Hari semakin gelap. Pada waktu di mana orang lain mungkin sedang terlelap bersama mimpi indahnya, Evelyn terisak diam-diam. Meringkuk seorang diri di atas lantai semen ruang tahanan. Tak ada bantal, selimut, apalagi kasur. Ia telah terjerembap di penjara kecil ini.
Dunia sangat jahat dan tidak adil bagi seorang gadis tak bersalah yang hanya ingin bertemu sang ayah dan menikah dengan kekasihnya.Evelyn merasa lapar dan haus. Sejak tubuhnya dilempar ke tempat pengap dan gelap ini tadi siang, tak ada secuil pun makanan yang masuk ke perutnya. Bahkan setetes air pun tidak. Tadi pagi ia juga tidak ikut sarapan bersama para selir karena belum merasa lapar. Jika saja tahu akhirnya akan begini, pasti ia sudah mencuri beberapa makanan di dapur selir.Bukankah orang-orang itu sangat tidak berperikemanusiaan, sehingga tega membiarkannya terkurung seperti anak ayam? Bahkan nasib anak ayam jauh lebih baik karena masih diberi makan dan minum oleh orang yang memeliharanya. Tidak seperti Zach yang kejam dan tidak memiliki hati nurani!"Evelyn ...?"Samar-samar Evelyn mendengar suara orang memanggil dengan bisikan yang sangat pelan. Seketika gadis itu membuka mata, menoleh ke sumber suara karena penasaran.Di luar jeruji besi, terlihat Claudia tengah berjongkok sambil membawa sesuatu di tangannya. Kehadiran wanita itu membuat Evelyn bangun dengan penuh semangat, lalu mendekat dan duduk bersimpuh di hadapan Claudia—meskipun komunikasi mereka harus terhalang di balik pintu besi yang digembok."Aku membawakan roti gandum dan sedikit air. Kau pasti lapar," bisik Claudia sambil menoleh ke kanan dan ke kiri guna memastikan tak ada orang yang memergokinya.Wajah Evelyn tampak bersinar. Ia memandang lapar beberapa potong kue kering, roti gandum dan air putih yang dibungkus ke dalam plastik kecil. Pada saat Claudia menyodorkannya dengan hati-hati, Evelyn justru merampasnya dengan tak sabar."Kuharap itu bisa sedikit mengganjal perutmu," kata Claudia dengan tulus. "Dan semoga saja besok ada lebih banyak makanan yang tersisa, sehingga aku bisa berbagi lagi denganmu.""Terima kasih," ucap Evelyn seraya menatap Claudia seakan-akan wanita itu adalah malaikat yang telah menyelamatkannya dari kematian.Claudia mengangguk dan membalas, "Sama-sama." Senyuman getir melengkung di bibirnya. Ada rasa senang bisa membantu, tapi juga merasa miris ketika dirinya melihat Evelyn begitu lahap memakan roti.Claudia tahu, gadis itu sangat kelaparan sejak tadi pagi. Namun, yang bisa diberikan olehnya hanyalah kue kering dan roti gandum yang tidak seberapa banyak. Apakah makanan itu mampu mengenyangkan perut Evelyn hingga esok hari?"Setelah kejadian ini, apa kau masih bersikeras ingin kabur dari mansion?"Sambil mengunyah makanannya, Evelyn menatap ke arah Claudia yang baru saja mengajukan pertanyaan. "Aku tidak ingin terjebak di tempat sialan ini selamanya. Jadi, tentu saja akan kucari cara lain untuk kabur.""Perjuanganmu tidak akan pernah mudah, Eve. Penjaga mansion ada di mana-mana, bahkan di sudut tergelap yang kau pikir bisa menjadi jalan keluar untuk meloloskan diri. Daripada harus berakhir tragis seperti sekarang, sebaiknya kau menyerah saja," tutur Claudia, mencoba memberi sugesti agar Evelyn berhenti melakukan sesuatu yang hanya akan berakhir sia-sia."Tidak akan!" Evelyn tetaplah Evelyn, si gadis keras kepala dan pantang menyerah! "Lebih baik aku mati ditembak penjaga mansion saat ingin mencoba kabur, dibandingkan harus menyerah di tangan calon pemimpin