MasukVicky harus menyamar menjadi pria biasa-biasa saja untuk mendapatkan calon istri yang sesuai dengan kriteria sebagai penerus Keluarga Vladislav. Dan secara tidak sengaja dia bertemu dengan seorang wanita yang memikat hatinya, wanita cantik itu bernama Vanya. Namun, hubungan itu terjadi sangat singkat. Karena dia harus menghadapi kenyataan kalau dia sudah bertunangan dan harus masuk ke dalam perusahaan milik calon istrinya itu. Karena suatu hal, akhirnya Vicky sadar kalau wanita yang ia cintai adalah Vanya. Mereka bertemu kembali. Namun, di mana saat mereka sedang bahagia. Kedua pasangan ini harus menerima kenyataan pahit. Di mana Vanya mengetahui kalau Vicky sudah bertunangan, sedangkan Vicky harus pergi menjalani misi dari keluarga Vladislav. Kedua insan ini harus berpisah dalam kesalahpahaman dan perasaan terpendam. Dimana ada penyesalan besar pada diri mereka. Apakah Vicky dan Vanya bisa membuktikan kekuatan cinta mereka? Dan apakah Vanya pantas menjadi istri dari sang penerus Vicky Vladislav?
Lihat lebih banyakLagu All I Ask milik Adele seharusnya mengalun indah pagi ini. Tapi karena ini hari libur, dengan rasa malas yang menggunung Tara meraih ponselnya yang semalam ia simpan di meja kecil di ujung tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Ia berdecak malas membaca nama si penelepon.
Raka Tasena is calling...
“Halo?”
“Gue di depan rumah lo.”
“Hah?” Mendadak telinganya terasa tuli.
“Cepetan keluar!"
Tara menyibak gorden kamar, di depan pagar rumahnya, Raka dengan kaos santai dan jins dongker selututnya sudah nangkring di atas motor dengan tatapan tertuju padanya. “Lo gila apa ya?!”
“Apaan, sih? Cepet keluar dah, lo!”
Perempuan itu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Pagi-pagi buta sudah dibangunkan oleh mantan, apalagi yang kurang sial? Tara membuka pintu gerbang rumahnya, membiarkan Raka memasukan motornya ke carport, kemudian kembali duduk di atas jok motornya.
“Lo ngapain, sih?” tanya Tara yang kesal waktu tidurnya dipotong. Waktu baru menunjukan pukul delapan pagi. Iya, bukan lagi pagi buta. Tapi ini kan hari libur. Seharusnya Raka cukup tahu diri untuk tidak menganggunya.
“Tante Eva mana?” tanya Raka sambil melirik ke dalam rumah.
Tara menatapnya malas. “Gak ada. Mau ngapain?”
“Mau ambil songket titipan mami di rumah mbak Sarah.”
“Kayaknya gue bilang dianterin nanti, deh,” gumamnya.
“Suka-suka guelah. Gue maunya sekarang. Gitu aja repot lo.”
Dengkusan kasar keluar dari Tara. “Apa kata lo? Suka-suka lo? Sinting! Lo udah ganggu waktu tidur gue!”
Raka terkekeh melihat perempuan itu menggerutu, ia menyentuh dahi Tara.
“Stres lo, ya, pagi-pagi udah emosi.”
“Apaan, sih!” Tara menepis tangan Raka dengan kasar.
“Sensitif banget, deh.” Ia mengangkat bahu tak acuh. “Ya udah, ayo ambil songketnya.”
Tara menghela napas kasar. “Tunggu di sini, lima belas menit lagi gue keluar.”
“Ngapain?”
“Gue pikir lo cukup waras dengan bawa gue weekend gini pakai piyama,” dengkus Tara tak tertahan.
Tatapan lelaki itu akhirnya jatuh pada penampilan Tara yang masih mengenakan pakaian tidur bergambar donat berbagai varian rasa, belum lagi rambut sebahunya yang awut-awutan. Lucu. Kalau mereka masih pacaran, ia yakin Tara butuh waktu bermenit-menit lamanya untuk menemuinya pagi ini.
Sebelum Raka kembali bersuara, Tara lebih dulu berlari ke dalam rumah. Lima belas menit kemudian Tara keluar dengan penampilan berbeda. Piyama kebesarannya telah berganti dengan kaos putih oversize bertuliskan ‘i donut care’ di bagian dada, dipadukan dengan jins biru muda serta sneakers putih. Sembari berjalan ke carport, ia mengikat rambut sebahunya dengan asal.
