Beranda / Rumah Tangga / Wanita Penggoda / Perkenalan Menggetarkan

Share

Perkenalan Menggetarkan

Penulis: Syatizha
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-07 20:09:10

“Maaf, Mbak ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya?” tanyaku sembari menelisik perut buncitnya. Ya ampun gimana kalau wanita ini benar istri lain tua bangka itu? Terus kasarin aku, jambak-jambak atau menampar pipi ini? Gak mungkin aku tega melawannya.

“Kenalkan, saya Vera. Sekretaris Pak Dewa.” Ucapnya menjawab segala pertanyaan dalam pikiranku. Ah ... lega rasanya ternyata sekretarisnya Pak Dewa. Aku menyambut uluran tangan wanita yang mengenalkan dirinya Vera.

“Ooh ... Mbak Vera? Iya Pak Dewa sempat menyebut nama Mbak waktu saya di kantor. Mari Mbak, silakan masuk.”

Aku mempersilahkan wanita yang mengenakan tas berwarna putih gading itu dengan ramah. Untunglah dugaanku salah. Aku kira istri lain Pak Sutiyoso.

“Duduk, Mbak. Saya ambilkan air dulu.” Wanita itu menurut. Menyimpan tas di atas meja.

Dari dapur kuperhatikan wanita yang usinya sekitar tiga puluh tahunan dengan seksama. Penampilannya sederhana tapi sangat elegan. Kelihatan berkelas dan berpendidikan. Dan sepertinya dia orang yang baik.

“Diminum Mbak airnya.” Aku meletakan secangkir teh manis di hadapan Vera.

“Makasih.” Vera mengambil cangkir yang berisi teh manis lalu menyesapnya.

“Kedatangan saya ke sini atas perintah Pak Dewa. Beliau menyuruh saya ngajarin kamu tentang segala pekerjaan yang akan nanti kamu lakuin sebagai sekretaris beliau," jelasnya dengan lembut.

“Oh, begitu.”

“Dua buku dan berkas-berkas yang Pak Dewa kasih ke kamu coba bawa ke sini," ujarnya. Aku pun masuk kamar mengambil dua buku dan berkas-berkas tersebut. Kemudian, keluar kamar bersiap mempelajari penjelasan Mbak Vera.

“Sudah kamu pelajari?” tanyanya saat kuletakkan barang-barang itu. Aku mengangguk seraya tersenyum. "Sudah, Mbak.”

“Ada yang tidak dimengerti?” tanyanya sambil membolak-balikkan buku tebal yang beberapa waktu lalu membuat kepalaku pening tujung keliling.

“Banyak, Mbak. Hehe," jawabku menggaruk-garuk kepala, nyengir kuda.

“Ya sudah sini saya jelasin. Kamu harus mengerti semuanya. Karena nanti kamulah yang menggantikan saya.” Aku tercenang mendengar penuturan. Begitu banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan dalam waktu dekat. Semoga saja otakku dapat menerima segala penjelasan tentang pekerjaanku nanti.

“Mbak, mau cuti berapa bulan?” Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.

“Gak cuti. Saya langsung resign.”

"Resign? tepatnya kapan, Mbak?" Aku mendesak dengan pertanyaan. Soalnya kalau resign dalam waktu dekat berarti aku harus lebih giat lagi mempelajari seluk beluk pekerjaannya.

"Kalau kamu sudah menguasai, saya akan langsung resign."

Aku manggut-manggut. Ingin bertanya alasannya tapi takut tak sopan.

“Halaman mana yang gak kamu mengerti?” Aku beringsut agar duduk lebih dekat dengannya.

Mbak Vera ini selain ramah, dia juga cerdas. Tutur bahasanya sangat santun.

Setelah kutunjukkan beberapa halamam yang tak dimengerti, dengan sabar Mbak Vera menjelaskannya hingga aku benar-benar mengerti.

Selain mengajarkanku materi, Mbak Vera juga memberitahuku cara bicara dan bersikap.

Dia juga tak sungkan menceritakan pengalamannya selama bekerja di kantor Pak Dewa.

“Gimana, Lan? Ada yang belum kamu mengerti?”

“Sudah, Mbak. Makasih banyak.”

Mbak Vera meminum jus mangga yang baru beberapa menit lalu aku buatkan.

Senyuman menghiasi wajah putihnya.

“Saya tuh sebenarnya betah kerja sama Pak Dewa. Beliau orangnya sopan, ramah, dermawan juga. Tapi suami ngelarang soalnya kondisi saya sekarang lagi hamil. Takut saya kecapekan. Apalagi anak pertama saya usianya baru tiga tahun," papar Vera seolah mengerti akan apa yang ingin aku tanyakan. Syukurlah kalau Pak Dewa sifatnya tidak sama dengan Sutiyoso.

