Share

Chapter 2 | Gadis Ceroboh

Beberapa saat kemudian, mobil mereka sudah masuk ke dalam Tol Jagorawi, saat ini keadaan jalan tidak begitu ramai, sehingga mobil mereka bisa melaju dengan bebas.

Sejak meninggalkan lokasi kecelakaan tadi, Vicky tidak lagi berbicara, dalam diam matanya menatap keluar jendela dengan tatapan kosong seakan pikirannya jauh di tempat lain.

Keadaan hening ini membuat Vanya sedikit tidak enak, dia akhirnya berusaha membuka percakapan untuk memecah keheningan, di benaknya hanya itu yang bisa dia lakukan kepada pemuda yang telah menolongnya itu, dia setidaknya harus bersikap ramah dan bersahabat.

"Uhmm...." Vanya tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat berbicara, dia langsung mengurungkan niatnya dan kejadian itu terjadi beberapa kali.

Tentu saja Vicky menyadari hal tersebut, dia tahu saat ini wanita yang dia tolong sedang berusaha memulai pembicaraan untuk memecah keheningan, karena tidak ingin membuat Vanya semakin canggung, Vicky pun berinisiatif membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Apakah kamu mengenal pria tadi?" Tanya Vicky.

"Iya aku mengenalnya, pria itu bernama Eddy, dia merupakan pemilik di perusahaan tempatku bekerja," jawab Vanya sambil memikirkan kejadian yang baru saja menimpanya.

Setelah itu Vanya menjelaskan kepada Vicky kejadian yang baru saja dia alami, sudah dua bulan Vanya bekerja di perusahaan Eddy, awalnya tidak ada yang aneh, namun beberapa hari terakhir, pria beristri itu mulai sering menghubungi Vanya di luar jam kerja.

Dia juga mulai membahas hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka, pria itu juga beberapa kali mengajak Vanya untuk nonton ataupun makan malam bersama, tentu saja Vanya selalu menolak dengan halus, namun hari ini Eddy semakin nekat.

Ketika Vanya mendapat kabar jika ayahnya pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit, Vanya bermaksud meminta tolong kepada Eddy.

Vanya yang baru lulus kuliah dan baru bekerja sadar jika gajinya tidak akan mampu untuk membayar biaya pengobatan ayahnya, untuk meminjam uang di Bank tentu saja akan sulit bagi dia yang baru bekerja, oleh karena itu dia mencoba peruntungannya dengan meminta bantuan kepada Eddy, dia berjanji akan melunasinya dengan cara pemotongan gaji setiap bulan.

Namun jawaban yang diberikan Eddy membuat Vanya marah, bukan karena Eddy tidak bisa membantu. Eddy bersedia membantu tapi dengan syarat Vanya mau menjadi istri simpanan nya, mendengar itu Vanya marah dan secara refleks menampar Eddy, setelah itu Vanya bergegas pergi meninggalkan Eddy.

Eddy yang takut kelakuan mesumnya tersebar menjadi panik dan mengejar Vanya, hingga terjadilah insiden tabrakan tadi, setelah menceritakan itu tanpa sadar air mata Vanya mengalir keluar.

Vicky secara naluriah merangkul pundak Vanya, dia lalu menatap wajah Vanya yang sedang menangis, setelah memperhatikan wajah Vanya beberapa saat, Vicky akhirnya sadar bahwa gadis yang berada di sampingnya ini memang sangat cantik. Vanya juga memiliki bentuk tubuh yang indah, Vicky pun sedikit mengerti mengapa Eddy sampai tergila-gila untuk menjadikan wanita ini sebagai istri simpanannya.

Vicky juga kagum akan keteguhan hati Vanya, walaupun sangat membutuhkan uang untuk membantu keluarganya, dia tetap teguh dalam menjaga kehormatannya sebagai wanita.

*****

Vanya terus tenggelam dalam kesedihan, air matanya tidak berhenti mengalir, hari ini menjadi hari yang sangat berat untuknya, tanpa sadar kepalanya kini ia sandarkan di dada Vicky. Entah mengapa Vanya merasa nyaman dengan hal itu, dia merasakan kehangatan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

Pria yang jauh lebih muda darinya sangat terlihat dewasa, tutur kata dan sikapnya yang lembut sangat berbeda dengan pria seumuran Vicky yang pernah dia jumpai. Jangankan yang seumuran Vicky, bahkan pria yang seumuran dirinya saja sangat jarang ditemui ada yang bisa bersikap seperti Vicky.