“Ayo!” ajaknya.
Raka yang sedari tadi memerhatikannya, berkedip sesaat. “Tar.”
Tara berhenti berjalan. “Apalagi?”
“Gak ada bedanya belum mandi sama sekarang.”
“Sialan! Sini, lo!” katanya memberi ancang-ancang untuk memukul kepala lelaki itu. Ia langsung mengamuk meskipun 'tidak ada bedanya' yang dimaksud Raka itu tetap cantik atau tetap jelek.
Namanya juga Raka, tidak bisa jika tidak membuat Tara kesal. Sesampainya di rumah Sarah—designer baru kenalan keluarga Tara—pekerja di rumah itu mengatakan bahwa sang tuan rumah sedang ada seminar di Bandung selama dua hari dan akan kembali besok lusa.
Tara menghampiri Raka yang sibuk memainkan ponselnya. Dengan wajah tidak bersahabat, ia berseru, “Gue bilang juga dianterin nanti! Susah banget, sih, dibilanginnya.”
“Kenapa, sih? Songketnya mana?” tanya-nya melihat Tara kembali dengan tangan kosong. Ia kembali menyalakan mesin motornya.
“Orangnya lagi gak ada. Gue juga udah infoin kemarin kok. Baca chat, deh, kebiasaan!” omelnya sembari menaiki motor itu.
“Ya udah, sih, maaf.” Ia membuka ruang obrolan mereka, dan benar. Tara tidak pernah salah.
“Lain kali jangan ngeyel, deh!” sungutnya.
“Iya, iya. Bawel amat. Gue kan udah minta maaf.” Raka ikut sewot. Ia mulai melajukan motonya kembali.
Tara memilih tak menanggapi, ia melihat arah yang diambil lelaki itu. “Ini mau ke mana, sih? Arah rumah gue kelewat!”
“Puter balik.”
“Apa-apaan puter balik segala, lo kira rumah gue di mana?” cibirnya.
Raka meliriknya sekilas melalui spion, dengan iseng ia menambah kecepatan laju motornya, membuat Tara reflek menjerit takut.
“Gila lo, ya! Mati gak usah ngajak-ngajak gue.”
“Makanya pegangan dulu!”
“Dih!” Tara mendelik protes, tapi tak urung ia memegang kedua bahu Raka.
“Lo pikir gue tukang ojek? Di pingganglah!”
“Apaan, sih, najis lo!” Tara bergidik geli.
“Halah, najis-najis gini juga pernah lo panggil sayang. Inget gak, lo chat gue malem-malem, ‘sayang, kayaknya enak deh makan seblak malem-malem. Kata Karina, yang di perempatan deket sekolah seblaknya enak.’ Gue jabanin, Tar! Gak peduli tuh waktu itu lagi musim begal juga, mana ujan rintik-rintik lagi,” cerocos Raka.
“Gue gak bilang gitu, ya!”
“Sama ajalah intinya.”
“Bedalah! Itu namanya lo melebih-lebihkan!”
Raka berdecak. “Masih untung gue gak kenapa-kenapa. Masih bisa, nih, semotor sama lo sekarang,” gerutunya.
“Berisik. Gue gak open curhat.”
“Tai.”
“Ih, Raka! Kapan puter baliknya ini? Kenapa jalan terus? Gue mau pulang!”
“Penumpang diem aja, nggak usah banyak minta,” katanya. “Gue jual juga deh ke toko jam.”
“Dih, ngapain lo ngejual gue ke toko jam?”
“Biar lo ada kerjaan.”
“Garing.”
“Nggak ada ujan ngapain basah-basahan?”
“Ah, Raka, bisa nggak jangan main-main sama gue? Kapan lo putar baliknya, sih?! Gue nggak bego, ya!” kesal Tara.
“Ya udah.”
“Apaan?” Tara mencondongkan wajahnya ke depan karena suara Raka teredam oleh bisingnya kendaraan lain.
“Lo nggak mau main-main ‘kan? Mau yang serius aja?”
[].
