Share

Bab 6. Memang Mempesona

Gio melangkah masuk ke dalam ruangan IGD menuju ranjang di mana anak keduanya berbaring. Di sampingnya, Maureen memegang lengannya dengan kuat. Gadis itu sangat gugup dan juga dipenuhi rasa takut bercampur rasa bersalah.

Tinggal beberapa langkah dari ranjang mereka berhenti. Di depan mereka Felipe terbaring lemah di atas kasur. Kepalanya dibalut perban putih. Ada memar dan luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya juga banyak luka-luka akibat yang dia alami. Tangan kirinya diinfus, entah obat apa yang dia perlukan.

Mata Felipe memandang lurus pada Gio dan Maureen. Tetapi tatapan Felipe terlihat aneh. Dia memandang ke sekelilingnya seolah-olah mencoba memahami apa yang terjadi.

"Hai, Fel. Apa yang kamu rasa?" Gio maju lagi dua langkah. Maureen terus memegang kuat lengan Gio.

"Aku? Aku, kenapa?" Pandangan Felipe tampak bingung.

"Fel!"

"Kak?!"

Gio dan Maureen berseru bareng. Pertanyaan Felipe membuat mereka kaget.

"Kak, beneran kamu ga ingat apa yang terjadi?" Maureen maju selangkah, tapi tangannya masih menggandeng lengan Gio.

Gio menatap dengan cermat wajah Felipe. Dia memang tampak bingung. Lalu mengernyit, tangan kanan memegang kepala atasnya.

"Ahhh, kepalaku ..." Felipe mengernyit hingga kedua alisnya hampir menyatu.

"Felipe?" Gio ikut mendekat.

Detak jantung Gio melaju cepat. Sepertinya yang dokter katakan benar. Kepala Felipe mengalami benturan cukup keras dan bisa berpengaruh dengan kerja otaknya. Sedangkan dokter masih perlu melakukan observasi sejauh mana efek benturan terhadap otak Felipe.

"Aku di mana? Kenapa badanku sakit semua?" Dengan suara lemah Felipe bicara.

"Ya Tuhan, Kakak ...." Maureen merasakan dadanya bergemuruh.

Felipe tidak bisa ingat apa yang terjadi! Apakah dia mengalami amnesia? Tidak! Gadis itu menunduk dalam-dalam dan menangis.

"Ini semua salahku. Aku egois. Aku jahat. Ini semua salahku. Ya Tuhan ..." Maureen merasa tubuhnya pun gemetar dan menjadi lunglai.

"Felipe, kamu di rumah sakit." Gio berbicara berharap apa yang dia katakan akan membuat Felipe ingat sesuatu.

"Rumah sakit? Kok bisa?" tanya Felipe.

Dia masih memegangi kepala tapi suaranya terdengar lebih keras.

Maureen makin dalam menundukkan kepala. Sebagian rambutnya sampai tergerai menutupi wajahnya. Bagaimana dia akan menjawab pertanyaan Felipe? Semakin dia membuka suara, semakin menusuk rasa bersalah di dada. Gara-gara kebodohannya, Felipe harus mengalami kecelakaan hingga kehilangan ingatan.

Gio merangkul bahu Maureen. "Reen, it is okay. Felipe akan pulih lagi. Dia laki-laki yang kuat."

"Maafkan aku, Pa. Maafkan aku." Rasanya berat sekali kata-kata itu keluar dari bibirnya.

"Kamu mencelakai aku, kenapa minta maaf sama Papa?" ujar Felipe.

Mendengar itu Maureen mengangkat wajah dan melihat Felipe. Felipe juga sedang memandang padanya.

"Sini, minta maaf sama kakak ganteng," kata Felipe. Lalu dia memainkan alisnya, menaikkannya beberapa kali.

"Kak?!" Maureen lupa kalau dia sedang menangis. Dia bingung kenapa Felipe berkata begitu.

"Sakit sekali kepalaku, lihat tangan kakiku. Sakit semua. Ayo, cepat minta maaf," tandas Felipe.

"Felipe? Kamu tidak hilang ingatan, bukan?" Gio mempertajam tatapannya pada Felipe.

"Papa?" Maureen memegang lagi lengan Gio. Dia masih bingung dengan keadaan Felipe.

"Kepalaku sakit," kata Felipe. Kembali dia mengernyit sambil memegang kepala bagian atas.

"Felipe, jawab Papa." Gio meminta Felipe tidak menghindar.

"Papa, please ..." Maureen kaget papanya bersikap keras pada Felipe di saat dia sedang sakit sampai tidak bisa ingat dirinya.

"Hehehe ..." Tiba-tiba Felipe terkekeh. "Hehehe ..."

"Felipe?" ulang Gio memanggil meminta Felipe segera menjawab.

"Aduh, adduhhh, tunggu bentar, Pa." Felipe kembali memegangi kepalanya. Dia menarik napas dalam beberapa kali.

"Kakak, aku takut. Kakak kenapa?" Maureen memandang Felipe dengan tatapan makin bingung.

"Aku mau ketawa, tapi nyut nyut kepalaku," ujar Felipe.

