“Lalu apa yang akan kau lakukan? Mau menuntutku? Kenapa tidak kau gugurkan kandungan itu?”
“Aku membelikan pil pencegah hamil, apa yang kau lakukan dengan obat-obat itu sampai hamil? Ini salahmu, Rania. Jangan datang tanpa rasa malu ke sini dan menuntut apa pun padaku. Aku tidak suka wanita yang serakah.”“Jangan salah paham, Rania. Kau bukan kekasihku, kau hanya simpanan yang kupelihara sampai aku bosan.”Rania terbangun. Dengan dada yang naik turun dan napas tidak beraturan, dia mencoba duduk, berharap segala ketakutan itu bisa enyah dari pikiran.Peluh menetes deras dari wajah hingga ke lehernya, membuat Rania sesak dan gelisah.Ini adalah mimpi ke tujuh sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Zack. Perlakuan kejam yang Zack lakukan padanya tujuh hari yang lalu selalu saja terbayang dalam mimpi dan membuatnya tak mampu tertidur nyenyak.Bahkan, Rania tidak sanggup saat mendengar suara khas pria itu walau lewat mimpi. Tatapan tajam dan ucapannya yang dingin begitu sulit untuk Rania lupakan.Kini, dirinya kehilangan banyak hal. Pekerjaan, kehidupan yang normal dan juga Zack. Lagi-lagi Rania menumpahkan air mata. Rasa pedih itu masih terasa sampai sekarang, tak berkurang sedikit pun.Rania bangkit dari tempat tidur. Rasa mual menyerbu seketika.Bergegas dia keluar kamar menuju dapur. Dadanya terus merasa sesak. Bersyukur masih ada Jennie yang mau menampungnya.“Aku tidak bisa terus seperti ini,” lirih Rania setelah ia menghabiskan segelas minuman.Di saat seperti ini, Rania membutuhkan usapan tangan Zack. Ketika lelaki itu mendekapnya semalaman dan menahan gairah hanya untuk membiarkan Rania tertidur pulas.Ah, lagi-lagi yang terbayang adalah Zack.Di satu sisi, Rania membenci lelaki itu. Ia amat marah pada Zack, tapi di sisi lain ia begitu ingin bertemu dengan Zack. Terlalu bodoh karena diam-diam mengharapkan permintaan maaf dari pria itu.Rasa sesak karena kehamilan itu berganti dengan kekecewaan begitu ingatan akan Zack hadir.“Mimpi buruk lagi?”Rania hampir terjungkal karena suara parau sehabis bangun tidur tiba-tiba terdengar di belakangnya.“Oh, maaf. Apa aku mengagetkanmu?”Rania mengusap dada. “Ya Tuhan, kau berjalan nyaris tanpa suara.”“Kau saja yang tidak mendengar kehadiranku karena sibuk melamun sejak tadi,” ucap Jennie sembari memutar bola mata. “ Apa kau masih memikirkan si brengsek itu lagi?”Rania bergeser, membiarkan Jennie mengambil minuman dari dalam kulkas.“Aku tahu kau akan mengataiku bodoh dan menghakimiku,” lirihnya dengan kepala menunduk, menatap meja.Jennie membuka tutup botol air mineral sembari memusatkan perhatian pada sahabatnya itu.“Ya, aku akan mengataimu bodoh. Kau bisa mencintai laki-laki itu, tapi jangan pernah berharap dia merasakan hal yang sama. Kau tahu dia orang yang seperti apa.”“Dia terus saja datang dalam mimpiku, Jen. Apa yang harus kulakukan?”Rania tak sanggup mengatakan bahwa ini sangat menyiksa. Semua ini membuatnya takut ketika tertidur di malam hari dan juga terbangun dalam keadaan mimpi buruk.“Dikarena kau masih sangat mencintainya?” bisik Jennie, seolah dapat membaca binar mata Rania yang berkaca-kaca.Jennie yang duduk di hadapannya menatap dengan iba. Melihat Rania yang kehilangan jati diri selama seminggu penuh membuatnya sungguh cemas. Wanita itu sedang hamil dan harus menjaga kesehatan tubuh serta kesehatan mental dan jiwanya.