diktator tersebut!""Lebih tepatnya, calon pemimpin diktator yang akan menjadi calon suamimu juga," goda Claudia, membuat Evelyn mengernyit kesal."Suatu kesialan kalau sampai aku menikah dengannya." Gadis itu berdecih sesaat, lalu bergidik ngeri membayangkan jika ia menikah dengan Zach seperti yang diharapkan oleh Claudia."Eve, tolong pikirkan sekali lagi." Claudia memasukkan tangan ke sela-sela jeruji, menggapai telapak tangan Evelyn untuk kemudian digenggamnya dengan hangat. "Aku dan para selir lainnya menggantungkan harapan di pundakmu. Tidak ada wanita yang seberani dirimu di mansion. Jadi, kurasa kau adalah penyelamat kami yang dikirim oleh Tuhan."Evelyn melengos gusar seraya menepis tangan Claudia dengan sedikit kasar. "Dengan cara apa aku bisa meluluhkan hati si Bajingan itu? Pasti harus dengan menyerahkan tubuhku menjadi teman tidurnya, ‘kan? Menjijikkan!" ketusnya seraya menyobek bungkus plastik berisi air putih di tangannya. Ia sangat haus, sehingga air tersebut langsung habis diminum olehnya."Aku tidak bermaksud menyuruhmu menjadi pelacur. Mungkin masih ada cara lain untuk membuat Tuan Zach jatuh cinta padamu tanpa harus menjadi penghangat ranjang untuknya," ralat Claudia, tidak ingin Evelyn salah paham.Evelyn hanya bergeming tanpa kata. Semua yang Claudia katakan sama sekali tidak berhasil membuatnya simpati ataupun mau mengubah keputusan untuk merebut hati Zachary Muller.Karena waktunya tidak banyak, terlebih lagi takut ketahuan oleh para pelayan atau penjaga mansion, maka Claudia memilih meninggalkan ruang tahanan dan mengendap-endap menuju kamar para selir. Ia akan kembali esok pagi dengan membawakan sisa makanan yang berhasil ia curi dari dapur.***Saat ini Zach sedang makan malam bersama beberapa anggota keluarganya. Selain dirinya, Stella dan Oliver, di sini juga ada Aldrick—kakak laki-laki mereka yang lahir dari rahim ibu yang berbeda, tetapi masih satu ayah—bersama istrinya yang bernama Alice. Kemudian, ada Bryan juga, anak semata wayang Aldrick dan Alice yang baru berusia lima tahun."Minggu depan aku akan terbang ke New York untuk memenuhi undangan walikota." Suara Zach memecah keheningan di ruang makan. "Selama aku pergi, tidak boleh ada orang yang membebaskan Evelyn ataupun memberinya makan dan minum. Aku sengaja menghukum dia di penjara dan membiarkannya kelaparan selama tiga hari. Kalau sampai aku tahu ada yang berani menolong gadis itu, kupastikan dia akan sangat menyesali perbuatannya!""Kenapa kau menghukum Evelyn? Apa kesalahan yang dia lakukan?" tanya Oliver, sedangkan yang lain hanya terdiam tanpa banyak berkomentar. Sebab, mereka paham betul bahwa Zach bukanlah orang yang suka didebat saat berbicara.Bola mata Zach yang tajam dan dalam bergulir memandang Oliver. "Dia berusaha melarikan diri," sahutnya. "Aku ingatkan padamu, jangan sampai kejadian yang lalu terulang kembali, atau aku akan melemparmu ke neraka dengan kedua tanganku sendiri!"Oliver terdiam seketika. Tidak berani mendebat ucapan kakaknya. Ia menundukkan kepala, lalu mengaduk-aduk makanannya dengan tak minat."Apa kau tidak malu menyebut dirimu sebagai calon pemimpin negara, Zach?" Kalimat tanya yang diajukan oleh Aldrick berhasil mengubah suasana menjadi sedikit tegang hanya dalam hitungan detik.Semua mata memandang ke arahnya, seolah tidak menyangka akan mendengar pertanyaan yang sangat lancang dari bibir pria yang dikenal paling irit bicara dibandingkan keluarga Muller lainnya.Iya, tidak seperti Zach dan