Alina berdiri di depan kaca besar di apartemennya yang sederhana. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Revan, pria itu benar-benar tidak mengingatnya. Bahkan ketika mereka berhadapan langsung, tak ada sedikit pun tanda kebingungan di matanya. Tidak ada secercah kenangan yang muncul.
Tujuh tahun. Apa benar waktu bisa menghapus segalanya? Alina meraih pistol Glock 19 yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya mengelus permukaannya, lalu dengan cekatan ia membuka magasin, memastikan semua terisi penuh sebelum menguncinya kembali. Revan ingin mengajarinya menembak? Sial. Dia bahkan lebih terlatih daripada yang pria itu kira. "Revan Arkana Alexander," gumamnya pelan, menatap bayangannya sendiri di cermin. "Dia sudah berubah." Tak ada lagi Revan yang manis, ramah, dan pandai merayu itu. Yang tersisa sekarang hanyalah seorang CEO tegas yang berhasil menaikkan penjualan dan saham perusahannya di angka yang tertinggi dari perusahaan elektronik lainnya. Sebuah dering telepon memecah keheningan. Alina mengangkat ponselnya. Itu Wiliam, teman dari perguruan bela diri dan tempat latihan senjata yang sama dengannya. Alina meminta bantuan Wiliam untuk mencari informasi mengenai Revan melalui akses jaringan gelap yang ia miliki. "Kau berurusan dengan pria yang sulit, Al. Laki laki itu sudah terdaftar 7 kali sebagai target pembunuhan. Tapi dia masih selamat." "Begitu ya, siapa yang menargetkannya?" "Tidak tahu. Nama klien kan dirahasiakan. Mungkin saingan bisnisnya. Bagaimana dengan panggilan hari ini?" Tanya Wiliam, mengalihkan topik pembicaraan yang membuatnya penasaran. "Aku diterima, menjadi sekretarisnya." "Haha, sepertinya akan mudah. CEO itu polos sekali. Dengan cara apa kau akan membunuhnya?" Membunuh? "Aku tidak pernah bilang akan membunuh Revan. Kenapa kau berfikir begitu?" "Tidak membunuhnya? Lalu apa yang akan kau lakukan dengan menjadi orang yang bisa dekat dengannya? Kau tidak akan merayunya dan menikahinya kan, Alina?!" Tawa renyah Alina membuat Wiliam bernapas lega. Bagi Alina, menikah bahkan lebih konyol daripada melanjutkan hobi berkelahinya yang seperti seorang laki laki. Alina tidak lagi mencintai Revan. Bahkan mungkin Alina merasa bahwa ia membencinya. "Aku hanya akan membunuh perasaannya. Aku akan membuat Revan jatuh cinta padaku dan mencampakkannya seperti yang dia lakukan dahulu." "Hubungi aku kapanpun kau membutuhkanku, Alina." "Terima kasih Liam. Tapi tidak perlu, urusan ini akan ku selesaikan sendiri. Ini adalah masalah pribadiku." Jawab Alina, dengan senyum tulus. Wiliam adalah rekan sekaligus teman baik yang selalu membantunya menghadapi kesulitan. Meskipun Alina pernah menolak pernyataan cinta Wiliam, Wiliam tidak menjauhinya dan tetap mendukungnya sebagai seorang teman. "Aku mengkhawatirkanmu. Bagaimanapun, pria yang kau targetkan bukan orang biasa." dari seberang telepon, Alina dapat mendengar suara lembut Wiliam yang peduli padanya. "Jangan khawatir, Liam. Aku punya rencana dan kemampuan untuk menaklukkan Revan." "Tidak baik terlalu percaya diri, Alina. Aku percaya padamu, tapi kau juga harus tetap berhati hati." "Aku tahu, dan aku juga bisa sendiri." Alina menutup telepon setelah tak ada hal penting lagi yang bisa mereka bicarakan. Gadis 24 tahun itu membuka softfile berkas yang ia terima melalui G***l. Ada rincian jadwal rutin yang harus dilakukan Revan selama satu bulan kedepan. Juga Alina memiliki tugas khusus menemani Revan kemanapun CEO itu pergi. Bagus, tugas khusus itu menguntungkan untuk kelancaran rencananya. *** Keesokan paginya, Alina tiba di kantor lebih awal. Mengenakan setelan formal berwarna hitam, ia melangkah masuk ke lantai paling atas dengan percaya diri. Hari pertama sebagai sekretaris CEO, sekaligus