“Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray?“Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan tatapa
Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t
"Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya
“Jadilah pakaian yang baik untuk suamimu, Lek, menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas.” Ibu membisikkan kalimat itu setelah Ray resmi mengucapkan ijab qabul. Pelukannya erat disertai mata berkaca-kaca. Ibu Darsi, Lail, dan Chayra juga baru saja memelukku dan memberi banyak pesan. Make up mereka bahkan jadi agak luntur.Detik setelah itu, aku sudah harus menahan lelah karena terlalu banyak duduk atau berdiri menghadap para undangan saat pajangan pengantin. Berbagai hiasan, tarub juga hiburan ludruk digelar di depan rumah. Semuanya sesuai dengan keputusan keluargaku dan Ray beberapa hari lalu. Aku tak tahu bagaimana cara menolaknya, bahkan sekadar menggantinya pada qosidah sederhana dan mengundang beberapa orang.“Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup. Ia momen paling terpenting dan karenanya ibu ingin pernikahan anak Ibu mendapatkan yang terbaik. Lagipula jangan menolak tradisi dan adat bila merasa mampu, tak baik. Pamali!” katanya yang membuatku mau tak mau m
“Bu, Ibu di dalam, ‘kan?” Sembari kuketuk pintu kamar sesekali, tetapi tak ada jawaban. Hanya terdengar suara Ibu yang sedikit samar-samar seperti tengah berbicara dengan seseorang, entah siapa. Saat aku kemudian memilih masuk dan menghampirinya, Ibu tampak duduk di sisi ranjang dengan tangan menggenggam telepon. Aku rasa ia baru saja berbicara melalui telepon, anehnya wajah Ibu terlihat pucat dengan tatapan kosong? “Ibu kenapa?”Ibu mendelik, berpaling cepat, dan langsung mengusap wajah sembari mengucap istigfar.“Sejak kapan Rara di sini? Suamimu di mana?” tanyanya seolah baru menyadari kehadiranku. Telepon dalam gemgamannya bahkan cepat-cepat disembunyikannya di bawah bantal. Aku jadi melirik curiga pada benda pipih itu.“Ray masih di kamar, Rara mau tidur bareng Ibu, karena besok Rara sudah harus ke kota, Rara ingin tidur di hari terakhir Rara sama Ibu.” Aku menjawab itu sembari berbaring di samping Ibu, sebagai isyarat sekaligus tentang rencanaku dan Ray. “Tidak boleh, kamu tida
"Memangnya kenapa kalau ibu ikut?"Ibu masih saja bersikeras setelah tadi bahkan mengancam tidak akan menganggapku anak bila tak kuizinkan ikut. Ini benar-benar di luar dugaan, Ibu tidak pernah membahas akan ikut ke kota, beberapa hari terakhir Ibu bahkan berkomentar, kalau ibu dan Lail ikut, siapa yang akan jaga rumah? Tapi tadi .... “Rara lebih memikirkan rumah daripada permintaan Ibu? Apa Rara merasa terbebani kalau Ibu dan Lail tinggal sama Rara?”Aku menggeleng cepat, tentu saja itu salah. Aku bahkan ingin tinggal bersama Ibu sekalipun sudah menikah, tetapi tidak dengan menjadi istri Ray apalagi tinggal di kota yang sama dengan Nona Bintang. “Kalau begitu izinkan Ibu dan Lail ikut!”Ia menatap tepat pada mataku, memegang tanganku erat.“Atau Rara hanya akan melihat kuburan Ibu saat kita bertemu nanti.”Ia melepas pegangannya lalu ke kamar dan menutup pintu. Kakiku mendadak terpaku, napasku tercekat. Itu jelas tidak boleh terjadi. Namun …."Percayalah padaku, Ra. Semuanya akan b
"Jangan!"Aku mendadak mengambil diary di tangan Rav saat lelaki itu ternyata tengah membuka diaryku. Aku tidak tahu apa bahkan dia sudah sempat membacanya. Lelaki itu tergeragap dan seperti tertangkap basah, tetapi anehnya menatap tenang setelah mengucap maaf. "Kau terpaksa?""Apa maksudmu?"Rav tidak menjawab, dia malah menatap Diary itu dan aku jadi menatap curiga padanya. "Kau tidak membacanya, 'kan?"Masih diam. "Rav, jawab! kau tidak membacanya, 'kan? Jangan diam aja!"Aku masih berusaha menghujani Rav dengan pertanyaan, bahkan mungkin sudah mirip tuduhan dengan mengatakan kalau Rav harusnya memilih mengembalikan barang pada pemiliknya jika menemukan sesuatu."Kau tidak punyak hak membuka apalagi membaca diary orang lain, Rav. Kau---""Kak, kakak. "Suaraku terpotong teriakan Lail dari kejauhan, aku sempat berpaling kanan kiri dan begitu melihat ke belakang, adikku itu ternyata tengah berlari dengan tangan menunjuk ke rumah. "Ibu ... Ibu ... sa ...." Ia masih berujar di teng
"Maafkan Lail, Kak, Lail tidak bermaksud buat Kakak marah."Lail berujar itu setelah sejak tadi kami sama-sama diam. Ia menyusulku ke pantai beberapa saat setelahnya dan jadilah kini kami sama-sama duduk di atas batu-batu kecil. Perahu-perahu nelayan sudah tidak ada, dan itu karena rata-rata untuk saat ini mereka memancing di waktu siang. "Sudahlah, Lail, tak perlu bahas itu. Lebih baik kamu pulang, temani Ibu, jangan biarkan Ibu kelelahan sampai terjadi hal tak diinginkan lagi.""Maaf, Kak, sepertinya itu bukan karena kelelahan tapi mungkin karena suasana hati Ibu.""Maksud kamu?" Lail tak langsung menjawab. Ia seperti ragu mengatakannya. "Beberapa bulan terakhir Ibu seperti menerima telpon dan SMS dari seseorang, saat Lail tanya, katanya bukan siapa-siapa. Tapi setiap kali Ibu menerima SMS atau telpon itu Ibu seperti orang cemas dan syok. Lail sudah coba cek tapi Ibu selalu menyembunyikan hp-nya."Ucapan Lail mau tak mau membuatku mendadak bangkit, seperti ada sesuatu yang menarik