Share

Dia mengetahuinya?

[Layani dia, lagi pun ini pertama kalinya Ray mengajakmu, Nona.]

Mami Berta sampai ikut campur, mau tidak mau aku akhirnya izin sama Ibu Helni dan segera pulang kos. Aku harus ganti pakaian. 

Wanita itu bosku dan yang berusaha melindungi identitasku saat bekerja. Menolaknya sama saja mencari masalah. Ini semuanya gara-gara Ray! Dia benar-benar kurang ajar, bagaimana mungkin dia memintaku menemuinya saat Nona Bintang tidak pernah ada jika belum malam? Aku masih Rahma!

[Assalamualaikum, Kak, jangan lupa sholat dhuhur. Sehat selalu]

Lail malah mengirimiku SMS itu, jilbabku sudah dilepas, pakaianku juga. Meski kesal aku balas juga.

[Ya, Laila, Kakak sudah tau, tak perlu kamu ingatkan terus]

Kuhapus lantas mengetik lagi.

[Kakak baru mau sholat,] ketikku akhirnya lalu menekan kata send dan menyegerakan sholat sebelum melipat mukena. 

Warnanya sudah agak kusut, ada bunga-bunga berwarnah hijau toskah di bagian samping dan sedikit ber-renda. Ini pemberian Ibu dulu, katanya aku diminta menjaganya. Aku tahu pasti, secara tak langsung wanita yang melahirkanku itu memintaku menjaga sholatku.

“Wanita itu ibaratkan perhiasan, Lek. Kamu harus bisa menjaga dirimu dengan baik, agar kamu makin tampak cantik.”

Ibu setengah mengusap lenganku. Mata meneduhkannya menatapku dengan binar-binar keceriaan.

“Bagaimana memangnya menjaga itu, Bu? Dengan apa bisa dikatakan baik?”

“Hem ....” Ibu tampak berpikir lalu tersenyum lagi.

“Salah satunya dengan ini.”

Ibu bangkit lalu mengeluarkan sekotak kado yang langsung ia sodorkan padaku. Bibirku kontan tersenyum sambil mengambilnya dan langsung membuka isinya, mukena berwarnah putih dikombinasi warnah hijau toskah pada bagian bunga. Aku suka, ini pasti secara tak langsung hadiah untukku juga, mengingat beberapa hari lalu aku baru saja memenangkan lomba menulis dongeng.

“Selamat, semoga kelak Rara bisa jadi penulis, yah,” katanya memanggil nama kesayanganku. Aku mengamini dalam hati. 

“Ibu suka aku jadi penulis?”

“Tentu, Ibu dukung selama itu baik.”

“Wah ... makasih, Bu. Rara makin sayang, deh. Hehe, kalo hadiah dari Bapak apa, ya, kira-kira, Bu?”

“Bapak ... em Bapak ....” 

Ibu tampak berpikir lagi, tetapi kali ini wajahnya terlihat kebingungan. Aku ingin Bapak juga sama, selalu memberi hadiah seperti Ibu. Aku suka hadiah karena dengan begitu aku seperti telah melakukan sesuatu yang benar-benar bisa dibanggakan. 

Tok-tok-tok ....

Ketukan dari luar membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru bangkit lantas melipat mukena, ganti pakaian lalu menyingkap tirai.

“Ray?”

 Mataku membulat mendapati lelaki itu berdiri tepat di sisi pintu. Itu tidak benar, bagaimana mungkin ia bisa sampai di sini? Untuk beberapa saat aku hanya berdiri tanpa membuka pintu, tirainya bahkan sudah memilih aku tutup.

“Na, buka. Aku lihat kamu. Jangan main-main lagi denganku, Nona, hey!”

Ia makin mengeraskan ketokannya, bahkan sudah setengah mirip gedoran. 

“Aku butuh kamu, Nona. Aku butuh kesenangan dan hanya kamu yang bisa memuaskanku. Nona, ayo, aku—”

Kalimat Ray terpotong gerakanku yang tiba-tiba membuka pintu, kutarik tubuh Ray untuk masuk. Ini bahaya, bagaimana mungkin ia bisa seumum itu mengatakannya? Banyak orang di tempat kosku, bagaimana kalau mereka tahu? 

