"Aku tidak memilih keduanya," jawab Aldrick seraya membalas tatapan Zach dengan sorot mata yang tak kalah mematikan. "Tapi aku juga tidak akan membiarkan diriku menjadi abu-abu, apalagi sampai menyakiti orang lain," sindirnya.
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Aldrick membuat Zach terkekeh sumbang, sebelum akhirnya kembali memandang serius ke arah pria berusia tiga puluh tujuh tahun tersebut. "Kau terlalu naif jika menganggap dirimu tak pernah menyakiti orang lain," ucapnya sambil menunjukkan ekspresi seperti menyimpan luka yang menganga lebar di ulu hatinya. Bahkan tak pernah terobati hingga sekarang."Kau mungkin tidak sadar pernah membuat seorang anak kecil kehilangan harapan dan merasa sangat kesepian di tengah ramainya lingkungan," ucap Zach penuh arti. Kenangan pahit yang ia lalui saat masih berusia delapan tahun telah menyisakan cerita gelap dan pilu yang tak terukur kedalamannya."Tentang perayaan ulang tahunku yang kesepuluh?" Aldrick membawa memorinya untuk kembali mengingat momen pada saat itu. "Mau sampai kapan kau terus mengungkitnya? Itu bahkan sudah berlalu dua puluh tujuh tahun yang lalu," tambahnya.Mendengar ucapan Aldrick yang terkesan sangat enteng dan seperti menyepelekan, seketika membuat Zach kehilangan selera makan. Kedua tangannya terkepal erat, menahan emosi yang mulai merajai diri. Bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja, semua orang pasti bisa menebak dengan mudah kalau Zach saat ini sedang marah."Tenangkan dirimu ..." bisik Stella seraya mengusap-usap lengan sang suami. Ia tidak ingin melihat keributan di ruang makan, apalagi Zach dan Aldrick masih bersaudara."Tentu saja kau akan mengatakan demikian, karena pada hari itu posisi kita jelas berbeda." Zach berbicara tanpa melepas tatapannya dari bola mata Aldrick sedikit pun. "Kau menjadi pangeran di hari ulang tahunmu, sedangkan aku harus bersembunyi di balik kamar kecil seperti anak gelandangan yang tidak pantas ikut pesta. Bahkan di saat yang lain sedang terlelap, ibuku harus mengendap-endap ke dapur dan rela menjadi pencuri demi melihatku bisa menikmati sepotong kue seperti anak lainnya."Meskipun volume suaranya tidak tinggi, tapi ucapan Zach terdengar sangat tegas dan penuh penekanan. Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah melupakan momen menyedihkan itu. Sesuatu yang mungkin sangat sepele, atau bahkan tidak berarti apa-apa bagi orang lain, tetapi sangat membekas di hati Zach hingga menimbulkan dendam yang tak berkesudahan sampai hari ini."Zach, bukankah aku sudah minta maaf padamu? Kenapa tidak kau lupakan saja kejadian itu, lalu kita rajut kembali tali persaudaraan dengan lebih baik?""CUKUP!" bentak Zach yang sudah kepalang kesal. "Apa kau pikir hanya dengan kata maaf semuanya bisa selesai? Bahkan kau tidak tahu seberapa dalam hatiku terluka karena kejadian itu!" hardiknya penuh amarah. "Kau dan ibumu telah merusak kepercayaan diri seorang anak laki-laki berusia delapan tahun pada saat itu. Dan untuk menjadi Zachary Muller ataupun Greyson Muff seperti sekarang, perjalanan hidupku tentu tidaklah mudah. Aku harus merangkak dan tertatih, memunguti satu per satu kepingan hati yang telah kalian banting hingga hancur, juga melewati jalan yang sangat panjang dan melelahkan."Semua orang di ruang makan terbungkam mendengar ucapan Zach yang menggebu-gebu. Bahkan tatapan pria itu seakan mengatakan betapa dirinya ingin sekali membunuh orang dengan kedua tangannya sendiri.Oliver memilih diam dan tetap menjadi pihak netral yang berada di tengah-tengah, karena ia memang belum lahir pada saat itu dan tidak tahu apa-apa.Karena suasana semakin tidak kondusif, Alice menyuruh Bryan masuk ke kamar setelah anak itu selesai makan malam. Ia tak ingin membuat Bryan ketakutan karena harus mendengar orang dewasa bertengkar di hadapannya langsung.Sementara Aldrick merasa lidahnya kelu, Zach kembali membuka suara, "Kau dan ibumu tidak pernah tahu betapa kerasnya aku berjuang! Jadi, sebaiknya kau tidak usah berkomentar tentang apa yang aku lakukan, karena aku tidak membutuhkannya. Dan soal menjadi hitam atau putih, itu sama sekali bukan urusanmu!"Sambil mendengkus, Zach bangkit dari kursi dan melangkah meninggalkan ruang makan bersama amarah yang bergemuruh di balik rongga dada. Ia tidak peduli dengan Stella yang berulang kali memanggil dan memintanya menyelesaikan makan malam.Aldrick sudah membuat suasana hati Zach menjadi kacau-balau dan dipenuhi emosi.