Sore itu, Zach sedang berdiri di taman. Mengenang kisah bersama ibunya saat kecil dulu—di mana ia sering diajak bermain di bawah pohon apel. Belajar mengayuh sepeda, bercanda tawa, dibacakan dongeng dan lain sebagainya.Sepenggal kisah sederhana yang kini menjadi sesuatu paling dirindukan olehnya.“Ibu, bagaimana kabarmu? Apakah rasanya bahagia berada di surga?” Zach bergumam seorang diri. “Jika iya, bolehkah aku ikut, Bu? Ada kerinduan yang teramat menyakitkan di sudut hati, setiap kali mengingat bayangan wajahmu ...” ucapnya lirih.Pria itu menghela napas panjang. Sesak, rongga dada seakan dipenuhi muatan besar dan berat. Kemudian, bola matanya bergulir memandang Jeremy yang duduk di kursi roda dalam jarak beberapa meter di hadapannya.Tiba-tiba Zach teringat ucapan Evelyn yang terus menyuruhnya menemui Jeremy—walau hanya sekadar berdiri sambil melengkungkan senyuman tipis. Tidak perlu bicara apa-apa.Itu membuatnya bimbang. Namun, entah kenapa sepasang kaki Zach seperti dipasang rem
“Permisi, Tuan!” Daissy, dengan wajah segan-segan, melangkah masuk ke ruangan pribadi Zach—tentunya setelah mendapatkan izin dari pria itu untuk masuk.Zach menaikkan satu alis, menatap Daissy penuh selidik tanpa mengatakan apa-apa. Akan tetapi, ekspresinya seperti menjelaskan bahwa ia menunggu kabar apa yang akan disampaikan oleh wanita yang berdiri di hadapannya.“Sejak tadi pagi saya tidak melihat Nyonya Evelyn. Biasanya dia selalu datang pada waktu sarapan, makan siang dan makan malam. Tapi sampai sekarang saya belum melihatnya sama sekali, bahkan waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam,” beber Daissy, mengutarakan kegundahannya.“Saya mau tanya, apakah Tuan kembali menghukum Nyonya Evelyn? Atau mungkin saya ketinggalan informasi, bahwa Nyonya tidak lagi makan di dapur selir mulai hari ini?” Wanita itu melanjutkan, “Tuan mengajaknya makan bersama?”Sontak kalimat yang dilontarkan oleh Daissy mengundang rasa terkejut di dalam diri Zach. Matanya membulat, seiring dengan alis yang
Evelyn dibawa ke kamar pribadi Zach. Pelan-pelan tubuh mungil itu dibaringkan di atas kasur. Ada sebongkah kekhawatiran di dada ketika melihat wajah pucat wanita itu.Zach menarik kursi bundar, mendudukinya, menghadapkan diri ke arah Evelyn yang masih belum juga membuka mata.“Evelyn, sadarlah ...” pinta Zach dengan mata nanar sedikit berair. Telapak tangan dingin itu digenggam dan dielus dengan lembut olehnya.“Kau pasti lelah dan tersiksa, ‘kan?” Pria itu kembali membuka mulut untuk bersuara, “Aku tahu, aku memang sudah jahat padamu. Semua ini terpaksa aku lakukan, karena aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku. Dan aku juga takut kau membenciku setelah mengetahui satu fakta yang selalu aku sembunyikan.”Zach mengecup mesra punggung tangan Evelyn. Melihat ketidakberdayaan wanita itu, membuat hatinya teriris perih, lalu melesak ke lembah penyesalan yang begitu dalam.“Apa kau tahu, Evelyn?” Sejenak ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. “Aku ... mencintaimu,” b
Tiga minggu telah berlalu sejak kejadian di mana Evelyn dikurung di dalam gudang oleh Stella. Dan sejak saat itu, Evelyn merasakan sesuatu yang berbeda dari sikap Zach.Evelyn merasa ... diam-diam Zach mulai peduli dan menaruh perhatian padanya—meskipun itu tidak diperlihatkan secara gamblang.Di suatu pagi, wanita itu terbangun dari tidur, lalu beranjak dari kasur menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.Selesai mandi dan memakai gaun selutut berwarna putih gading, ia menghadapkan diri di depan cermin besar yang menampilkan bayangan tubuhnya, lalu menggelung rambut dengan sumringah.Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat Evelyn menoleh dengan penasaran, lalu melihat handle diputar ke bawah.“Waktunya sarapan,” ucap wanita yang baru saja menyembulkan diri ke dalam kamar. Itu adalah Daissy. Sengaja ia datang membawa sarapan untuk Evelyn.“Kenapa repot-repot sekali? Aku bisa jalan sendiri ke dapur untuk mengambil sarapan,” ucap Evelyn saat melihat Daissy meletakkan