Vicky pun tidak terlalu mempermasalahkan ketika Vanya bersandar di dadanya.

Setelah menangis, mata Vanya terasa berat, rasa kantuk datang menghampirinya beberapa saat kemudian Vanya akhirnya tertidur.

"Vanya...Vanya ..." Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya.

Ketika Vanya membuka mata, dia langsung terkejut dan panik, karena saat ini wajah Vicky sangat dekat dengan wajahnya.

Sejak bertemu Vicky, Vanya tidak pernah memperhatikan wajah pria itu dengan baik, baru saat ini dia dapat melihat wajah pria yang sudah menolongnya dengan sangat jelas.

Pupil mata Tristan terlihat sangat indah, berwarna biru gelap bukan berwarna hitam atau coklat gelap seperti pria di Indonesia.

"Tampan sekali," puji Vanya dengan suara berbisik. Vanya tanpa sadar memuji ketampanan Tristan.

"Terima kasih Nona Vanya, aku hanya ingin memberitahu jika kita sudah tiba di Rumah Sakit Cipta." Vicky membalas pujian dari Vanya sambil tersenyum.

Mendengar ucapan dari Vicky, Vanya menunduk malu tak berani menatap wajah Vicky lagi. Dia juga baru sadar jika dirinya tadi tertidur dalam dekapan Vicky, Vanya mulai terlihat panik apalagi ketika menyadari ternyata tangan pria tampan ini masih berada di pundaknya.

"Ah... maaf," ucap Vanya dengan gugup sembari memperbaiki cara duduknya.

Vicky tersenyum melihat tingkah Vanya, dia tidak menyangka jika gadis yang tadi menangis dan berani melawan bosnya ini , kini terlihat seperti anak kecil yang gelagapan karena ketahuan telah berbuat salah.

Vicky lalu membuka pintu dan turun dari mobil, dia juga membantu Vanya yang masih terlihat kesakitan karena insiden tadi.

Mereka berdua bergegas ke resepsionis Rumah Sakit Cipta, Vanya langsung menanyakan keadaan ayahnya kepada petugas yang berjaga.

Petugas menjelaskan jika Ayah Vanya yang bernama Bima Purnomo saat ini berada di ruang ICU. Petugas tadi menambahkan jika keadaan ayahnya tidak dalam kondisi yang berbahaya.

Mendengar itu akhirnya Vanya dapat bernafas lega, dia lalu meminta izin kepada Vicky untuk menemui ibunya.

Vicky tersenyum dan mengangguk mempersilahkan Vanya untuk bertemu keluarganya. Baru beberapa langkah berjalan Vanya tampak menyadari sesuatu yang penting.

Vanya langsung berbalik dan kembali ke pemuda yang menolongnya, dia lalu mengulurkan tangannya kepada Vicky.

"Umm... maaf aku belum mengetahui namamu, aku... aku Vanya Purnomo."

Vanya memperkenalkan dirinya dengan tersipu malu dan terbata-bata karena tersadar jika dia sama sekali belum mengetahui nama pria yang sudah menolongnya.

Mendengar hal itu Vicky tertawa. "Nona Vanya bukankah ini sedikit terlambat? Kamu bahkan sudah menjadikanku bantal tidur."

Vicky membalas Vanya sambil sedikit bercanda, tentu saja itu membuat Vanya semakin salah tingkah dan semakin tidak berani menatap mata Vicky.

"Aku Vicky Prayoga, salam kenal Nona Vanya," ucap Vicky disertai senyuman di wajahnya.

Sambil bersalaman mereka memperkenalkan diri satu sama lain, Vicky juga mengingatkan Vanya untuk memeriksakan kondisinya ke dokter.

Setelah mengetahui nama dari pemuda yang telah menolongnya Vanya kembali izin pamit untuk bertemu dengan Ibunya, tak lupa Vanya juga mohon pamit kepada Baryy yang juga ikut turun menemani mereka.