bodyguard pribadinya. "Masuk." Tanpa ragu, Alina membuka pintu dan melangkah ke dalam ruangan luas itu. Revan sudah duduk di kursinya, jasnya dilepas, menyisakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka. Pria ini memang selalu menjadi pusat perhatian, dan sialnya, pesonanya tidak berkurang sedikit pun sejak terakhir kali mereka bertemu tujuh tahun yang lalu. "Kita akan mulai dari sekarang," ujar Revan, menatapnya dengan dingin. "Mulai apa, Pak?" Alina menaikkan sebelah alis. Revan melempar sebuah kartu akses ke atas meja. "Ini akses ke seluruh ruangan penting di gedung ini, termasuk apartemenku." Alina menahan ekspresinya agar tetap netral. "Apartemen Anda?" "Sebagai bodyguard, kau harus selalu siap sedia. Aku butuh seseorang yang bisa melindungiku, bukan hanya saat bekerja, tapi juga di luar jam kantor," jawabnya santai. Jantung Alina berdegup lebih cepat. Ini bukan sekadar pekerjaan. "Jadi, mulai hari ini saya harus tinggal di apartemen Anda?" tanyanya, pura-pura terkejut. Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, sudut bibirnya melengkung sedikit. "Ada masalah?" Bajingan. "Tidak," jawab Alina cepat. "Saya akan menjalankan tugas saya dengan baik." Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Bagus. Malam ini, kita akan ke acara gala dinner perusahaan. Aku ingin kau ikut sebagai pasanganku." Alina mengerutkan kening. "Maksud Anda, sebagai pendamping atau sebagai pengawal?" "Kenapa tidak keduanya?" Sial. Revan sedang bermain api, dan Alina harus memastikan dialah yang memegang kendali dalam permainan ini. "Dress code?" tanyanya akhirnya. "Merah," jawab Revan tanpa ragu. Ini adalah tantangan pertamanya. Dan Alina tak pernah mundur dari tantangan. Malamnya, Alina mengenakan gaun merah anggun dengan belahan tinggi di salah satu sisi kakinya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan bibirnya diberi warna senada dengan gaunnya. Namun di balik semua itu, ia tetap membawa sesuatu yang tersembunyi di pahanya, pisau lipat kecil, senjata favoritnya. Begitu ia memasuki ruangan, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Namun hanya satu tatapan yang ia pedulikan. Revan. Apa yang Revan pikirkan tentang penampilannya malam ini? Pria itu mengenakan setelan hitam yang begitu sempurna, dasinya longgar, memberikan kesan santai sekaligus mematikan. Tatapan matanya tak lepas dari Alina, menyapu tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu. "Bagus, kupikir gadis tomboy sepertimu akan kesulitan memilih pakaian." gumamnya saat Alina berdiri di hadapannya. "Kau menarik perhatian lebih dari yang kupikirkan." Alina tersenyum tipis. "Bukan salah saya jika saya terlalu menonjol, Pak. Bukan karena pakaian, tapi karena wajah dan tubuh saya. Bukankah begitu?" Revan hanya terkekeh, ia tidak terkejut dengan jawaban Alina yang terlalu lancang. Ia mengulurkan tangan. "Mari kita mulai malam ini." "Tentu, Pak. Dengan senang hati."Bagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya. "Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya. "Tidak selera." "Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan." "Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan. "Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan. "Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama. "Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?" "Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya. Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring
Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana
'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka
Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn
"Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi
"Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa