"Kenapa? Ada apa?" tanyanya sambil mengamati Malilah yang menarik rambutnya seperti orang depresi berat.
"Hey, kamu siapa? Kenapa kamu bisa sama Malilah? Kamu temannya Dimas ya? Dimasnya mana?"
Bu Ana langsung memberondong Hanan dengan pertanyaan yang membingungkan baginya.
"Loh? Dimasnya enggak ada di sini?"
"Ditanya malah balik nanya. Gimana sih? Kamu temannya Dimas?" ulang Bu Ana.
"Saya Bosnya Lila!" Hanan memperkenalkan diri dengan nada yang agak sombong.
"Bos? Kamu kerja Malilah? Wah, Baguslah! Berarti dugaanku benar. Kamu datang untuk mengantar uang yang kuminta, kan?" Wajah Bu Ana langsung ceria.
"Bu! Bukannya Mas Dimas sudah membayar semuanya? Tadi dia ada kesini kan, Bu?" tanya Malilah dengan wajah kusut.
"Bayar apa? Enggak ada! Aku malah telpon-telpon dari tadi enggak nyambung. Padahal sudah tahu besok adiknya mau bayar kuliah! Kamu sendiri kan tahu, Lila! Bapak sudah sakit-sakitan gak bisa lagi nyari uang!" Ucap Bu Ana sengit.
"Ada apa, kok ribut malam-malam?" Suara seorang lelaki menegur dari dalam.
"Eh, ada Lila. Ayo masuk! Sama siapa?"
"Iya Pa, ini te..."
"Saya Bosnya Lila!" Hanan langsung memotong ucapan Malilah.
"Oh, saya Pak Ibrahim. Bapak mertuanya Malilah. Eh, tadi kamu bilang apa? Bos?" Pak Ibrahim bertanya heran.
"Iya Pak! Katanya Malilah kerja sama dia. Makanya dia mau ngantar uang buat bayar utang. Iyakan Lila?" Bu Ana menatapnya Malilah yang langsung mematung. Perasaannya mendadak tak nyaman.
"Masuk dulu. Tak baik berbicara sambil berdiri. Apalagi membicarakan soal uang dan utang," Pak Ibrahim mempersilahkan dengan ramah.
Malilah dan Hanan langsung masuk mengikuti Bu Ana dan Pak Ibrahim ke ruang tamu.
"Bapak ... Ibu, mohon maaf kalau saya lancang. Sebenarnya uang saya untuk mengganti uang ibu yang terpakai sudah ada. Tapi .... di-ba-w* Dimas ka-bur!" Terang Malilah takut-takut.
"Kabur? Kamu bilang Dimas kabur? Membawa uangmu? Hey ... bagus sekali mulutmu menuduh suami sendiri begitu, Malilah!"
Bu Ana meradang, dan langsung berdiri. Pak Ibrahim ikut berdiri lalu menarik istrinya duduk kembali.
"Buu ... sabar Bu! Dengar dulu penjelasan Malilah sampai tuntas!"
"Sabar bagaimana Pak. Terlalu sering kamu bela dia, Pak! Makanya jadi besar kepala!Mentang-mentang Dimas masih nganggur dan dia mulai kerja, seenak jidatnya menjelek-jelekkan anak kita Pak? Heh, Malilah. Ingat baik-baik! Kalau bukan Dimas yang mau memperistri kamu, mungkin sampai karatan, enggak ada yang mau sama kamu! Dan Kamu! Malah menjelek-jelekkan suamimu! Durhaka kamu Malilah!" Kecam Bu Ana dengan napas terengah-engah.
"Buu! Sudah Bu! Sudaah!" Pak Ibrahim kembali memaksa Bu Ana duduk.
Malilah mengusap wajah dengan rasa putus asa. Kedatangannya ternyata hanya untuk menambah beban pikiran dan mendengar makian dari Ibu Mertua saja.
Sementara Hanan sejak tadi hanya duduk sebagai penonton. Hatinya belum tergerak sedikitpun untuk membela Malilah yang tertekan, padahal dia sendiri tahu bahwa Malilah tidak berbohong. Hanan baru bergerak manakala ponselnya berbunyi, dan ia memilih untuk berbicara diluar saja meninggalkan mereka bertiga.
"Sekarang bagaimana, Malilah? Aku perlu uangnya besok!" Bu Ana masih menekan Malilah.
"Tapi saya benar-benar belum ada uang, Bu!" Malilah berbicara sambil menunduk.
"Buu! Sudah! Ibu kan masih punya kalung dan gelang. Digadai saja dulu!" Saran Pak Ibrahim.
