Share

Bab 05. Pertemuan Kedua

"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.

Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.

Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."

Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara. 

Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam dengan postur tinggi tegap. Aura mereka terlihat gelap, mmebuat Salwa ragu ingin mendekat.

"Kau yang bernama Salwa?"

Salwa mengangguk ragu, menanggapi pertanyaan salah seorang dari mereka. Kedua orang itu bukanlah majikannya, karena yang Salwa tahu majikannya adalah pria asing berkewarganegaraan Kanada, sedangkan pria yang berada di depannya ini sepertinya warga lokal.

"Bagus. Ayo, ikut kami! Kami tidak memiliki banyak waktu." Setelah mengurus segala proses penjemputan, kedua orang itu menyuruh Salwa bergegas mengikuti mereka.

Salwa menurut, enggan banyak berkomentar karena dia sudah tahu bagaimana aturan yang diberlakukan calon majikannya sebelum dirinya memutuskan menandatangani kontrak kerja itu. 

Salwa menjadi pelayan seorang pria berstatus single dan tinggal seorang diri di sebuah penthouse mewah. Anehnya, hanya bertugas membersihkan dan membuatkan sarapan saja, dia dibayar dengan nominal tinggi sehingga membuatnya segera menyetujui syarat-syarat tertentu di surat kontrak yang sudah ia tandatangani. Tidak ingin berpikir buruk, Salwa hanya bisa berdoa agar keputusannya ini benar adanya.

Hening seakan menyapa, begitu Salwa duduk di sebuah mobil mewah dengan harum kopi menusuk hidung. Kedua pria itu duduk di depan, sementara Salwa duduk di kabin penumpang. Tiada putaran lagu untuk mencairkan suasana, hanya keheningan dan suara deru napasnya sendiri yang kini terdengar di indra pendengarannya.

Mobil berhenti tepat di sebauh basement apartemen mewah. Ada kartu akses khusus yang digunakan untuk masuk melalui pintu depan sebagai tanda pengenal penghuni apartemen itu. Salwa dan dua orang itu menaiki sebuah elevator yang akan membawa mereka ke lantai teratas gedung ini. Ya, Salwa bekerja di sana, sebuah penthouse mewah dengan ukuran seluas satu lantai apartemen itu.

"Lihat dan pelajari. Kami tidak mau mengulang-ulang perintah!"

Kedua orang itu mengajak Salwa berkeliling penthouse setelah meletakkan barangn pribadinya, menunjukkan satu per satu tugas apa saja yang harus Salwa kerjakan, yaitu dari membersihkan keseluruhan ruangan hingga membuatkan sarapan majikannya. Perempuan itu mencatat apa saja yang kedua orang itu katakan dalam buku note kecil yang ia bawa dari yayasan.

"Tuan hanya sarapan di sini. Jadi, kau hanya menyiapkan makan pagi saja untuknya. Semua menu sudah ada daftarnya di buku resep yang ada di atas rak dapur. Itu adalah resep dari koki ternama restoran yang mendapatkan predikat bintang tiga michelin star. Kau cukup melakukan sesuai instruksi karena Tuan kami lidahnya sangat sensitif. Kau bisa dipecat kapan saja jika melakukan kesalahan sekecil apa pun. Tidak banyak pelayan yang bisa bertahan lebih dari satu bulan karena kesalahan dan kecerobohan yang mereka lakukan membuat Tuan kami tidak suka."

Salwa meneguk ludah. Begitu banyak hal yang harus ia patuhi dan tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Bagaimana bisa?

Pantaslah gaji yang diberikan begitu besar meskipun tugasnya tidak terlalu berat, sebab tugas yang sebenarnya mudah tersebut menjadi sulit dikerjakan karena banyaknya aturan yang diterapkan.

"Dan pakaian anehmu ini ...." Orang itu mengedikkan dagunya menyorot ke arah pakiaan yang Salwa kenakan. "... ganti dengan seragam kerja. Kau bisa memakai pakaianmu lagi jika sudah berada di luar penthouse. Kami tidak ingin Tuan kami sakit mata melihat penampilanmu."