Evelyn menggeragap mendengar perkataan Zach. Ia pun menghela napas sesaat untuk menetralisir detak jantung. “Ada yang mau aku tanyakan,” ucapnya. “Itulah alasan kenapa aku mencarimu.”Zach menatap intens. “Mau tanya apa?”“Kenapa tiba-tiba ada seseorang yang mengaku sebagai pengawal pribadiku?”“Karena dia memang pengawal pribadimu.”“Seorang perempuan?”Sejenak pria itu mendengkus. “Violet jago bela diri. Sebelum aku memutuskan mempekerjakan seseorang, tentunya orang itu sudah menjalani berbagai ritual tes yang ketat,” bebernya. “Jadi, jangan meributkan soal jenis kelamin.”“Tapi ‘mantan istrimu’ dulu pengawalnya laki-laki. Kenapa aku perempuan?”Aksi protes yang dibeberkan Evelyn menimbulkan kesalahpahaman di dalam diri Zach, sehingga pria itu memandangnya penuh selidik. Tampak terusik mendengar perkataan wanita itu. “Kau berharap aku mencari laki-laki lain untuk melindungimu?”Eh?“Bukan begitu,” kata Evelyn. “Lagipula aku hanya bertanya saja. Kenapa sensitif sekali?” Lalu ia berdec
“Syarat apa?” tanya Evelyn. Mengernyit kikuk. Kenapa harus pakai syarat segala? Memangnya mau mendaftarkan diri jadi presiden?Tatapan Zach begitu tegas, menyelami bola mata indah Evelyn yang semakin bulat karena penasaran. Sedangkan, jari-jemarinya masih mengepal hangat telapak tangan Evelyn.Detak jantung Evelyn mendadak riuh ketika melihat Zach mulai mendekatkan wajah secara perlahan. Membuatnya semakin membulatkan mata tanpa berkedip sedikit pun.Mengira kalau pria itu akan menciumnya, otomatis Evelyn memejamkan mata erat-erat. Tidak berani menyaksikan adegan tujuh belas tahun ke atas yang akan terjadi pada dirinya. Hingga kemudian ...“Jangan ulangi kesalahan yang sama.”Kelopak mata Evelyn langsung terbuka saat menyadari bahwa Zach ternyata hanya berniat membisikkan sesuatu. Dugaannya salah.Ah, bisa-bisanya ia berpikir bahwa Zach akan melakukan penyatuan dengan bibirnya. Terlalu percaya diri. Menggelikan!“Ehm.” Wanita itu berdeham, mencoba menetralisir perasaan. Mengalihkan pan
Kabar tentang SMTV yang kebakaran membuat Zach sangat terkejut. Karena stasiun televisi itu merupakan saksi bisu atas perjuangan keras orangtua Evelyn untuk mencapai kesuksesan.Seandainya Evelyn mendengar kabar buruk itu, pasti ia akan sangat terluka. Belum lagi tentang kabar kematian Victor yang sampai sekarang masih dirahasiakan rapat-rapat.Evelyn yang malang. Derita hidupnya seakan tiada henti, semakin menumpuk setiap hari.Wanita itu seperti sedang memikul karung besar di atas punggung, tanpa ia ketahui bahwa isi di dalamnya hanyalah balutan nestapa, luka, tangis dan segala hal tentang kepedihan.“Selidiki penyebabnya,” perintah Zach kepada Thomas.Tanpa banyak protes, Thomas mengangguk. “Laksanakan, Tuan!” balasnya.Setelah itu, Zach menyuruh Thomas keluar, meninggalkannya sendirian di ruangan.Perlahan Zach menarik napas dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Kabar buruk ini membuat dirinya mendadak lemas dan hilang semangat. Ia memikirkan Evelyn, tentu saja. Seolah dapat
Zach terbungkam beberapa detik. Pertanyaan Evelyn bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Desir di dadanya bergemuruh seketika. Untuk sekadar mengeluarkan sepatah kata pun rasanya sangat sulit. Lidahnya mendadak kelu.Sementara, dalam keheningan yang mencekam, Oliver tampak salah tingkah mendengar pertanyaan Evelyn. Kepalanya tertunduk, memotong daging di atas piring. Sedangkan di sampingnya, Aldrick dan Alice juga sibuk dengan kegiatan masing-masing.Mereka jelas tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. Mengenai Victor yang sudah meninggal dunia beberapa bulan lalu akibat timah panas yang menembus dadanya, tentu bukan lagi menjadi rahasia di kalangan publik.Beritanya ramai diperbincangkan di mana-mana. Namun, Zach menegaskan kepada seluruh penghuni mansion untuk merahasiakan kabar duka itu dari Evelyn. Jadi, sampai hari ini mereka tidak berani angkat suara di hadapan Evelyn, karena tidak mau bermasalah dengan Zach.Selain itu, Evelyn juga tidak diperbolehkan memegang ponsel—sam