“Kenapa lama sekali, sih, buka pintunya, Na?”

Ia malah mengeluh, tetapi tak kutanggapi apa-apa. Dadaku masih memanas. Riak-riak bening dari kelopak mataku bahkan dengan sendirinya berebutan ingin keluar. Ini menyebalkan! Bagaimana mungkin ia memaksaku menjadi Nona Bintang saat aku masih ingin menjadi Rahma? 

Kupilih selendang cream dengan blus dan blazer maroonku sebagai pakaian atas, lalu mengajaknya pergi. Aku tak mau berdebat di sini!

“Aku suka penampilanmu.”

Ia tersenyum sambil memperhatikanku yang baru saja melepas blazer panjang dan selendang yang sengaja aku samarkan untuk menutupi kepala. Posisi kami baru saja sampai di kamar hotel. 

Aku hanya menarik napas. Kesal sebenarnya. Jelas, aku sudah berusaha memilih klien yang berbeda tempat denganku, tetapi kenapa Ray bisa tahu? Apa mungkin karena Mami Berta? Dia tak setujuh karena aku berani menolak dan sampai menunda waktu? Meski kesal aku tetap memilih duduk di samping ranjang, ia pasti memintaku melayaninya lagi, tetapi biarkan saja, aku tak mau, biarkan malam menjemput pagi. Aku tak suka melayaninya dalam keadaan seperti ini.

“Apa maumu, Ray?”

Aku sudah memilih tetap bersikap santai meski mau tidak mau tetap mendelik saat ia sudah mendekat dengan tatapan lekatnya. 

“Aku ingin kita menikah!”

“Apa tidak ada keinginan lain?”

Aku tetap santai. Sudah bosan rasanya mendengar ucapan yang sama dari lelaki ini. Ray ternyata orang yang cukup melelahkan, apa hanya saat malam saja ia menjelma bak pangeran yang seolah siap melindungiku dengan layanan lembutnya? Dia ternyata serba mempermasalahkan segala hal.

“Maafkan aku, Rahma.”

Aku mendelik, menatapnya tajam.

“Aku Nona Bintang, bukan Rahma!”

“Tapi terakhir kamu mengaku Rahma padaku!”

Ia tersenyum tanpa mengalihkan perhatiannya dariku, tetapi buatku itu justru seperti ejekan. Apa sebegitu merendahkannya menjadi dua orang dalam satu tubuh? Atau apa karena salah satunya adalah pelacur? Serendah itukah? Lalu apakah ia bisa memastikan tak akan sepertiku bila berada di posisiku dulu?

“Aku tak pernah mengaku Rahma, siapa Rahma, Ray?”

Aku sudah memilih untuk bersikap lembut. Balas menatapnya bahkan menyunggingkan senyum. Oh ya, baiklah, ia mungkin butuh pelayanan itu sekarang. Setidaknya cukup menyembunyikan perkataannya yang kemudian bisa hilang dengan sendirinya.

Kuletakkan tangan di dada bidangnya, mengusap lembut tanpa melepas senyum, anehnya lelaki itu hanya balas tersenyum dengan tatapan kalem, aku tak menemukan kenakalan lagi dari tatapannya.

Apa aku kurang menarik, atau apa karena wajahku yang saat ini tanpa make up? Perlahan kulepaskan lagi lalu hendak ke depan cermin, tetapi Ray lebih dulu menarikku sampai terduduk, bahkan dengan kasarnya lelaki itu mendorongku. Aku mendelik dengan dada tiba-tiba memanas. Apa Ray akan memperlakukanku seperti yang lain? 

Bayang-bayang kejadian tiga tahun lalu itu dengan sendirinya menjelma, riak-riak bening dari kelopak mataku kembali menggenang, ia mendekatkan wajahnya. Ini pelayanan yang tidak aku suka, memaksa dan memperlakukanku seperti binatang layaknya si anjing buas yang dulu berkeliaran mengambil keperawananku. 

