Seringai terpasang jelas di wajah Dominic, menggenggam sebuah kartu memori sambil keluar dari pintu lobi hotel. “Hah, dasar jal*ng kecil” batinnya. Netra cokelat muda milik lelaki itu ditundukkan ke kartu kecil di tangan kanannya.
Aktivitasnya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam terparkir di depannya, menunjukkan seorang lelaki dengan setelan formal dan rambut yang disisir ke belakang. Lelaki yang merupakan asisten pribadi Dominic itu bergegas membuka pintu mobil dan mempersilakan dirinya untuk masuk.
Sepanjang perjalanan, mata Dominic disibukkan oleh banyak pesan di ponsel pribadi miliknya. Barulah ketika selesai, pandangannya terangkat ke arah Will, asistennya. “Bagaimana dengan urusan muncikari di Kota B kemarin?” tanya Dominic.
“Ulahnya mempengaruhi banyak klien dan juga wanita-wanita kita, Tuan. Sudah saya bereskan, kita tidak akan berurusan dengannya lagi.” jawab Will. Matanya masih fokus ke jalan sambil sesekali melirik ke atasannya.
“Bagaimana dengan wanita-wanita di bawah naungannya?”
“Aman, Tuan. Saya sudah mendapatkan muncikari pengganti untuk mengurus wanita-wanita itu. Telah kupastikan lelaki itu tidak berani berbuat macam-macam.” Jawaban dari Will membuat Dominic tersenyum puas, asisten sekaligus teman semasa kecilnya ini memang tidak pernah mengecewakannya.
Pikiran Dominic kembali ke saat dia melihat kerlap-kerlip cahaya merah dari balik lemari pakaian hotel. Senyum mengejek merekah dari wajahnya, menemukan sebuah kamera kecil yang jelas sengaja dipasang di sana. Dengan santai, lelaki itu mengambil sehelai kertas, mengirimkan pesan untuk wanita yang masih terlelap di ranjang. ‘Tidak semudah itu menjebakku, Amber Moore.’
“Anda terlihat bahagia, Tuan Dominic. Apakah ada hubungannya dengan malam Anda kemarin?” Pertanyaan Will membangunkan Dominic dari lamunannya.
Manik keemasan lelaki itu menatap asistennya sambil tertawa kecil. “Begitulah. Malam ini…menarik.”
“Sepertinya Anda sangat puas dengan wanita yang saya sarankan.” ujar Will. Memang asistennya yang menyarankan dirinya untuk bermalam dengan wanita bertubuh sempurna itu.
Melihat ekspresi wajah sang asisten yang berseringai dan menunjukkan kepuasan, Dominic meneruskan pembicaraannya. “Will, apakah kamu masih ingat dengan wanita bernama Amber Moore?” tanya Dominic, menatap manik abu milik asistennya melalui kaca spion tengah. Will mengingat kembali nama yang familiar itu, menjawab pertanyaan yang membangun memori masa SMA dirinya dan Dominic dengan sebuah anggukan.
“Amber Moore adalah Amber Johns.” ucap Dominic dengan santai, melipat tangannya ke belakang. Will tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, sebelum lelaki berambut cokelat itu menoleh tepat ketika mereka sampai di tujuan. “Maksud Anda, wanita penghibur yang semalam bercinta denganmu itu ... wanita yang sama dengan gadis cupu di SMA dulu?” Will terlihat tidak yakin dengan pernyataan dari atasannya itu.
Dominic menjawab dengan senyuman. “Kumpulkan informasi lengkap mengenai wanita itu. Jangan ada yang terlewat. Kalau perlu, ikuti gerak-geriknya.” Netra Dominic kini menatap Will dengan tajam. Pertanda kalau lelaki itu berbicara pekerjaan yang serius. Sang asisten membalasnya dengan manutan sebelum Dominic meninggalkan dirinya di dalam mobil.
Will menatap atasan dan temannya itu yang kini telah berjalan menuju pintu masuk sebuah bar megah. Posturnya yang tegap dan badannya yang kekar mengeluarkan aura gelap, membuat banyak orang takluk di hadapannya.
Mata Will masih mengikuti pergerakan Dominic, menyaksikan beberapa lelaki dengan tubuh yang tak kalah kekar dan wajah mereka yang bengis menundukkan badannya untuk menyampaikan hormat ke arah Dominic. Setelah memastikan lelaki itu sudah tidak terlihat, Will menatap nanar jalanan di depannya.
‘Sial!’ batinnya sambil menggebrak setir mobil di hadapannya. Dengan segera Will menyalakan kembali mesin mobilnya dan bergegas meninggalkan bar megah itu. Tangannya menggapai kantong jasnya, mengambil ponsel miliknya.
Lampu merah di persimpangan jalan menghentikan mobilnya yang melaju kencang. Dengan tergesa-gesa Will mencari kontak yang telah dia simpan beberapa hari yang lalu.
Dua huruf inisial terpampang di layar ponselnya. [A.M].