Oliver yang terkenal arogan dan gila hormat di mansion, karakter Aldrick yang dingin dan tenang justru menjadi pengecualian atas kekejaman keluarga Muller.Meskipun tidak banyak omong, tetapi Aldrick merupakan satu-satunya anggota keluarga yang masih memiliki hati dan nurani. Untuk segala sesuatu yang menurutnya sangat tidak adil dan bertentangan dengan hak asasi manusia, ia tak akan ragu-ragu dalam mengutarakan pendapat."Bisa katakan lebih jelas?" Zach menggubris perkataan Aldrick. Dahinya mengernyit dikawal dengan mata yang sedikit menyipit."Kau terus mengkampanyekan dirimu sebagai calon pemimpin negara, tetapi kelakuanmu sama sekali tidak mencerminkan makna dari pemimpin itu sendiri." Usai mengatakan itu dengan santai, Aldrick memasukkan sepotong daging merah yang telah dipanggang ke dalam mulutnya."Kau meragukanku?" Zach memandang pria itu dengan sengit dan penuh selidik."Bukan soal ragu atau tidak," Aldrick menjelaskan, "tapi menurutku kau terlalu manipulatif. Kalau mau hitam, jadilah hitam. Kalau mau putih, jadilah putih. Jangan hanya diam dan membiarkan dirimu menjadi abu-abu," ujarnya. "Di satu sisi mencalonkan diri menjadi presiden, sementara di sisi lain menjadi bos mafia The Killer Panther yang dibenci banyak orang karena kelicikannya. Dan sekarang kau malah mengurung seorang gadis yang sama sekali tidak bersalah hanya demi kepuasan egomu."Oliver semakin menundukkan kepala dan berpura-pura tidak mendengar apa pun. Entah kenapa tubuhnya terasa seperti dibenamkan ke dalam kolam berisi air es—dingin dan kaku—ketika mendengar Aldrick bicara kepada Zach.Stella mengusap telapak tangan Zach karena melihat ekspresi murka di wajah pria itu yang mulai merah padam, sedangkan Alice mencoba mengalihkan perhatian Bryan dengan cara mengajaknya bercanda. Alice tidak mau putranya terlalu fokus memperhatikan Zach dan Aldrick yang sedang bersitegang.Sejenak Zach berdeham sambil membenarkan posisi dhduknya. "Kau sendiri, apakah sudah menjadi putih? Atau justru memilih hitam?" Ia melengkungkan senyuman tipis yang terkesan meremehkan. Meskipun mengaku kesal usai mendengar kalimat tanya yang dilontarkan oleh Aldrick, tetapi Zach tidak ingin terpancing emosi, karena itu hanya akan menguras energinya."Aku tidak memilih keduanya," jawab Aldrick seraya membalas tatapan Zach dengan sorot mata yang tak kalah mematikan. "Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku menjadi abu-abu, apalagi sampai menyakiti orang lain," sindirnya.Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aldrick membuat Zach terkekeh sumbang, sebelum akhirnya kembali memandang serius ke arah pria berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut. "Kau terlalu naif jika menganggap dirimu tak pernah menyakiti orang lain," ucapnya sambil menunjukkan ekspresi seperti menyimpan luka yang menganga lebar di ulu hatinya. Bahkan tak pernah terobati hingga sekarang."Kau mungkin tidak sadar pernah membuat seorang anak kecil kehilangan harapan dan merasa sangat kesepian di tengah ramainya lingkungan," ucap Zach penuh arti. Kenangan pahit yang ia lalui saat masih berusia delapan tahun telah menyisakan cerita gelap dan pilu yang tak terukur kedalamannya."Tentang perayaan ulang tahunku yang kesepuluh?" Aldrick membawa memorinya untuk kembali menging
