Hah? Sedikit dermawan? Sayang sekali. Ternyata dia bukan idamanku. Padahal wajahnya sangat tampan. Tetapi, kalau pelit, ogah!Aku menarik tangan dari genggamannya. Maleslah, naksir cowok pelit! Misalnya laki-laki itu paling tampan sedunia pun, kalau dia pelit, bagiku tetap jelek!! Dalam hidupku saat ini hanya uang, uang dan uang! Urusan cinta nomor sekian. Rasa sakit hatiku karena dikhianati pacar dan tikung sahabat sendiri, cukup membuatku malas jatuh hati pada pria. Sudahlah, aku harus fokus mengumpulkan uang sebanyak mungkin supaya keluargaku di desa dinaikan harkat martabatnya dan dihormati oleh Warga desa. Aku harus fokus! fokus!“Kalau udah selesai, saya pamit ya, Pak.”“Oh iya silakan. Saya harap pikiran Anda tidak dibayangi oleh paras tampan yang saya miliki. Tidur Anda tetap nyenyak, selera makan Anda tetap enak.”Aku paksakan bibir ini tersenyum walaupun sebenarnya agak mual mendengar celotehan Pak Bambang.“I-iya, Pak. Mari Pak, permisi.”Keluar dari ruangan itu, handphone
Kupandangi bergantian dua lelaki yang sedang saling beradu tatap. Raut wajah lelaki muda itu terlihat geram, tangan kanannya mengepal. Sedangkan Pak Sutiyoso dipenuhi kegugupan.“Rahasiakan apa yang kamu lihat! kalau tidak ingin namamu dicoret dari daftar ahli waris," desis Pak Sutiyoso mengancam. Lalu menarik lenganku agar berjalan menjauhi lelaki muda itu.Mungkinkah dia anaknya? Tapi kenapa tidak ada keramahan dan keakraban sama sekali? Atau mungkin karena melihatku menggandeng tua bangka ini? Makanya laki-laki itu sangat geram. Tapi untunglah tidak ada caci maki dan amarah yang ditujukan padaku.Tiba di dalam mobil, tak sabar ingin aku bertanya perihal laki-laki berkulit cokelat sawo matang itu.“Dia anak tiri, Om," jawab laki-laki yang sedang mengalami masa puber kesekian saat kutanya siapa laki-laki tadi. “Jadi, dulu itu Ratna Ayu berstatus janda waktu Om nikahi?” Aku mempertegas status wanita yang tempo hari melabrak kami di pusat perbelanjaan.Pak Sutiyoso mengangguk. Lalu, m
Aku terkejut mendengar ungkapan Pak Sutiyoso. Berasa dilempar kotoran wajahku ini. Di hadapan banyak orang dia mengajakku menikah secara terang-terangan.Bandot tua tak tahu diri! Mana mau aku yang masih muda dan cantik bersedia menikah dengannya? Dia itu pantasnya jadi Bapakku!“Gimana, Lan? Mau jadi istri Om, 'kan” Aduuh ... Aku bingung harus memberi jawaban apa. Satu sisi tidak mau punya suami yang sudah tua bangka. Sisi lain, aku masih butuh uangnya. Kalau aku tolak, kira-kira Pak Sutiyoso akan menjauh tidak, ya?“Hmm ... maaf, Om. Wulan gak mau dinikahi laki-laki yang masih punya istri. Gak mau jadi istri kedua. Gak mau dicap pelakor," selorohku beralasan. Setidaknya untuk sekarang itulah jawaban yang paling tepat. Karena kutahu, bandot tua ini tidak akan menceraikan Ratna Ayu. Aset kekayaannya sudah atas nama wanita licik itu. Pak Sutiyoso pasti tak mau hidup melarat. Walaupun ia pernah bilang, masih ada harta kekayaannya yang tidak diketahui oleh Ratna Ayu.“Tapi, Lan ... Om
Kenapa hidupku selalu dihina orang?? Kenapa, ya Tuhan?? Tidak di Desa, tidak di sini, selalu saja dihina!Alasanku mendekati tua bangka itu cuma ingin uang, bukan ingin jadi simpanan om-om apalagi istrinya!Kulewati kerumunan orang dengan setengah berlari. Tak mempedulikan tatapan tanda tanya mereka.Untunglah, begitu kaki menjejakkan aspal di pinggir jalan, sebuah taksi tanpa penumpang melintas. Tanganku melambai memberhentikan taksi tersebut.“Jalan, Pak," titahku pada supir taksi, begitu duduk di jok penumpang.Air mata semakin mengalir deras. Kenangan pahit yang menimpaku seolah menari-nari di pelupuk mata.Ditambah omongan orang-orang yang mengiraku sebagai simpanan Om-om, semakin pedih hati ini. Meskipun itu suatu kebenaran, kalau aku seorang wanita penggoda simpanan om-om, tetapi rasanya hatiku sangat sakit mendengar orang lain men-cap-ku demikian.Tak kuhiraukan ponsel yang berdering beberapa kali. Pasti dari Pak Sutiyoso. Apa benar aku adalah simpanan bandot tua itu? Tidak!
