"Aku bawakan sarapan, Pak. Masih hangat." Shiany menyodorkan kotak berwarna coklat di depan Gio.
Gio mengusap-usap mata dan wajahnya. Dia masih harus memaksa dirinya segera dapat kesadaran lagi. Ya, dia tidak sedang bermimpi. Shiany memang datang menemuinya di rumah sakit."Dari mana kamu tahu aku di sini?" Gio tidak bisa basa-basi. Dia tidak menerima kotak yang masih terulur di depannya. Dia menatap Shiany dengan pandangan tidak suka."Itu gampang sekali, Pak Gio. Media sosial bisa menjawab apapun yang kita tanya dan menunjukkan apapun yang kita perlu," jawab Shiany.Ya, kenapa tidak terpikir oleh Gio? Anak-anaknya bisa saja meng-up load yang terjadi pada Felipe. Mudah saja mencari jejak digital.Dia duduk di samping Gio sambil memegang kotak yang ditolak Gio. Gio berdiri, mendekati Felipe. Anak muda itu masih lelap dengan posisi kepalanya miring. Perlahan-lahan Gio membetulkan posisinya agar lebih nyaman."Hhmmm ..." Felipe bergumam. Sepertinya dia merasa ada yang mengganggu tidurnya.Tangan Gio berhenti. Dia pastikan Felipe terbangun atau tidak. Untungnya Felipe tidak lagi bereaksi. Anak muda dengan rambut hitam lurus dan tebal itu kembali pulas.Gio berbalik dan berjalan keluar ruangan. Lebih baik dia bicara dengan Shiany di luar saja. Shiany mengikuti Gio. Kotak makanan yang dia bawa masih ada di tangan."Pak, kok bisa kecelakaan seperti itu? Dia naik motor?" tanya Shiany. Dia penasaran juga ingin tahu apa yang terjadi."Kukira media sosial sudah menjelaskan semua." Gio memberi jawaban yang dingin, cuek, dan jelas dia terganggu dengan kedatangan Shiany."Tidak sedetil itu juga, Pak." Shiany menyahut. "Memang anak sekarang kalau bawa kendaraan semaunya. Kurang hati-hati. Jalanan seperti miliknya sendiri.""Aku tidak pernah mengijinkan anakku membawa kendaraan di jalan kecuali dia sudah mendapat surat ijin resmi. Felipe baru 16 tahun. Dia belum pernah membawa kendaraan sekalipun di jalan raya." Gio merasa Shiany semakin lancang dan sok tahu dengan situasi dirinya."Ahhh! Luar biasa kalau begitu." Shiany tersenyum. "Pak Gio sangat tegas dan bijak dalam mendidik anak. Aku sungguh kagum."Gio tidak terkesan dengan pujian dari Shiany. Dia tidak memberi respon apapun. Gio kembali melihat ke arlojinya. Sedikit lagi jam setengah enam pagi.Hari mulai terang. Mentari belum tampak, tapi langit tdak lagi gelap. Gio duduk di kursi di depan ruangan sambil memperhatikan taman kecil di seberang. Shiany ikut duduk, tepat di samping Gio."Pak, ini sarapannya. Mumpung masih hangat. Nasi uduk spesial." Shiany kembali menyodorkan kotak di depan Gio."Terima kasih." Gio menerima kotak itu.Senyum lebar Shiany merekah. Ternyata harua benar-benar sabar menghadapi duda tampan berkelas ini. Asal Shiany tidak menyerah, Gio pasti akan takluk juga."Papa?!"Gio menoleh cepat mendengar panggilan itu. Shiany juga dengan segera menoleh ke arah yang sama.Seorang gadis remaja yang cantik berdiri dengan tatapan aneh melihat pada Gio dan Shiany. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda berkacamata, mirip sekali dengan Gio. Dia mengenakan seragam SMA."Hai! Pagi sekali kalian datang?" Gio bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati kedua anaknya.Wajah Maureen sangat ketus. Dia menatap galak pada sang ayah."Pagi, Papa." Pemuda di belakang Maureen menyapa. Suaranya pun sedikit mirip suara Gio."Pagi, Reggy." Gio menjawab sapaan anak sulungnya.Mata Gio menengok pada Shiany yang memperhatikan mereka. Dari pandangan Reggy, Gio tahu, putranya sedang bertanya siapa wanita yang bersamanya.Maureen dengan wajah kesal menatap tajam pada Gio. Pertanyaan yang sama pasti ada di kepala Maureen."Siapa dia, Papa?" Pelan tapi tegas, Maureen bertanya."Bu Shiany, salah satu rekan kerja Papa," jawab Gio tenang."Kenapa sepagi ini datang ke sini?" Pertanyaan Maureen berlanjut."Papa tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul. Papa juga terkejut." Gio menjelaskan."Dari kapan dia di sini? Dia nemani Papa semalamam?" Pertanyaan makin jauh, seperti sedang memginterogasi.Gio menarik napas dalam. Shiany memang bikin ulah saja dengan datang tiba-tiba begini."Nggak, Reen. Kira-kira setengah jam lalu dia datang," jawab Gio lagi."Oke." Kata itu Maureen ucapkan dengan nada seolah antara percaya dan tidak. "Aku yang jaga Felipe hari ini. Aku ijin ga sekolah. Papa pulang saja. Sempatkan istirahat sebelum ke kantor."Maureen rupanya sudah mengatur jadwal mereka."Kamu ga ke sekolah?" tanya Gio. "Biar Bu Lasti saja yang jaga Felipe.""Nggak. Gara-gara aku, Kak Felipe kayak gini. Aku harus tanggung jawab." Maureen menggeleng keras."Baiklah. Satu hari ini saja," ujar Gio menyetujui kemauan Maureen."Pak, gimana? Ga jadi sarapan?" Shiany tidak sabar karena didiamkan begitu saja.Gio memutar badan. Shiany melangkah mendekat ke arahnya."Hai! Kalian anak-anak Pak Gio? Kenalkan aku Shiany." Tangan Shiany terulur pada Maureen sambil dia lepas senyum manisnya."Ah, maaf, Tante. Ga bisa salaman. Tanganku penuh." Suara galak Maureen terdengar. Dia memang memegang tas besar di tangan kiri, sedang tangan kanan ada ransel. "Aku mau ke dalam, lihat Kak Felipe."Tidak menunggu lagi, Maureen langsung berjalan masuk ke dalam kamar. Reggy masih di situ, tapi jelas dia pun terlihat kikuk berhadapan dengan Shiany."Aku lihat Felipe bentar lalu ke sekolah, Pa. Try out ga bisa aku tinggal ," kata Reggy. Minggu-minggu itu memang sedang persiapan ujian kelulusan SMA."Ah, ya. Papa harap kamu tetap bisa maksimal, tidak terganggu konsentrasi karena Felipe," ujar Gio."Don't worry. I"ll do my best," sahut Reggy lalu dia beranjak masuk ke ruangan menyusul Maureen.Shiany memandang hingga Reggy hilang di balik pintu lalu melihat Gio."Anak-anak Pak Gio udah segede itu. Itu semua beneran anak Pak Gio?" tanya Shiany seperti tidak yakin. Melihat penampilan keren Gio, dia kira anak-anak Gio belum berusia remaja."Ya, mereka anak-anakku." Gio berkata sambil melangkah mendekat ke ruangan, melihat ke dalam dari jendela kamar.Shiany terdiam di tempatnya. Jujur saja, jauh dari bayangannya. Dia tahu Gio duda, pasti punya anak. Belum bisa yakin sebenarnya jika anak-anak Gio sudah sebesar itu. Yang sulung bahkan