"Jika saya tetap mengenakannya?" Dengan ragu Salwa bertanya, menatap kedua orang tersebut yang masih terus saja bicara.

"Kau akan dipecat."

Tidak, tentu saja Salwa tidak mau dipecat. Keluarganya sangat membutuhkan uang itu. Dia harus bisa berjuang agar mendapatkan gajinya secara utuh. Apa pun yang terjadi.

"Tuan kami tidak selalu pulang setiap hari. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu di hotel. Tapi, kau harus tetap menyiapkan sarapan karena bisa saja paginya Tuan pulang ke penthouse. Mengerti?"

"Iya, mengerti." Anggukan Salwa lakukan untuk meyakinkan kedua orang itu bahwa ia memahami semuanya.

"Kau boleh ke kamarmu. Belajar yang benar agar nasibmu lebih baik dari pelayan-pelayan sebelumnya."

Kedua orang itu segera pergi setelah mengatakan semua hal kepada Salwa. Peraturan lerja sebenarnya sudah tertulis dalam surat kontrak, tetapi tentang apa yang mereka jelaskan baru saja merupakan peraturan tak tertulis yang tetap harus dipatuhi.

***

"Tuan Sean Arthur."

Seorang pria tengah duduk dengan menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Sean Arthur yang duduk di kursi putar di balik meja besar itu. Sementara asistennya, Leon berdiri di sampingnya menonton drama yang sebenarnya sudah sering terjadi.

"Katakan kepadaku! Apa alasanku agar bisa memafkan kesalahanmu?" Sean bersedekap dada, menatap seseorang yang memiliki jabatan sebagai manager di perusahaannya.

"Tuan, saya akan memperbaiki semuanya. Tolong beri saya kesempatan!"

"Dua puluh empat jam. Kau bisa memperbaiki kesalahanmu selama dua puluh empat jam. Sekarang keluar!"

Pria itu mengangguk, dengan tubuh gemetar ia mengatupkan kedua telapak tangannya seolah-olah sedang mengucapkan terima kasih, tetapi pergerakan Sean yang mengibaskan tangannya memberi kode perintah bahwa ia harus segera keluar meninggalkan ruangan itu.

"Kau melepaskannya?" Leon yang sedati tadi hanya diam menjadi penonton, kini akhirnya bersuara.

"Aku pastikan waktu dua puluh empat jam ini tidak ia pergunakan untuk memperbaiki kesalahan, tetapi justru menghapus semua bukti-bukti yang mengarah kepadanya." Sean menyeret personal computer yang ia gunakan, menunjukkan layar menyala kebiruan itu kepada Leon. "Aku sudah menyimpan semua dokumen asli yang belum dimanipulasi, jika setelah ia pulang deretan huruf dan angka ini berubah, aku pastikan dia akan menyesal karena telah mengelabuhi Sean Arthur."

***

Salwa terbangun dari tidur lelapnya. Sudah meninjukkan pukul dua pagi waktu setempat, tetapi dia tidak bisa memejamkan matanya. Gugup berada di tempat baru, meskipun tempat tidur yang ia gunakan pastilah lebih empuk dan mewah dati.ranjang rumahnya, tak membuat Salwa bisa tidur nyenyak sampai pagi.

Mengenakan daster babydol selutut bergambar Doraemon, Salwa mengambil air wudhu. Melaksanakan dua rakaat saja untuk menghadap sang pencipta, mencurahkan isi hati dan kegugupannya. Berharap sebuah keberhasilan akan ia dapatkan setelah bersafari sampai sejauh ini. Tidak lupa doa untuk.orang tua tercinta yang kini sedang dalam masa perawatan di rumah.

Sekitar tiga puluh menit berlalu, menumpahkan segala beban kehidupan yang ditanggungnya di atas sajadah. Memulai pekerjaan baru dengan niat serta ridho Yang Maha Esa.