“Kenapa belum bisa, Neng?” tanya Ambu. Terdengar nada kesedihan dibalik suaranya.“Ambu ... suatu saat Neng pasti ninggalin dia. Kalau sekarang belum saatnya. Kita harus kaya raya dulu, Ambu.”Memang itulah alasan utamaku, ingin menjadi kaya raya dengan mengeruk sebanyak-banyaknya uang yang dimiliki si tua bangka. Terkesan jahat? Memang! tetapi, aku tidak ada cara lain. Paling tidak sampai aku mengetahui berapa gaji bekerja di perusahaan itu. Jika besar, barulah aku meninggalkan bandot tua itu.Terdengar helaan napas di ujung telepon. Aku membayangkan raut kesedihan di wajah Ambu.“Ya sudah, Ambu tahu, sekarang mah Neng sudah dewasa. Suah bisa memutuskan pendapat sendiri. Ambu percayakan saja sama, Neng.” Suara Ambu mulai melemah. Ya, aku tahu, ibu mana yang tidak khawatir melepaskan anak gadisnya merantau jauh ke ibu kota seorang diri. Apalagi Ambu tahu kalau aku sering sekali dekat dengan Pak Sutiyoso. Laki-laki tua yang mungkin usianya tak berbeda jauh dengan Abah. Ambu bersikap
Meskipun diantar Pak sutiyoso, kali ini aku memilih belanja seorang diri. Lelaki tua bangka itu kusuruh istrahat saja di mobil. Aku benar-benar tak mau lagi dibilang wanita simpanan! Tak lupa ia memberikan satu kartu kreditnya padaku.Berjalan seorang diri di tenpat umum, membuatku lebih leluasa bergerak. Menjadi diriku sendiri. Tidak perlu berakting manja-manjaan pada Pak Sutiyoso.Pertama yang kulakukan adalah membeli pakaian. Mulai membeli pakaian untuk Ambu, Abah, hingga pakaian untuk adik-adikku.Beraneka macam jajanan dan buah-buahan pun tak luput dari jamahan.Hampir tiga jam mondar mandir di pusat perbelanjaan. Sudah terhitung tiga kali dalam seminggu aku menyambangi tempat ini. Tapi baru sekarang merasa benar-benar happy.Selesai berbelanja, Pak Sutiyoso berinisiatif mengantarku ke salon ternama. “Biar kamu tambah cantik, Lan. Orang-orang desa pasti tambah kagum melihat kesuksesan Wulan di kota.” Begitu yang dilontarkan Pak Sutiyoso.Idenya kali ini sungguh berlian. Kedata
Ceu Odah dan Ceu Wati terkejut mendengar bentakanku. Mereka saling pandang satu sama lain. Aku menyunggingkan senyum sinis. Bahagia rasanya dapat membalas perlakuan mereka beruda. Ambu melirik ke arahku, menahan tawa.“Jangan marah atuh, Neng ... kita mah cuma becanda," ujar Ceu Wati menyenggol lengan Ceu Odah. Mungkin mereka tersinggung tetapi aku tidak peduli. Terpenting bagiku, mereka tidak boleh menghina dan merendahkan kami lagi.Kulirik Ambu, bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum yang telah lama tak kulihat.“Ya udah atuh, Ceu. Kita pulang saja. Kasihan Wulan capek, mau istrihat.”"Tunggu!"Aku menghentikkan langkah mereka.“Aya naon, Neng? (Ada apa, Neng?)” tanya Ceu Wati, tersenyum.“Aku ingat, Ambu pernah bilang. Katanya punya hutang sama Ceo Odah dan Ceu Wati.” Tiba-tiba teringat perkataan Ambu waktu dulu.“Iih ... gak apa-apa. Gak usah dibayar. Cuma sedikit. Lagian itu kan udah lama. Ceu Odah udah ikhlasin.” Aku sangat yakin seratus persen, Ceu Odah hanya berpura-pura. M
“Aa!!!” Sebuah teriakan yang membuat aku, Ambu, dan Cecep menoleh ke sumber suara. Rupanya si Minah berdiri sambil menggendong bayi tak jauh dari kami.“Bukannya ngojek, malah ngobrol di jalan!!” hardik Minah saat berada di hadapanku.“Ini mau ngojek, Min," sahut Cecep datar. Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Min??” Mata Minah mendelik. “Biasanya juga panggil, Neng!!” sambung Minah yang mengenakan daster lusuh sambil memukul lengan Cecep.“Ambu, pergi yuk! Neng teh gak mau lihat para pengkhianat lagi berantem," ucapku ketus melirik pada Cecep dan Minah.Dua pasang mata itu menatapku bersamaan.“Maksud kamu teh siapa yang pengkhianat?” tanya Minah, menatapku dengan sorot mata tajam. Aku balas menatapnya dengan tatapan serupa. Dia pikir aku takut? No way!"Aku dan Ambu tak menggubris pertanyaan istri Cecep itu. Melanjutkan langkah menuju warung Teh Mirna.Warung Teh Mirna sedang banyak pembeli. Ini saatnya aku pamerkan segala yang kupunya dan membalas perlakuan tidak baik m