Share

Bab 7. Siapa Dia, Papa?!

"Aku bawakan sarapan, Pak. Masih hangat." Shiany menyodorkan kotak berwarna coklat di depan Gio.

Gio mengusap-usap mata dan wajahnya. Dia masih harus memaksa dirinya segera dapat kesadaran lagi. Ya, dia tidak sedang bermimpi. Shiany memang datang menemuinya di rumah sakit.

"Dari mana kamu tahu aku di sini?" Gio tidak bisa basa-basi. Dia tidak menerima kotak yang masih terulur di depannya. Dia menatap Shiany dengan pandangan tidak suka.

"Itu gampang sekali, Pak Gio. Media sosial bisa menjawab apapun yang kita tanya dan menunjukkan apapun yang kita perlu," jawab Shiany.

Ya, kenapa tidak terpikir oleh Gio? Anak-anaknya bisa saja meng-up load yang terjadi pada Felipe. Mudah saja mencari jejak digital.

Dia duduk di samping Gio sambil memegang kotak yang ditolak Gio. Gio berdiri, mendekati Felipe. Anak muda itu masih lelap dengan posisi kepalanya miring. Perlahan-lahan Gio membetulkan posisinya agar lebih nyaman.

"Hhmmm ..." Felipe bergumam. Sepertinya dia merasa ada yang mengganggu tidurnya.

Tangan Gio berhenti. Dia pastikan Felipe terbangun atau tidak. Untungnya Felipe tidak lagi bereaksi. Anak muda dengan rambut hitam lurus dan tebal itu kembali pulas.

Gio berbalik dan berjalan keluar ruangan. Lebih baik dia bicara dengan Shiany di luar saja. Shiany mengikuti Gio. Kotak makanan yang dia bawa masih ada di tangan.

"Pak, kok bisa kecelakaan seperti itu? Dia naik motor?" tanya Shiany. Dia penasaran juga ingin tahu apa yang terjadi.

"Kukira media sosial sudah menjelaskan semua." Gio memberi jawaban yang dingin, cuek, dan jelas dia terganggu dengan kedatangan Shiany.

"Tidak sedetil itu juga, Pak." Shiany menyahut. "Memang anak sekarang kalau bawa kendaraan semaunya. Kurang hati-hati. Jalanan seperti miliknya sendiri."

"Aku tidak pernah mengijinkan anakku membawa kendaraan di jalan kecuali dia sudah mendapat surat ijin resmi. Felipe baru 16 tahun. Dia belum pernah membawa kendaraan sekalipun di jalan raya." Gio merasa Shiany semakin lancang dan sok tahu dengan situasi dirinya.

"Ahhh! Luar biasa kalau begitu." Shiany tersenyum. "Pak Gio sangat tegas dan bijak dalam mendidik anak. Aku sungguh kagum."

Gio tidak terkesan dengan pujian dari Shiany. Dia tidak memberi respon apapun. Gio kembali melihat ke arlojinya. Sedikit lagi jam setengah enam pagi.

Hari mulai terang. Mentari belum tampak, tapi langit tdak lagi gelap. Gio duduk di kursi di depan ruangan sambil memperhatikan taman kecil di seberang. Shiany ikut duduk, tepat di samping Gio.

"Pak, ini sarapannya. Mumpung masih hangat. Nasi uduk spesial." Shiany kembali menyodorkan kotak di depan Gio.

"Terima kasih." Gio menerima kotak itu.

Senyum lebar Shiany merekah. Ternyata harua benar-benar sabar menghadapi duda tampan berkelas ini. Asal Shiany tidak menyerah, Gio pasti akan takluk juga.

"Papa?!"

Gio menoleh cepat mendengar panggilan itu. Shiany juga dengan segera menoleh ke arah yang sama.

Seorang gadis remaja yang cantik berdiri dengan tatapan aneh melihat pada Gio dan Shiany. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda berkacamata, mirip sekali dengan Gio. Dia mengenakan seragam SMA.

"Hai! Pagi sekali kalian datang?" Gio bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati kedua anaknya.

Wajah Maureen sangat ketus. Dia menatap galak pada sang ayah.

"Pagi, Papa." Pemuda di belakang Maureen menyapa. Suaranya pun sedikit mirip suara Gio.

"Pagi, Reggy." Gio menjawab sapaan anak sulungnya.

Mata Gio menengok pada Shiany yang memperhatikan mereka. Dari pandangan Reggy, Gio tahu, putranya sedang bertanya siapa wanita yang bersamanya.

Maureen dengan wajah kesal menatap tajam pada Gio. Pertanyaan yang sama pasti ada di kepala Maureen.

"Siapa dia, Papa?" Pelan tapi tegas, Maureen bertanya.

"Bu Shiany, salah satu rekan kerja Papa," jawab Gio tenang.

