Share

BAB 7 | Pelampiasan Emosi

Ganesha keluar dari mobilnya, kemudian membuka pintu mobil di sisi kiri. Ia membantu Geisha untuk turun dari sana. Setelahnya, pria itu berjongkok di hadapan gadis tersebut. "Cepat, naik ke punggungku!"

Geisha ingin menolak tawaran pria tersebut. Namun, tubuhnya benar-benar lemas dan pandangannya sedikit berkunang-kunang. Akhirnya, meski dengan perasaan ragu, ia naik ke punggung Ganesha.

Pria itu berdiri dengan menggendong tubuh Geisha. Ia menutup pintu mobil dengan kakinya, kemudian sedikit berlari masuk ke dalam ruang IGD. Hujan sudah berhenti. Namun, rasa panik yang disebabkan oleh gadis ini belum juga reda.

"Dokter, tolong!" pekik Ganesha saat ia telah mencapai ruang IGD.

Beberapa orang yang tampak berjaga di dalam area tersebut pun lantas mendekati pria itu dengan langkah tergopoh-gopoh. "Ada apa, Tuan?"

"Ada apa, ada apa! Kau tidak lihat, aku membawa orang sakit?!" ketus Ganesha, antara kesal bercampur panik.

"B-baringkan di sini." Seorang pria berpakaian serba putih menunjuk pada sebuah brankar di salah satu bilik yang kosong.

Ganesha menurunkan tubuh Geisha perlahan, dibantu oleh seorang perawat wanita. Ia memerhatikan bagaimana dokter tersebut mengeluarkan stetoskopnya, kemudian menempelkannya pada area dada dan perut Geisha yang terbalut kaos kebesaran milik Ganesha.

Seorang perawat memeriksa suhu tubuh Geisha dengan termometer digital. "Tiga puluh delapan koma enam derajat."

"Suhu tubuhnya cukup tinggi," ucap sang dokter.

"Dia sakit apa?" tanya Ganesha masih dengan raut wajah khawatirnya.

"Perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. Kami akan memeriksa sampel darahnya. Tuan bisa melakukan pendaftaran di bagian pendaftaran," saran dokter tersebut.

Ganesha mengangguk. Ia pun segera menuju tempat yang dimaksud oleh dokter tadi. Meninggalkan Geisha yang selanjutnya akan diambil sampel darahnya.

"Aku ingin mendaftarkan pasien." Ganesha berdiri di depan loket pendaftaran.

"Baik, Tuan. Ada tanda pengenal?" tanya petugas di sana.

Ganesha menepuk keningnya karena baru menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki tanda pengenal milik Geisha. Dirinya bahkan tidak tahu nama lengkap gadis itu.

"Tulis saja namanya. Geisha Adventius." Adventius adalah nama panjang Ganesha.

"Tempat dan tanggal lahir?" tanya petugas itu lagi.

"Astaga. Apa itu penting?! Kau akan mengucapkan selamat ulang tahun padanya nanti?" Ganesha kembali dibuat kesal. Ia sedang panik, kenapa orang-orang di rumah sakit tidak bisa melontarkan pertanyaan yang lebih berbobot?

"Ini prosedur, Tuan."

"Aku tidak tahu!"

Petugas wanita itu menghela napas. "Apa hubungan Anda dengan pasien?"

"Dia pelayanku! Maksudku– dia bekerja di tempatku! Sudahlah! Cukup sebutkan berapa yang harus kubayar!" dengus pria itu.

Kemudian, petugas tadi mencatat data pasien seadanya. Itu karena Ganesha terus-terusan mengatakan tidak tahu. Jika ini bukan soal kemanusiaan, tentu saja Ganesha akan diusir dari tempat ini.

Ganesha menyodorkan beberapa lembar uang untuk biaya pendaftaran. Ia meninggalkan loket pendaftaran begitu saja, tanpa menunggu kembalian uangnya. Pria kaya itu tidak peduli. Yang terpenting, ia harus segera mengetahui kondisi terkini dari Geisha.

"Dokter! Apa dia sudah diperiksa?" tanya pria itu kepada dokter yang baru saja selesai memasangkan jarum infus ke tangan Geisha.

"Sudah. Tapi, kami sarankan untuk rawat inap sembari menunggu hasil laboratorium keluar."

"Kira-kira, dia sakit apa?"

"Kemungkinannya adalah febris."

"Apa itu? Apa berbahaya?" Ganesha melotot tajam memandangi dokter tersebut.

"Hanya demam, Tuan."

