Share

BAB 4 - KARENA KAU SANGAT MENCINTAINYA

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Mau menuntutku? Kenapa tidak kau gugurkan kandungan itu?”

“Aku membelikan pil pencegah hamil, apa yang kau lakukan dengan obat-obat itu sampai hamil? Ini salahmu, Rania. Jangan datang tanpa rasa malu ke sini dan menuntut apa pun padaku. Aku tidak suka wanita yang serakah.”

“Jangan salah paham, Rania. Kau bukan kekasihku, kau hanya simpanan yang kupelihara sampai aku bosan.”

Rania terbangun. Dengan dada yang naik turun dan napas tidak beraturan, dia mencoba duduk, berharap segala ketakutan itu bisa enyah dari pikiran.

Peluh menetes deras dari wajah hingga ke lehernya, membuat Rania sesak dan gelisah.

Ini adalah mimpi ke tujuh sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Zack. Perlakuan kejam yang Zack lakukan padanya tujuh hari yang lalu selalu saja terbayang dalam mimpi dan membuatnya tak mampu tertidur nyenyak.

Bahkan, Rania tidak sanggup saat mendengar suara khas pria itu walau lewat mimpi. Tatapan tajam dan ucapannya yang dingin begitu sulit untuk Rania lupakan.

Kini, dirinya kehilangan banyak hal. Pekerjaan, kehidupan yang normal dan juga Zack. Lagi-lagi Rania menumpahkan air mata. Rasa pedih itu masih terasa sampai sekarang, tak berkurang sedikit pun.

Rania bangkit dari tempat tidur. Rasa mual menyerbu seketika.

Bergegas dia keluar kamar menuju dapur. Dadanya terus merasa sesak. Bersyukur masih ada Jennie yang mau menampungnya.

“Aku tidak bisa terus seperti ini,” lirih Rania setelah ia menghabiskan segelas minuman.

Di saat seperti ini, Rania membutuhkan usapan tangan Zack. Ketika lelaki itu mendekapnya semalaman dan menahan gairah hanya untuk membiarkan Rania tertidur pulas.

Ah, lagi-lagi yang terbayang adalah Zack.

Di satu sisi, Rania membenci lelaki itu. Ia amat marah pada Zack, tapi di sisi lain ia begitu ingin bertemu dengan Zack. Terlalu bodoh karena diam-diam mengharapkan permintaan maaf dari pria itu.

Rasa sesak karena kehamilan itu berganti dengan kekecewaan begitu ingatan akan Zack hadir.

“Mimpi buruk lagi?”

Rania hampir terjungkal karena suara parau sehabis bangun tidur tiba-tiba terdengar di belakangnya.

“Oh, maaf. Apa aku mengagetkanmu?”

Rania mengusap dada. “Ya Tuhan, kau berjalan nyaris tanpa suara.”

“Kau saja yang tidak mendengar kehadiranku karena sibuk melamun sejak tadi,” ucap Jennie sembari memutar bola mata. “ Apa kau masih memikirkan si brengsek itu lagi?”

Rania bergeser, membiarkan Jennie mengambil minuman dari dalam kulkas.

“Aku tahu kau akan mengataiku bodoh dan menghakimiku,” lirihnya dengan kepala menunduk, menatap meja.

Jennie membuka tutup botol air mineral sembari memusatkan perhatian pada sahabatnya itu.

“Ya, aku akan mengataimu bodoh. Kau bisa mencintai laki-laki itu, tapi jangan pernah berharap dia merasakan hal yang sama. Kau tahu dia orang yang seperti apa.”

“Dia terus saja datang dalam mimpiku, Jen. Apa yang harus kulakukan?”

Rania tak sanggup mengatakan bahwa ini sangat menyiksa. Semua ini membuatnya takut ketika tertidur di malam hari dan juga terbangun dalam keadaan mimpi buruk.

“Dikarena kau masih sangat mencintainya?” bisik Jennie, seolah dapat membaca binar mata Rania yang berkaca-kaca.

Jennie yang duduk di hadapannya menatap dengan iba. Melihat Rania yang kehilangan jati diri selama seminggu penuh membuatnya sungguh cemas. Wanita itu sedang hamil dan harus menjaga kesehatan tubuh serta kesehatan mental dan jiwanya.

“Baiklah,” gumam Jennie, menarik perhatian Rania dari lamunan. “Bagaimana bila begini saja, kita fokus pada anakmu. Anak itu akan kita jaga bersama-sama. Bayangkan saat berbelanja baju-baju bayi beserta perlengkapan yang bayi itu butuhkan nantinya. Pasti akan sangat menyenangkan! Ah, Rasanya tidak sabar untuk melihat bagaimana rupamu dengan perut buncit yang menggemaskan itu. Aku yakin, kau akan menjadi wanita hamil paling cantik yang pernah aku temui.” Jennie tersenyum menggoda, membuat Rania ikut mengulas sebuah senyuman di sudut bibirnya yang rapat.

Sepertinya usaha Jennie berhasil, karena pandangan sayu Rania berpindah ke perutnya yang mulai menunjukkan tanda adanya sebuah kehidupan di sana. Tanpa sadar, jemarinya mengelus lembut perutnya yang mulai terasa tidak lagi rata. Seperti sebuah keajaiban. Rania tersadar, mungkin saat ini dirinya kehilangan segalanya, tapi dia masih memiliki anak ini. Buah hati yang dititipkan di dalam perutnya.