***Keesokan paginya, Zach datang ke ruang tahanan demi memastikan apakah Evelyn masih hidup atau mungkin sudah membusuk di dalam penjara kecil tersebut.Tepat di hadapan gadis itu, Zach menghentikan langkahnya. Ia berjongkok, memperhatikan setiap senti lekuk tubuh mungil Evelyn di balik gaun merah marun yang sangat berantakan.Dalam jarak sedekat ini, Zach menemukan sinar yang berbeda pada raut wajah Evelyn. Gadis itu terlihat jauh lebih manis saat terlelap—mungkin karena tidak banyak omong dan membuatnya kesal, sedangkan ketika matanya kembali terbuka, Evelyn selalu mengundang amarah di dalam diri Zach karena sikapnya yang keras kepala dan pembangkang."Apa pun yang terjadi, jangan pernah tanyakan kenapa dunia seakan tidak adil bagimu, bahkan sekalipun kau bukan orang jahat. Asal kau tahu, dunia memang sangat keras dan kejam." Pria itu bergumam, seolah ia sedang mengajak Evelyn berbicara. Padahal ia tahu kalau Evelyn sedang tidur dan tidak bisa mencerna ucapannya.Zach mengangkat tangan kanan, mengarahkannya ke wajah Evelyn. Pelan-pelan ia menjamah pusaran pipi mulus gadis itu, membelainya dengan lembut hingga turun ke bagian bibir tipis yang tampak pucat dan sedikit mengelupas—mungkin efek kekurangan cairan.Sentuhan hangat Zach membuat Evelyn terkesiap, lalu membuka kelopak matanya secara perlahan. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati sosok pria tak berperikemanusiaan tersebut berada tepat di depan matanya. Dengan cepat ia mengubah posisi menjadi duduk dan beringsut menjauhkan tubuhnya dari Zach."Berani sekali kau menyentuhku saat aku sedang tidur," ucap Evelyn diiringi tatapan membunuh. Punggungnya membentur tembok, menyadarkan bahwa ia sudah tidak memiliki ruang untuk berlari dari pria kejam tersebut.Zach yang semula merasa kagum dengan kecantikan Evelyn, juga sedikit iba melihat penderitaan yang gadis itu alami, seketika membuang jauh-jauh kekaguman dan rasa ibanya. Tatapan mata Evelyn yang dikawal kebencian berhasil menghancurkan segala imajinasi liar Zach tentang gadis itu.Alih-alih ingin mereguk bibir merah muda Evelyn, sekarang Zach lebih ingin mencekik batang leher gadis tawanannya tersebut."Aku hanya ingin memastikan apakah kau masih hidup atau sudah menjadi bangkai," ralat Zach. Tak akan ia biarkan Evelyn besar kepala karena mengetahui bahwa dirinya telah menjadi objek paling menarik di mata Zach meskipun hanya beberapa detik."Kau berharap aku mati?" Evelyn berdecih sinis."Tidak," bantah Zach. "Kalau kau mati, aku tidak punya mainan untuk disiksa lagi," imbuhnya."Bahkan sekalipun aku mati, manusia iblis sepertimu pasti akan mencari Evelyn lainnya untuk dipermainkan," sindir gadis berusia dua puluh dua tahun tersebut."Satu-satunya Evelyn yang aku inginkan hanyalah dia yang ada di hadapanku sekarang."Evelyn mengernyit mendengar kalimat ambigu yang baru saja dikatakan oleh Zach."Untuk disiksa, tentu saja," imbuh pria itu.Seketika Evelyn berdecih. "Psikopat!" ujarnya ketus.Pada saat mengalihkan pandangan ke satu sudut, Evelyn melihat Claudia sedang berjalan mendekatinya sambil membawakan beberapa makanan. Sontak hal itu membuat Evelyn terbelalak, karena ia takut Zach mengetahui bahwa Claudia telah mencuri makanan untuk diberikan kepadanya.Claudia tampak kaget ketika menyadari kehadiran Zach di ruang tahanan. Buru-buru ia bersembunyi di balik pilar-pilar mansion yang menjulang tinggi.Zach hampir saja menoleh ke belakang karena merasa curiga dengan tatapan aneh Evelyn yang mengarah ke satu titik. Namun, dengan sigap kedua tangan Evelyn meraup rahang tegas pria itu, lalu memaksa Zach menatap dirinya.Sempat terjadi adegan saling tatap selama beberapa detik. Akan tetapi, Evelyn segera membuang muka ke sembarang arah sambil berdeham demi menutupi kecanggungan."Sekarang siapa di antara kita yang terlihat lebih agresif, hm?" Zach tersenyum miring. Tampan sekali, sehingga membuat pipi Evelyn bersemu merah.Evelyn menarik kedua tangannya menjauh dari rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus tersebut. Entah kenapa ia menjadi salah tingkah, apalagi setelah menyelami bola mata Zach yang dalam dan tajam. Akan tetapi, ia mencoba untuk tetap bersikap netral."Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu," ucap Evelyn mengusir secara terang-terangan. Ia sudah mengubah posisi menjadi berdiri.Zach mengerling gusar, lalu ikut berdiri dan semakin mendekat ke arah Evelyn, membuat jantung gadis itu berdegup dua kali lebih cepat karena merasa was-was dan curiga."Akui saja kalau kau memang menginginkanku." Zach kembali merapatkan tubuh Evelyn ke sisi tembok, mengunci pergerakan gadis itu dengan kedua tangannya. "Sekeras apa pun usahamu menyangkal, aku tetap bisa mencium aroma kebohongan yang kau sembunyikan."Postur tubuh Evelyn yang hanya sebatas dadanya membuat Zach harus menundukkan kepala saat menatap wajah mungil gadis itu."Hey! Apa yang kau lakukan?" Evelyn tidak berdaya ketika tangan kekar pria itu menaha
Terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan, membuat Evelyn dan Claudia sangat terkejut. Mereka menoleh, lalu mendapati sosok Daissy yang melangkah semakin dekat."Gawat! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Evelyn panik.Claudia belum sempat menggubris kalimat tanya yang Evelyn ajukan. Karena, saat ini Daissy sudah berdiri tepat di hadapannya."Pantas saja aku cari di mana-mana tidak ada, ternyata kau sedang berbagi makanan dengan Evelyn!" omel Daissy sambil melotot, lalu tanpa belas kasihan ia menjambak kuat-kuat rambut Claudia. "Rasakan akibatnya sekarang!"Claudia meringis menahan sakit, sedangkan Evelyn tidak bisa melakukan apa-apa karena terhalang oleh jeruji."Kau membuatku berada dalam bahaya," ucap Daissy dengan nada marah. Sebab, kalau Zach tahu ada seorang selir yang memberi makanan dan minuman kepada Evelyn, orang pertama yang akan disalahkan tentu adalah dirinya."Ampun! Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Claudia sambil terisak pelan. Ia berusaha melepaskan tangan
Zach mendengar kabar tentang seorang gadis yang baru saja bunuh diri di ruang tahanan. Ia tahu itu adalah Evelyn, maka buru-buru dirinya melangkah ke tempat kerjadian perkara.Para penjaga, pelayan, bahkan beberapa selir sudah berkumpul di depan jeruji besi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang berani masuk ke dalam untuk melihat Evelyn lebih dekat. Mereka takut dituduh sebagai pelaku pembunuhan atas apa yang terjadi pada gadis itu. Jadi, daripada harus terlibat masalah, mereka lebih memilih menunggu kedatangan Zach.Dengan wajah panik yang tak dapat disembunyikan, laki-laki dengan postur tubuh tinggi tegap itu segera masuk ke dalam ruang tahanan setelah menyuruh seorang penjaga membuka pintu yang digembok."Kenapa kalian diam saja?!" Zach tidak dapat menahan amarah melihat orang-orang itu hanya bergeming seperti orang bodoh. "Apa kalian sengaja ingin melihatnya mati?!" bentaknya.Kemarahan Zach membuat semua orang ketar-ketir, merasa ketakutan. Kali ini, di balik tubuh yang gemeta
Evelyn mencoba lari menuju kamar mandi di sudut ruangan, berinisiatif untuk mengurung diri dengan menguncinya dari dalam. Akan tetapi, ia tak bisa menepis tangan kekar Zach yang sudah lebih dulu menahan lengannya.Zach membopong Evelyn, lalu melempar tubuh mungil gadis itu ke atas kasur. Membuat Evelyn semakin ketakutan dan memikirkan hal negatif tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Evelyn merangkak ke sisi kasur. Namun, dengan cepat Zach menarik kakinya hingga kembali ke tengah. Tenaga mereka tentu tidak sebanding."Lepaskan aku!" pekik Evelyn. Ia nyaris frustrasi karena tidak tahu bagaimana harus menghindar.Tanpa menggubris ocehan itu, Zach melompat ke atas kasur dan menaiki tubuh Evelyn. Hal itu membuat Evelyn tidak dapat bergerak di bawah kendali Zach."Hey! Kau tidak boleh melakukan ini padaku," ucap Evelyn yang telapak tangannya sudah dibanjiri keringat dingin. Ia sudah meronta, hanya saja tenaganya tidak cukup kuat."Perhatikan bagaimana manusia paling jahat di muka bumi