“Baiklah,” gumam Jennie, menarik perhatian Rania dari lamunan. “Bagaimana bila begini saja, kita fokus pada anakmu. Anak itu akan kita jaga bersama-sama. Bayangkan saat berbelanja baju-baju bayi beserta perlengkapan yang bayi itu butuhkan nantinya. Pasti akan sangat menyenangkan! Ah, Rasanya tidak sabar untuk melihat bagaimana rupamu dengan perut buncit yang menggemaskan itu. Aku yakin, kau akan menjadi wanita hamil paling cantik yang pernah aku temui.” Jennie tersenyum menggoda, membuat Rania ikut mengulas sebuah senyuman di sudut bibirnya yang rapat.Sepertinya usaha Jennie berhasil, karena pandangan sayu Rania berpindah ke perutnya yang mulai menunjukkan tanda adanya sebuah kehidupan di sana. Tanpa sadar, jemarinya mengelus lembut perutnya yang mulai terasa tidak lagi rata. Seperti sebuah keajaiban. Rania tersadar, mungkin saat ini dirinya kehilangan segalanya, tapi dia masih memiliki anak ini. Buah hati yang dititipkan di dalam perutnya.Dia dapat merasakan, bayi itu hidup dan terus bertumbuh.“Kau benar,” ujar Rania takjub. Wanita itu pun memandang Jennie dengan mata basah. “Betapa bodohnya jika aku terus seperti ini.”Jennie hanya mengangguk mendengarkan Rania yang seolah baru saja tersadar akan sesuatu.“Anak ini membutuhkan diriku, Jen. Dia membutuhkan aku, ibunya.”Sebulir air mata perlahan meleleh, menuruni pipi kemerahan itu.“Ayahnya mungkin tidak menginginkannya, tetapi masih ada dirimu, Rania. Aku yakin kau bisa melewati ini semua.”Tangan hangat Jennie membungkus lembut punggung tangan Rania yang berada di atas meja.“Kau harus melindungi dan menjaganya.”Bibir Rania bergetar saat mengulas senyuman.Zack mungkin tidak mengakui anak ini. Itu tidak masalah, karena Rania saja cukup untuk mencintai anak ini. Dirinya menyayangi janin yang bertumbuh di perutnya. Nyawa yang akan dia bawa beberapa bulan berikutnya dan akan ia besarkan sendiri.Ternyata, dirinya salah. Dia tidak kehilangan segalanya.“Besok kita harus membeli baju untukmu. Sepertinya bajumu mulai sempit. Iya, kan?”“Iya, mulai sesak.” Rania tampak sedikit malu. Dia merasakan baju-bajunya mulai tidak muat lagi.“Kita juga harus menyetok ulang susu hamil dan semua jenis makanan bergizi untukmu.”Jennie berdiri dan meraih bahu Rania. “Baiklah. Sekarang kau harus tidur karena besok kita akan mengelilingi mal sampai kehabisan tenaga. Aku juga akan tidur bersamamu malam ini, jadi kau tidak perlu khawatir akan bermimpi buruk lagi. Kita hadapi bajingan dalam mimpimu itu bersama-sama.”***Ketika pagi tiba, Rania diseret begitu saja ke mal sesuai perkataan Jennie semalam. Wanita itu terlalu bersemangat sampai terus mengelus perut Rania hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.Keduanya tampak sibuk menelusuri satu toko ke toko lainnya untuk mencoba berbagai jenis baju.“Ayo kita beli yang lebih longgar supaya kau bisa memakainya sampai usia kandunganmu sembilan bulan. Jika kandunganmu makin membesar, kau tidak bisa lagi berkeliling mal seperti ini.”“Kurasa itu tidak perlu, Jen. Aku hanya akan membeli beberapa pasang yang dibutuhkan saja,” jelas Rania yang tentu saja Jennie tolak.“Tidak … tidak … kau pasti akan membutuhkannya nanti. Jadi belilah lebih banyak lagi.”Keduanya masih saja berdebat tentang jumlah baju yang akan mereka beli untuk beberapa jam ke depan. Dan, begitu keduanya menyelesaikan belanjaan, Jennie menarik tangan Rania keluar dari toko yang tadi mereka masuki.“Ah, aku sangat lapar. Ternyata berbelanja semenyenangkan itu! Aku sampai lupa kita belum makan sejak tadi. Kau ingin makan apa, calon ibu?” tawar Jennie yang menyapukan pandangan di sepanjang vendor makanan yang mereka lalui.“Apa saja yang penting bukan sushi dan salad.” Berbeda halnya dengan Jennie, Rania bahkan tidak peduli dengan sekitar.“Baiklah. Kita cari restoran daging kalau begitu.”“Tolong jangan yang amis dan berbumbu kuat,” pesannya. Entah mengapa dia selalu mual jika mencium bau bumbu yang kuat.