umurnya tidak terpaut jauh dengannya. Yang perempuan? Astaga! Judes sekali.Tiba-tiba pintu terbuka dan Maureen berdiri di sana."Papa! Dicari Kak Felipe!" Maureen memanggil Gio. Jelas dia minta Gio masuk ke ruangan. Tatapan Maureen masih ketus, sama sekali tidak memperhatikan Shiany."Oke, Papa masuk," sahut Gio. Dia menoleh pada Shiany. "Sebaiknya Bu Shiany pulang saja. Terima kasih sudah datang."Gio langsung beranjak, masuk ke ruangan bersama Maureen. Sebelum masuk, gadis remaja itu sempat melirik dengan tajam pada Shiany."Gila. Pak Gio sekeren itu, bikin jantung meletup-letup. Tapi, herdernya banyak. Ampun, dah." Shiany bicara sendiri.Dia mengangkat kedua bahunya, menggeleng-geleng keras lalu meninggalkan tempat itu. Sepertinya dia harus berpikir ulang, bahkan berulang kali kalau mau merebut hati Gio. Lawan yang dia hadapi tidak kaleng-kaleng.Di dalam kamar, Felipe sudah bangun. Dia duduk sambil makan roti yang Maureen bawakan."Pa, emang ada cewek ke sini? Aku kok ga lihat? Maureen sewot banget, tuh." Felipe menyambut Gio dengan kalimat yang tidak enak didengar.Maureen pura-pura sibuk menata meja dan nakas di sebelah ranjang. Tapi sejujurnya, hati Maureen panas. Dia tetap memasang telinga menunggu jawaban dari papanya.Gio harus menjelaskan pada anak-anaknya kalau dia dan Shiany memang tidak ada apa-apa. Dia harus memilih kata-kata yang tepat agar tidak akan ada lagi pertanyaan dan kecurigaan dari mereka kalau Gio tidak ada hubungan lebih dari rekan kerja dengan wanita itu. Reggy dan Felipe memandang pada sang ayah, menunggu penjelasan. Maureen masih pura-pura sibuk meskipun telinganya siap menerima jawaban. "Bu Shiany itu utusan dari perusahaan lain untuk bekerja sama dengan event di kota. Lebih dua bulan kami bersama-sama mengurus semuanya. Baru tuntas kemarin. Papa juga tidak mengira dia punya perhatian lebih. Serius, Papa bahkan tidak mengatakan kalau anak Papa sedang kena musibah. Dia mendapat kabar dari yang lain." Ketiga anak Gio memperhatikannya. Mereka mau mendengar semuanya, sejelas-jelasnya. "Papa sudah janji akan fokus dengan keluarga. Papa masih sayang mama kalian. Buat Papa tujuan hidup Papa melihat kalian berhasil meraih cita-cita, itu saja." Gio tidak mau menceritakan lebih jauh y
Gio merasa deru jantungnya melaju begitu cepat. Hasrat rindunya meningkat. Victoria tiba-tiba ada di depannya. Mata mereka bertemu, tangan pun saling menggenggam. Gio tak akan menyia-nyiakan waktu kebersamaan itu."Vicky, Vicky ...""Mas Gio, kamu yang aku kuatirkan." Victoria mengulang kata-katanya."Aku sangat rindu sama kamu," kata Gio tanpa berkedip, terus memandang wajah cantik wanita paling dia cintai."Mas, kamu harus bahagia," ucap Victoria lembut. Tangannya naik menyentuh pipi Gio. Ada ketulusan dari tatapan mata Victoria."Kamu bahagiaku, Vicky. Kamu tahu itu," ucap Gio. Makin menderu rasa di dadanya. "Kamu pun bahagiaku. Ketiga buah hati kita bukti kebahagiaan kita. Tapi kamu, Mas, kamu harus bahagia ..." Tuttt!!! Tutttt!!!Keras dering telpon terdengar. Gio melonjak dan segera bangun."Astaga ... Aku ketiduran. Dan, Vicky??" Gio benar-benar bermimpi bertemu mendiang istrinya.Tutttt!! Tuttt!! Lagi dering ponsel membahana di ruang kamar itu.Masih belum mendarat, masih te
