Share

Viola

Awan gelap kembali menunjukkan bayangannya. Udara malam yang mulai mendingin terlihat masuk dari sela-sela pintu kamar seorang gadis yang masih tertidur pulas di atas ranjangnya.

Keningnya mengeluarkan peluh, matanya terpejam rapat dan tangannya nampak meremas seprainya erat.

Rintihan demi rintihan keluar dari bibir pucatnya. Mimpi demi mimpi seolah berputar membayangi pikiran gadis itu.

Jeritan dirinya yang meminta tolong pada sosok pria yang menatapnya kembali terdengar jelas di telinganya.

Bayangan dirinya yang menangis frustasi dengan tubuh yang hanya terbalut selimut putih di ruangan yang tak ia kenal kembali menghantuinya. Memar di wajah serta beberapa tubuhnya yang seolah terasa nyata masih bisa ia rasakan. Rasa sakit di hatinya yang jauh lebih menyesakan membuatnya nyaris tak bisa bernafas.

Bayangan wajah pria yang menatapnya tanpa iba, malah melukiskan senyum hinaan dan juga amarah membuat dirinya mengutuk tanpa henti bahkan ingin melemparkan dirinya sendiri kedalam jurang terdalam.

Dengan susah payah ia berusaha membuka matanya, melepas semua mimpi buruknya yang memeluknya erat seolah tak ingin mengalah.

Helaan berat nafas  gadis itu mengakhiri segalanya. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang nampak bergetar penuh rasa takut, penuh luka dan juga ketidak adilan yang memusnahkan sisi lembut dirinya.

Ia membenamkan wajahnya dalam. Tanpa terasa air mata yang ia janjikan untuk tak jatuh lagi, kembali membasahi pipinya.

Isak tangis tanpa toleransi keluar dari bibir pucat gadis itu.

Tubuhnya semakin bergetar, dan tak lama ia berteriak ditengah rasa frustasi dan keputusasaannya.

Malam yang semakin pekat menemani Viola, gadis polos yang terluka karena cinta pertama.

Gadis manis yang selalu percaya bahwa cinta tulus itu  ada. Namun, cinta itu pula tersenyum mengkhianatinya.

Lama ia membenamkan wajahnya menumpahkan semua perasaan di hatinya.

Cukup baginya terlena dalam duka. Ia dengan berani mengangkat wajahnya. Menghapus sisa air mata yang masih berani meniti dipelupuk matanya.  Tatapan teduh yang selalu gadis itu tampilkan, tak lagi terukir disana.

Matanya terlihat dingin, wajahnya mengeras dengan semua kebencian yang menutupi titik putih dirinya.

“Aku membencimu dengan seluruh jiwaku,” ucapnya pelan.

__*__

Viola berusaha bangkit dari ranjangnya, menahan nyeri dari luka atas kecelakaan yang dialaminya. Nyeri dikepalanya pun tak ingin mengalah seolah berlomba memberikan rasa sakit pada gadis malang itu.

Dengan semua usahanya, ia berhasil berjalan menuju dapur. Menuangkan air putih kedalam cangkirnya. Ia meracik obat yang diberikan dokter padanya dan meneguknya dalam satu kali gerakkan.

Viola merapikan rambutnya yang terlihat tak beraturan.

Ia membuka pakaian yang dikenakan. Mengecek jahitan luka di pundaknya dan mengganti dengan perban yang baru.

Sesekali ia meringis menahan sakit namun dengan cepat ia menggigit bibir bawahnya melampiaskan rasa sakitnya di sana.

Ia membersihakn seluruh tubuhnya dan mengambil kemeja biru langit dari dalam lemarinya.

Memasukkan perlahan masing-masing tangannya kedalam kemeja yang ia ambil.

Baru saja ia ingin mengancing kemejanya, wajah gadis itu membeku seolah menyadari sesuatu. Ia menatap lama pada pergelangan tangannya yang nampak kosong.

Ia tak menemukan gelang hitam peninggalan ibunya yang tak pernah ia lepaskan sekalipun dari pergelangannya.

Pikirannya segera memutar balik memorinya. Namun, tak berapa lama ia diam mematung dan mengutuk dirinya karena tak mampu mengingat kemana perginya barang tersebut.

__*__

William mengetuk-ngetukan jari telunjukknya pada meja kerjanya. Matanya terfokus menatap barisan foto yang berjejer di atas mejanya.

“Tuan.”

Wiliam melepaskan fokusnya dan melepaskan kaca mata yang membingkai mata indahnya. Ia  menatap sekretarisnya yang masuk membawa sebuah kotak kecil ditangannya.

Wanita itu menyerahkan apa yang dibawanya ke atas meja William.

“Kami hanya menemukan ini di mobil Tuan Muda.”

William membuka kotak tersebut dan melihat sebuah gelang berwarna hitam dengan ukiran kecil di atas pengaitnya.

Ia meraih gelang itu, memperhatikannya dalam diam.

“Kau sudah menemukan pemilik gelang ini?” tanya William tanpa mengalihkan pandangannya.

“Maafkan kami Tuan,” ujar wanita itu menunduk tak berani menatap mata tuannya.

William menyunggingkan senyum tipis di wajah tampannya. Jari-jarinya meraba ukiran samar di gelang yang ia pegang.

“Felix,  aku akan menemukannya untukmu. Dan membawanya kehadapanmu,” ucapnya tersenyum penuh makna .

__*__

William berjalan memasuki gedung perusahaan milik ayahnya. Para pengawal yang ia lewati nampak membungkuk hormat dan mengikuti langkah pemuda itu.