“Baiklah. Kita cari steak saja.”Keduanya memasuki salah satu resto yang cukup ramai. Jennie sengaja memilih meja sudut yang tidak banyak dilewati orang.“Tunggu di sini, aku akan pesankan untukmu.”Rania mengangguk dengan posisi duduk manis di kursinya sembari memperhatikan pergerakan Jennie yang memasuki antrean di depan sana. Orang-orang mulai berdatangan dan antrian pun dengan cepat berganti.Suasana resto yang semakin ramai menyebabkan berbagai bau yang bercampur menghadirkan rasa mual yang secara cepat menyerang perut Rania. Wanita itu membekap mulutnya dengan terpaksa sambil mencari-cari di mana kiranya letak toilet.Namun, bukan letak toilet yang dia temukan. Pandangannya malah mendapati sesosok pria yang mirip dengan Zack. Posturnya dari samping menunjukkan dengan jelas siapa sosok tersebut.Kini, tatapan Rania terpaku pada lengan Lelaki itu yang tengah menggandeng seorang perempuan bergaun summer saat melewati beberapa barisan meja. Pasangan itu berhenti di sebuah meja, tak jauh dari tempat Rania. Sebelum meninggalkan wanita bergaun summer, laki-laki itu lebih dahulu menarik salah satu kursi untuk wanita cantik tersebut, lalu sosoknya pun ikut masuk ke dalam antrean.Mata Rania selalu mengikuti setiap langkah lelaki itu, mengabaikan jantungnya yang berdegub dengan gilanya dan tangan yang gemetar hebat.Laki-laki itu … dia benar Zack.Hari-hari terasa berlalu sangat lambat di Blue Island, membuat Rania selalu dilanda kecemasan. Pikirannya seakan berkelana kemana-mana. Para pegawai yang bekerja dengannya pun teramat sering mendapati dirinya melamun dengan tatapan kosong menghadap ke pintu atau jalanan. Seolah-olah, wanita itu menunggu antisipasi akan kedatangan seseorang.“Tidak terasa ya perayaan Tora Flora akan segera tiba.”Suara lembut Sofia yang datang dari arah belakang, mengejutkan Rania seketika. Dengan memegangi dada, Rania pun berpaling kea rah bawahannya tersebut.“Aku sampai lupa dengan perayaan itu. Astaga, rasanya kepalaku sangat penuh,” ringis Rania yang kembali berbalik menatap pintu seperti sedia kala.Sofia hanya bisa menggeleng pelan. Dia yakin, kedatangan pria asing beserta keberadaan hotel baru di depan mereka adalah sumber dari berisiknya kepala Rania.“Sayang sekali, Miss Kendrick tidak bisa melihat perayaan Tora Flora tahun ini,” desah Sofia, mencoba membawa topik pembicaraan untuk men
“Bagaimana?” Tidak sekalipun Zack mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang sedang dirinya pelajari. Pertanyaan yang baru saja ia lontarkan pada sekretarisnya itu bahkan terdengar seperti angin lalu.Sementara itu, Cintya yang sejak setengah jam lalu berdiri diam di dekat pintu memberikan jawaban seadanya. Diikuti oleh senyum tipis, wanita itu melirik jam yang melingkar di lengan.“Seperti yang anda katakana, Sir. Nona Camerry menolak keras bingkisan-bingkisan tersebut.”Cukup lama Cintya memandangi jarum jam yang berputar. Sikapnya yang tidak biasa itu mengundang perhatian Zack yang sejak tadi berfokus pada lembaran-lembaran file di meja.Sebelah alis pria itu naik mendekati dahi, dan bibirnya membentuk garis tipis dengan tatapan sedikit penasaran.“Katakan apa yang ada dalam pikiranmu saat ini.”Mendengar perintah tersebut, Cintya mengangkat sedikit kepala dan seketika pandangannya pun bertabrakan dengan manik sebiru Samudra yang kini berfokus hanya padanya. Sangat l