"Kakak!" Maureen mengusap pipinya yang kembali basah. Dia benar-benar bingung melihat Felipe seperti itu. "Maafkan aku. Semua gara-gara aku. Kalau aku ga marah-marah, kamu ga akan kayak gini."

"Heii ... jangan nangis," sahut Felipe. Dia mengulurkan tangannya yang menggenggam tangan Maureen.

"Aku memang bodoh. Emosian terus. Aku jahat sama kamu, Kak." Tangis Maureen masih belum bisa berhenti.

Gadis 14 tahun itu benar-benar menyesal dengan kelakuannya yang membuat kakaknya celaka.

"Heii, aku ga apa-apa. Papa bener, aku laki-laki yang kuat." Felipe membujuk adiknya.

"Ga apa-apa gimana? Kepalamu sakit, seluruh tubuhmu sakit. Kamu jangan bikin aku bingung, Kak," ucap Maureen, sementara tangannya sibuk mengusap lagi pipinya.

"Iya, sakit semua. Tapi aku masih normal. Ga lupa kalau punya adik suka ngambek," timpal Felipe.

"Ihh, Kakak!" Maureen memutar tubuh dan memeluk Gio. Tangisnya meledak lagi.

Kesal karena Felipe mengerjainya. Dalam kondisi seperti itu, kebiasaan usilnya masih juga dia lakukan. Tetapi lega, kekuatiran dokter tidak terjadi. Kepala Felipe mungkin ada luka, tapi tidak mempengaruhi otaknya.

"Reen ... jangan nangis, please ... Aku ga apa-apa. Besok aku udah bisa main basket lagi," kata Felipe berusaha menghibur adiknya.

Gio tersenyum memandang Felipe. Lega, putra keduanya bisa usil, berarti dia memang baik-baik saja.

Malam itu, Gio menemani Felipe di rumah sakit. Maureen pulang bersama Reggy, anak pertama Gio yang juga menyusul sepulang dia dari sekolah. Gio merasa terharu melihat ketiga anaknya yang sudah remaja dan beranjak dewasa. Mereka tumbuh dengan baik meski tanpa seorang ibu ada di rumah mereka.

Hampir enam tahun, tidak terasa istri tercinta meninggalkan Gio karena kanker. Rasanya tidak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Segalanya seperti hancur dan berantakan saat ratu di keluarga Hendrick harus berpulang selamanya.

Ternyata semua dapat terlewati, meskipun berat sekali Gio harus berjuang sebagai seorang ayah yang juga memaksa diri berperan sebagai ibu.

*****

Gio memandangi Felipe yang tidur pulas. Baguslah. Jika dia bisa istirahat, akan lebih cepat pulih. Lega juga, dia segera bisa dipindah ke ruang perawatan, bukan lagi di IGD.

Gio sendiri merasa sangat letih dan lelah. Tapi pikirannya bergerak ke mana-mana, banyak hal datang dan pergi di kepalanya.

Ting! Ting! Ting!

Notif masuk beberapa kali di ponsel. Gio membuka pesan yang masuk dari Shiany. Seketika mata Gio melebar. Foto diri Shiany terbuka di layar. Wanita itu memang niat ingin menaklukkan Gio. Jika di kantor, meskipun penampilannya seksi masih terlihat oke, di luar Shiany jauh lebih berani,

Celana pendek, sangat pendek yang dia kenakan. Dengan tangtop membalut tubuh bagian atas. Itu pun perutnya tidak tertutup penuh. Di tangannya gelas minuman dia angkat tinggi. Senyumnya lebar dengan lirikan mata menggoda.

- Ke sini, Pak Gio. Kami beneran happy. Jangan kerja mulu!

Gio menggeleng-geleng. Shiany memang mempesona. Sebagai pria, Gio tidak mungkin memungkiri itu. Desir-desir halus ada kalanya mengganggu jika Gio melihat wanita cantik dengan penampilan aduhai atau syur. Dia butuh sentuhan dan butuh memberikan pelepasan untuk dirinya.

"Hmmm ..." Gio mengembuskan napas berat.

Ting!

- Ditunggu, nih ... Botol baru siap meluncur!

Satu lagi pesan dengan gambar makin menggoda Shiany kirimkan.

Gio harus memberi jawaban atau Shiany akan terus mengganggu.

- Anakku di rumah sakit. Aku tidak bisa bersenang-senang.

Kesal, Gio mengirimkan pesan balasan.

Ada lagi pesan masuk, tapi Gio enggan membukanya. Dia simpan ponsel dan memejamkan mata. Lebih baik berusaha tidur dari pada terganggu hal yang tidak perlu.

"Selamat pagi, Pak."

Sapaan lembut itu membangunkan Gio. Dia dengan cepat menegakkan posisinya yang semula sedikit merosot bersandar pada sandaran sofa. Betapa terkejut Gio melihat siapa yang ada di depannya.

"Bu Shiany?"

Gio melihat ke arloji di tangannya. Hampir jam lima pagi. Bagaimana bisa Shiany muncul tiba-tiba begini? Tahu dari mana kalau Gio ada di rumah sakit itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status