Evelyn menarik kedua tangannya menjauh dari rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah, apalagi setelah menyelami bola mata Zach yang dalam dan tajam. Akan tetapi, ia mencoba untuk tetap bersikap netral."Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu," ucap Evelyn mengusir secara terang-terangan. Ia sudah mengubah posisi menjadi berdiri.Zach mengerling gusar, lalu ikut berdiri dan semakin mendekat ke arah Evelyn, membuat jantung gadis itu berdegup dua kali lebih cepat karena merasa was-was dan curiga."Akui saja kalau kau memang menginginkanku." Zach kembali merapatkan tubuh Evelyn ke sisi tembok, mengunci pergerakan gadis itu dengan kedua tangannya. "Sekeras apa pun usahamu menyangkal, aku tetap bisa mencium aroma kebohongan yang kau sembunyikan."Postur tubuh Evelyn yang hanya sebatas dadanya membuat Zach harus menundukkan kepala saat menatap wajah mungil gadis itu."Hey! Apa yang kau lakukan?" Evelyn tidak berdaya ketika tangan kekar pria itu menaha
Terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan, membuat Evelyn dan Claudia sangat terkejut. Mereka menoleh, lalu mendapati sosok Daissy yang melangkah semakin dekat."Gawat! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evelyn panik.Claudia belum sempat menggubris kalimat tanya yang Evelyn ajukan. Karena, saat ini Daissy sudah berdiri tepat di hadapannya."Pantas saja aku cari di mana-mana tidak ada, ternyata kau sedang berbagi makanan dengan Evelyn!" omel Daissy sambil melotot, lalu tanpa belas kasihan ia menjambak kuat-kuat rambut Claudia. "Rasakan akibatnya sekarang!"Claudia meringis menahan sakit, sedangkan Evelyn tidak bisa melakukan apa-apa karena terhalang oleh jeruji."Kau membuatku berada dalam bahaya," ucap Daissy dengan nada marah. Sebab, kalau Zach tahu ada seorang selir yang memberi makanan dan minuman kepada Evelyn, orang pertama yang akan disalahkan tentu adalah dirinya."Ampun! Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Claudia sambil terisak pelan. Ia berusaha melepaskan tangan
Zach mendengar kabar tentang seorang gadis yang baru saja bunuh diri di ruang tahanan. Ia tahu itu adalah Evelyn, maka buru-buru dirinya melangkah ke tempat kerjadian perkara.Para penjaga, pelayan, bahkan beberapa selir sudah berkumpul di depan jeruji besi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berani masuk ke dalam untuk melihat Evelyn lebih dekat. Mereka takut dituduh sebagai pelaku pembunuhan atas apa yang terjadi pada gadis itu. Jadi, daripada harus terlibat masalah, mereka lebih memilih menunggu kedatangan Zach.Dengan wajah panik yang tak dapat disembunyikan, laki-laki dengan postur tubuh tinggi tegap itu segera masuk ke dalam ruang tahanan setelah menyuruh seorang penjaga membuka pintu yang digembok."Kenapa kalian diam saja?!" Zach tidak dapat menahan amarah melihat orang-orang itu hanya bergeming seperti orang bodoh. "Apa kalian sengaja ingin melihatnya mati?!" bentaknya.Kemarahan Zach membuat semua orang ketar-ketir, merasa ketakutan. Kali ini, di balik tubuh yang gemeta
Evelyn mencoba lari menuju kamar mandi di sudut ruangan, berinisiatif untuk mengurung diri dengan menguncinya dari dalam. Akan tetapi, ia tak bisa menepis tangan kekar Zach yang sudah lebih dulu menahan lengannya.Zach membopong Evelyn, lalu melempar tubuh mungil gadis itu ke atas kasur. Membuat Evelyn semakin ketakutan dan memikirkan hal negatif tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Evelyn merangkak ke sisi kasur. Namun, dengan cepat Zach menarik kakinya hingga kembali ke tengah. Tenaga mereka tentu tidak sebanding."Lepaskan aku!" pekik Evelyn. Ia nyaris frustrasi karena tidak tahu bagaimana harus menghindar.Tanpa menggubris ocehan itu, Zach melompat ke atas kasur dan menaiki tubuh Evelyn. Hal itu membuat Evelyn tidak dapat bergerak di bawah kendali Zach."Hey! Kau tidak boleh melakukan ini padaku," ucap Evelyn yang telapak tangannya sudah dibanjiri keringat dingin. Ia sudah meronta, hanya saja tenaganya tidak cukup kuat."Perhatikan bagaimana manusia paling jahat di muka bumi