Dia dapat merasakan, bayi itu hidup dan terus bertumbuh.

“Kau benar,” ujar Rania takjub. Wanita itu pun memandang Jennie dengan mata basah. “Betapa bodohnya jika aku terus seperti ini.”

Jennie hanya mengangguk mendengarkan Rania yang seolah baru saja tersadar akan sesuatu.

“Anak ini membutuhkan diriku, Jen. Dia membutuhkan aku, ibunya.”

Sebulir air mata perlahan meleleh, menuruni pipi kemerahan itu.

“Ayahnya mungkin tidak menginginkannya, tetapi masih ada dirimu, Rania. Aku yakin kau bisa melewati ini semua.”

Tangan hangat Jennie membungkus lembut punggung tangan Rania yang berada di atas meja.

“Kau harus melindungi dan menjaganya.”

Bibir Rania bergetar saat mengulas senyuman.

Zack mungkin tidak mengakui anak ini. Itu tidak masalah, karena Rania saja cukup untuk mencintai anak ini. Dirinya menyayangi janin yang bertumbuh di perutnya. Nyawa yang akan dia bawa beberapa bulan berikutnya dan akan ia besarkan sendiri.

Ternyata, dirinya salah. Dia tidak kehilangan segalanya.

“Besok kita harus membeli baju untukmu. Sepertinya bajumu mulai sempit. Iya, kan?”

“Iya, mulai sesak.” Rania tampak sedikit malu. Dia merasakan baju-bajunya mulai tidak muat lagi.

“Kita juga harus menyetok ulang susu hamil dan semua jenis makanan bergizi untukmu.”

Jennie berdiri dan meraih bahu Rania. “Baiklah. Sekarang kau harus tidur karena besok kita akan mengelilingi mal sampai kehabisan tenaga. Aku juga akan tidur bersamamu malam ini, jadi kau tidak perlu khawatir akan bermimpi buruk lagi. Kita hadapi bajingan dalam mimpimu itu bersama-sama.”

***

Ketika pagi tiba, Rania diseret begitu saja ke mal sesuai perkataan Jennie semalam. Wanita itu terlalu bersemangat sampai terus mengelus perut Rania hingga akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.

Keduanya tampak sibuk menelusuri satu toko ke toko lainnya untuk mencoba berbagai jenis baju.

“Ayo kita beli yang lebih longgar supaya kau bisa memakainya sampai usia kandunganmu sembilan bulan. Jika kandunganmu makin membesar, kau tidak bisa lagi berkeliling mal seperti ini.”

“Kurasa itu tidak perlu, Jen. Aku hanya akan membeli beberapa pasang yang dibutuhkan saja,” jelas Rania yang tentu saja Jennie tolak.

“Tidak … tidak … kau pasti akan membutuhkannya nanti. Jadi belilah lebih banyak lagi.”

Keduanya masih saja berdebat tentang jumlah baju yang akan mereka beli untuk beberapa jam ke depan. Dan, begitu keduanya menyelesaikan belanjaan, Jennie menarik tangan Rania keluar dari toko yang tadi mereka masuki.

“Ah, aku sangat lapar. Ternyata berbelanja semenyenangkan itu! Aku sampai lupa kita belum makan sejak tadi. Kau ingin makan apa, calon ibu?” tawar Jennie yang menyapukan pandangan di sepanjang vendor makanan yang mereka lalui.

“Apa saja yang penting bukan sushi dan salad.” Berbeda halnya dengan Jennie, Rania bahkan tidak peduli dengan sekitar.

“Baiklah. Kita cari restoran daging kalau begitu.”

“Tolong jangan yang amis dan berbumbu kuat,” pesannya. Entah mengapa dia selalu mual jika mencium bau bumbu yang kuat.

“Baiklah. Kita cari steak saja.”

Keduanya memasuki salah satu resto yang cukup ramai. Jennie sengaja memilih meja sudut yang tidak banyak dilewati orang.

“Tunggu di sini, aku akan pesankan untukmu.”

Rania mengangguk dengan posisi duduk manis di kursinya sembari memperhatikan pergerakan Jennie yang memasuki antrean di depan sana. Orang-orang mulai berdatangan dan antrian pun dengan cepat berganti.

Suasana resto yang semakin ramai menyebabkan berbagai bau yang bercampur menghadirkan rasa mual yang secara cepat menyerang perut Rania. Wanita itu membekap mulutnya dengan terpaksa sambil mencari-cari di mana kiranya letak toilet.

Namun, bukan letak toilet yang dia temukan. Pandangannya malah mendapati sesosok pria yang mirip dengan Zack. Posturnya dari samping menunjukkan dengan jelas siapa sosok tersebut.

Kini, tatapan Rania terpaku pada lengan Lelaki itu yang tengah menggandeng seorang perempuan bergaun summer saat melewati beberapa barisan meja. Pasangan itu berhenti di sebuah meja, tak jauh dari tempat Rania. Sebelum meninggalkan wanita bergaun summer, laki-laki itu lebih dahulu menarik salah satu kursi untuk wanita cantik tersebut, lalu sosoknya pun ikut masuk ke dalam antrean.

Mata Rania selalu mengikuti setiap langkah lelaki itu, mengabaikan jantungnya yang berdegub dengan gilanya dan tangan yang gemetar hebat.

Laki-laki itu … dia benar Zack.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lembayung NanElok
hampir mirip sm kisah via yaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status