Acara gala dinner berlangsung lebih lama dari yang Alina perkirakan. Setelah berbincang dengan beberapa rekan bisnis, Revan akhirnya harus menghadapi bagian yang lebih melelahkan, kerabatnya.
Begitu mereka memasuki ruang privat di restoran mewah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang laki laki muda langsung menyambut mereka. "Revan!" Wanita itu, yang Alina tebak adalah tantenya, tersenyum lebar. "Akhirnya kau datang. Kami sudah menunggu." Revan hanya memberikan anggukan kecil. Alina bisa merasakan ketegangan dalam bahunya. "Oh?" Laki laki muda di sebelah wanita itu menatap Alina dari atas ke bawah. "Kau membawa seseorang?" Tatapan mereka seketika berubah penuh penilaian. "Siapa dia, Revan?" suara tantenya terdengar lebih tajam. Sebelum Revan sempat menjawab, sepupunya sudah berseru dengan ekspresi dramatis. "Jangan bilang dia kekasihmu! Kau bahkan tidak pernah mengenalkan siapa pun kepada kami!" Alina nyaris tertawa. Kekasih? Tidak, dia jauh dari itu, saat remaja mereka bahkan pernah tidur bersama. Tapi Alina tidak mungkin mengatakan identitas aslinya. "Revan, kau tahu keluarga kita tidak bisa sembarangan menerima orang luar. Keluarga kita punya reputasi yang harus dijaga!" Alina tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Saya sekretarisnya," jawab Alina dengan tenang, mencoba menjaga sikap profesional meskipun hatinya mulai panas. Namun, reaksi keluarga Revan sungguh keterlaluan. "Hah? Sekretaris?" Sepupunya tertawa sinis. "Oh, aku kira siapa. Sekretaris pribadi rupanya." Tantenya mengangkat alis. "Revan, kenapa kau membawa seorang sekretaris ke acara keluarga? Jangan bilang kau punya hubungan tidak pantas dengannya?" Alina mengepalkan tangan, geram. Mereka tidak hanya meremehkannya, tapi juga menuduhnya sebagai perempuan murahan. "Dia sekretarisku, tidak lebih. Dan ini bukan acara keluarga tetapi pesta perayaan dengan klien penting. kalian saja yang datang tanpa diundang dengan menggunakan namaku" ujar Revan dingin, seolah menutup pembicaraan dengan sarkasmenya yang tajam. Namun sarkasme yang dilontarkan Revan belum cukup untuk meluruhkan muka tembok tantenya. Wanita setengah baya itu belum selesai mengganggu. "Kalau begitu, mari kita bahas hal yang lebih penting. Perjodohanmu, Revan. Kali ini, kami sudah menemukan gadis yang benar-benar sepadan denganmu. Keluarganya kuat di bidang real estate, dan—" "Berhenti," potong Revan, suaranya tiba-tiba terdengar sangat tajam. Mata pria itu menatap tajam kerabatnya yang sejak dulu menjadi walinya, mata elang Revan membuat mereka sedikit tersentak. "Aku tidak tertarik dengan perjodohan," lanjutnya. "Aku sudah pernah menikah, dan aku tidak akan mengulanginya lagi." Alina terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat Revan menolak dengan begitu tegas. Selama ini, ia mengira Revan hanya menjalani pernikahan bisnis tanpa perasaan. Tapi dari reaksinya, Alina bisa melihat bahwa Revan sangat mencintai mendiang istrinya. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Revan pergi tanpa mengucapkan perpisahan, sementara Alina mengekor di belakangnya. Di dalam mobil, suasana terasa begitu menekan. Revan tidak mengatakan apa pun, tatapannya kosong ke depan. Namun, insting Alina yang sudah terlatih menangkap sesuatu yang janggal. "Kita sedang diikuti, Pak" bisiknya pelan. Revan mengerutkan kening, lalu melirik kaca spion. "Siapa?" "Ada dua sepeda, mereka sudah membuntuti kita sejak keluar dari parkiran" jawab Alina dengan tenang. Namun, bukannya segera kembali ke apartemen, Revan malah membelokkan mobilnya ke sebuah bar. "Apa yang akan anda lakukan? Tidak aman jika kita berada di luar terlalu lama." tanya Alina, tidak percaya. "Minum," jawab Revan singkat, sebelum keluar dari mobil tanpa menunggu Alina. "Bereskan mereka." Lanjutnya kemudian. Alina mendesah, lalu mengikutinya masuk ke dalam bar. Revan langsung menuju meja bartender dan memesan beberapa gelas whiskey. Sial. Revan tidak dalam keadaan yang baik, dan mereka sedang diikuti. Alina memutuskan untuk tidak ikut minum. Ia hanya