Share

Ajakan Rayhan

Apa dia Ray? Mataku melebar mendapati lelaki tinggi atletis tengah membelakangiku sembari menggandeng wanita berkemeja toska. Mereka memasuki bank BRI sambil sesekali bercakap-cakap. Sepatu hells-ku yang baru saja menginjak lantai mendadak terhenti.

Pakaian lelaki itu kemeja abu-abu dengan lengan pendek dipadukan celana bahan hitam yang senada dengan warna sepatunya. Aku yakin itu Ray, kulit mulusnya yang berciri khas kuning langsat itu makin membuatku kenal. Yah, itu dia yang selalu bergelut dengan tubuhku tiap malam. Meski yakin, untuk beberapa saat aku hanya berdiri saja sambil menyaksikan mereka.

Tubuhku sendiri sudah berbalut kaus putih dengan bagian luar blazer maroon, sudah tidak lagi memperlihatkan bagian dada, sementara kepalaku tertutupi Hijab Saudia yang cukup aku ikat bagian ujungnya. Ini penampilan yang mungkin tak akan membuat Ray kenal.

Aku memilih berjalan lalu masuk dan duduk di kursi antrean. Sebelum ke tempat kerja, aku ingin mampir dan menabung dulu. Ada banyak orang yang ternyata juga mengantre di sana, dan Ray menjadi salah satunya.

“Lagi ngantri, Teh?”

Wanita yang tadi bersama Ray duduk di sampingku, sementara Ray entah ke mana. Ia memiliki bulu mata lentik dengan hidung bangir, tetapi terlihat kontraks dipadukan bentuk wajahnya yang oval, alisnya tebal dan berbentuk bulan sabit disertai lengkungan kecil. Bibirnya tipis kemerah-merahan, cantik! Sekilas aku malah jadi juri yang menilainya.

“Iya, Teh, baru sampai juga, kok, makanya nunggu. Teteh dari tadi, ya nunggu, makanya juga masih nunggu.”

Ia langsung tertawa kecil.

“Hehehe, iya, yang lama saja masih nunggu, apalagi yang baru datang,”

cicitnya pelan, tawanya terdengar renyah dan menyenangkan, sementara pipinya memperlihatkan cetakan lesung di bagian kiri. Terlihat lebih cantik dan manis, hanya saja … kenapa perempuan seanggunnya tak bisa membuat Ray bertahan dalam satu ranjang dengannya? Untuk beberapa saat aku biarkan saja pertanyaan itu menggantung sembari bercakap-cakap. Sebisa mungkin hanya percakapan biasa yang mungkin terksesan basa-basi.

“Suamiku lelaki yang baik. Keadaan saja yang mungkin selalu tak berpihak pada kami sampai harus sesekali berjauhan.”

Pada akhirnya aku tak bisa menghindari percakapan yang mengarah pada suaminya, lelaki yang aku yakin itu adalah Ray. Wanita ini ternyata bernama Chayra, umurnya baru sembilan belas tahun dan menurutku masih terlampau muda. Berbeda dua tahun denganku yang sudah berumur dua puluh satu. Dia menikah sejak umur delapan belas, dan itu artinya pernikahan mereka baru setahun berjalan?

Entah apa, seperti ada hawa panas yang tiba-tiba saja memenuhi dadaku, menjalar ke seluruh tubuh diikuti tangan yang kemudian terkepal kuat. Aku bahkan perlu menarik napas berkali-kali seolah meredakan emosi. Astagfirullah, jangan katakan bahwa aku sedang kecewa. Aku rasa sudah cukup mengenal Ray, tetapi nyatanya kenapa masih seterkejut ini?

Lima tahun pernikahan, penampilan setengah telanjang, tidak sopan dan suka amukan selain kesibukannya adalah bagian dari ciri khas istri Rayhan Bagaskara, itu yang pernah Ray katakan, tetapi perempuan ini? Bibirku sudah tertarik ke

samping membentuk senyum kecut. Sampai kapan lidah lelaki akan membutakan penglihatanku?

“Mungkin baru dua bulan, syukur alhamdulillah.”

Ia memegangi perutnya yang sedikit buncit, Chayra ternyata hamil. Lidahku makin terasa kecut.

“Sudah selesai, Sayang. Ayo pulang!”

Laki-laki yang aku yakin Ray mendekat lalu merangkul tangan Chayra. Mereka saling tersenyum, lalu Ray membiarkan lengan Chayra yang menggandeng lengannya.

“Teh, kami pulang dulu, ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Nadaku sedikit mengecil saat tatapan Ray beralih padaku, bola matanya membesar dan bahkan langkahnya terhenti memandangiku. Oh, apa dia baru saja melihat hantu? Tak perlu seterkejut itu, Ray, aku tahu pun juga tak berpengaruh pada keputusanku. Tetap saja tutupi topengmu.

Aku akhirnya memilih mengalihkan pandangan saat sadar Ray yang tak juga mau berhenti menatapku.

“Nona, kau Nona Bintang, ‘kan?”

Ray nekat menghampiriku, matanya masih membelalak dan memperhatikanku dari bawah sampai atas. Oh ayolah ... aku paling tak suka diperhatikan saat telah menjadi Ervina Rahma. Kugelengkan kepala.

“Namanya Rahma, Mas.”

