"Malilah! Bantu angkat ke kamar! Kamu di kakinya!" perintah Hanan.
"Ta-pi. Pak Bos. Saya kan baru habis lahiran. Enggak boleh angkat yang berat-berat."
"Ya ampun. Ya udah! Minggir. Aku angkat sendiri! Kamu ambilin air, sana!"
"Dimana ambilnya?"
"Astaga! Ya di dapur masa di WC!" Ucap Hanan langsung membopong tubuh ibunya ke kamar.
"Oh, air minum," gumam Malilah sambil berbalik menuju dapur. Ia heran. Kenapa rumah sebesar itu tidak ada pembantu satu pun. Cukup lama ia tengak-tengok mencari tempat gelas.
"Malilaaaah! Cepat airnya!" Terdengar teriakan Hanan.
"I-iya!"
Oweeek! Oweeek! Oweek!
Mendengar suara Hanan yang berada di sebelah kamar, Arumi rupanya terbangun.Malilah buru-buru mengantar air minum ke kamar Bu Ratih, kemudian setengah berlari menuju ke kamar Arumi. Untung saja posisi kamar bersebelahan. Dalam hati ia menggerutu karena Hanan memanggil dengan berteriak.
"Uuuhh .... tayang ... tayang! Olang libut kah, Nak. Dia kaget?"
Malilah menganggkat tubuh mungil Arumi sambil mengajaknya bicara, seolah yang di ajak bicara mengerti saja. Malilah menatap Arumi yang mulai haus lagi. Rindu pada buah hatinya yang telah pergi sedikit terobati. Malilah pun merasa lebih nyaman, karena sakit dan bengkak di sekitar P*y*daranya benar-benar berkurang.
Pertama kalinya Malilah mengukir senyum setelah kehilangan buah hati, karena menatap wajah Arumi yang begitu damai dalam pangkuan.
Namun senyumnya tak bertahan lama, ketika Hanan masuk ke kamarnya.
"Malilah! Nanti kalau Arumi sudah tidur lagi, Mama mau bicara di kamarnya!" ucap Hanan sambil meletakkan tas yang tadi dibawa oleh Dimas ke lantai.
***
Sebelum ke kamar Bu Ratih, Malilah menyempatkan diri berganti pakaian, supaya lebih leluasa bergerak."Ada apa, Bu?" tanya Malilah begitu tiba di kamar Bu Ratih. Bu Ratih yang semula menghadap ke arah pintu kamar, langsung membalikkan badan.
"Sebaiknya, kamu kembalikan saja uang yang sudah dibayarkan oleh Hanan tadi, Malilah. Minta lagi ke suamimu! Mungkin kamu cari pekerjaan lain saja!" ucap Bu Ratih membuat sekujur tubuh Malilah lemas.
Bukankah tadi Dimas bilang uangnya sudah habis untuk membayar utang? Utang mereka mereka ada di mana-mana karena Dimas yang kadang bekerja kadang hampir setengah bulan menganggur selama ia hamil dulu.
"Tapi, Bu! Tadi suami saya bilang, uangnya sudah habis," jawab Malilah lirih sambil menunduk, hampir tak terdengar.
"Omong kosong! Mana mungkin uang lima belas juta habis dalam sehari! Sepertinya kalian sekongkol ingin menipu anakku juga! Emang dasar suami istri penipu!"
"Demi Allah, ibuuu .... saya tidak ada niat menipu. Saya tidak mengerti kenapa Ibu melempar tuduhan begitu kepada saya," ucap Malilah dengan suara bergetar.
"Kalau kamu mau tau alasannya, tanya saja pada suamimu! Tanya, bagaimana cara dia menipu saya. Sekaligus bilang, kembalikan saja uang Hanan!" Ucap Bu Ratih membuat Malilah tertegun. Dimas pernah menipu Bu Ratih? Dalam hal apa mereka pernah terhubung?
Ingin sekali ia bertanya, tapi semua kata-katanya hanya sampai di tenggorokan.
"Kalau begitu, sa-ya permisi ... Bu," Ucap Malilah dengan suara terbata. Ia langsung keluar kembali menuju kamar Arumi, dan meraih tasnya sambil mengusap air mata.
Mungkin setelah ia keluar dari sini, hidupnya akan lebih menderita, karena jika benar uangnya sudah habis oleh Dimas, berarti dia harus kerja keras untuk menggantinya. Apalagi bila Dimas tak kunjung bekerja.
Sedihnya yang tadi mulai terobati selama bersama Arumi, kini kembali lagi. Malilah kembali meletakkan tasnya karena teringat Arumi.
"Mau kemana?" Suara Hanan menyentak Malilah saat mencium Arumi yang tertidur masih pulas.