duduk di sudut, mengamati sekeliling sambil memastikan tidak ada ancaman mendekat. Setelah beberapa saat, ia menyelinap keluar untuk memeriksa siapa yang mengikuti mereka. Benar saja. Dua pria bertubuh kekar berdiri di dekat mobil mereka, berbicara dengan pelan. Tatapan mereka waspada, seolah sedang menunggu sesuatu. Tukang pukul bayaran. Alina tersenyum kecil. Ini akan menyenangkan. Dengan langkah ringan, ia berjalan melewati mereka, sengaja menarik perhatian. Salah satu pria itu menoleh, lalu mengangguk kepada rekannya. Mereka langsung mengikuti Alina ke gang gelap di samping bar. Begitu mereka cukup jauh dari keramaian, Alina berhenti dan menoleh. "Jadi, untuk apa kalian mengikuti kami?" tanyanya santai. Pria bertato di sebelah kanan menyeringai. "Kau terlalu ingin tahu, nona." Tanpa peringatan, pria itu mengayunkan pukulannya. Namun, Alina sudah lebih dulu bergerak. Ia menghindar dengan cepat, lalu menendang perut pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terhuyung ke belakang, sementara rekannya mencoba menyerangnya dari samping. Sayangnya bagi mereka, Alina bukanlah perempuan biasa. Gadis itu tidak bisa ditaklukkan oleh preman kroco seperti mereka. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, keduanya sudah tergeletak di tanah, mengerang kesakitan. Yang satu patah tulang di bagian lengan, satunya mengalami dislokasi pada sendi kakinya. Alina berjongkok di samping mereka, menekan lututnya ke dada salah satu pria. "Siapa yang menyuruh kalian?" Tanyanya, mengeluarkan pisau lipat yang sedari ia simpan rapi di balik baju. Pria itu terbatuk, takut takut melihat kilatan tajam ujung pisau yang hampir menyentuh leher. "Ka-kami hanya dibayar. Kami tidak tahu siapa dalangnya." Alina menekan lebih kuat. Darah dari kulit yang tersayat mulai mengalir. "Jangan main-main denganku!" Bentaknya. Namun, sebelum ia bisa mendapatkan jawaban lebih jauh, salah satu pria yang bebas tiba-tiba melemparkan sesuatu—bom asap kecil. Dalam sekejap, gang itu dipenuhi asap putih tebal. Ketika asap mulai menghilang, Alina mendapati bahwa mereka telah melarikan diri. Sial. Mereka cukup terlatih untuk sekadar preman biasa. Tetapi mereka tidak cerdas. Alina yakin seseorang telah membuat rencana ini. Tapi siapa dan untuk apa? Jika tujuannya untuk membunuh, tidak mungkin preman seperti itu yang dikirim. Dengan napas sedikit memburu, Alina kembali ke dalam bar, di mana Revan masih duduk dengan ekspresi kosong, menatap gelas whiskey di tangannya. "Kita harus pergi, Pak" kata Alina, meraih lengannya. Revan menatapnya sekilas sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kau sudah membereskan mereka?" "Sudah, Pak. Tapi saya tidak mendapatkan informasi mengenai tujuan maupun siapa yang mengirim mereka." "Aku." Mata almond Alina mengerjab bingung. "Aku yang mengirim mereka untuk menguji kemampuanmu." Hah! Laki laki licik ini. Alina tersenyum manis mendengar pengakuan tanpa tahu malu Revan. "Apa saya lulus, Pak?" "Ya, aku mengakui kemampuanmu." Revan menepis tangan Alina, mendorong gadis itu menjauh. Lalu berjalan dengan tegas di depan. Alina mengikuti. "Tapi pak, anda jahat sekali. Anda membuat saya bertarung dengan memakai gaun seperti ini. Ah saya khawatir dua pria tadi melihat celana dalam saya." Revan tertawa sinis. "Memangnya kenapa? Setelah kau kalahkan, aku yakin mereka tidak akan berani memandangmu sebagai seorang wanita." "Anda benar, Pak. Lalu bagaimana dengan anda?" Alina maju. Mencegat langkah Revan. Pria itu berhenti dengan tepat, tidak sampai menabraknya. Meskipun sudah menghabiskan sebotol alkohol, Revan memiliki daya tahan yang kuat. Ia tidak mabuk. "Maksudmu?" Tanyanya, menaikkan alis. Alina meraih tangan Revan. Menyentuhkannya di belahan dadanya yang besar, yang kali ini ketat karena gaunnya yang sempit. "Dengan kelicikan anda, anda sudah mengalahkan saya. Membuat saya bermain di telapak tangan anda bahkan saat saya sedang memakai gaun seperti ini." Alina mengangkat ujung gaun merahnya yang terbelah, bukan hanya betis, kali ini lebih naik lagi menunjukkan