Kabar mengejutkan yang terucap dari mulut Tristan sukses membuat sekujur tubuh Zach membeku. Tidak sepatah pun kata keluar dari bibir merah mudanya.Sejenak Zach terdiam. Terpaku. Ia hanya memandang miris wanita di hadapannya yang baru saja ia buat hancur, sehancur-hancurnya ....“Nanti akan aku hubungi kembali,” ucap Zach seraya memutus sambungan secara sepihak.Zach menjauhkan ponsel dari telinga. Entah kenapa, kabar tentang kematian Victor menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan bagi pria itu. Ulu hatinya tiba-tiba saja mencelos, terperosok sangat dalam hingga rasanya ia nyaris mati karena tersesat di sebuah jurang yang tidak memiliki oksigen.Apakah ia merasa bersalah terhadap Evelyn yang sudah terlanjur rusak?Lantas bagaimana jika Evelyn tahu bahwa ayahnya baru saja dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembakan yang dilakukan oleh anak buah Zach?Bukankah Evelyn akan semakin membenci Zach? Atau mungkin malah menaruh dendam?Kali ini Zach bergerak turun dari kasur, memungut dan
Evelyn merasa kepalanya sangat pusing. Sakit, seperti dihantam oleh beban yang sangat berat. Pelan-pelan ia membuka kelopak mata. Cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di plafon membuat matanya sedikit menyipit.Ia meringis. Mendesis. Seluruh tubuhnya terasa bagai digiling ke dalam mesin penghancur. Lagi, ingatan tentang dirinya yang sudah dinodai oleh Zach benar-benar membuatnya sangat frustrasi. Ternyata itu bukan mimpi, melainkan fakta pahit yang harus ia telan mentah-mentah.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”Suara itu menarik perhatian Evelyn. Ia mendapati sosok Daissy sedang mengambil sesuatu di atas meja di pojok ruangan. Setelah itu, Daissy berjalan menghampirinya.Evelyn masih bergeming. Manik matanya beredar memperhatikan setiap sudut ruangan.Tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, satu hal yang paling pasti, Evelyn tahu ini bukan kamar Zach. Bukan tempat kotor yang dipakai oleh si Brengsek itu untuk merampas sesuatu yang paling berharga dari diri Evelyn.
PLAK!Evelyn menundukkan kepala, memegangi bagian yang terasa nyeri akibat satu tamparan keras yang dilayangkan Stella secara dramatis di pipinya. Perih sekali.“Itu peringatan karena kau sudah lancang menggoda suamiku!” Stella tersenyum miring, merasa cukup puas dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada perempuan di hadapannya.Dengan mata berkaca-kaca menahan sakit, Evelyn memandang Stella dengan tak kalah sengit. “Aku tidak pernah menggoda suamimu, melainkan dia sendiri yang memaksa agar aku mau berhubungan dengannya.”“Meskipun dia memaksa, bukankah pada akhirnya kau tetap mau juga?”“Sejak awal aku sudah menolaknya, tapi suamimu yang biadab itu sama sekali tidak memberiku ruang untuk menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah adegan pemerkosaan, yang mana aku sendiri merasa sangat jijik setiap kali mengingatnya,” jawab Evelyn berterus-terang.Stella semakin geram mendengar penjelasan Evelyn. “Omong kosong!” Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat. “Kalau sampai suatu saat a