Pagi datang. Veronica bersemangat memulai hari. Dengan dua karyawatinya tinggal di ruko, di lantai 2, dia tidak lagi merasa kesepian. Veronica sendiri memilih lantai 3 menjadi tempat dia tinggal. Lebih privasi dan tenang.“Mbak, jadi belanja?” Seorang wanita muda menghampiri Veronica yang baru turun dari lantai atas ke distro.“Eih, Tina. Iya. Ada beberapa yang harus aku beli buat besok.” Veronica menjawab dengan senyum ceria di bibirnya.“Perlu aku temani, Mbak?” Tina menawarkan diri.“Hmm …” Veronica berpikir. “Ga usah, deh. Ga banyak juga yang dibeli. Kamu bantu di sini aja, biar semua segera beres.”"Siap!" Tina menyahut dengan mantap."Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi saja. Aku harap yang aku cari ga susah dapatnya, jadi aku bisa cepat balik." Veronica merapatkan jaket tipis yang dia kenakan."Iya, Mbak. Hati-hati di jalan." Tina mengangguk.Veronica keluar distro. Taksi online yang di pesan sudah datang. Dengan cepat Veronica masuk ke dalam kendaraan berwarna putih itu,
Kaget juga Maureen dengan kedatangan cowok spesial di hatinya itu. Ternyata Natan berani datang juga ke rumah, padahal Maureen sudah mengancam jangan sampai nongol di rumahnya. Natan memang menyukai Maureen. Dia bahkan menulis surat cinta yang diselipkan dalam lukisan yang dia buat untuk Maureen, saat gadis itu berulang tahun. Lukisan itu yang menjadi biang keladi keributan Maureen dan Felipe.Gara-gara lukisan hadiah dari Natan, keusilan Felipe merajalela. Hingga puncaknya siang itu sepulang sekolah. Karena terlalu kesal Maureen mengancam kabur dan menyeberang jalan, menuju arah berlawanan dengan jalan mereka pulang.Panik, Felipe mengejar Maureen, begitu saja menyeberang jalan, hingga sebuah motor tak bsia menghindar dan menabrak Felipe."Ah, iya, masuklah." Maureen mundur beberapa langkah dari pintu."Kok kamu bisa sama-sama Yerry?" tanya Maureen. Natan melangkah masuk. "Iya, kan dari sekolah barengan," jawab Natan. "Kamu kenal baik sama Yerry?" tanya Maureen lagi. Mereka menuju
Melihat ekspresi Maureen, Natan tahu Maureen tidak senang dengan ucapannya.“Maaf, aku ga enak nih, tanya kayak gitu,” kata Natan. Tatapan aneh Maureen membuat Natan sadar, dia salah bicara. “Sampai sekarang papa ga pernah bicara soal nikah. Lagian aku ga mau la, punya ibu tiri,” ujar Maureen tegas. Natan tersenyum melihat Maureen manyun. Tapi dia bisa paham mengapa Maureen berpikiran seperti itu. Natan akan ingat baik-baik, Maureen cukup sensitif bicara soal ini. Lebih baik dia tidak mengungkit mengenai ini lagi. "Sorry, Reen. Really sorry," ucap Natan."Dahlah, ga apa-apa." Maureen melempar senyum tapi terlihat kecut.Mereka melanjutkan mengerjakan PR. Lumayan, Natan datang membuat dia lebih semangat belajar. Waktu berlalu, hingga jam lima sore, Yerry dan Natan pulang. ***** Semenjak pembicaraan di teras samping dengan Natan, pikiran Maureen jadi sering tertuju pada papanya. Apa benar papa tidak ingin menikah? Memang papa tidak muda banget, tapi papa masih belum tua juga. Misal