Waktu subuh masih lama, Salwa belum bisa memejamkan mata lagi. Dia teringat akan buku resep yang ditunjukkan oleh dua orang lelaki tadi sore. Ia memutuskan untuk belajar banyak hal agar di hati pertama bekerja, ia bisa meminimalisir kesalahan.

Salwa membuka pintu kamarnya. Penthouse itu terlihat sunyi dan sepi, juga gelap karena hanya bermodal cahaya bulan yang masuk melewati dinding kaca lebar tanpa ada sinar lampu yang memperjelas penglihatan. Tentu saja hal itu terjadi karena tuannya belum kembali malam ini. Ia mendadak merasa ngeri tinggal di tempat sebesar ini seorang diri.

Masih mengenakan pakaian yang sama, Salwa berjalan ke area dapur, mencari buku-buku yang ingin dipelajari. Waktu pagi memang sangat cocok untuk belajar. Salwa sering melakukannya ketika akan menghadapi ujian sekolah, dan tentunya nilainya selalu memuaskan karena apa yang ia pelajari setiap pagi langsung terserap di otaknya yang masih fresh.

Lampu dapur ia nyalakan. Kaki telanjangnya menapak lantai marmer yang terasa dingin di kulit, matanya mengedar ke arah rak dapur di bagian paling atas. Sialnya, buku-buku resep berada di rak paling ujung.

Salwa menarik barstool, memosisikan berada tepat di bawah buku-buku itu. Kakinya mulai menaiki barstool itu, sedikit berjinjit agar matanya bisa menangkap secara sempurna buku-buku yang terletak di sana. 

Baru saja Salwa menyunggingkan senyum setelah mendapatkan buku itu, tetapi sebuah suara mengejutkannya.

"Apa yang kau lakukan!"

Salwa terhenyak, suara itu begitu berat dan tegas. Hingga ia tak menyadari melempar buku di tangannya, sementara kakinya mendadak tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh. Barstool yang ia pijaki bergoyang, membuat Salwa kesulitan untuk menegakkan tubuh dan ....

"Kyaaaa ...!"

Hampir saja perempuan itu jatuh dengan kaki retak, jika tidak ada sebuah tangan yang menolongnya.

Dia meneguk ludah begitu tatapannya bersua dengan bola mata biru yang indah. Jantungnya berdetak tak seirama seiring pria berahang tegas, hidung mancung dengan jambang tipis tumbuh menutupi dagu itu sedang menatap dirinya. Sampai pikiran sadarnya bekerja keras untuk tak terbuai dengan sosok rupawan di depannya, ia menggeleng, menyadari posisinya saat ini yang sangat tidak sopan. 

Pria itu tak mengenakan pakaian atas, sementara tubuhnya sendiri justru berada dalam gendongan pria itu.

"Astaghfirulloh." Salwa buru-buru turun, merasa kainnya terangkat dan memperlihatkan apa yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan. Ia menunduk, menekuri lantai marmer itu dengan tatapan matanya. "Maaf, Tuan."

Lelaki itu melangkah mendekat, mengangkat dagu runcing yang masih menunduk ke bawah, mengamati wajah yang sepertinya tak asing baginya.

Wajah itu menengadah menatapnya, begitu tangannya menyentuh dagu itu. Mata bulat dengan bulu mata lentik membingkai di sana, hidung yang sedikit mancung, dan bibir .... Dia meneguk ludah ketika tatapannya terfokus di sana. Bibir mungil yang masih murni dengan warna biram alami, membuatnya tak bisa mengerjapkan mata hanya dengan menatapnya. Seolah-ada suatu keinginan untuk menikmatinya, membelainya, dan menyesapnya hingga habis tak bersisa. 

"Tu-an!"

Suara perempuan itu menegurnya, membuat ia seketika membuyarkan fantasi di kepalanya. Dia berdehem sejenak, lalu berkata dengan suara yang tiba-tiba berubah parau.

"Siapa kau?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status