“Apa sebegitu menyakitkannya kenangan itu sampai harus menangis di hadapanku? Aku tak butuh air mata!”

Bisikannya sangat pelan tetapi sarat penekanan. Aku mendongak menatap wajahnya yang berada tepat di atasku, lelaki itu tengah tersenyum. Apa semuanya terlalu lucu? Kuusap pipi yang ternyata memang sudah basah oleh air mata. Oh ayolah, aku tak suka menangis, ini tanda kelemahan!

“Aku tak memiliki kenangan apa pun, Ray, buatku bila itu buruk bukan kenangan, tapi hanya mimpi buruk yang tidak perlu aku gubris. Aku hanya memiliki kenangan manis dan itu cukup alasan yang tepat untuk tak perlu terluka, bukan?”

“Kau tidak perlu bohong, Nona. Aku tau semuanya!”

"Tau apa? Tau kalau aku menangkapmu basah bersama istrimu yang kau bilang sibuk dan egois. Tau—”

“Diam!”

Ray menatapku tajam, ini pertama kalinya kulihat ia semarah itu membahas istrinya. Ia mendengkus kesal lantas melepaskan tindihannya dari tubuhku.

“Sampai kapan kau akan berhenti membahas dia? Hubungan kami sudah berakhir!”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan perempuan berjilbab waktu itu? Yang kau gandeng dengan mesra?”

Ray mendadak tertawa sumbang, lalu tanpa kumengerti mengambil kertas dari tasnya, dan melemparkan tepat di sampingku. Kontan kertas-kertas itu berserakan. 

Dengan was-was aku segera mengambilnya, mataku sedikit mendelik melihat kata cerai tertera di sana, bibirku seketika menarik senyum kecut. Apa dia hendak bersandiwara lagi? Jelas aku melihatnya bersama perempuan berjilbab waktu itu. Tak mungkin semuanya secepat itu, bukan? 

“Kau menyebut perempuan itu? Dari mana kau tau, hah?”

Rey tiba-tiba menarik tubuhku lagi dan menindihnya.

“Waktu itu orang yang kujumpai hanya Rahma, bukan?”

Mataku terbelalak. Menyadari kecerobohan yang tentunya bisa berakibat fatal. Sama saja secara tak langsung aku telah membongkar identitas sendiri.

“Aku di sana juga waktu itu. Menyaksikan kamu memaksa seseorang mengaku aku.”

“Oh ya? Lalu bagaimana dengan ini?”

Sedikit kesulitan Ray mengambil hp-nya dan menunjukkan video padaku. Itu ternyata hasil percakapanku dengannya saat di telepon tadi pagi. Jelas aku yang bahkan sembunyi ke kamar mandi. Jadi dia ….

“Kenapa, kau mau menyangkal lagi? Tidak mungkin sekalipun nomer Rahma berbeda dengan nomer Nona Bintang, tapi harus orang yang sama mengangkatnya juga, bukan?”

Leherku tercekik, kata-kataku patah sekalipun banyak kata yang belum terucap untuk menipunya. Apa Ray seorang cenayang atau sudah tiba-tiba menjadi detektif? Tak ada cara lain, semuanya sudah cukup bukti kebohongan itu terkuak!

“Ayolah, Rahma, apa lagi yang ingin kau sembunyikan?”

“Aku yang harusnya bertanya itu, Ray, apa yang kau sembunyikan, hah? Setelah bercumbu dengan istrimu kau belum puas. Apa karena dia terlampau lugu?”

Ray mendadak mendengkus. Tatapannya tajam, tetapi kemudian tersenyum sinis.

“Apa itu caramu untuk menyakitiku?"

Wajahnya yang memerah seperti menahan marah itu mendekat lagi pada tubuhku. Bedanya kali ini aku tidak berpaling, membiarkan tangannya yang mulai nakal menyentuh lalu meraba pipi, leher, dan semuanya berlangsung seperti malam itu lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status