Share

Bab 06. Ujian Pertama

"Saya ... Salwa pembantu baru di sini." Salwa berucap dengan gugup, wajahnya masih menengadah karena tangan lelaki itu memaksanya untuk tetap dalam posisi itu.

Di saat tangan lelaki itu menurun, melepaskan dagu Salwa, perempuan itu segera mundur ke belakang. Namun, pergerakannya justru terhalang oleh pantry dapur membuatnya hanya bisa menundukkan kepala. Sejenak ia terpaku di tempat, wajahnya sudah memerah karena di depannya lelaki itu tidak mengenakan pakaian atas, hanya menyisakan celana panjangnya saja.

Salwa semakin menunduk, tetapi sesuatu yang menempel di tangannya membuat perempuan itu terkejut dengan membelalakkan mata.

"Da-da-darah?"

Napasnya tiba-tiba memburu melihat darah segar menempel di tangan.

"Iya, darah." Suara dingin yang terdengar santai itu membuat Salwa semakin tak percaya.

Seketika Salwa menatap pria tersebut, tubuhnya yang tak berpenghalang menempel banyak darah di sana. Barulah ia menyadari siapa pria di depannya itu begitu ingatan tentang pria malang yang dipukuli di belakang bangunan gedung waktu itu terlintas kembali dalam ingatannya. Ya, tidak salah lagi, dia adalah pria yang sama. Pria yang tidak memiliki belas kasihan, memukuli seseorang meskipun lawannya sudah tak berdaya dan kepayahan.

Napasnya kian sesak membayangkan bagaimana nasibnya saat ini. Bekerja dengan seseorang yang senang menyiksa orang tanpa ampun. Apakah majikannya ini adalah seorang pembunuh bayaran? Ataukah psikopat gila yang haus darah? Sejenak ia terdiam, lantas ia menggeleng guna mengusir rasa takut yang membelenggu pikirannya. "Darah hewan, 'kan?"

"Menurutmu?" Tanpa menghiraukan rasa ketakutan Salwa, lelaki itu melangkah menuju wastafel, mencuci tangannya dengan air mengalir.

Air yang tadinya jernih berubah merah gelap dengan menguar ambu anyir, membuat Salwa bergidik ngeri. Begitu berbahayanya kah majikannya itu?

Salwa menepi, tak ingin menghalangi tuannya setelah selesai mencuci tangan bekas darah. Kepalanya menunduk, berharap pria itu memgabaikan dirinya. 

Tepat ketika lelaki itu melangkah lewat di depan Salwa, dia berkata, "Bersihkan wajahmu. Pipi dan dagumu penuh darah." 

"Apa, darah?" Salwa segera meraba wajahnya dan ia memang mendapati noda di tangan setelah mengusapnya. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar. Apakah itu darah manusia? Apakah tuannya itu baru saja membunuh orang? 

'Tidak perlu mencari tahu, Salwa. Bukan urusanmu.' 

Kata-kata itu selalu saja Salwa ucapkan agar ia tak memedulikan yang ada di sekitarnya karena tujuannya kali ini adalah mencari uang untuk keluarganya.

"Tu-an?" Salwa menghentikan langkah lelaki itu yang hendak meninggalkan dapur. Tanpa menoleh dan menjawab panggilan Salwa, lelaki itu bergeming di tempat. "Apakah Anda yang bernama ... Tuan Sean Arthur, majikan saya? Saya ... hanya ingin memastikan."

Menatap lurus ke depan, tak berniat menoleh ke arah Salwa, lelaki itu berkata, "Hemm." Ia pergi begitu saja, menjawab dengan jawaban yang tidak memuaskan keingintahuan Salwa.

***

Ketika hari menjelang pagi, setelah Salwa menyelesaikan dua rakaatnya, perempuan itu bergegas melanjutkan pekerjaannya, membuat menu makan pagi sembari membersihkan penthouse mewah milik Sean Arthur.