Beberapa kali lelaki itu mencoba menghubungi kontak yang hanya diberi inisial itu, namun hanya suara operator yang dia dapatkan. Tepat ketika usahanya yang ke delapan kali, barulah nomor itu berhasil tersambung.
"Halo?" Terdengar suara wanita dari seberang.
“Apa yang sudah kamu lakukan?!” teriak Will dengan penuh amarah.
Terdengar lawan bicara wanita itu membalas dengan bingung, “Apa maksudmu?”
“Bagaimana dia bisa mengetahui identitasmu, Amber?!”
“Kamu mengatakan bagaimana dia bisa mengetahui identitasku? Seharusnya aku yang bertanya padamu, Will!” teriak Amber, masih merasakan kesal karena rencananya yang gagal. “Oh ayolah, Amber. Sekarang kamu melemparkan kesalahanmu itu kepadaku? Seharusnya kamu bisa lebih berhati-hati. Aku sudah beberapa kali mengingatkanmu, kan?” ucap Will sembari memutar bola matanya.Tak pernah sekalipun terlintas di kepalanya kalau Dominic akan mengetahui identitas wanita itu terlebih dahulu. Amber merasakan amarahnya meluap mendengar jawaban dari lelaki itu, mengingat ketika Selena menghampiri Amber di kamar hotel dan memberi informasi baru terkait pekerjaan Dominic yang sebenarnya. “Hati-hati? Kamu bahkan tidak memberitahuku sosok Dominic yang sebenarnya, Will! Apa kamu pikir bisa semudah itu untuk mengetahui profil lelaki yang ternyata merupakan seorang mafia bengis?!” Amber mendengus kesal di telepon.Meskipun kesal, Amber tidak akan melupakan sosok Will yang merangkulnya dulu. Ketika SMA, hanya W
Brak!Suara gebrakan di meja cukup menyita perhatian beberapa pengunjung yang ada di dalam restoran. Bukan hanya gebrakan, tapi dua orang lelaki menawan dengan warna mata yang sama itu memang sudah cukup menarik perhatian bagi siapapun yang melihat keduanya.“Perjodohan? Ayah sudah gila, ya? Memanfaatkanku sebagai alat transaksi?” Dominic sedikit mencondongkan tubuhnya, kedua matanya menatap tajam ke lelaki paruh baya dengan rambut sedikit memutih yang ada di hadapannya. “Kecilkan suaramu,” balas lelaki itu, seraya memberikan Dominic segelas air mineral dingin dan meletakkan di depan Dominic. Dominic merasakan wajahnya memerah, melihat ayahnya sendiri memasang wajah yang santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Zaman sekarang, mana ada lelaki yang ingin dijodohkan? “Aku tidak akan pernah setuju.” tegas Dominic sekali lagi, tidak ingin menerima perintah ayahnya. Dominic bukanlah pria menyedihkan, untuk apa mengikat diri dengan satu wanita, jika dengan wajahnya saja dia bisa mendat
Dominic mendongak cepat, terkejut melihat sosok wanita yang kini ada di depannya. Netranya disambut oleh manik keemasan milik Amber yang menatapnya dengan menggoda.Amber menaikkan satu alisnya sambil menyeringai, seakan mengejek Dominic dengan kehadirannya.“Kenalkan, ini putri saya, Amber Moore. Amber, ini Dominic Grey. Dia yang akan menjadi pasanganmu nanti.” Lelaki paruh baya dengan setelan berwarna biru dongker itu dengan bangga memperkenalkan putrinya pada kedua pria berbeda generasi di hadapannya saat ini. “Dominic Grey,” ucap Dominic seraya menyambut uluran tangan Amber. Keduanya beradu tatap, bersandiwara seakan tidak pernah mengenal satu sama lain. Jabatan itu tidak langsung dilepas, Dominic bahkan sempat mengelus jemari Amber sebelum melepas tangannya.Suasana di ruangan privat restoran itu terasa dingin ketika semua sudah duduk. Kedua lelaki paruh baya yang sudah lama tidak bertemu itu disibukkan dengan pembicaraan bisnis, membiarkan Amber dan Dominic. Amber membolak-bali
“Lakukan dalam dua minggu lagi.” Ucapan yang dikeluarkan dari mulut Dominic membuat Amber terkejut. Maniknya bergerak ke arah Dominic, mencari isyarat dari lelaki itu yang menunjukkan bahwa dia hanya bergurau. Namun, yang Amber dapatkan hanyalah wajah tampan Dominic yang menatapnya tanpa ekspresi. “Dua minggu? Apakah kamu yakin dengan keputusan itu?” tanya Jonathan, tidak percaya bahwa perjodohan atas dasar kerja sama perusahaannya akan berjalan dengan mudah. Ketika menjabat tangan Dominic untuk pertama kali, dia merasakan aura yang kuat dan dingin dari lelaki itu. Seakan, apa yang dia inginkan, pasti dia dapatkan. Oleh karena itu, Jonathan merasa terkejut dengan Dominic yang menerima perjodohan itu dengan senang hati.“Sangat yakin, Tuan Jonathan. Bahkan, saya sudah bicarakan ini dengan putri Anda tadi. Benar, Amber?” Dominic melirik Amber, menunggu jawaban. Wanita itu menatap Dominic dengan kilatan emosi di matanya, mencoba menahan amarah dengan menggigit bibirnya yang merah. Domi