"Pulang!" sahutnya singkat.
"Ayo! Kuantar!"
"Untuk apa mengantarnya, Hanan! Biar saja ia naik angkot! Atau pesankan saja Gojek!" Tiba-tiba Bu Ratih sudah berada di belakan Hanan yang berdiri di ambang pintu.
"Sttt! Mama! Dengar! Sabar! Aku kan harus memastikan bahwa ia benar-benar pulang sampai rumahnya. Kalau dia pulang sendiri, aku takut dia kabur, Ma! Kalau uangnya benar-benar sudah habis, aku juga harus atur bagaimana mereka ngembalikannya, Kan Ma?"
Bu Ratih berpikir sebentar mendengar ucapan anaknya. Kemudian ia mengangguk-angguk kecil pertanda setuju.
"Jangan lama-lama, dan jangan mengambil keputusan konyol lagi, Hanan!" tekan Bu Ratih dengan nada dingin. Kemudian ia mendekat pada Arumi, sehingga Malilah langsung menjauh dan keluar membawa tasnya.
***
Dalam perjalanan pulang, Malilah hanya diam. Hari sudah beranjak malam. Hatinya benar-benar risau. Hanya kebisuan yang menemani perjalanan mereka hingga sampai ke pelataran rumah Malilah.Gelap.
Tak nampak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah. Lampu teras pun tak menyala.Malilah bergegas turun dan memutar handle pintu, dan terkunci.
"Assalamu'alaikum, Mas!"
Berkali-kali Malilah mengetuk pintu dan memanggil, tak ada jawaban. Rupanya rumah benar-benar kosong. Malilah merutuk dalam hati, karena begitu ceroboh tak membawa satu kunci rumah saat pergi tadi siang.
"Enggak ada orangnya, Kan?" ucap Hanan mendekat. Malilah tertunduk pasrah.
"Sudah kuduga. Jangan-jangan suamimu itu melarikan diri, kalau kuperhatikan dan kudengar tadi punya bakat penipu!" ucap Hanan sambil menarik bibir, mencebik. Antara mengejek nasib Malilah dan mengejek suaminya.
Malilah mengambil ponselnya dan mencoba menelpon Dimas, tapi kemudian tangannya turun dari telinga dengan lunglai.
"Enggak nyambung juga?" tanya Hanan.
Malilah menggeleng.
"Gak ada pulsa!"
"Ya ampun!" Hanan geleng-geleng kepala sambil mengeluarkan ponselnya dan menelpon nomor Dimas.
"Enggak aktif! Yakin aku suamimu kabur!" Ucap Hanan.
Malilah langsung terdiam. Bagaimana nasibnya malam ini?
"Kamu mau semalaman tidur di sini atau ikut aku kembali?" tanya Hanan.
Malilah menggeleng. Ia benar-benar bingung karena tak ada memegang uang sepeser pun. Lagi pula ia tak ada kerabat di situ. Satu-satunya tempat adalah rumah mertuanya. Ah iya? Mertua? Malilah seperti baru menyadari sesuatu.
"Antar aku ke rumah mertuaku! Aku yakin Dimas ada di sana!" Ucapnya pasti dan mendadak bersemangat. Sekalian Malilah ingin meminta dulu uang yang sudah di bayarkan ke mertuanya.
Hanan mengangguk saja. Mereka pun langsung meluncur ke rumah Bu Ana, mertua Malilah.
Begitu tiba di rumah Bu Ana, Malilah langsung mengetuk pintu.
"Nah, ini Malilah datang. Kebetulan sekali!" ucap Bu Ana begitu pintu terbuka.
"Malilah, kamu datang untuk membayar uang ibu yang terpakai saat kamu lahiran kemaren, kan? Ibu sudah berkali-kali bilang sama Dimas, uangnya mau dipakai adiknya buat masuk kuliah! Besok waktu pembayaran terakhir. Mana uangnya?"
Tanpa mempersilahkan masuk, Bu Ana malah menadahkan tangan dengan serentet ucapan yang membuat Malilah yang semula sudah pusing bertambah pusing. Tubuhnya merasa seperti tidak berpijak di bumi lagi.
"Ujian apa ini, Tuhaaan?" Rintih Malilah dalam hati sambil menarik rambutnya kuat-kuat. Kepalanya serasa mau pecah karena berbagai pertanyaan berputar memenuhi rongga otaknya.
Berarti Dimas berbohong? Uang ibunya belum dikembalikan? Mungkinkah uangnya masih ada? Kalau benar habis, uangnya kemana? Dimana pula harus mencari Dimas?