Seragam kerja yang ia kenakan cukup sopan. Celana panjang bahan, kemeja lengan panjang dengan apron kecil berenda yang diikat di bagian pinggang, tidak lupa penutup kepala sejenis kain yang diikat rapi menyerupai bando. 

Tidak ada kesulitan yang berarti yang dialami Salwa selama menjalankan tugas. Ia cukup piawai dan cekatan dalam mengoperasikan peralatan kebersihan. Meskipun peralatan tersebut baru pertama kali ini ia temui, tetapi panduan di sana cukup lengkap ditulis dalam bahasa inggris.

Ia mulai membersihkan bagian-bagian umum, seperti ruang tamu yang memang didesain tanpa sekat, lalu berpindah ke ruang tungah hingga ke dapur. Sampai ketika semua telah selesai dibersihkan, Salwa hendak melanjutkan masaknya. 

Di saat Salwa melangkah melewati kamar sang majikan, dirinya dikejutkan dengan suara lelaki itu yang masih berada di dalam kamar.

"Hei, kamu! Masuk!"

Deg.

Salwa terhenyak, terkejut dengan panggilan yang tiba-tiba itu. Bayangan tubuh sang majikan yang berlumuran darah semalam masih jelas terpatri dalam ingatannya. Ia menghela napas panjang, lalu berbalik arah. Dengan pandangan menunduk ke bawah, Salwa berjalan menuju kamar lelaki itu.

Ia memutar kenop pintu dengan perlahan, begitu hati-hati dan nyaris tak terdengar. Begitu pintu itu terbuka, ia disuguhkan dengan ruangan gelap dengan sedikit pencahayaan. Hanya secercah sinar mentari masuk di balik panel kaca yang tirainya tak tertutup sempurna. Sampai pandangannya tertuju pada siluet seorang pria yang tampak terbaring di atas ranjang dan tidak mengenakan pakaian lengkap, ia menghentikan langkah.

Salwa semakin menunduk, matanya hampir ternodai melihat tubuh atletis dengan hanya mengenakan celana boxer saja.

"Kemari!"

Salwa maju beberapa langkah, tatapannya masih mengarah ke bawah di mana lantai marmer telah tertutup oleh karpet bulu yang terasa lembut di telapak kaki.

"Ada ... yang bisa saya bantu, Tuan?" Dia bertanya dengan kikuk, sungguh situasi seperti ini tak pernah ada dalam bayangannya.

"Bersihkan kamarku! Aku mau makan di sini." Singkat dan padat, tetapi harus segera dikerjakan tanpa banyak bertanya.

"Iya, Tuan."

Lelaki itu beranjak dari pembaringan, lantas berdiri tegak. Tanpa tahu malu, ia berjalan melewati Salwa yang masih menunduk, menjauhkan pandangan yang bisa menyesakkan dada seorang gadis belia.

Begitu pintu kamar mandi ditutup, Salwa segera membuka semua tirai yang membuat cahaya matahari terhalang menerangi ruangan besar itu. Hingga kamar yang semula gelap gulita, kini berubah menjadi terang benderang. Ia membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara pagi menggantikan pengapnya udara yang ada di dalam kamar. Sebelum membersihkan ruangan tersebut, Salwa lebih memilih menyiapkan makanan dan segera membawanya kembali ke ruangan itu.

Hanya butuh sepuluh menit saja, Salwa sudah kembali dengan membawa baki berisi: kentang tumbuk dipadukan keju kualitas tinggi yang diolah dengan metode tertentu, tentunya akan memberikan sensasi gurih dan lumer di mulut. Tak lupa juga beef steak yang dibuat dengan daging tanderloin berkualitas tinggi sehingga membuat daging hasil olahannya akan lembut dan tidak menyakiti lidah serta tenggorokan si penikmatnya. Sajian itu ditata sedemikian rupa sesuai standart yang ada di buku resep tak kurang suatu apa pun. Standart makanan mewah yang dijadikan menu hidangan itu tak jarang menjadi penilaian sang majikan atas hasil pekerjaan pembantu barunya.