***

Vanya sudah sampai di depan ruang ICU Rumah Sakit Cipta, di sana Vanya melihat ibunya, Utari Purnomo yang menunggu dengan cemas, wajahnya tampak lelah, sudah beberapa hari ini Utari kurang tidur karena mengurus suaminya yang sakit.

"Ibu...," ucap Vanya lirih, sambil mempercepat langkah menuju Ibunya.

Utari langsung bangun dari duduknya ketika mendengar suara anak gadisnya memanggil, Vanya memeluk ibunya dan langsung bertanya tentang keadaan ayahnya.

Utari menjelaskan jika ayahnya masih tidak sadar dan perlahan kondisinya sudah membaik, namun dokter menyarankan jika ayah Vanya secepatnya melakukan operasi cangkok ginjal (transplantasi ginjal), apalagi beberapa hari yang lalu pihak Rumah Sakit mendapat kabar jika ada seorang pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya.

Keluarga Vanya saat ini berada dalam keadaan yang sulit, semenjak ayahnya sakit, bisnis keluarga mereka berantakan, ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal akut dan itu membuat ayahnya harus melakukan cuci darah secara rutin.

Pagi ini, ayah Vanya tiba-tiba tidak sadarkan diri, yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.

Walaupun sudah ada pendonor, itu tidak semata-mata menyelesaikan masalah, biaya untuk operasi cangkok ginjal mencapai 250 Juta sampai 400 Juta, dengan kondisi ekonomi keluarga Vanya yang sekarang tentu saja nominal biaya operasi itu sangat besar.

"Ibu tidak usah memikirkan itu, aku akan mencari cara agar ayah dapat dioperasi secepatnya."

Vanya berusaha meyakinkan ibunya yang terlihat lelah dan juga cemas, Vanya sendiri bingung di mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu, namun setidaknya dengan bersikap tenang dia bisa membuat ibunya tidak semakin terbebani.

"Iya Nak, Ibu percaya padamu."

Tentu saja Utari menyadari jika putrinya hanya berusaha bersikap tenang di hadapannya. Utari juga tidak mau terlihat semakin menyedihkan dengan terus cemas dan panik di hadapan putri tercintanya ini.

Mata Utari kini tertuju pada perban yang membalut tangan putrinya.

"Vanya kenapa tanganmu Nak?" Wajah Utari terlihat panik begitu melihat perban putih yang membalut tangan putrinya.

"Tidak apa-apa Ibu, ini hanya luka kecil."

Vanya menjawab pertanyaan ibunya tanpa menyebut kecelakaan yang menimpanya, dia tidak mau menambah beban pikiran Ibunya.

"Kamu yakin? Apakah perlu diperiksa ke dokter? Bagaimana bisa kamu mengendarai motor dari Jakarta ke Bogor dengan tangan seperti itu?"

Utari kembali bertanya karena khawatir jika luka yang diderita anaknya lebih parah dari kelihatannya, apalagi ibunya tahu tidak mudah bagi seorang gadis menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan menggunakan sepeda motor.

"Tidak usah Ibu... ,tadi di kantor ada sedikit insiden kecil, lagian aku tidak menggunakan motor kesini, aku diantar oleh Vicky."

Tanpa sadar Vanya menyebut nama Vicky di depan ibunya.

"Oh, Vicky?! Siapa dia?" Dengan sedikit terkejut dan menggunakan nada menggoda, Ibunya bertanya tentang pemuda yang namanya baru saja disebut oleh anaknya.

Utari sangat mengenal anaknya, dia tahu jika Vanya tidak pernah sama sekali dekat dengan pria. Vanya selalu memikirkan pendidikan dan karir jadi sangat mengejutkan saat Vanya menyebut nama seorang pria.

Vanya sontak kaget ketika ibunya bertanya tentang Vicky, dia tidak sadar sudah menyebut nama Vicky dengan santainya, wajahnya tersipu malu.

"Itu... umm... teman, Bu, iya teman..." Dengan gugup Vanya menjawab pertanyaan ibunya, matanya menatap ke plafon rumah sakit seakan-akan di plafon rumah sakit itu ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.

Melihat tingkah lucu anaknya Ibu Vanya tertawa. "Ya sudah...nanti kamu harus mengenalkan Ibu ke temanmu yang bernama Vicky itu, dia sudah sangat baik mengantar kamu sampai disini."