"Gadai? Terus? Yang bayar bunganya siapa? Sampai kapan? Enggak mau aku!" Bu Ana menolak keras.
"Bu! Biar saya yang membayar bunganya, sampai saya bisa menebusnya lunas!" Akhirnya Malilah mengalah.
"Kamu yakin? Apa jaminannya? Emang kamu kerja apa? Gajimu berapa?" Bu Ana mencibir.
"Saya ... kerja ...."
Malilah tak jadi melanjutkan ucapannya karena merasa malu.
"Dia pengasuh anakku, dan aku menjamin! Dia akan membayar semuanya. Ini kartu namaku. Bila dia mangkir, datang saja ke rumah!"
Tiba-tiba Hanan masuk dan meletakkan kartu namanya di meja.
"Ayo Malilah! Ikut aku! Arumi tadi sudah mulai rewel. Kami permisi," ucap Hanan tanpa basa-basi menarik tangan Malilah keluar, tanpa perduli lagi apa yang dikatakan oleh Bu Ana dan Pak Ibrahim.
***
"Aku ikut lagi? Ehm, kembali ke rumah Pak Bos?" tanya Malilah dari belakang."Iya!"
"Ta-pi ... Bu Ratih sudah mengusirku. Aku ... takut!"
"Mulut Mamaku memang judes dan kadang pedas, tapi tidak seganas ibu mertuamu juga! Mengerikan!" Sahut Hanan sambil bergidik.
"Kenapa ... Pak Bos berani menjamin aku tadi?"
"Daripad kamu mati depresi di tangan mertuamu! Aku yang repot! Nyesal sebenarnya aku ngaku Bosmu!" Gerutu Hanan kesal.
"Heem!" Walau nyelekit, tapi pengakuan Hanan membuat Malilah sedikit senang. Biar tahu rasa sedikit karena terlalu percaya diri dan pongah.
"Lagian, aku kan, enggak nyuruh Pak Bos bilang gitu. Padahal kan, aku sudah dipecat sama Ibu!"
"Kamu harus meyakinkan ibu untuk kembali bekerja. Enak aja suamimu hilang, uangku hilang kamu ikut hilang. Ingat! Pegadaian ada batas nunggaknya!" Ucap Hanan membuat Malilah kembali terdiam sendu, memikirkan hidupnya yang rumit karena ulah Dimas.
Hanan benar. Dia harus menunaikan kewajibannya yang sudah di bayar sekalipun uangnya di bawa Dimas yang entah dimana keberadaanya. Ia juga sudah terlanjur menyanggupi untuk menebus kalung dan gelang mertuanya nanti.
"Pak Bos! Seharusnya tadi Pak Bos membela aku di sana. Supaya berkurang bebanku, supaya aku enggak dimaki-maki. Setidaknya ikut membenarkan apa yang kubilanglah! Kan aku enggak bohong," keluh Malilah.
"Urusan rumah tanggamu bukan urusanku! Cepat turun!"
Malilah terkesiap, tahu-tahu mereka sudah sampai. Malilah enggan turun, karena sangat takut bertemu Bu Ratih.
"Turun! Atau kukunci kamu dalam mobil?" Ancam Hanan.
Malilah mendengkus kesal dan cepat-cepat membuka pintu mobil. Di depan pintu Bu Ratih sudah menunggu dengan mata melotot, karena melihat Malilah kembali lagi bersama Hanan.
"Pak Bos! A-ku harus bilang apa! Aku harus gimana?" Malilah bertanya pelan sebelum kakinya melangkah turun.
"Tinggal bilang, Tolong Ibu, ininkan saya untuk tetap bekerja di sini, saya butuh pekerjaan ini!"
"Kalau tetap di usir?"
"Maka berlututlah!" Sahut Hanan singkat.
"Hah? Berlutut?" Malilah bergumam kecil.
"Kalau masih ditolak?" tanya Malilah ngeri membayangkan dramanya.
"Maka berlutut sambil menangislah sampai Ibu luluh!" Sahut Hanan acuh sambil berlalu melewati Bu Ratih langsung menuju kamar Arumi.
Hanan tak memperdulikan Malilah yang melangkah dengan perasaan yang lebih kacau, bahkan lebih kacau daripada saat ia mendapat makian mertuanya tadi.
"Haruskah aku berlutut karena menanggung semua perbuatan Dimas?" tanya Malilah dalam hati pada dirinya sendiri, tanpa berani mengangkat wajah menatap Bu Ratih yang masih menatapnya tajam tanpa kata di ambang pintu.