“Oh begitu. Kalau boleh tau, hamilnya udah berapa bulan, Mbak?” Sebenarnya aku hanya berbasa-basi.

“Delapan bulan.” Tebakanku meleset lagi. Aku pikir sudah sembilan bulan.

“Wulan ini berasal dari daerah mana?” Giliran Mbak Vera yang bertanya.

“Saya orang desa, Mbak. Ini kerja juga sambil kuliah. Tapi saya semangat pengen sukses. Biar jadi orang terpandang di desa," sahutku apa adanya. Memang tujuanku di sini tiada lain ingin mengangkat derajat keluarga dengan memiliki harta yang berlimpah.

“Bagus, manusia itu memang harus punya ambisi. Ambisi yang positif.”

Sambil mengelus perutnya Mbak Vera meneguk kembali minuman yang aku hidangkan.

“Maaf Wulan, kalau bicara saya tidak berkenan. Kamu itu cantik, jangan pernah mau dimanfaatin laki-laki. Apalagi di kota besar seperti di sini. Harus pandai memilih teman.” Pesan Mbak Vera menohok hatiku. Apa mungkin Mbak Vera mengetahui pekerjaanku sebagai wanita penggoda?

“Iya, Mbak. Makasih banyak," jawabku sedikit gusar.

“Kalau gitu saya pulang dulu. Maaf merepotkan.”

“Enggak kok Mbak. Justru Wulan yang repotin Mbak," kataku mengelak ucapannya.

“Gak apa-apa," ujarnya sembari merangkul pundakku.

“Mbak pamit ya, Lan. Semoga sukses.”

“Iya, Mbak. Terima kasih."

Mbak Vera telah keluar apartemen. Aku kembali membuka buku-buku dan juga file yang masih tergeletak di atas meja.

***

Hampir dua jam lamanya aku menjalani test. Test tulisan dab lisan. Walaupun test lisannya agak sedikit tidak nyambung tapi tak apalah yang penting aku bisa menjawab. Lumayan membuatku pening dengan pertanyaan-pertanyaan yang agak membingungkan. Untung saja yang mengujiku itu laki-laki tampan.

Harusnya Mbak Vera yang mengujiku, tapi katanya beliau sudah tidak bekerja lagi. Sudah mengajukan permohonan resign.

“Baiklah, saya rasa cukup ujiannya. Nanti Anda tunggu telepon dari perusahaan. Karena saya bukan yang menentukan diterima atau tidaknya Anda di sini.” Aku masih termangu mendengar suara bas laki-laki yang duduk di hadapan.

“Hei, Anda dengar tidak?” Aku terlonjak saat lelaki yang di depan melambaikan tangan tepat di wajahku.

“Iya, Pak. Saya dengar.”

“Kenapa Anda lihatin saya seperti itu?”

“Oh, gak apa-apa.” Astaga kikuk aku dibuatnya. Kulirik lagi laki-laki itu, tatapan kami beradu pandang. Aku merunduk malu-malu.

Ya Tuhan, aku gak mau jatuh cinta. Wulan tugas kamu bukan mencari cinta, tapi mencari harta.

Pikiranku yang lain berbicara. Kuembuskan napas menghalau rasa gugup.

Laki-laki berkulit putih itu membenarkan letak dasi, punggungnya bersandar di sofa.

“Jangan malu-malu, kamu mengakui kan kalau aku ini laki-laki yang berparas tampan?”

Aku mendongak, menatapnya kembali. Sial! Bagaimana dia bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan?

“Iya 'kan? Kalau saya ini tampan?” Ia bertanya kembali. Dilempar pertanyaan kedua, mau tak mau aku mengakuinya.

“I-iya, Pak," sahutku mengulum senyum. Sumpah, jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya aliran darahku memanas seketika.

“Gak usah malu-malu. Hampir semua wanita di muka bumi ini mengakui ketampanan saya. Oh iya kita belum kenalan, atau jangan-jangan Anda udah tahu nama saya?”

Ya Tuhan, percaya diri sekali lelaki ini? Tetapi, apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah. Dia memang tampan.

“Belum, Pak. Saya belum tahu nama Bapak.”

Kemudian ia berdiri sambil mengulurkan tangan, dengan gemetar kusambut uluran tangannya.

“Perkenalkan, nama saya Bambang Hermawan. Laki-laki tampan, mapan, dan ... sedikit dermawan.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status