Salwa melangkah perlahan dan hati-hati agar masakan yang telah susah payah ia buat bisa mendarat sempurna di meja yang ada di sudut ruangan. Namun, tepat di saat Salwa hampir sampai di meja itu, sang majikan baru saja keluar dari kamar mandi mengalihkan perhatiannya.

Tangannya gemetar begitu melihat sosok di depannya hanya mengenakan handuk yang dililit di pinggang, mengibas-ibaskan rambut yang basah dengan beberapa bulir air menetes di ujungnya. Ia segera menunduk, mengucap istigfar berkali-kali, lantas melanjutkan melangkah ke arah meja yang sejak tadi menjadi tujuannya.

"Berapa umurmu?"

"Eh, apa?" Salwa gugup, hingga tak mendengar perkataan lelaki itu.

"Aku tidak mengulang pertanyaan yang sama."

"Maaf, Tuan." Salwa merasa tidak enak. "Saya akan membersihkan kamar ini setelah Tuan menyelesaikan sarapan."

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

Salwa yang hampir keluar dari ruangan itu, berdiri kaku mendengar majikannya menegur. Ia berbalik, terpaksa menatap tampilan pria maskulin dengan tubuh atletis sempurna tersebut.

Tubuh itu tidak hanya berotot, tetapi banyak gambar yang terlukis di sana. Jika diperhatikan memang tampak indah, tetapi Salwa tentu tahu jika mengagumi hal tersebut adalah salah. Ia kembali menekuri lantai daripada menatap seseorang yang sedang berbicara dengannya.

"Tunggu aku selesai makan! Pelayan baru biasanya selalu salah memasukkan bahan dan meracik makanan dengan baik. Aku pastikan kau juga akan mendapatkan penilaian yang sama."

Lelaki itu melepaskan handuk tersebut tanpa peduli ada Salwa di sana. Sungguh rasa malunya benar-benar hilang. Salwa yang merupakan gadis polos hanya bisa menundukkan kepala tanpa berani mengintip sedikit pun. Dosa, benar-benar membuat matanya berdosa karena selalu disuguhkan dengan hal-hal yang tidak benar.

Setelah berganti pakaian, pria itu melangkah ke arah meja di mana makanannya sudah tersaji dengan sempurna. Ia memberi nilai plus melihat tampilan penyajian yang pembantu barunya itu lakukan. Akan tetapi, hal penting yang harus ia nilai selanjutnya adalah cita rasa dari masakan itu. Ya, lidahnya cukup sensitif akan takaran bumbu yang tidak pas atau tekstur yang tidak sesuai dengan standart rumah makan kelas tinggi.

Garpu ia tusukkan ke daging tebal itu, mengirisnya dengan pisau secara elegan. Salwa bahkan baru melihat tata cara makan dengan begitu indah seperti yang baru saja dilakukan oleh majikannya itu. Tidak ada kunyahan yang terlalu cepat ataupun terlalu pelan, semua dilakukan secara pas.

Begitu daging itu masuk ke dalam mulut, lelaki itu merasakan bumbu-bumbu yang terasa asing di lidahnya. Ia masih mengunyahnya, mencoba menikmati sarapan perdana dari pelayan baru.

Degub jantung Salwa berpacu seiring mulut itu melakukan gerakan mengunyah. Ini adalah penilaian pertamanya, dan tentu akan mempengaruhi statusnya sebagai pelayan di sini, antara di pecat atau diterima.

"Apa yang kau masukkan di sini?" Lelaki itu mendorong piringnya menjauh. "Rasanya tidak sama dengan biasanya," imbuhnya.