Seorang perawat mendorong brankar yang ditempati oleh Geisha. Membawa gadis itu ke sebuah bangsal rawat inap, diikuti oleh Ganesha dari samping ranjang pasien tersebut.

Ganesha dan perawat tadi sedikit bercakap-cakap sebelum akhirnya perawat wanita itu keluar meninggalkannya bersama Geisha di dalam kamar rawat inap. Pria itu memandangi wajah gadis yang sudah kembali tertidur tersebut. Ia lantas menghela napas panjang. Sedikit perasaan lega menelusup relung hatinya.

"Gadis ini ... benar-benar menyusahkanku."

***

Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Geisha sudah diizinkan pulang oleh dokter. Keadaan gadis itu sudah jauh lebih baik sejak kemarin sore Ganesha menjenguknya.

Selama tiga hari ini, Ganesha meminta seseorang untuk menjaga Geisha di rumah sakit. Ia tidak mungkin dua puluh empat jam penuh menjaga gadis itu. Dirinya memiliki kesibukan lain.

Siang ini, Ganesha baru saja tiba di rumah sakit setelah mendapat kabar dari anak buahnya, bahwa Geisha sudah boleh pulang. Pria itu berjalan melewati lorong rumah sakit yang akan membawanya menuju ruang rawat inap Geisha.

Di tengah perjalanannya, ia melihat sosok wanita yang tak asing baginya. "Sandra?"

Ganesha masih mencoba meyakinkan dirinya, apakah itu benar kekasihnya atau bukan. Lalu, melihat seorang pria yang duduk di samping wanita tersebut, membuat Ganesha yakin bahwa wanita itu adalah Sandra. Ia sedang bersama Ray, yang dikenal Ganesha sebagai sahabatnya.

"Kurang ajar," gumam Ganesha seraya berniat menghampiri kedua orang yang tengah duduk di dekat ruang pemeriksaan kandungan itu. Tangannya terkepal kuat. Ia melangkah dengan kasar, hingga tak sengaja menabrak seseorang.

"Oh!" pekik orang tersebut.

"Maafkan aku," ucap Ganesha. Melihat orang itu baik-baik saja, ia lantas berniat untuk kembali mendekat ke bangku yang ditempati oleh Sandra dan Ray. Namun, ketika Ganesha kembali melihat ke arah bangku tersebut, kedua orang yang dikenalnya itu sudah tidak berada di sana.

Hal itu membuat emosi Ganesha meluap. Kemudian, karena mengingat tujuannya datang ke rumah sakit adalah untuk menjemput Geisha, maka ia putuskan untuk segera menuju kamar gadis itu.

Ganesha sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika bertemu dengan Geisha. Ia sibuk bergelut dengan pikirannya yang sangat yakin bahwa kekasihnya berselingkuh di belakangnya.

Pria itu segera membawa Geisha pulang dengan mobilnya, setelah sebelumnya menyelesaikan segala administrasi kepulangan dari rumah sakit. Ganesha bahkan berkali-kali hampir menabrak kendaraan di depannya karena ia menyetir dengan penuh emosi.

Geisha berkali-kali memekik dan ketakutan dengan cara menyetir Ganesha. Namun, pria itu sama sekali tidak memedulikannya.

Sesampainya di apartemen, Ganesha melepaskan jas yang sejak tadi dikenakannya. Ia melemparnya dengan kasar ke atas sofa.

"Apa ... kau kesal karena aku merepotkanmu?" tanya Geisha dengan pelan. Gadis itu menggigit bibir bawahnya saat mendapati tatapan tajam dari Ganesha yang tertuju padanya.

"Aku minta maaf," lirih Geisha dengan kepala tertunduk karena takut.

Kemudian, dalam satu gerakan yang cepat, Ganesha sudah berhasil meraih tubuh Geisha ke dalam dekapannya. Gadis itu meronta dalam gendongannya. Namun, pria tersebut tak peduli. Ia membawa Geisha masuk ke dalam kamarnya.

"I-ini bukan kamarku," ucap Geisha setelah pria itu menurunkannya.

"Memang." Ganesha menanggalkan satu per satu kancing kemejanya sembari melangkah mendekati Geisha yang beringsut mundur perlahan.

"Kau mau apa?" Gadis itu mulai bergemetar ketakutan.

"Kau tahu, bukan, betapa aku membenci pengkhianatan?"

Geisha menatap tak mengerti pada pria yang kini sudah memenjarakan tubuhnya dengan lemari pakaian di belakang punggungnya. "Tapi, aku tidak–"

Terlambat. Ganesha sudah mencium bibir merah itu dengan begitu kasar. Pria tersebut membutuhkan pelampiasan atas luapan emosinya saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status