"Iya Ibu sayang," Jawab Vanya manja kepada ibunya.

Vanya dan ibunya kembali melanjutkan pembicaraan mereka dengan suasana hati yang sedikit lebih baik.

"Pak Barry." Vicky memanggil Barry yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Iya Tuan Muda," jawab Barry sambil berjalan mendekat ke arah Tuan mudanya.

"Coba cari tahu keadaan ayah Vanya ke pihak Rumah Sakit, sekalian titip pesan ke Vanya melalui petugas jaga jika besok malam kita akan kembali ke sini."

"Siap Tuan Muda," jawab Barry yang langsung melaksanakan perintah dari Vicky.

Setelah menyampaikan itu kepada Barry, Vicky menuju halaman depan rumah sakit, beberapa saat kemudian Barry sudah menyelesaikan tugasnya. Barry segera mengambil mobil yang berada di parkiran dan menjemput Vicky yang menunggu di depan pintu masuk Rumah Sakit.

Setelah Vicky naik tak berselang lama mobil mereka meninggalkan Rumah Sakit Cipta.

"Jadi informasi apa yang Pak Barry dapat dari Rumah Sakit?" Vicky bertanya kepada Barry sambil menatap langit yang sudah terlihat mendung.

"Ayah Nona Vanya menderita gagal ginjal yang sudah cukup parah, dokter mengatakan jika Ayah Nona Vanya harus segera melakukan operasi, kebetulan beberapa hari yang lalu Rumah Sakit Cipta mendapat kabar ada pendonor yang bersedia, namun sepertinya kondisi ekonomi keluarga Nona Vanya sedang tidak baik, hal itu yang membuat operasi belum dilakukan, jadi apa perintah tuan muda?"

Barry sudah mengerti jika setelah menyampaikan informasi, Vicky pasti akan langsung meminta Barry untuk bertindak, oleh karena itu dia langsung menanyakan kepada Vicky instruksi selanjutnya.

"Kalau begitu urus semua biaya rumah sakit dan minta dokter untuk segera melakukan operasi, dan untuk masalah Eddy tadi, buat dia agar menghormati Vanya, aku tidak mau kejadian serupa kembali terjadi," balas Vicky.

"Siap Tuan Muda," jawab Barry singkat.

Ketika menoleh ke tempat di mana Vanya tadi duduk, Vicky melihat jaket biru gelap yang tadi dikenakan Vanya.

Karena tadi terburu-buru dan cemas Vanya lupa mengambil jaketnya, Vicky lalu meraih jaket yang berada di sampingnya.

Tak sengaja tangannya menyentuh saku bagian dalam jaket milik Vanya, dia menyadari ada sesuatu di dalamnya, Vicky mengeluarkan benda yang berada di saku jaket Vanya, yang ternyata adalah dompet milik Vanya.

"Gadis ceroboh," batin Vicky sambil menyunggingkan senyum tipis.

Vicky membuka dompet Vanya, di dalamnya ada beberapa lembar pecahan uang seratus ribu, kartu ATM, dan beberapa kartu identitas. Vicky menarik kartu tanda pengenal milik Vanya, dia lalu melihat data yang tertera disitu.

"2 Februari? Bukannya itu besok?" pikir Vicky sambil melihat jam tangannya.

Ketika melihat tanggal lahir Vanya terbesit sebuah ide di benak Vicky.

"Pak Barry, besok tolong buka rekening di Bank Bumi Angkasa menggunakan identitas ini."

Vicky menyerahkan kartu yang berada di tangannya kepada Barry.

"Siap Tuan Muda," balas Barry sambil menerima kartu yang diserahkan Vicky.

Barry melihat sekilas identitas yang tertera di kartu, dia lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang dia kenakan.

Vicky kembali bersandar dan menatap keluar jendela.

"Pak Barry, bukankah suara Vanya sangat mirip dengan Kirana?"

"Iya Tuan Muda, aku juga terkejut sewaktu pertama kali mendengar suara Nona Vanya, dan yang lebih mengejutkan bahkan tanggal lahir mereka juga sama," balas Barry sambil melihat Vicky dari spion tengah mobil.

"Sebuah kebetulan satu berbanding sejuta," ucap Vicky sambil tersenyum dan kembali menatap keluar jendela.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status