Reggy menoleh pada Resita, tidak memperhatikan yang Maureen katakan. "Kak Reggy!? Dengar aku, kan?" Lagi teriakan Maureen terdengar. "Ya, oke. Kirim saja list-nya. Aku pulang sekalian belanjain," jawab Reggy. "Makasih, Kakakku yang paling baik. Aku tunggu ya ... Ga pakai lama!" Klik. Panggilan Maureen selesai. Resita masih memandang Reggy. Serius, gadis itu merasa lucu dengan kejadian barusan. "Nama kamu bukannya Ardani?" tanya Resita. "Reggy panggilanku di rumah. Sorry, adikku memang cerewet." Reggy melepas senyum tipis. "Seru kedengarannya. Aku malah ga punya adik," ujar Resita. "Oh ... anak tunggal?" tanya Reggy sambil menyimpan ponsel di tasnya. Dia bersiap akan pulang. "Ada kakak laki-laki. Tapi kakak angkat." Resita menjawab sambil ikut merapikan tasnya. "I see ..." Reggy mengangguk. "Baiklah, aku harus pulang juga. Sampai besok, Re ... ah, ga apa-apa aku panggil Reggy?" "Ya, tentu." Reggy kembali tersenyum.Mereka berpisah di tempat parkir. Masing-masing dengan moto
Kembali ke sekolah, Reggy dan Resita mendapat sambutan heboh dari teman-teman. Mereka berhasil menjuarai lomba puisi se-kota. Tentu saja semua bangga, karena piala kemenangan diboyong ke sekolah oleh keduanya. Reggy di tempat pertama dan Resita menyusul di nomor kedua. Senyum lebar Resita yang hampir tidak hilang dari bibirnya yang indah, makin membuat hati Reggy bergelut dengan rasa yang dia yakin, itu adalah cinta. Sampai di detik terakhir Reggy harus meninggalkan sekolah, dia masih melihat senyum Resita sembari gadis itu melambai ke arahnya, lalu mereka berpisah. "Kapan bisa duduk berdua ngobrol lagi, Re? Lomba selesai, urusan kita juga selesai." Reggy merasa sedikit melow memikirkan itu. "Hebat!! Kakakku kerennn!!" Maureen melompat-lompat girang menyambut Reggy pulang. Tentu saja, kabar kemenangan Reggy sudah beredar di sosmed dan sampai kepada adik-adiknya. Maureen langsung beraksi begitu Reggy sampai di rumah. Dia peluk Reggy erat, dia goyang-goyang, sampai berputar-putar kar
"Sore, Reen!" Gio masuk ruang makan. Hampir setengah enam sore. Pada jam itu memang biasanya Gio sampai rumah. "Sore, Pa," balas Maureen datar. Dia menuangkan susu hangat buat papanya. "Thank you, Sayang." Gio mendekat dan mencium kening Maureen. Maureen diam tidak bereaksi. Tanpa berkata apa-apa dia masuk ke kamar. Masih jengkel ingat waktu di mal melihat Gio bersama wanita muda. Kenapa papanya begitu? Rasanya hancur hati Maureen. Padahal selama ini dia sangat bangga pada sang ayah. Papa seorang pria penyayang dan setia. Bagaimana dia bsa tega seperti itu? Apa papa mulai lupa dengan mama? Pasti wanita itu memang mata duitan. Apa dia tidak bisa melihat Gio Hendrick sudah bapak-bapak? Secara wanita itu masih muda. Usianya, Maureen yakin tidak beda jauh dari Reggy. Wanita itu masih pantas disebut seumuran anak papa. Apa semua laki-laki memang begitu? Tidak bisa setia. Mama pasti sedih melihat situasi ini. Papa tidak punya perasaan. Maureen tidak menyangka papanya sendiri bisa berbu