8 bulan kemudian... Karena permintaan Vladimir, Vicky dan Vanya akhirnya menetap di Rusia sampai tiba waktunya Vanya melahirkan nanti. Bima dan Utari juga tidak mempermasalahkan hal itu, rencananya Vicky dan Vanya baru ke Indonesia begitu usia kandungan Vanya memasuki bulan ke sembilan. Vicky memang sudah berniat agar saat Vanya melahirkan nanti bisa di dampingi oleh kedua orang tuanya. Selama Vicky dan Vanya berada di Rusia, Vincent di kirim ke Indonesia untuk menggantikan Vicky mengurus Dharma Prakarsa Grup. Alyona yang memiliki beberapa perusahaan di Singapura juga turut mengurus Grup perusahaan itu. Berkat kemampuan Kakak beradik ini, hanya dalam waktu enam bulan, Dharma Prakarsa Grup terbang tinggi dan menjadi salah satu Grup perusahaan terbesar di Indonesia. Setara dengan Grup Barata milik Gunnadi, dan juga Grup Adhitama milik Ezra sahabat Arthur dan Laras. Posisi Bimo dan Hendro di Dharma Prakarsa Grup di pulihkan oleh Dimas, ini juga atas permintaan langsung Arthur dan Lar
“Baiklah, kalian tunggu disini saja, biar aku dan Vanya yang menemui Kakek Vladimir,” ucap Bella. “Ayo Vanya,” sambungnya sambil menarik pelan lengan Vanya. Vanya tersenyum dan beranjak dari duduknya, nasib Ivan, Jafin dan Billy sekarang berada di tangan dua wanita cantik itu. Sambil berjalan menuju meja Vladimir dan para orang tua berada, Bella dan Vanya mulai mendiskusikan strategi mereka sambil berbisik, wajah Vanya berubah terkejut dia tampak menutup mulutnya menahan tawa mendengar rencana Bella. “Sekarang kamu paham kan?” Tanya Bella ke Vanya. Vanya menganggukkan kepalanya mereka berdua tampak beradu telapak tangan pelan sebelum menjalankan aksi mereka. Nabila, Olma dan Alexa kompak tertawa kecil melihat tingkah mereka yang menggemaskan, mereka pun menebak-nebak akan seperti apa cara Bella dan Vanya membujuk Vladimir. “Bella yang mengambil kendali, sepertinya kali ini mereka akan berhasil,” ucap Nabila. “Tentu saja, siapa dulu suaminya,” ujar Austin berbangga diri. “Maaf
Arthur, Laras, Vicky dan Vanya akhirnya tiba di Rusia, karangan bunga ucapan selamat untuk kehamilan Vanya berjajar rapi di sepanjang kediaman keluarga Vladislav. Di halaman depan, terilihat Vladimir dan ke empat senior Vicky bersama para istri mereka sudah menunggu kedatangan Vicky dan Vanya. Begitu turun dari mobil, Vicky dan Vanya langsung menghampiri Vladimir yang terus tersenyum bahagia, dengan sopan mereka berdua menyapa Vladimir, lalu menyapa para seniornya. Para bawahan keluarga Vladislav yang mengetahui kabar kehamilan Vanya sebenarnya berniat datang dan ikut merayakan kabar bahagia ini. Namun dengan berbagai pertimbangan, Vladimir akhirnya membatalkan hal itu, salah satu pertimbangan Vladimir karena sadar jika cucu mantunya itu butuh istirahat, jika sampai acara penyambutan besar-besaran di lakukan, bisa di pastikan Vanya akan sibuk menyapa para tamu yang jumlahnya tidak sedikit, dan tentu itu akan berbahaya untuk kandungannya. Nabila, Bella, Olma dan Alexa langsung memi
Karena Vincent sudah setuju dengan permintaannya, Alyona langsung membuka ponselnya hendak menghubungi temannya yang bernama Ghiska Natasha. Setelah kembali ke Rusia besok, Alyona dan Vincent rencananya akan terbang ke Indonesia untuk menggantikan Vicky mengurus Dharma Prakarsa Grup milik Kakek mereka selama Vicky dan Vanya berada di Rusia. Alyona dengan bersemangat mencari nama Ghiska di kontak ponselnya, dia pun langsung menghubungi nomor Ghiska untuk mengatur jadwal bertemu di Indonesia nanti. Tut... Tut.... “Halo....” “Halo Ghiska, ini aku Alyona,” ucap Alyona. “Hmm... Alyona?” Tanya Ghiska. “Astaga kamu jahat sekali karena tidak mengingatku, Alyona di Singapura, kita bertemu setahun yang lalu.” “Ohh.. Iya! Aku ingat si cantik bermata biru! Apa kabar?!” Tanya Ghiska yang akhirnya bisa mengingat Alyona. “Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?” “Sama... aku juga baik-baik saja, hah... aku sudah beberapa kali mencoba menghubungi nomormu yang dulu, tapi tidak pernah tersambu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasanLebih banyak