Salwa membulatkan mata. Pekerjaannya terancam kali ini. Dia sudah sangat berhati-hati ketika memasak tadi, tetapi apa yang telah dia lakukan tampaknya sia-sia belaka. Majikannya itu tak menyukainya.

"Saya tidak memasukkan apa-apa, Tuan, selain bumbu yang tertera di buku resep itu. Sungguh!" Matanya tampak berkaca-kaca. Dia tidak ingin sia-sia perjalanan jauhnya sampai ke sini. Kerja kerasnya, orang tuanya, serta adik-adiknya yang kini menunggu kiriman uang darinya. 

"Bohong! Rasanya tidak seperti ini! Kau bisa bekerja dengan benar, tidak?"

Salwa mencoba merendahkan diri, memohon dengan membungkuk menyentuh kaki. "Jangan pecat saya, Tuan! Apakah rasanya tidak enak? Saya akan membuatkannya lagi. Tolong jangan pecat saya! Saya sangat membutuhkan uang."

Dengan keberanian yang ada, Salwa mengambil garpu di atas piring itu, menusuk potongan kecil yang belum dimakan tuannya untuk kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging itu terasa empuk dan lembut. Sangat berbeda dengan daging yang pernah ia makan.

Enak, tentu saja enak. Menurut Salwa itu adalah daging terlezat yang pernah masuk ke lambungnya. Gerakan bibirnya saat mengunyah tak luput dari perhatian lelaki itu. Bibir yang di atasnya ditumbuhi rambut-rambut halus begitu tipis membuatnya tidak fokus dengan tujuan semula untuk memarahi perempuan itu.

"Kau berani mengambil makananku!" 

"Saya hanya mencoba, Tuan. Maafkan saya!" Salwa kembali mengiba.

"Aku tidak mau makan bekas orang lain. Buang saja!"

Mata bulat itu sudah mulai menitikkan air mata. Ia berusaha menatap sang majikan, memohon belas kasihan. Ia tidak ingin dipecat, harapannya tinggi untuk mendapatkan banyak uang dari pekerjaannya itu.

Lelaki itu melangkah, mengabaikan Salwa yang masih duduk bersimpuh di bawah kakinya. Ia keluar dari kamar dengan membanting pintu, tetapi tatapan mata bulat itu membuatnya menghentikan langkah.

Tidak ada yang salah dengan masakan Salwa. Hanya ia merasa rasanya berbeda dari biasanya. Peraturan yang ia tulis adalah masakan harus memiliki cita rasa yang sama dan pas agar pelayan bisa lolos untuk menjadi pelayan sesungguhnya di tahap satu minggu pertama. Dan apa yang ia rasakan tadi berbeda, bukan tidak enak, tetapi sedikit asing namun lezat. Ya, lidahnya tidak bisa berbohong jika masakan Salwa tadi sangat cocok di lidahnya. Hingga ia menghela napas kasar, lantas berbalik membuka pintu kamarnya.

"Kemas makanan itu ke dalam kotak makan! Aku ... akan membawanya ke kantor."

Salwa yang semula menunduk sedih, segera menyeka air matanya, lalu mengangguk senang. "Baik, Tuan."

"Jangan senang dulu! Aku belum meluluskanmu untuk tahap pertama. Ini hanya hari keberuntunganmu karena aku sedang berbaik hati. Lain kali aku pastikan kau tidak akan mendapatkannya."

"Iya, Tuan. Terima kasih."

Salwa beranjak dari duduknya, mengemasi makanan itu, lalu bergegas keluar dari kamar sang majikan. Harapannya masih ada. Ia akan berjuang keras untuk mempertahankan pekerjaannya itu.

Senyum ceria Salwa sedikit menular di wajah kaku lelaki itu. Garis bibirnya sedikit terangkat, meskipun tipis dan nyaris tak terluhat, tetapi ia sadar bahwa bibirnya sempat tersenyum hanya karena melihat tingkah pelayan barunya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status