pahanya yang putih mulus dan berisi. Tidak berhenti di situ, dengan gerakan pelan dan erotis, Alina terus menariknya semakin tinggi. "Berhenti." Cegah Revan. Menahan tangan Alina. Revan menatap aneh melihat tingkah murahan sekretarisnya. Perubahan itu membuat Alina khawatir. Gadis itu langsung tertawa meledek. "Sekarang anda yang kena, Pak! Haa... Saya kan hanya mengerjai anda, kenapa anda serius sekali. Haha... Artinya di permainan ini saya yang menang ya!" Mengerjai? Jadi yang dilakukan gadis ini tadi hanyalah untuk mempermainkannya? "Jangan marah, Pak Revan. Ini cara saya membalas perlakuan anda tadi. Kita impas sekarang." Setelah Revan pergi melewatinya, Alina menggigit bibir. Wajahnya yang semula tertawa, berubah menjadi serius. Ah gawat, ia hampir saja menghancurkan rencananya sendiri. Ia tidak boleh tergesa gesa. Revan belum tertarik padanya sebagai lawan jenis. Alina akan mendekatinya perlahan dan tidak menggunakan cara frontal seperti tadi. Ah ia pikir Revan akan sedikit lengah karena alkohol. Ternyata, laki laki dengan harga diri selangit itu tak mudah ditaklukan, ia seperti gunung es Antartika yang hampir tidak mungkin dicairkan.Bagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya. "Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya. "Tidak selera." "Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan." "Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan. "Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan. "Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama. "Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?" "Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya. Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring
Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana
'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka
Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn
"Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi
"Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa
Revan tidak pernah benar-benar peduli dengan kehadiran orang lain di apartemennya. Ia terbiasa dengan kesunyian, dengan hidup yang hanya diisi pekerjaan dan kesibukan tanpa henti. Namun, entah bagaimana, sejak Alina tinggal di sini, semuanya berubah. Tidurnya lebih nyenyak. Makan dan istirahatnya lebih teratur. Apartemennya yang biasanya sunyi kini terasa lebih hidup. Bukannya Revan tidak sadar akan perubahan ini. Dia hanya memilih untuk mengabaikannya. Alina memang aneh, suka menggoda tanpa malu, tapi tetap saja Revan tidak bisa mengelak pada fakta bahwa wanita itu adalah sekretaris yang luar biasa, Alina bekerja dengan cepat, cekatan, dan selalu memahami apa yang ia butuhkan tanpa banyak bicara. Dan malam ini, Revan kembali merasakan kecekatan wanita itu. Saat ia sedang meeting online dengan beberapa manajer cabang luar negeri, Alina duduk di sampingnya dengan serius mencatat poin-poin penting rapat. Sesekali, dia mengangguk atau menuliskan sesuatu, seolah lebih fokus darip
Alina merebahkan diri di sofa, membiarkan kepalanya tenggelam di bantal empuk. Matanya terpejam, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya tetap sibuk. Sejak percakapan terakhirnya dengan Revan tadi siang, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tatapan pria itu, caranya berbicara… seolah-olah dia tahu lebih banyak dari yang Alina kira. Ia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Ia harus fokus pada tujuannya. Tidak boleh ada yang membuatnya goyah. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan terganggu oleh perasaan asing yang tiba-tiba muncul. Seseorang ada di luar. Alina menegang. Dengan gerakan hati-hati, ia bangkit dari sofa, berjalan mendekati pintu apartemennya. Suara derap langkah samar terdengar di luar, tapi tidak ada yang mengetuk pintu. Siapa? Ia mengintip melalui lubang intip. Jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat sosok yang berdiri di sana. William. Alina menelan ludah. Pria itu berdiri diam, wajahnya tidak terlihat je
Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,