Home / Rumah Tangga / Wanita Penggoda / Kedatangan Seorang Wanita

Share

Kedatangan Seorang Wanita

Author: Syatizha
last update Last Updated: 2022-11-04 12:12:09

“Sama-sama, Sayang ....”

Hidung Sutiyoso kembang kempis mendapat pujian dariku. Sekali-kali memuji supaya dia bertambah baik dan selalu memenuhi permintaanku. Aku yakin, pasti sudah lama sekali dia tidak mendapat pujian dari seorang wanita.

“Ya udah, Om tunggu, ya? Wulan mandi dulu.” Bukannya menjawab, laki-laki tua itu malah menelan ludah, lidahnya menjilat bibir atas.

Pasti otaknya sedang mesum. Dasar bandot tua!

“Eh, kok malah bengong? Mau nungguin gak?” tanyaku mendelik ke arahnya. Dari tadi kedua mata Sutiyoso tak lepas memandangku.

“I-iya, Lan. Om, tunggu,” sahutnya dengan menyeringai. Idih, tua Bangka genit! Kalau bukan karena uang, malas sekali mendekatinya.

Aku pun beranjak mengambil handuk di kamar dan membawa pakaian ganti. Kemudian Menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Kalau keluar hanya dibalut handuk, pasti kelihatan dari ruang tamu. Tak sudi tubuhku dilihat oleh Pak Sutiyoso.

Selain dikunci, pintu kamar mandi aku tutup dengan ember yang diisi penuh. Ember itu aku letakkan di dekat pintu. Takut-takut kalau si Tua bangka mengintip.

Selesai mandi aku menghiasi diri. Mengenakan kaos dan rok ketat selutut.

Kupandangi tubuh ini dari pantulan kaca. Ternyata aku begitu cantik. Kulit putih, hidung mancung, pipi tirus, dan bibir tipis. Pantas saja banyak para pelanggan karaoke selalu ingin aku dampingi.

Aku melenggang keluar dengan memakai sepatu high heels yang tempo hari dibelikan Pak Sutiyoso.

Melihat penampilanku, mulut Pak Sutiyoso ternganga.

“Om, cepetan. Mau aku kunci rumahnya.”

Bergegas tua bangka itu keluar. Menuju mobil mewahnya yang terparkir di sisi jalan.

***

Lagi-lagi Pak Sutiyoso tidak diantar supir pribadi. Ia memilih untuk menyetir sendiri. Matanya tak henti-henti melirik kedua pahaku.

Entah apa yang berada di otaknya.

“Matanya lihat ke depan, Om!” titahku ketus. Dia terlihat kikuk, lalu terkekeh.

“Maaf, Lan. Paha Wulan mulus banget. Bikin Om gak fokus nyetir.”

Aku segera mengambil tas yang tersimpan di jok belakang untuk menutupi kedua paha.

Selama perjalanan hanya keheningan di antara kami. Aku lebih asyik bermain ponsel. Membuka F******k, melihat perkembangan orang-orang desa. Ya, sekarang aku punya handphone mewah. Benda canggih ini hadiah dari Bang Yos karena aku telah membuat tempat karaokenya tambah ramai.

Aku menscroll beranda. Status Minah melintas. Memang aku sengaja berteman dengan orang-orang desa di media sosial. Supaya dengan mudah memamerkan kesuksesanku.

“Kawajiban salaki mere nafkah ka pamajikan. Lain pamajikan nu mere nafkah ka salaki. (Kewajiban suami memberi nafkah kepada istri. Bukan istri yang memberi nafkah kepada suami).”

Rumah tangga si Minah sepertinya tidak harmonis. Pasti karena krisis keuangan. Aku sangat bahagia melihat orang yang pernah menghinaku hidupnya sedang mengalami kesulitan.

“Kita sudah sampai, Lan. Bentar ... jangan turun dulu. Biar Om yang bukain pintunya.”

Halah ... sok romantis banget sih?! Dia pikir aku akan terkesan? Tidak akan pernah.