Kabar mengejutkan yang terucap dari mulut Tristan sukses membuat sekujur tubuh Zach membeku. Tidak sepatah pun kata keluar dari bibir merah mudanya.Sejenak Zach terdiam. Terpaku. Ia hanya memandang miris wanita di hadapannya yang baru saja ia buat hancur, sehancur-hancurnya ....“Nanti akan aku hubungi kembali,” ucap Zach seraya memutus sambungan secara sepihak.Zach menjauhkan ponsel dari telinga. Entah kenapa, kabar tentang kematian Victor menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan bagi pria itu. Ulu hatinya tiba-tiba saja mencelos, terperosok sangat dalam hingga rasanya ia nyaris mati karena tersesat di sebuah jurang yang tidak memiliki oksigen.Apakah ia merasa bersalah terhadap Evelyn yang sudah terlanjur rusak?Lantas bagaimana jika Evelyn tahu bahwa ayahnya baru saja dinyatakan meninggal dunia akibat luka tembakan yang dilakukan oleh anak buah Zach?Bukankah Evelyn akan semakin membenci Zach? Atau mungkin malah menaruh dendam?Kali ini Zach bergerak turun dari kasur, memungut dan
Evelyn merasa kepalanya sangat pusing. Sakit, seperti dihantam oleh beban yang sangat berat. Pelan-pelan ia membuka kelopak mata. Cahaya temaram dari lampu kristal yang menggantung di plafon membuat matanya sedikit menyipit.Ia meringis. Mendesis. Seluruh tubuhnya terasa bagai digiling ke dalam mesin penghancur. Lagi, ingatan tentang dirinya yang sudah dinodai oleh Zach benar-benar membuatnya sangat frustrasi. Ternyata itu bukan mimpi, melainkan fakta pahit yang harus ia telan mentah-mentah.“Syukurlah, akhirnya kau sadar juga.”Suara itu menarik perhatian Evelyn. Ia mendapati sosok Daissy sedang mengambil sesuatu di atas meja di pojok ruangan. Setelah itu, Daissy berjalan menghampirinya.Evelyn masih bergeming. Manik matanya beredar memperhatikan setiap sudut ruangan.Tidak tahu di mana dirinya berada sekarang, satu hal yang paling pasti, Evelyn tahu ini bukan kamar Zach. Bukan tempat kotor yang dipakai oleh si Brengsek itu untuk merampas sesuatu yang paling berharga dari diri Evelyn.
PLAK!Evelyn menundukkan kepala, memegangi bagian yang terasa nyeri akibat satu tamparan keras yang dilayangkan Stella secara dramatis di pipinya. Perih sekali.“Itu peringatan karena kau sudah lancang menggoda suamiku!” Stella tersenyum miring, merasa cukup puas dengan apa yang baru saja ia lakukan kepada perempuan di hadapannya.Dengan mata berkaca-kaca menahan sakit, Evelyn memandang Stella dengan tak kalah sengit. “Aku tidak pernah menggoda suamimu, melainkan dia sendiri yang memaksa agar aku mau berhubungan dengannya.”“Meskipun dia memaksa, bukankah pada akhirnya kau tetap mau juga?”“Sejak awal aku sudah menolaknya, tapi suamimu yang biadab itu sama sekali tidak memberiku ruang untuk menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah adegan pemerkosaan, yang mana aku sendiri merasa sangat jijik setiap kali mengingatnya,” jawab Evelyn berterus-terang.Stella semakin geram mendengar penjelasan Evelyn. “Omong kosong!” Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat. “Kalau sampai suatu saat a
Evelyn terperangah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Zach. Selama beberapa detik, bola mata keduanya saling memandang satu sama lain, seakan sedang berperang siapa di antara mereka yang paling mematikan.“Apa masih belum cukup dengan titik kehancuranku kemarin?” Tatapan Evelyn kini mengendur. Ia sadar, berhadapan dengan Zach tidak akan menghasilkan apa-apa jika keduanya sama-sama keras. “Kenapa aku harus menjadi wanita simpananmu?” tanyanya dengan sabar—mencoba sabar lebih tepatnya.“Karena aku memilihmu,” jawab Zach. Singkat dan padat.Evelyn menggeleng. “Tapi aku tidak mau,” tolaknya seiring dengan tatapan nanar.“Dengan menjadi wanita simpananku, maka tidak ada seorang pun yang berani mengusikmu, apalagi menjadikanmu penghangat ranjang.”“Dan sebagai gantinya, aku harus merelakan diriku ditelanjangi dan dilecehkan setiap malam, demi memenuhi hasrat liarmu di atas ranjang,” tambah Evelyn seraya mengerling dan terkekeh hambar.“Tidak juga,” bantah Zach. Ia melepas tangan Evelyn, m