Chayra yang menjawab, bibirnya tersenyum meski sempat kulihat seperti ada kerutan keheranan dan tatapan curiga. Apa dia wanita sehebat itu? Tak langsung menghakimi kami layaknya istri pencemburu saat mendapati tanda-tanda ada pelakor.

Hem ... baiklah, aku makin acungi jempol dengan kebohongan Ray selama ini tentangnya. Kusunggingkan senyum ramah lalu segera ke depan, untung saja sudah giliranku juga.

Aku mengeluarkan uang dari tas. Lumayan banyak, cukup untuk simpanan dan biaya keluarga di kampung.

“Maaf, boleh saya duluan?”

Lelaki berkemeja putih mendahuluiku yang baru saja ke depan setelah mengantre beberapa kali. Apa-apaan ini, ia baru datang dan seharusnya melakukan hal yang sama, bukan? Tak kupedulikan dan tetap menyerahkan ATM dan uang.

“Maaf, Teteh, boleh Aa’-nya yang duluan?”

Bagian teller malah dengan menyebalkannya tersenyum sambil menunjuk lelaki tadi. Ini sudah hampir jam sepuluh dan aku sejak tadi menunggu sampai beberapa jam karena saking penuhnya, ditambah lagi itu menyebabkan dadaku sesak karena mendapati Ray yang ternyata tak jauh beda dengan lelaki lain. Apa ia mau menambahnya? Sepertinya hariku makin melelahkan!

“Tadi Aa’-nya sudah duluan, Teh. Cuma habis ke toilet.”

Ia seolah memberi pengertian, aku melirik sekilas pada lelaki yang dimaksudnya. Lelaki itu ternyata sudah dekat sekali dan seperti siap mengganti posisiku sembari menunjukkan nomor antrian, jari-jarinya bahkan sampai mengetuk-ngetuk meja. Oh sepertinya ia sudah tak sabar, aku lekas bangkit dan mundur. Ini menyebalkan!

“Jangan sampai ketuk kursi kali, A’,” cicitku yang sempat membuat ia terbelalak. Detik kemudian ia sudah terlihat menoleh kanan kiri, sementara bagian teller masih tersenyum, sesekali seperti berusaha menjelaskan.

"Ada apa sih Ak?"

Aku yang berada tepat di belakangnya tak bisa untuk tak bertanya.

"Ini Teh saya ingin tarik tunai 15 juta, tapi kata mbaknya untuk kategori simpedes maksimal 5 juta, jika ingin nambah bisa kembali besok katanya, tapi waktu saya tidak banyak. karena besok saya sudah akan pulang kampung."

"Kan bisa ambil pas udah di desanya, Ak Lagipula apa tidak khawatir bawa uang banyak pas di perjalanan? Kalau kecopetan bagaimana?"

"Astagfirullah Teteh ini, jangan do'ain yang jelek-jelek atuh, Teh. Saya ndak mau ambil di daerah saya karena akan sedikit ribet, harus nyeberang pulau kalau mau ke ATM. Selain itu saya butuh uang lebih untuk keperluan oleh-oleh. Pasti ibu dan orang-orang di rumah sudah menunggu, saya ndak mungkin mengecewakan mereka."

Ia menjelaskan panjang lebar, sementara aku jadi melirik pada uang di dalam tas. Uang ini lebih dari kata cukup.

"Saldo di ATM-nya cukup, 'kan?"

"Iya atuh, Teh. "

"Ya sudah ikut saya." Aku menyudahi ucapan dengan meminta izin sebentar pada bagian teller.

"Tolong Aak tf ke rekening ini dan ini uangnya."

Aku memperlihatkan nomor ATM-ku setelah menghitung uang sesuai kebutuhan lelaki itu. Dan ia sempat terlihat kebingungan.

"Oh jadi Teteh mau membantu? Terima kasih banyak, Teh, saya ke mesin ATM dulu."

"Loh kok ke mesin ATM? Pakek mobil banking aja Ak, biar cepet."

"Mobil banking itu apa, Teh?"

What...? Aku mendadak terlongo, memandanginya dengan seksama tapi wajahnya terlihat polos dan seperti orang yang benar-benar kebingungan. Aku jadi menggeleng tak jelas lalu tersenyum kecil.

"Bukan apa-apa kok, Ak, ya sudah ke mesin ATM saja," jawabku akhirnya. Bisa-bisa makin lama aku kalau harus menjelaskan.

Tak lama ia datang dan menunjukkan bukti transfer sementara aku mengecek di mutasi, setelahnya langsung kuserahkan dan dia menghitungnya untuk memastikan sekali lagi.

“Syukron, Teh, saya ....”

Ia menjeda kata-katanya lantas seperti orang kebingungan dan mencari-cari sesuatu.

“Ini. Syukron katsiron.”

Tasbih kecil berwarna cokelat ia sodorkan, aku mengambilnya ragu setengah menahan kesal. Sudah itu ia langsung pergi. Apa ini? Tasbih, lalu syukron? Oh apa ia sedang tidak tahu tempatnya dan siapa yang diajak bicara?

Meski tahu artinya ia mengucap terima kasih, tetapi bukankah orang akan menyesuaikan perkataan bila sama mereka yang lebih-lebih sudah diyakininya anak pondok? Apa karena jilbabku yang bahkan masih belum syar’i? Lalu pemberiannya? Ini sebagai tanda terima kasih? Keningku sudah sukses aku urut lagi, lantas buru-buru kembali ke ruang sebelumnya. Aku harus cepat, aku sudah terlambat kerja karena lama di sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status