Share

Bab 04. DTA004

Sebuah unit rusun dijadikan tempat bernaung sementara. Sebelum sang majikan menjemput para pekerja wanita, mereka tinggal di rusun sempit yang dihuni oleh beberapa calon pekerja.

Salwa merapikan barang-barangnya, menatanya dengan efisien, menggunakan area yang sempit itu agar tak memakan banyak tempat. Setelah dirasa semua barang-barangnya telah rapi tersusun, perempuan itu mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di ranjang.

Belum sempat matanya terpejam, seseorang di luar kamar mengetuk pintu sembari memanggil namanya membuat perempuan itu urung mengistirahatkan tubuh. Sebuah kepala menyembul dari pintu yang terbuka dari luar, lalu bertanya kepada Salwa. "Salwa, kamu sudah selesai?"

Dia adalah Anis, teman seperjuangan Salwa di yayasan, tetapi berangkat lebih dulu beberapa minggu yang lalu. Dia belum dijemput sang majikan sehingga harus menunggu di rusun yang sama dengan Salwa.

"Sudah, Mbak. Apa ada yang bisa kubantu?" Salwa segera memosisikan dirinya yang sebelumnya terbaring menjadi duduk. Perempuan itu merapikan rambutnya, menguncirnya dengan kuncir kuda.

"Mbak butuh perlengkapan mandi, pembalut, dan detergen. Kamu mau enggak belikan di Swalayan terdekat? Nanti Mbak kasih catatan biar kamu hafal jalan di sini."

Salwa mengangguk, meskipun letih karena baru selesai berberes, rasanya tak pantas jika dia menolak permintaan Anis untuk membeli pembalut. Sehingga dia memutuskan mengiakan permohonan perempuan itu sekalipun dirinya belum mengenal daerah tersebut.

Bukan hanya Anis yang ternyata membutuhkan bantuannya. Ketika dia berpamitan ingin pergi ke swalayan terdekat, teman-temannya penghuni rusun tersebut turut menitipkan belanjaan mereka. "Sekalian aku nitip juga!"

Salwa hanya bisa mengangguk untuk mengiakan, setidaknya ini bisa dijadikan pengalaman pertama baginya keluar dari rusun seorang diri meskipun dalam hati ada rasa waswas yang tak bisa dipungkiri.

Dia turun menggunakan elevator, berjalan perlahan sesuai denah yang digambarkan Anis di secarik kertas. Sambil melihat-lihat dan menghafalkan jalan yang dilewati, Salwa akhirnya bisa menemukan swalayan yang lokasinya tak jauh dari area rusun di mana dia tinggal.

Dengan bersemangat, perempuan itu masuk ke dalam swalayan tersebut, membeli barang-barang pesanan teman-temannya. Dia melihat list order yang sudah tertulis dengan lengkap sembari mencarinya satu per satu di rak gondala barang-barang yang akan dibeli. Menatap price tag yang tertempel di display rak, Salwa menghitung total belanjaan seraya mencocokkannya dengan jumlah uang yang dibawa.

Syukurlah, Salwa tak mendapatkan kendala yang berarti. Semua pesanan teman-temannya berhasil dia dapatkan dengan mudah dan uang yang dibayarkan masih berlebih sehingga tak perlu takut tidak cukup.

Salwa menghela napasnya kemudian, menjinjing kantung plastik berlogo swalayan tersebut. Berjalan perlahan, perempuan itu mulai pergi meninggalkan area swalayan untuk kembali ke rusun. Namun, ketika Salwa berada di sebuah gang sempit yang lokasinya tak jauh dari swalayan tersebut, indra pendengarannya menangkap sayup-sayup teriakan seseorang mengaduh kesakitan.

Pikiran sadarnya terketuk untuk melihat apa yang terjadi. Tanpa memikirkan akal sehat serta logika yang ada bahwa dirinya adalah orang baru di negara itu, Salwa berjalan mengikuti arah suara tersebut. Langkahnya sedikit berat, tetapi tak urung juga semakin mendekat ke tempat tujuan.

Melewati gang-gang sempit, lalu berbelok ke area belakang gedung pencakar langit yang diapit oleh gedung-gedung lainnya, Salwa terkesiap dengan mata membelalak melihat apa yang ada di depan mata.

Seorang laki-laki bertubuh jangkung tengah mencengkeram batang leher seseorang yang tampak sudah kepayahan dengan wajah penuh lebam dan darah segar di hidung serta bibir. Tak jauh dari dua orang yang sedang berkelahi itu, ada sekitar sepuluh orang laki-laki berbadan tegap, berpakaian formal serba hitam dengan kacamata hitam tampak sedang mengawasi adegan mengerikan tersebut. Bukannya menolong dan melerai, mereka hanya menjadi penonton dengan posisi bergeming dari tempatnya.

Seharusnya Salwa segera pergi dari tempat itu sebelum orang-orang yang berada di sana menyadari keberadaannya. Namun, alih-alih melarikan diri, kaki Salwa terasa tertancap di beton yang dia pijaki, tak mampu untuk digerakkan, apalagi sampai berlari dari tempat tersebut.

Tangannya memeluk kantung plastik belanjaan, tubuhnya gemetar tak sanggup untuk dikondisikan. Akan tetapi, matanya tak bisa menghindar dari pemandangan yang menyeramkan di depan mata.

Suara pukulan di rahang menimbulkan suara yang terdengar ngilu. Entah itu suara tulang patah atau gigi yang terlepas dari gusinya, Salwa bisa melihat lelaki malang itu hampir meregang nyawa. Dan tepat ketika lelaki kejam yang memunggunginya itu mengeluarkan pisau lipat dari balik saku celananya, memunculkan mata pisau berkilat tajam dan hendak mengayunkannya di tubuh pria malang itu, Salwa tanpa sadar berteriak kencang.

Buru-buru Salwa menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan setelah menyadari hal bodoh yang telah dia lakukan. Dia hampir kesulitan menelan ludah ketika pria kejam itu menoleh ke arahnya.

Lelaki itu melepaskan tubuh tak berdaya yang sudah luluh lantak akibat pukulan-pukulannya, membiarkan terjatuh dan diiringi rintihan korbannya.

Kini, pandangan lelaki itu terpaku kepada Salwa. Gadis berkerudung itu semakin ketakutan ketika lelaki itu melangkah mendekat ke arahnya. Sialnya, kaki Salwa cukup gemetar hingga tak sanggup hanya untuk digerakkan menjauh, apalagi berlari kabur dari hadapan lelaki bengis itu.

Kantung plastik belanjaan terjatuh dari tangannya, tubuhnya lemas tak bertenaga dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Salwa mulai bisa memundurkan langkahnya untuk sedikit menjauh dari lelaki itu. Namun, siapa sangka langkahnya justru terhenti karena ada dinding yang menghalangi pergerakannya.

Salwa kembali berusaha menelan ludah yang rasanya seperti bongkahan kerikil besar dan kasar begitu lelaki itu berdiri tepat di depannya. Dia ingin pergi segera, tetapi lelaki itu memerangkap tubuhnya dengan kedua tangan yang diletakkan di dinding belakang Salwa.

Dia menengadah, menatap sosok di depannya yang menatapnya dengan tajam. Manik biru yang seharusnya indah dipandang kini justru terlihat begitu menyeramkan. Bibir Salwa bergetar, tak sanggup mengucapkan sepatah kata. Dia merasa sedang dalam bahaya. Lelaki di depannya pasti adalah orang jahat, pembunuh, atau mungkin seorang psikopat. Salwa semakin ketakutan memikirkan itu semua, menatap iris biru di depannya itu dengan penuh permohonan agar dia dilepaskan.

"Kau akan tutup mulut, 'kan?"

Salwa hanya mengangguk tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Embusan napas lelaki itu menerpa wajahnya, membuat Salwa merasa semakin terintimidasi.

"Bagus!" ucapnya diikuti senyum keji di bibir.

Lelaki itu menatap Salwa dari atas hingga ke bawah. Tidak ada yang menarik di matanya, hanya seorang wanita biasa dari kalangan rakyat jelata dan tak patut untuk diperhitungkan keberadaannya. Hingga ketika matanya bersitatap dengan mata bulat perempuan itu, dia sedikit terpaku kepadanya.

Mata Salwa melebar, menunjukkan ketakutan, tetapi juga sebuah tekad kuat yang tersembunyi. Tatapan yang begitu polos, tetapi terdapat banyak beban di dalamnya. Dia tertarik dengan tatapan mata itu sehingga tak melepaskan pandangannya dari mata Salwa.

Sampai ketika perempuan itu menyuarakan keinginannya, pria bermata biru baru sadar akan apa yang dia lakukan.

"Tu-an, izinkan ... sa-ya pergi!" Terbata-bata Salwa mengatakan, meskipun begitu membutuhkan dorongan dan keberanian yang kuat untuk bisa mengucapkannya.

Beruntung, lelaki itu tampaknya tak tertarik dengan dirinya yang hanya manusia biasa dari golongan kasta rendah. Dia bisa mengambil napas lega karena dirinya tak memiliki daya tarik sama sekali.

"Pergilah!" Setelah kata itu terucap, lelaki itu melepaskan tangannya dari dinding, membiarkan Salwa untuk pergi dari kungkungannya.

Setelah terlepas, Salwa melangkah menjauh, lalu segera berjongkok untuk memunguti barang-barang belanjaannya yang tercecer di lantai. Terburu-buru melakukannya, sehingga dia tak menyadari ada barang belanjaannya yang tertinggal.

Dia berdiri kaku ketika hendak meninggalkan area itu begitu pria kejam tersebut memanggilnya.

"Nona!"

Suara langkah dari sepatu pria itu berdentum, menggema di telinga Salwa. Dia kembali menelan ludah, takut jika pria tersebut berubah pikiran dan akan menghabisinya karena melihat kekejaman yang dilakukan di depan matanya. Bagaimanapun Salwa adalah saksi satu-satunya yang melihat penganiayaan lelaki kejam itu untuk bisa ditanyai oleh pihak yang berwajib.

Lelaki itu mendekat, memutar, dan berhenti tepat di depan Salwa. Tangannya diraih oleh lelaki itu dan cukup membuat Salwa terperanjat.

Namun, apa yang dilakukan lelaki tersebut ternyata justru membuat Salwa malu sendiri.

"Ini, barangmu ketinggalan," ucapnya dengan meletakkan pembalut di telapak tangan Salwa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status