Hanan yang semula hanya mengamati dari dalam mobil langsung turun dan mendekat pada Malilah."Kenapa? Ada apa?" tanyanya sambil mengamati Malilah yang menarik rambutnya seperti orang depresi berat."Hey, kamu siapa? Kenapa kamu bisa sama Malilah? Kamu temannya Dimas ya? Dimasnya mana?"Bu Ana langsung memberondong Hanan dengan pertanyaan yang membingungkan baginya."Loh? Dimasnya enggak ada di sini?""Ditanya malah balik nanya. Gimana sih? Kamu temannya Dimas?" ulang Bu Ana."Saya Bosnya Lila!" Hanan memperkenalkan diri dengan nada yang agak sombong."Bos? Kamu kerja Malilah? Wah, Baguslah! Berarti dugaanku benar. Kamu datang untuk mengantar uang yang kuminta, kan?" Wajah Bu Ana langsung ceria."Bu! Bukannya Mas Dimas sudah membayar semuanya? Tadi dia ada kesini kan, Bu?" tanya Malilah dengan wajah kusut."Bayar apa? Enggak ada! Aku malah telpon-telpon dari tadi enggak ny
"Kenapa kamu ikut kembali? Aku sudah bilang, kembalikan saja uang anakku!" Ucap Bu Ratih dingin."Maaf Bu ... ta-pi ... uangnya, sayaa .... kami belum bertemu suami saya. Saya ... tidak tau dimana dia sekarang," sahut Malilah sambil tertunduk."Lalu, untuk apa kamu ikut Hanan kembali ke sini? Jangan bilang kamu mau meneruskan bekerja di sini?" Tebak Bu Ratih langsung.Malilah terdiam, mempertimbangkan saran Hanan sebelumnya."Tolong Ibu ... ijinkan saya untuk tetap bekerja di sini! Saya butuh pekerjaan ini!"Tanpa sadar Malilah mengucapkan kalimat tersebut sudah berbarengan dengan isak tangisnya, sembari menjatuhkan diri di hadapan Bu Ratih. Padahal Hanan tidak menyuruh Malilah untuk melakukan ketiga sarannya secara bersamaan. Tapi Malilah memilih langsung memohon.Lama Malilah terisak, tak ada jawaban. Bu Ratih tak berucap sepatah kata pun. Malilah sendiri bertekad tidak akan berdiri dan menganggkat
Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun.Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring."Kenapa?"Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya."Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar."Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur.""Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan."Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?"Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.
"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam."Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.Ckk!Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama."Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil."Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga."E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."Malilah menggeleng."Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelama
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Mbak, maaf! Pernah liat orang ini enggak, disini?" tanya Hanan pada seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumahnya. Wanita tersebut mengamati sejenak foto yang ditunjukkan Hanan, kemudian menggeleng. "Coba Mas tanya sama Bapak-Bapak yang di sana. Siapa tau teman ngumpulnya," tunjuk Wanita tersebut pada seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Hanan beralih menghampiri Bapak tersebut. "Pak, Maaf. Pernah liat orang ini enggak di sekitar sini?" Bapak tersebut mengamati foto dengan seksama, kemudian menatap Hanan lekat-lekat. "Ada perlu apa?" tanyanya menyelidik. "Oh, itu. Sudah hampir sebulan enggak pulang. Ibunya di rumah sendiri dan sedang sakit. Saya tetangganya," jawab Hanan berbohong dan memilih Bu Ana jadi objeknya. "Aku sih, sering liat. Kalau malam lewat ke arah sana. Entah kumpulan di pos atau ke komplek, aku enggak tahu," jawab Bap
Rumah itu sangat berarti untuk Malilah. Hasil jerih payah orang tuanya saat merantau dulu. Ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya kerja keras tak kenal lelah saat masih kecil dulu, demi membeli sebuah rumah sederhana tersebut."Ayo. Ambil sekarang! Aku pinjam! Aku janji, kamu akan tetap kerja disini, asal kamu mau ambil suratnya sekarang!" Hanan memaksa sambil menarik Malilah mengikutinya keluar.Setelah menitip Arumi pada Bu Ratih dengan alasan mau belanja baju-baju Arumi yang sudah mulai sempit, mereka langsung menuju ke rumah Malilah."Gimana cara masuknya? Gara-gara Pak Bos dulu bawa aku buru-buru, kan aku sampe lupa bawa kunci serap rumah!" Omel Malilah beberapa saat setelah mereka tengak-tengok ke sekeliling rumah."Didobrak, kan bisa!""Eh, Malilah! Malilah! Akhirnya kamu muncul juga! Kalian ini ya, suami istri sama aja. Sama-sama tukang ngutang, sama-sama tukang ngilang!"Baru saja Hanan bersiap mau mendobrak p