Kedua mata Selena membelalak tidak percaya, belum lagi dia merasa telinganya barusan pasti salah mendengar.“Maaf, apa aku tidak salah mendengar nama yang baru saja kamu sebutkan?” Selena bertanya pada Amber, karena dia ingin meyakinkan dirinya jika telinganya tidak sedang bermasalah.Amber menggeleng singkat.“Bagaimana bisa, Amber?”“Sebuah keajaiban mungkin? Selena ... ucapkan selamat, aku akan menikah dengan pria itu. Jadi setelah ini kamu tidak akan bekerja mengurus masalah klien ranjangku,” kata Amber.Selena mendesah pelan, dia hanya mengikuti apa yang diinginkan Amber, karena selama ini dia hanya bekerja pada wanita itu.“Lalu?”“Lalu, kamu akan tetap menjadi sekretarisku. Kamu tenang saja, Selena. Kemana pun aku pergi, kamu akan tetap ikut,” jawab Amber dengan yakin.Setidaknya Selena sedikit merasakan lega, dia tidak akan kehilangan pekerjaannya.“Hilangkan apa pun pikiran buruk yang ada di dalam otakmu, Selena. Kamu tidak akan pernah beranjak dari sisiku. Hubungan profesion
“Tu-tunggu sebentar, Ayah mengundang mereka?” tanya Amber. Seringai tipis tersirat samar di wajah cantik Amber.Sungguh tidak terduga sama sekali dia akan bertemu kembali dengan Dominic dalam keadaan ‘normal’, bukan pertemuan yang menciptakan hawa panas dan juga penuh gairah. “Maaf, Ayah tidak memberitahumu. Awalnya aku ingin memberikan kejutan padamu, Amber. Tetapi setelah mendengar semua ceritamu, mari kita mengubah segalanya, apa kamu bahagia?” Jonathan bertolak pinggang, dengan anggun Amber menggandeng tangan kokoh ayahnya.“Hm, aku sudah tidak sabar.”Keduanya menuruni satu per satu anak tangga.Ada sedikit perasaan lega di dalam hati Amber, setidaknya akan ada Jonathan yang membantu meluluskan semua rencananya setelah ini. Berdamai dengan ayahnya, tetapi belum dengan masa lalu. Karena masa lalunya masih belum juga tuntas bagi Amber.“Maaf membuat kalian menunggu.” Kalimat Amber adalah pembuka percakapan di antara mereka malam ini.Kedua mata Dominic terpana untuk sesaat melihat
Dua minggu kemudian pernikahan antara keduanya pun terjadi. Bukan resepsi yang diselenggarakan secara besar-besaran, memang mewah tapi hanya keluarga besar kedua belah pihak yang diundang.Amber selain meminta Jonathan mengundang keluarga besarnya, dia pun sengaja mengundang beberapa klien yang pernah melakukan transaksi dengan dirinya. Dia memang sengaja melakukannya.Dominic terus memperhatikan apa yang akan diperbuat wanita itu. Senyum Amber tak henti menghiasi wajah cantik dan angkuh miliknya, sesekali wanita itu sengaja melirik ke arah suaminya, hanya sekadar ingin mengetahui seperti apa reaksi Dominic.Amber memijat tengkuk lehernya, sedikit pegal, dan dia benci acara resmi seperti ini.“Sayang sekali gedung sebesar ini hanya dihadiri beberapa puluh orang. Kenapa kamu tidak mengatakan sebelumnya jika kamu hanya mengundang segelintir orang saja?” Ada sedikit nada keluhan dari mulut Dominic.Amber melihat perdana menteri yang pernah tidur dengannya pun ada di resepsi pernikahan mer
Dominic melepaskan dasi yang dikenakannya, lalu melemparkan senyuman tipis nan mematikan pada Amber.“Sebelumnya, kau hanya boleh menikmati. Kali ini aku tidak mengijinkanmu menatapku,” kata Dominic pelan.“Sialan, kau ingin mempermainkanku?”Dominic bergerak ke arah kepala Amber, mengangkatnya sedikit, lalu mengikatkan dasi miliknya untuk menutup kedua mata Amber.“Dominic Grey! Kau bajingan!” teriak Amber, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, dia mulai merasa panik, memikirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan Dominic padanya. Tak lama kemudian, indera penciuman Amber menyentuh serangkaian bebauan yang begitu menenangkan.Seisi kamar dipenuhi aroma therapy jasmine.Dia merasakan sentuhan yang terasa basah pada bibirnya, Dominic mencium Amber, pelan, lembut, namun mampu mengoyak pertahanan Amber saat ini.“Ehmmph!” Amber menggigit bibir Dominic, dia tidak suka dipaksa!Dominic mengusap bibirnya, ada sedikit darah akibat gigitan Amber, tapi ... terasa menyenangkan baginya.“Aku i