“Rania, apa ini?” Jennie memandang penasaran pada bingkisan dan tas belanja yang tergeletak di atas sofa. “Apa kau baru saja berbelanja?” Dengan penuh rasa ingin tahu, Jennie pun berjalan cepat menuju kumpulan benda-benda yang tergeletak sembarangan tersebut. Melihat segel yang masih terpasang, firasatnya sedikit janggal. Dia merasa familiar dengan lambang di bingkisan yang terbungkus rapi. Mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Rania yang baru saja menidurkan Oliver di kamar pun bergegas untuk melihat benda yang Jennie pertanyakan. Begitu tersadar kemana arah pertanyaan tersebut, langkah Rania pun semakin cepat dan secara tiba-tiba dia menarik bingkisan yang hendak Jennie pegang. Hal itu membuat Jennie melemparkan tatapan aneh padanya.Sedikit gugup, Rania pun berusaha mengangkut seluruh pemberian Zack ke dalam kamarnya sendiri.“Ini bukan apa-apa,” jawab Rania, dimana suaranya terdengar bergetar sementara napasnya nyaris tersengal. “Hanya titipan dari Mrs. Mallory.”Kebohongan
“Mommy!”Begitu mendengar suara manis yang ruang itu memanggilnya, ekspresi Rania yang tadinya gusar berubah menjadi berseri-seri dengan senyuman lebar menghiasi wajah. Dia bahkan lupa akan bingkisan beserta tas belanjaan yang menjadi sumber amarah. “Hai Baby!”Segera Rania angkat tubuh mungil yang berlari-lari kecil ke arah pelukannya itu. Dan seketika suara tawa anak batita itu pun pecah, hingga mengisi ruangan toko yang mulai sepi. “Mom, mom! Mrs. Mallory bilang aku tambah besar! Lihat! Aku sangat tinggi Mommy!” celoteh batita itu dengan bahasa yang berlepotan, namun jernih terdengar di telinga Rania. Melihat tingkah menggemaskan putranya, Rania pun mencium gemas pipi gempal batita itu. Dan lagi-lagi tawanya yang renyah menggema hingga memenuhi langit-langit toko roti. “Benarkah? Mrs. Mallory bilang begitu? Coba ibu periksa,” ucap Rania, berpura-pura membuka baju putranya itu. “Oh Tuhan, kau benar-benar semakin besar!”Pujian yang Rania lontarkan semakin membuat batita i
Wajah Rania begitu pucat saat dia memasuki toko, dan hal ini menarik perhatian Sofia. Namun, pegawai wanitanya itu hanya diam tanpa banyak bertanya. “Miss Kendrick baru saja kembali ke hotel. Dia bilang akan kembali lagi besok.”Rania yang sejak tadi hening hanya menjawab dengan anggukan pelan. Jelas sekali, wanita itu tampak lebih murung dari biasanya. Sofia yang tidak tahu cara menghibur orang lain hanya bisa membiarkan Rania sendirian. “Aku ada di section depan jika kau butuh bantuanku,” ucap Sofia, pamit ke tempatnya semula. Tanpa melihat sekitar, Rania pun bergegas ke balik konter dan melayani para pelanggan dengan memasang senyum palsu. “Selamat siang, selamat datang di Toko Kami,” ujarnya ramah sembari menyodorkan menu pada pelanggan baru. Sebisa mungkin dia melupakan kejadian sebelum ini, dan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. ***Dua jam setelah pertemuan, satu per satu pelanggan pun mulai meninggalkan toko. Jam-jam sibuk di toko itu pun mulai sepi, dan
“Selamat Da … tang,” sambut Rania terbata.Mata Rania membulat seketika, dan pelipisnya basah akan cucuran keringat yang muncul tiba-tiba. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi sedikit gusar.“Kami tidak menerima tamu seperti anda, Tuan. Pergilah ke tempat lain yang menyambutmu dengan ramah,” tutur Rania dengan nada sedikit tajam.Penolakan itu sangat jelas terlihat, terutama ketika matanya menyipit tajam dengan bibir berubah menjadi segaris tipis. Tidak ada keramahan maupun senyuman.Pria yang berdiri di hadapannya hanya memandang datar sembari mengedarkan pandangan ke segala arah. Begitu mata pria itu mendapati Jennie yang berjalan dengan senampan penuh roti menuju ruangan belakang toko, raut datarnya berubah sinis. Kini, mata itu berbalik menghunus ke arah Rania yang berupaya menyembunyikan kegelisahan dari tempatnya berdiri.“Aku tidak datang sebagai pelanggan, tetapi aku datang hanya ingin menyampaikan sesuatu.” Dia sengaja memandang wajah Rania terang-terangan, mem