Ia terlihat berbeda dari pegawai lainnya. Setelan jas berwarna biru navy melekat sempurna di tubuhnya. Tatanan rambutnya yang begitu rapi memancarkan aura mewah dan berkelas. Tiap langkah pria itu di iringi decak kekaguman para wanita yang memuji ketampanan dan kesempurnaan fisik yang dimiliki pria itu.

Bahkan tatapan dingin dan sikap acuh yang ia tunjukkan pun seolah menjadi pesona untuk dinikmati para kaum hawa di perusahaan itu.

“Wah ... bukankah dia lebih tampan dari Tuan Muda Felix?”

“Dia jauh lebih sempurna dari Tuan Muda.”

“Tuan Muda Felix sangat ramah pada para pegawainya, tapi Tuan William terlihat dingin. Namun, itulah daya tarik yang membuat para wanita ingin menaklukkannya”

Bisikkan para wanita yang memuji dan juga membicarakannya tak sedikit pun mengusik William dan mengubah ekspresi di wajahnya.

William berhenti di sebuah pintu besar berukiran kayu, sebelum akhirnya masuk ketika salah satu pengawalnya membukakan pintu untuknya.

Pria itu membungkuk kecil memberi hormat pada sang ayah yang berdiri penuh wibawa menatapnya.

“Kau kembali?” tanya sang ayah berjalan menghampiri putranya.

William mengangguk kecil dan di sambut oleh senyuman hangat ayahnya.

“Apa yang sebenarnya terjadi Ayah?” tanya William tak ingin berbasa basi ketika ia telah duduk didepan ayahnya.

Ayahnya nampak menarik nafasnya dalam.

“Ayah tak tahu. Para pengawal yang menjaganya, hanya melihat Felix keluar dari kantor dengan wajah panik. Mereka mengikutinya hingga Felix masuk kedalam parkiran apartemennya.”

“Mereka melaporkan padaku jika Felix tetap di apartemennya hingga tengah malam,” ucapnya lagi di ikuti tatapan matanya yg sedih.

“Jika saja aku tak menarik pengawal malam itu, mungkin saja anak itu tak terbaring koma seperti sekarang,” sesal Tuan Smith terlihat jelas.

William menggenggam tangan ayahnya menenangkan. “Aku akan mencari tau siapa pun mereka yang mencoba mencelakainya.”

Ayahnya mengangguk pelan dan menatap putra sulung nya dalam.

“Apa ayah mencurigai seseorang?” tanyanya hati-hati.

Tuan Smith menggeleng pelan. Ia termenung dalam diam. Namun, tak berapa lama raut wajahnya berubah seolah mengingat sesuatu.

“Viola,” ucapnya pelan.

"Viola?" tanya William seolah tak mengerti.

“Mantan kekasihnya. Felix masih mencintainya dan hampir gila karena gadis itu sempat menghilang darinya.”

“Aku tak pernah mendengar namanya.”

“Felix menyembunyikannya.” Tuan Smith terdiam sesaat, ada keraguan di wajahnya.

William menarik tubuhnya lebih dekat dengan sang ayah. Mendengarkan tiap kata yang terlontar, menjelaskan hubungan Felix yang tak ia ketahui selama ini.

__*__

“Selamat datang Tuan.”

Sambutan penuh hormat diterima oleh William saat ia tiba kerumah orang tuanya.

Pemuda itu melangkah masuk, menaiki tangga menuju kamar Felix. Pandangannya ia edarkan keseluruh kamar.

Kenangannya akan masa lalunya kembali bermain mengisi ruangan itu. Hampir kesehariannya ia habiskan bersama sang adik.  Dari tawa canda hingga pertengkaran mereka.

William mengulas senyum kecil saat mengingat tangis Felix, saat pertama kali mereka bertengkar. Bagaimana Felix mengejarnya dan meminta maaf padanya saat itu.

Tawa Felix yang tanpa bosan ia dengarkan saat membanggakan dirinya yang mendapatkan banyak surat cinta dari para pengagumnya di sekolah.

Wajah William kembali sendu saat kondisi Felix kembali melintas di pikirannya.

Ia membuyarkan semua lamunannya, dan melangkah menghampiri nakas di samping tempat tidur. Membuka lacinya dan mengambil kotak perak yang terlihat terkunci rapat.

William mengeluarkan sebuah kunci kecil berwarna perak dari saku jasnya. Kunci yang hanya ia dan Felix miliki untuk menyimpan semua rahasia yang tak ingin mereka bagi dengan yang lain.

Ia memandang diam, menatap semua surat di dalam kotak itu. Membuka satu demi satu tiap surat yang ia kirimkan dulu untuk Felix. Sesekali ia tersenyum namun tak berapa lama wajahnya kembali dingin.

Sorot matanya menangkap sebuah lembaran foto yang terselip di antaranya.

Seorang gadis bergaun ungu nampak tersenyum di tengah taman. Senyum yang cerah dan wajah menunjukkan kelembutan.

Di foto lain, gadis itu memeluk lengan Felix dan tatapannya menunjukkan perasaan tulus. Bahkan binar kasih sayang pun ditunjukkan keduanya.

Lagi, wanita itu mencuim pipi Felix yang nampak tersenyum bahagia di sampingnya.

Lembaran demi lembaran yang William dapatkan di kotak itu, hanyalah gambaran sebuah kebahagian dari sepasang kekasih yang saling mencintai.

“Viola,” ucapnya perlahan saat mendapatkan sebuah nama dari salah satu foto di tangannya.

William tersenyum samar, dia menemukan sebuah titik terang yang selama ini ia cari.

Pria itu segera beranjak meninggalkan kamar Felix. Ia menuju mobil mewahnya dan tak menghiraukan sapaan Ibu tirinya yang berdiri di depan pintu dengan senyum diwajahnya.

"Apa ia masih membenciku?" gumamnya dengan wajah sedih.

__*__

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status