Napas itu memburu, berpadu dengan desir angin malam yang menerobos jendela kamar sempit itu. Di bawah temaram cahaya bulan, tubuh mereka menyatu. Gerakan mereka kaku, canggung, tapi penuh gairah yang membara. Jemari itu menelusuri kulitnya dengan ragu, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Bibirnya bergetar saat membisikkan namanya di antara desahan tertahan.
"Revan…" Sebuah permohonan. Sebuah kepasrahan. Saat itu, dia percaya. Bahwa perempuan ini adalah segalanya. Bahwa malam itu akan menjadi awal dari kisah mereka selamanya. Bahwa cinta pertama tidak akan pernah berakhir. Tapi ia salah. Sebuah takdir dari status yang selama ini ia sembunyikan menariknya menjauh dari pelukan hangat gadis itu. Dan kini, yang tersisa hanyalah bayangan samar. Seakan ada sesuatu yang memisahkan mereka dengan paksa. "Jangan tinggalkan aku…" suara itu kembali terdengar, lemah dan menyedihkan. Revan mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok itu… tapi dalam sekejap, semuanya menghilang. Cahaya meredup. Kehangatan itu lenyap. Dan yang tersisa hanyalah kekosongan. Siapa? Ia menutup matanya, mencoba mengingat. Tapi seperti biasa, hanya ada potongan-potongan yang tidak utuh. Sentuhan lembut, bisikan penuh emosi, dan aroma manis vanilla yang begitu familiar. Tapi wajahnya? Kosong. Sejak kecelakaan itu, ada bagian dari hidupnya yang terasa seperti lubang hitam. Sesuatu yang hilang, tapi dia bahkan tidak tahu apa. *** Alina melangkah masuk ke gedung megah itu dengan kepala tegak, meskipun di dalam hatinya ada badai yang berputar liar. Matanya menatap logo Revan Corp, perusahaan yang kini berada di bawah kendali pria yang dulu pernah ia cintai, dan kini bahkan tak mengingatnya. Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun sejak Revan menghilang dari hidupnya, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Dulu, ia pikir mereka akan selalu bersama, tapi kecelakaan itu mengubah segalanya. Revan lupa siapa dirinya, lalu menikah dengan wanita lain dalam pernikahan bisnis, sementara Alina harus merangkak sendirian untuk bertahan hidup. Dan kini, takdir membawanya kembali. "Dari CV yang saya terima, Anda memenuhi kualifikasi sebagai sekretaris baru CEO." Wanita di hadapannya, HRD perusahaan, meneliti berkasnya dengan ekspresi datar. "Kita akan langsung bertemu dengan Pak Revan. Pastikan Anda bekerja secara profesional." Alina hanya tersenyum tipis. Profesional? Itu akan sulit, karena bagi Alina, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah ajang pembalasan. HRD mengetuk pintu kantor CEO sebelum membukanya. "Silakan masuk." Alina menarik napas dalam, lalu melangkah ke dalam ruangan itu. Dan di sana, duduk di balik meja kayu mahoni, adalah pria yang telah menghancurkan hidupnya. Revan Arkana Alexander CEO tampan itu sedang fokus pada layar laptopnya, tanpa sedikit pun mengangkat kepala. Sosoknya masih sama seperti yang Alina ingat, bahkan mungkin lebih dewasa dan dingin. Jas hitamnya rapi tanpa cela, wajahnya begitu tenang, tapi aura pria itu kini lebih tajam, lebih berbahaya. "Pak Revan, ini sekretaris baru Anda," ucap HRD. Perlahan, Revan mengangkat wajahnya. Sejenak, mata mereka bertemu. Dan di detik itu, jantung Alina seolah berhenti berdetak. Apakah dia akan mengenalinya? Namun, yang keluar dari mulut pria itu justru… "Siapa namamu?" Dada Alina terasa sesak. Ingin rasanya tertawa pahit. Tujuh tahun lalu, pria ini pernah bersumpah akan mencintainya seumur hidup. Dan kini, dia bahkan tak tahu siapa dirinya. "Alina Delora, Pak." jawabnya, sembari meletakkan berkas data diri di meja CEO perusahaan elektronik ternama di negara ini. Revan membukanya. Membacanya dengan sekilas. Laki laki itu hanya fokus kepada bidang keahlian sekretaris barunya. "Bela diri apa yang kau kuasai?" "Taekwondo, Pak." Mata Revan menatapnya tajam, menyelidik. Sorot matanya mengintimidasi, seolah menelanjangi setiap inci keberadaannya. "Taekwondo?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Alina tetap berdiri tegak, menjaga ekspresinya tetap netral. "Tidak banyak wanita yang menguasai bela diri, apalagi mendaftar sebagai sekretaris," lanjut Revan. "Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam dunia bisnis, Pak," jawab Alina datar. "Dan saya lebih suka jika bisa melindungi diri sendiri." Revan menyandarkan punggungnya ke kursi. Sudut bibirnya sedikit terangkat, tapi matanya tetap tajam. "Bukan hanya diri sendiri," ujarnya pelan. "Mulai sekarang, kau juga harus melindungiku." Alina menahan napas. Tangannya mengepal tanpa sadar. Sial, permainan ini dimulai lebih cepat dari dugaannya. "Maaf, Pak?" Revan melipat tangannya di atas meja. "Aku tidak hanya membutuhkan sekretaris biasa. Ancaman terhadap perusahaanku semakin besar, dan aku tidak bisa mempercayai banyak orang. Aku butuh seseorang yang bisa bekerja di dekatku, mengatur jadwalku, sekaligus memastikan aku tetap hidup. Karena itulah, meskipun kau lulusan universitas biasa dengan nilai dan prestasi biasa. Kau punya keunggulan yang tidak dimiliki calon lainnya." Alina mengeraskan rahangnya. Sebuah ironi. Pria yang dulu menghancurkan hidupnya, yang melupakannya begitu saja, kini meminta perlindungannya? Jika dulu ia hanya ingin mendekati Revan untuk balas dendam, kini keadaannya lebih menguntungkan. Dengan posisinya sebagai sekretaris sekaligus bodyguard, ia bisa masuk lebih dalam ke dalam lingkaran pria itu. Ia bisa mengendalikan permainan ini. Dengan senyum kecil, ia menjawab, "Saya mengerti, Pak. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan baik." Revan menatapnya sejenak, sebelum mengangguk puas. "Bagus. Mulai besok, kau akan bekerja lebih dekat denganku. Jangan kecewakan aku, Alina. Dan, selain bela diri, belajarlah menggunakan pistol. Aku sendiri yang akan mengajarimu setiap weekend. Kau tidak keberatan kan bekerja 24/7 untukku?!" "Tentu saja, Pak. Sekarang saya tahu kenapa gaji saya besar sekali." Revan membalas dengan senyum congkak. Hanya satu ujung bibirnya yang terangkat. "Sekarang pergilah. Persiapkan dirimu untuk esok hari." Alina membungkuk sedikit, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan ekspresi tanpa cela. Tapi begitu pintu tertutup, ia menarik napas panjang. Sebuah permainan berbahaya baru saja dimulai. Dan kali ini, ia tidak akan menjadi pihak yang kalah.Bagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya. "Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya. "Tidak selera." "Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan." "Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan. "Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan. "Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama. "Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?" "Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya. Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring
Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana
'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka
Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn
"Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi
"Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa