Sebuah unit rusun dijadikan tempat bernaung sementara. Sebelum sang majikan menjemput para pekerja wanita, mereka tinggal di rusun sempit yang dihuni oleh beberapa calon pekerja.
Salwa merapikan barang-barangnya, menatanya dengan efisien, menggunakan area yang sempit itu agar tak memakan banyak tempat. Setelah dirasa semua barang-barangnya telah rapi tersusun, perempuan itu mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di ranjang.
Belum sempat matanya terpejam, seseorang di luar kamar mengetuk pintu sembari memanggil namanya membuat perempuan itu urung mengistirahatkan tubuh. Sebuah kepala menyembul dari pintu yang terbuka dari luar, lalu bertanya kepada Salwa. "Salwa, kamu sudah selesai?"
Dia adalah Anis, teman seperjuangan Salwa di yayasan, tetapi berangkat lebih dulu beberapa minggu yang lalu. Dia belum dijemput sang majikan sehingga harus menunggu di rusun yang sama dengan Salwa.
"Sudah, Mbak. Apa ada yang bisa kubantu?" Salwa segera memosisikan dirinya yang sebelumnya terbaring menjadi duduk. Perempuan itu merapikan rambutnya, menguncirnya dengan kuncir kuda.
"Mbak butuh perlengkapan mandi, pembalut, dan detergen. Kamu mau enggak belikan di Swalayan terdekat? Nanti Mbak kasih catatan biar kamu hafal jalan di sini."
Salwa mengangguk, meskipun letih karena baru selesai berberes, rasanya tak pantas jika dia menolak permintaan Anis untuk membeli pembalut. Sehingga dia memutuskan mengiakan permohonan perempuan itu sekalipun dirinya belum mengenal daerah tersebut.
Bukan hanya Anis yang ternyata membutuhkan bantuannya. Ketika dia berpamitan ingin pergi ke swalayan terdekat, teman-temannya penghuni rusun tersebut turut menitipkan belanjaan mereka. "Sekalian aku nitip juga!"
Salwa hanya bisa mengangguk untuk mengiakan, setidaknya ini bisa dijadikan pengalaman pertama baginya keluar dari rusun seorang diri meskipun dalam hati ada rasa waswas yang tak bisa dipungkiri.
Dia turun menggunakan elevator, berjalan perlahan sesuai denah yang digambarkan Anis di secarik kertas. Sambil melihat-lihat dan menghafalkan jalan yang dilewati, Salwa akhirnya bisa menemukan swalayan yang lokasinya tak jauh dari area rusun di mana dia tinggal.
Dengan bersemangat, perempuan itu masuk ke dalam swalayan tersebut, membeli barang-barang pesanan teman-temannya. Dia melihat list order yang sudah tertulis dengan lengkap sembari mencarinya satu per satu di rak gondala barang-barang yang akan dibeli. Menatap price tag yang tertempel di display rak, Salwa menghitung total belanjaan seraya mencocokkannya dengan jumlah uang yang dibawa.
Syukurlah, Salwa tak mendapatkan kendala yang berarti. Semua pesanan teman-temannya berhasil dia dapatkan dengan mudah dan uang yang dibayarkan masih berlebih sehingga tak perlu takut tidak cukup.
Salwa menghela napasnya kemudian, menjinjing kantung plastik berlogo swalayan tersebut. Berjalan perlahan, perempuan itu mulai pergi meninggalkan area swalayan untuk kembali ke rusun. Namun, ketika Salwa berada di sebuah gang sempit yang lokasinya tak jauh dari swalayan tersebut, indra pendengarannya menangkap sayup-sayup teriakan seseorang mengaduh kesakitan.
Pikiran sadarnya terketuk untuk melihat apa yang terjadi. Tanpa memikirkan akal sehat serta logika yang ada bahwa dirinya adalah orang baru di negara itu, Salwa berjalan mengikuti arah suara tersebut. Langkahnya sedikit berat, tetapi tak urung juga semakin mendekat ke tempat tujuan.
Melewati gang-gang sempit, lalu berbelok ke area belakang gedung pencakar langit yang diapit oleh gedung-gedung lainnya, Salwa terkesiap dengan mata membelalak melihat apa yang ada di depan mata.
Seorang laki-laki bertubuh jangkung tengah mencengkeram batang leher seseorang yang tampak sudah kepayahan dengan wajah penuh lebam dan darah segar di hidung serta bibir. Tak jauh dari dua orang yang sedang berkelahi itu, ada sekitar sepuluh orang laki-laki berbadan tegap, berpakaian formal serba hitam dengan kacamata hitam tampak sedang mengawasi adegan mengerikan tersebut. Bukannya menolong dan melerai, mereka hanya menjadi penonton dengan posisi bergeming dari tempatnya.
Seharusnya Salwa segera pergi dari tempat itu sebelum orang-orang yang berada di sana menyadari keberadaannya. Namun, alih-alih melarikan diri, kaki Salwa terasa tertancap di beton yang dia pijaki, tak mampu untuk digerakkan, apalagi sampai berlari dari tempat tersebut.
Tangannya memeluk kantung plastik belanjaan, tubuhnya gemetar tak sanggup untuk dikondisikan. Akan tetapi, matanya tak bisa menghindar dari pemandangan yang menyeramkan di depan mata.
Suara pukulan di rahang menimbulkan suara yang terdengar ngilu. Entah itu suara tulang patah atau gigi yang terlepas dari gusinya, Salwa bisa melihat lelaki malang itu hampir meregang nyawa. Dan tepat ketika lelaki kejam yang memunggunginya itu mengeluarkan pisau lipat dari balik saku celananya, memunculkan mata pisau berkilat tajam dan hendak mengayunkannya di tubuh pria malang itu, Salwa tanpa sadar berteriak kencang.
Buru-buru Salwa menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan setelah menyadari hal bodoh yang telah dia lakukan. Dia hampir kesulitan menelan ludah ketika pria kejam itu menoleh ke arahnya.
Lelaki itu melepaskan tubuh tak berdaya yang sudah luluh lantak akibat pukulan-pukulannya, membiarkan terjatuh dan diiringi rintihan korbannya.
Kini, pandangan lelaki itu terpaku kepada Salwa. Gadis berkerudung itu semakin ketakutan ketika lelaki itu melangkah mendekat ke arahnya. Sialnya, kaki Salwa cukup gemetar hingga tak sanggup hanya untuk digerakkan menjauh, apalagi berlari kabur dari hadapan lelaki bengis itu.
Kantung plastik belanjaan terjatuh dari tangannya, tubuhnya lemas tak bertenaga dengan keringat dingin membasahi pelipisnya. Salwa mulai bisa memundurkan langkahnya untuk sedikit menjauh dari lelaki itu. Namun, siapa sangka langkahnya justru terhenti karena ada dinding yang menghalangi pergerakannya.
Salwa kembali berusaha menelan ludah yang rasanya seperti bongkahan kerikil besar dan kasar begitu lelaki itu berdiri tepat di depannya. Dia ingin pergi segera, tetapi lelaki itu memerangkap tubuhnya dengan kedua tangan yang diletakkan di dinding belakang Salwa.
Dia menengadah, menatap sosok di depannya yang menatapnya dengan tajam. Manik biru yang seharusnya indah dipandang kini justru terlihat begitu menyeramkan. Bibir Salwa bergetar, tak sanggup mengucapkan sepatah kata. Dia merasa sedang dalam bahaya. Lelaki di depannya pasti adalah orang jahat, pembunuh, atau mungkin seorang psikopat. Salwa semakin ketakutan memikirkan itu semua, menatap iris biru di depannya itu dengan penuh permohonan agar dia dilepaskan.
"Kau akan tutup mulut, 'kan?"
Salwa hanya mengangguk tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Embusan napas lelaki itu menerpa wajahnya, membuat Salwa merasa semakin terintimidasi.
"Bagus!" ucapnya diikuti senyum keji di bibir.
Lelaki itu menatap Salwa dari atas hingga ke bawah. Tidak ada yang menarik di matanya, hanya seorang wanita biasa dari kalangan rakyat jelata dan tak patut untuk diperhitungkan keberadaannya. Hingga ketika matanya bersitatap dengan mata bulat perempuan itu, dia sedikit terpaku kepadanya.
Mata Salwa melebar, menunjukkan ketakutan, tetapi juga sebuah tekad kuat yang tersembunyi. Tatapan yang begitu polos, tetapi terdapat banyak beban di dalamnya. Dia tertarik dengan tatapan mata itu sehingga tak melepaskan pandangannya dari mata Salwa.
Sampai ketika perempuan itu menyuarakan keinginannya, pria bermata biru baru sadar akan apa yang dia lakukan.
"Tu-an, izinkan ... sa-ya pergi!" Terbata-bata Salwa mengatakan, meskipun begitu membutuhkan dorongan dan keberanian yang kuat untuk bisa mengucapkannya.
Beruntung, lelaki itu tampaknya tak tertarik dengan dirinya yang hanya manusia biasa dari golongan kasta rendah. Dia bisa mengambil napas lega karena dirinya tak memiliki daya tarik sama sekali.
"Pergilah!" Setelah kata itu terucap, lelaki itu melepaskan tangannya dari dinding, membiarkan Salwa untuk pergi dari kungkungannya.
Setelah terlepas, Salwa melangkah menjauh, lalu segera berjongkok untuk memunguti barang-barang belanjaannya yang tercecer di lantai. Terburu-buru melakukannya, sehingga dia tak menyadari ada barang belanjaannya yang tertinggal.
Dia berdiri kaku ketika hendak meninggalkan area itu begitu pria kejam tersebut memanggilnya.
"Nona!"
Suara langkah dari sepatu pria itu berdentum, menggema di telinga Salwa. Dia kembali menelan ludah, takut jika pria tersebut berubah pikiran dan akan menghabisinya karena melihat kekejaman yang dilakukan di depan matanya. Bagaimanapun Salwa adalah saksi satu-satunya yang melihat penganiayaan lelaki kejam itu untuk bisa ditanyai oleh pihak yang berwajib.
Lelaki itu mendekat, memutar, dan berhenti tepat di depan Salwa. Tangannya diraih oleh lelaki itu dan cukup membuat Salwa terperanjat.
Namun, apa yang dilakukan lelaki tersebut ternyata justru membuat Salwa malu sendiri.
"Ini, barangmu ketinggalan," ucapnya dengan meletakkan pembalut di telapak tangan Salwa.
"Salwa, kamu udah ditungguin di bawah." Anis meletakkan kuncir rambutnya di atas nakas, lalu menyisir rambutnya agar lebih rapi.Salwa mengangguk, ada rasa ragu menerpa begitu mendapatkan pemberitahuan bahwa hari ini calon majikannya akan menjemput. Namun, dia harus tetap datang karena untuk inilah dirinya jauh-jauh datang ke Hong Kong, yaitu demi mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi.Salwa menarik kopernya, berpamitan kepada penghuni rusun yang biasa bercengkerama dengannya. "Mbak Anis, nanti kalau aku sudah punya ponsel, aku akan menghubungimu."Satu per satu penghuni rusun itu memeluk Salwa. Tinggal beberapa hari bersama di tempat asing membuat ikatan mereka sudah seperti saudara. Apalagi Salwa adalah gadis yang suka membantu, baik pekerjaan rumah maupun hal lain terkait asmara. Menaiki elevator, Salwa turun ke lantai bawah di mana tempat calon majikannya menunggu. Dia sedikit gugup ketika pandangannya mengarah kepada dua orang berpakaian formal serba hitam, kacamata hitam den
"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata."Da-da-darah?"Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan."Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipu
Sean Arthur berjalan melewati depan kubikel-kubikel para staf kantor yang sedang menunduk, menekuri berkas-berkas di atas meja kerja mereka. Tak berani menengadahkan kepala, semua begitu sibuk atau sepertinya pura-pura sibuk, mengerjakan apa saja agar tetap terlihat sibuk karena ada sang atasan tiba-tiba datang melewati area kerja mereka.Sebuah gebrakan di pintu itu terdengar memekakkan telinga, membuat semua orang yang berada dalam satu lantai itu terkejut, mendongakkan kepala, melihat hal apa yang terjadi. Sean dengan aura gelapnya menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berada di dalam ruangan itu. "Maafkan saya, Tuan!" Seorang laki-laki terlihat mengiba, membungkuk kepada Sean dengan menyentuh kaki lelaki itu."Leon!" Sean memanggil asistennya. "Aku tidak ingin melihatnya!"Leon mengangguk, dia mengedikkan dagu ke arah belakang di mana pengawal Sean yang mengenakan stelan formal serba hitam berada. Mereka beranjak mendekat, menyeret pria menyedihkan itu menjauh dari majikann
Sean Arthur memilih pulang setelah gagal menyalurkan hasrat biologisnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri. Bagaimana wajah seorang pembantu justru melintas di kepalanya ketika dia sedang berhubungan badan?Tidak mungkin dia tertarik dengan perempuan dari kasta rendah seperti Salwa. Apa kata dunia jika mengetahui seorang pengusaha yang merajai bisnis di banyak bidang justru tertarik kepada pembantu sendiri. Tidak, itu tidak boleh terjadi.Sean menggelengkan kepala, memastikan jika apa yang ia bayangkan baru saja adalah hal yang tak mungkin terjadi. Meskipun ia tak menampik jika sampai saat ini, perempuan itu sempat membuat perhatiannya teralihkan.Hampir pukul dua belas malam, Sean baru sampai di penthouse. Pandanganya menyapu sekeliling, semuanya masih sama, sepi seperti biasa.Sean memilih langsung masuk ke dalam kamarnya, untuk segera mengistirahatkan diri. Namun, rasa kantuk belum juga merengkuh dirinya lantaran hasrat belum bisa tertuntaskan. "Sial!" Ia mengacak rambutnya
Ketika pagi menjelang di hari Minggu, Salwa sudah selesai menata sarapan pagi di atas meja makan. Dari arah depan, ia bisa melihat Sean Arthur baru saja masuk dengan mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya lelaki itu menyempatkan diri untuk melakukan lari pagi sebentar di area jogging park di mana penghuni apartemen melakukan aktivitas olahraga santai. Melirik sekilas ke arah Salwa, Sean mengabaikan perempuan itu yang tampak memperhatikannya seolah ingin menyampaikan sesuatu. Untuk saat ini, sebaiknya menghindari Salwa adalah jalan yang terbaik. Ia masih tidak bisa menerima kenyataan akan apa yang dilakukannya semalam, yaitu memilih menggendong perempuan itu daripada membangunkannya agar bisa kembali ke kamarnya. Seharusnya ia tidak perlu merendahkan diri dengan membawa tubuh Salwa yang berstatus sebagai pembantu dengan menggunakan kedua tangannya sendiri. Lantaran takut jika tidur perempuan itu terusik, Sean sangat berhati-hati ketika menggendongnya.Kejadian semalam masih tidak bi
Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men
Salwa mundur satu langkah ke belakang, menggelengkan kepala menanggapi perkataan mesum Sean Arthur. Mengapa pria kaya dan dewasa justru menganggap rendah kaum rakyat jelata sepertinya?"Saya tidak mau."Dia menunduk lagi. Air mata yang sebelumnya sempat diseka, kini berderai kembali. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting baginya. Ia memang bukanlah seorang agamis yang suci dan tidak berlumur dosa, tetapi ia cukup paham jika memberikan tubuh kepada seseorang yang bukan mahramnya adalah hal yang salah, dosa besar. Bahkan, agama memberikan hukuman cambuk seratus kali bagi wanita dan pria single yang nekat melakukannya."Uang pun tidak ada. Kau bisa keluar sekarang. Aku tidak akan menahanmu lagi. Jika terjadi sesuatu terhadap ayahmu, maka ... kau yang akan disalahkan."Sean menyeringai tatkala melihat gurat ketakutan di wajah Salwa. Perempuan itu mendadak ragu setelah mendapatkan jawaban dingin dari Sean Arthur. Nyawa ayahnya benar-benar d
"Apa kau sebenarnya ingin mengikatku secara diam-diam?" Sorot mata lelaki itu mengisyaratkan tuntutan akan jawaban. Dia telah terbiasa menjadi seseorang yang dipuja. Banyak wanita terpedaya dengan fisik serta kekayaannya. Pasti wanita di depannya ini tak berbeda jauh dengan wanita kebanyakan. Dia pura-pura menolak, tetapi menginginkan hal lebih, yaitu menginginkan tangkapan yang lebih besar dari sekadar cinta satu malam."Tidak, Tuan. Saya tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin membayar pengobatan operasi ayah saya. Tidak lebih. Tuan bisa menceraikan saya jika Tuan sudah tidak menginginkan saya." Salwa menunduk, merasakan sakit di relung hatinya, membayangkan bagaimana sebuah pernikahan didasari oleh keputusan satu orang saja, sementara dirinya harus pasrah bagaimana Sean Arthur memperlakukannya. "Saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Tuan setelah perceraian itu."Setetes air mata telah meluncur dengan lancar membasahi pipi. Salwa merasa sudah tidak berhak atas hidupnya la