adik yang ditutupi perban.

Tangannya turun merapikan selimut sang adik dan menyunggingkan senyum tipis di wajahnya.

“Bangunlah, aku sudah menepati janjiku untuk kembali bersamamu.”

Tatapannya berubah sendu. Ia menatap lekat pada wajah adiknya yang tak berdaya.

“Aku akan membalas  mereka, yang melakukan ini padamu.”

William menggenggam tangan sang adik , mengikat janjinya di sana sebelum akhirmya melangkah pergi dengan amarah yang membangkitkan kebenciam dan dendam di dirinya.

__*__

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
goodnovel comment avatar
Windy ClLu Chyank Aguuzz
sopo Thor lanjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status