"Kenapa kamu ikut kembali? Aku sudah bilang, kembalikan saja uang anakku!" Ucap Bu Ratih dingin."Maaf Bu ... ta-pi ... uangnya, sayaa .... kami belum bertemu suami saya. Saya ... tidak tau dimana dia sekarang," sahut Malilah sambil tertunduk."Lalu, untuk apa kamu ikut Hanan kembali ke sini? Jangan bilang kamu mau meneruskan bekerja di sini?" Tebak Bu Ratih langsung.Malilah terdiam, mempertimbangkan saran Hanan sebelumnya."Tolong Ibu ... ijinkan saya untuk tetap bekerja di sini! Saya butuh pekerjaan ini!"Tanpa sadar Malilah mengucapkan kalimat tersebut sudah berbarengan dengan isak tangisnya, sembari menjatuhkan diri di hadapan Bu Ratih. Padahal Hanan tidak menyuruh Malilah untuk melakukan ketiga sarannya secara bersamaan. Tapi Malilah memilih langsung memohon.Lama Malilah terisak, tak ada jawaban. Bu Ratih tak berucap sepatah kata pun. Malilah sendiri bertekad tidak akan berdiri dan menganggkat
Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun.Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring."Kenapa?"Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya."Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar."Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur.""Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan."Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?"Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.
"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam."Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.Ckk!Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama."Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil."Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga."E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."Malilah menggeleng."Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelama
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Mbak, maaf! Pernah liat orang ini enggak, disini?" tanya Hanan pada seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumahnya. Wanita tersebut mengamati sejenak foto yang ditunjukkan Hanan, kemudian menggeleng. "Coba Mas tanya sama Bapak-Bapak yang di sana. Siapa tau teman ngumpulnya," tunjuk Wanita tersebut pada seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Hanan beralih menghampiri Bapak tersebut. "Pak, Maaf. Pernah liat orang ini enggak di sekitar sini?" Bapak tersebut mengamati foto dengan seksama, kemudian menatap Hanan lekat-lekat. "Ada perlu apa?" tanyanya menyelidik. "Oh, itu. Sudah hampir sebulan enggak pulang. Ibunya di rumah sendiri dan sedang sakit. Saya tetangganya," jawab Hanan berbohong dan memilih Bu Ana jadi objeknya. "Aku sih, sering liat. Kalau malam lewat ke arah sana. Entah kumpulan di pos atau ke komplek, aku enggak tahu," jawab Bap
Rumah itu sangat berarti untuk Malilah. Hasil jerih payah orang tuanya saat merantau dulu. Ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya kerja keras tak kenal lelah saat masih kecil dulu, demi membeli sebuah rumah sederhana tersebut."Ayo. Ambil sekarang! Aku pinjam! Aku janji, kamu akan tetap kerja disini, asal kamu mau ambil suratnya sekarang!" Hanan memaksa sambil menarik Malilah mengikutinya keluar.Setelah menitip Arumi pada Bu Ratih dengan alasan mau belanja baju-baju Arumi yang sudah mulai sempit, mereka langsung menuju ke rumah Malilah."Gimana cara masuknya? Gara-gara Pak Bos dulu bawa aku buru-buru, kan aku sampe lupa bawa kunci serap rumah!" Omel Malilah beberapa saat setelah mereka tengak-tengok ke sekeliling rumah."Didobrak, kan bisa!""Eh, Malilah! Malilah! Akhirnya kamu muncul juga! Kalian ini ya, suami istri sama aja. Sama-sama tukang ngutang, sama-sama tukang ngilang!"Baru saja Hanan bersiap mau mendobrak p
Hanan dan Malilah pun melangkah keluar bersamaan."Hey, Malilah! Kata Bu Tuti utangmu di warungnya sudah mau dibayar sama ... Bosmu yang katanya horang kaya ini. Jangan Warung Bu Tuti aja dong. Kami juga perlu modal!" Bu Indri bicara dengan lantang dan penuh emosi."Iya! Emang Bu Tuti aja yang perlu uang. Kita juga!" Timpal Ibu yang lain.Hanan menarik napas. Utang lagi, utang lagi. Enggak ada masalah lain apa? Sementara Malilah yang masih memegang map tak bisa menjawab apa-apa."Tenang ibu-ibu. Berapa utangnya bilang aja. Nanti saya bayar!""Waah! Benar kata Bu Tuti ya, dia horang kaya," wajah Bu Indri mendadak cerah."Udah, totalin aja utangnya, nanti kami kembali untuk membayar, uang cash saya enggak cukup," janji Hanan lagi. Ia yakin totalnya lumayan banyak."Eh, gak percaya aku. Jangan dilepas. Bisa-bisa dia gak balik lagi," Bu Widi nyolot."Ya sudah kalau gak percaya! Ibu-ibu tunggu di sini!