Setelah turun dari mobil, Pak Sutiyoso menggenggam tanganku, namun aku tepis.

“Jangan pegang-pegang! Belum tentu aku cocok sama apartemennya!” ucapku masih dengan nada ketus.

Pak Sutiyoso hanya pasrah menerima perlakuan buruk dariku.

“Apartemen ini baru dua bulan Om beli. Biasa tempat Om males pulang ke rumah.” Pak Sutiyoso mulai buka suara. Aku masih tetap diam.

Pintu apartemen terbuka. Ruangannya ternyata luas. Ada mini bar di dekat dapur. Bibirku tak henti menyunggingkan senyum.

Aku melihat-lihat sekeliling. Luar biasa bagusnya. Seperti apartemen yang sering aku lihat di film-film.

“Kamarnya ada dua, Lan. Kamar mandi ada di dalam. Yang ini kamar utama, sebelah sana kamar tamu. Atau buat keluarga Wulan nanti kalau mau menginap.” Laki-laki bertubuh tambun itu menjelaskan.

Apa aku sedang mimpi? Kucubit pipi. Ah ternyata tidak. Ini nyata! Sangat nyata! Tua bangka ini pasti serius akan memberikannya padaku.

“Om serius kan kalau ini buat Wulan?” tanyaku meyakinkan lelaki bertubuh gempal. Menatapnya dengan tersenyum manis.

“Serius. Yang penting Wulan gak marah lagi. Mau nemenin Om kayak kemarin-marin.” Aku melebarkan senyum, lalu mulai berakting. Pura-pura manja. Bergelayut di lengannya.

“Makasih ya, Om. Om baik deh!”

Satu kecupan berhasil mendarat di puncak kepala tanpa sempat aku mengelak. Tak apalah, yang penting sekarang aku tidak tinggal lagi di kontrakan kumuh. Kontrakan yang dihuni oleh sekawanan emak-emak rempong.

***

Dua hari sudah aku menghuni apartemen Pak Sutiyoso. Barang-barang milikku yang ada di kontrakan sudah dipindahkan.

Kini tidak tidur lagi di kasur lipat, tapi di ranjang ukuran king size. Luar biasa hidupku! Perubahan yang fantastis.

Tak lupa aku melakukan selfi, mengupload ke beberapa media sosial.

Di salah satu media sosial beragam komentar dari orang-orang desa memenuhi postinganku berupa beberapa foto dengan gaya berbeda.

“Wooww ... Wulan tambah geulis wae. (Wulan makin cantik aja.)” Komentar Dedi, Laki-laki yang dulu pernah membully. Dia bilang aku geulis? Iyalah ....

“Itu rumah Wulan yang baru, ya?” Lilis, anak Teh Mirna ikutan komentar.

“Uluh-uluh ... ternyata Wulan beneran sukses. Kerja di kantor apa, Lan?”

Komentar-komentar itu tak satupun aku balas. Dulu saja, tak pernah sudi menyapaku apalagi bertanya. Giliran aku mulai terlihat sukses, barulah mereka sok ramah. Iiiihh sorry ....

Sedang asyik bermain ponsel, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.

Aku pun bangkit memeriksa siapa orang yang datang.

“Maaf, Mbak. Mau ketemu siapa ya?” tanyaku ramah, menelisik penampilan wanita yang berdiri di depanku

Wanita yang belum aku ketahui namanya itu rupanya sedang hamil. Mungkin sudah tujuh bulan.

“Saya ke sini mau bertemu dengan pemilik apartemen ini, namanya Wulandari. Apakah Anda yang bernama Wulandari?

Kok wanita ini tahu namaku? Siapa dia? Apa jangan-jangan istri lain Pak Sutiyoso?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penggoda   Kembali ke Profesi Awal

    Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi

  • Wanita Penggoda   Ingat Mantan

    Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me

  • Wanita Penggoda   Gak Ngerti

    Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa

  • Wanita Penggoda   Keceplosan

    “Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A

  • Wanita Penggoda   Obat

    “Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili

  • Wanita Penggoda   Cewek Bujang Lapuk

    Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status