"Kenapa sepagi ini datang ke sini?" Pertanyaan Maureen berlanjut.

"Papa tidak tahu. Tiba-tiba saja dia muncul. Papa juga terkejut." Gio menjelaskan.

"Dari kapan dia di sini? Dia nemani Papa semalamam?" Pertanyaan makin jauh, seperti sedang memginterogasi.

Gio menarik napas dalam. Shiany memang bikin ulah saja dengan datang tiba-tiba begini.

"Nggak, Reen. Kira-kira setengah jam lalu dia datang," jawab Gio lagi.

"Oke." Kata itu Maureen ucapkan dengan nada seolah antara percaya dan tidak. "Aku yang jaga Felipe hari ini. Aku ijin ga sekolah. Papa pulang saja. Sempatkan istirahat sebelum ke kantor."

Maureen rupanya sudah mengatur jadwal mereka.

"Kamu ga ke sekolah?" tanya Gio. "Biar Bu Lasti saja yang jaga Felipe."

"Nggak. Gara-gara aku, Kak Felipe kayak gini. Aku harus tanggung jawab." Maureen menggeleng keras.

"Baiklah. Satu hari ini saja," ujar Gio menyetujui kemauan Maureen.

"Pak, gimana? Ga jadi sarapan?" Shiany tidak sabar karena didiamkan begitu saja.

Gio memutar badan. Shiany melangkah mendekat ke arahnya.

"Hai! Kalian anak-anak Pak Gio? Kenalkan aku Shiany." Tangan Shiany terulur pada Maureen sambil dia lepas senyum manisnya.

"Ah, maaf, Tante. Ga bisa salaman. Tanganku penuh." Suara galak Maureen terdengar. Dia memang memegang tas besar di tangan kiri, sedang tangan kanan ada ransel. "Aku mau ke dalam, lihat Kak Felipe."

Tidak menunggu lagi, Maureen langsung berjalan masuk ke dalam kamar. Reggy masih di situ, tapi jelas dia pun terlihat kikuk berhadapan dengan Shiany.

"Aku lihat Felipe bentar lalu ke sekolah, Pa. Try out ga bisa aku tinggal ," kata Reggy. Minggu-minggu itu memang sedang persiapan ujian kelulusan SMA.

"Ah, ya. Papa harap kamu tetap bisa maksimal, tidak terganggu konsentrasi karena Felipe," ujar Gio.

"Don't worry. I"ll do my best," sahut Reggy lalu dia beranjak masuk ke ruangan menyusul Maureen.

Shiany memandang hingga Reggy hilang di balik pintu lalu melihat Gio.

"Anak-anak Pak Gio udah segede itu. Itu semua beneran anak Pak Gio?" tanya Shiany seperti tidak yakin. Melihat penampilan keren Gio, dia kira anak-anak Gio belum berusia remaja.

"Ya, mereka anak-anakku." Gio berkata sambil melangkah mendekat ke ruangan, melihat ke dalam dari jendela kamar.

Shiany terdiam di tempatnya. Jujur saja, jauh dari bayangannya. Dia tahu Gio duda, pasti punya anak. Belum bisa yakin sebenarnya jika anak-anak Gio sudah sebesar itu. Yang sulung bahkan umurnya tidak terpaut jauh dengannya. Yang perempuan? Astaga! Judes sekali.

Tiba-tiba pintu terbuka dan Maureen berdiri di sana.

"Papa! Dicari Kak Felipe!" Maureen memanggil Gio. Jelas dia minta Gio masuk ke ruangan. Tatapan Maureen masih ketus, sama sekali tidak memperhatikan Shiany.

"Oke, Papa masuk," sahut Gio. Dia menoleh pada Shiany. "Sebaiknya Bu Shiany pulang saja. Terima kasih sudah datang."

Gio langsung beranjak, masuk ke ruangan bersama Maureen. Sebelum masuk, gadis remaja itu sempat melirik dengan tajam pada Shiany.

"Gila. Pak Gio sekeren itu, bikin jantung meletup-letup. Tapi, herdernya banyak. Ampun, dah." Shiany bicara sendiri.

Dia mengangkat kedua bahunya, menggeleng-geleng keras lalu meninggalkan tempat itu. Sepertinya dia harus berpikir ulang, bahkan berulang kali kalau mau merebut hati Gio. Lawan yang dia hadapi tidak kaleng-kaleng.

Di dalam kamar, Felipe sudah bangun. Dia duduk sambil makan roti yang Maureen bawakan.

"Pa, emang ada cewek ke sini? Aku kok ga lihat? Maureen sewot banget, tuh." Felipe menyambut Gio dengan kalimat yang tidak enak didengar.

Maureen pura-pura sibuk menata meja dan nakas di sebelah ranjang. Tapi sejujurnya, hati Maureen panas. Dia tetap memasang telinga menunggu jawaban dari papanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status