Evelyn tidak bisa melawan ketika Zach menyeret paksa dirinya menuju ruang tahanan. Tanpa ampun, laki-laki tak berperikemanusiaan itu mendorong tubuhnya hingga terambau ke lantai semen.
"Coba saja melarikan diri sekali lagi, aku pasti akan menjadikanmu menu makan malam untuk hewan peliharaanku," ancam Zach yang terkesan tidak main-main.Evelyn mendongak, menatap wajah tegas pria itu dengan perasaan yang sangat kacau. "Mau sampai kapan kau mengurungku? Aku mohon, bebaskan aku ...." Kali ini ia mengalah. Mungkin dengan menurunkan ego dan memohon, pintu hati Zach yang keras dan beku bisa diruntuhkan dengan lebih mudah. Itu pun jika Zach memang benar-benar masih manusia."Tidak ada adegan bertekuk lutut?" tantang Zach seraya memandang rendah sosok Evelyn.Evelyn terbungkam. Selain licik dan manipulatif, rupanya Zachary Muller juga merupakan sosok yang gila hormat. Kalimat permohonan Evelyn dengan segala kerendahan dirinya, ternyata masih belum cukup menggugah hati Zach."Aku hanya ingin melihat wajah ayahku dan memastikan kondisinya baik-baik saja," ucap Evelyn dengan suara lemah. Pandangannya menjadi buram akibat sudut mata yang memanas dan sedikit berair.Alih-alih merasa kasihan melihat tatapan Evelyn yang penuh harap, Zach malah mengerling cuek dan bertolak pinggang dengan angkuh. Bahkan jika Evelyn mengemis sampai sejuta kali pun, itu tidak akan pernah meluluhkan hatinya."Sekalipun Victor menyesali keputusannya, kau tetap tidak akan aku lepaskan dari sini!" Zach tersenyum licik.Cairan bening yang bergumul di pelupuk mata seketika menembus dinding pertahanan Evelyn, membuat basah permukaan pipinya. "Biadab ..." Kata itu terucap pelan sekali, nyaris terdengar seperti deru napas yang samar. Namun, bukan berarti Zach tidak tahu. Walau tak terdengar jelas, tetapi pria itu masih bisa mendeteksi gerakan dari bibir Evelyn meskipun tipis.Raut wajah Zach terlihat sangat marah. Ini sudah kesekian kalinya ia menelan umpatan yang dilontarkan oleh Evelyn tanpa rasa ragu, seakan dirinya sangat pantas menerima kata kasar dan caci-maki.Zach bertepuk tangan dua kali sebagai kode untuk menyuruh Daissy masuk."Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya wanita itu setelah berdiri di hadapan sang majikan."Kurung Evelyn selama tiga hari tanpa makanan dan minuman. Kalau ada yang berani memberinya asupan, orang itu harus berhadapan denganku!" perintah Zach. Di balik nada suaranya, Daissy sangat mengerti bahwa itu adalah permintaan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat."Tapi, Tuan ... bagaimana kalau Evelyn sakit?"Pria yang sudah ditinggal mati ibunya sejak belasan tahun yang lalu itu tampak tersenyum sinis. "Apa peduliku kalau dia sakit? Bahkan jika perlu, buatlah dia membusuk di ruang tahanan!" ucapnya dengan tegas.Mendengar itu, Evelyn tentu saja geram. Ingin rasanya membabi buta dan membanting tubuh kekar Zach ke tembok raksasa hingga hancur seperti kue kering yang dipukul menggunakan batu koral. Sayangnya, ia sadar seberapa besar power yang dimiliki oleh laki-laki itu di wilayah kekuasaannya. Jadi, Evelyn tidak bisa melawan karena hanya akan membuahkan hukuman yang lebih parah lagi untuknya."Laksanakan, Tuan!"Zach mengayunkan kedua kaki, melangkah semakin dekat ke arah Evelyn yang kelihatan pasrah dan tidak berusaha bangkit setelah tadi ia dorong hingga tersungkur. Sementara gadis itu menunjukkan tatapan sengit, Zach dengan santai berjongkok di hadapan Evelyn."Mari kita lihat siapa yang akan mati duluan antara kau dan ayahmu." Zach menaikkan satu alis pada saat Evelyn menolak untuk disentuh dagunya, seakan-akan setiap bagian dari tubuh Zach adalah sesuatu yang najis dan menjijikkan."Pergilah ...." Evelyn tidak bicara dengan nada tinggi sedikit pun. Sama sekali tidak. Ia hanya terdengar seperti orang yang sangat pasrah dan kehilangan gairah hidup. Sejak terjebak di sini, ia merasa dunianya seperti dipaksa untuk mati.Zach tampak puas sekali melihat ketidakberdayaan Evelyn. Senyuman miring tercetak jelas di sudut bibir, menghiasi garis wajahnya yang tegas tapi lembut. Kemudian, dengan tanpa rasa bersalah ia mengangkat kedua kakinya untuk meninggalkan lokasi. Membawa tubuhnya semakin menjauh dari Evelyn dan juga Daissy.***Zach baru saja memasuki ruangan pribadinya. Menginjakkan kaki di lantai marmer, bergerak menuju kursi putar yang bertengger di balik meja berbahan kayu jati, lalu duduk di sana. Setiap senti dari gerakannya memberi kesan betapa arogan pria itu dengan segala kendali penuh di genggamannya."Permisi, Tuan!" Robby, asisten pribadinya itu membungkukkan badan di depan meja seraya memegang gulungan kertas. "Ada undangan resmi untuk Tuan dalam rangka memperingati hari jadi kota New York," beritahunya."Bacakan," pinta Zach. Suaranya santai, tapi di telinga lawan bicaranya tetap terdengar seperti sinyal bahaya. "Kapan acaranya berlangsung?"Robby membuka gulungan kertas tersebut dan mulai membacakan isinya dengan khidmat. Ia menuruti perintah Zach seperti seekor kuda yang dipecut punggungnya. "Acaranya minggu depan, Tuan."Seketika Zach berdecih. "Mereka mengundang orang sepertiku hanya dalam jarak waktu satu minggu? Lancang sekali." Ia bicara dengan nada kesal. "Setidaknya undangan itu harus sampai satu bulan sebelum acara dimulai," imbuhnya."Tapi, Tuan, bukankah ini kesempatan bagus untuk melakukan kampanye terselubung?" Robby mengutarakan opini. Barangkali itu bisa menjadi masukan yang akan dipertimbangkan oleh Zach. "Semakin banyak kegiatan sosial atau perayaan yang Tuan hadiri, maka akan semakin baik citra Tuan di mata masyarakat. Terlebih lagi, Tuan akan dinilai rendah hati jika menghadiri undangan yang dikirim secara mendadak. Sebaliknya, jika Tuan tidak datang, mereka mungkin akan menilai Tuan sombong."Alis pria itu berjengit naik mendengar pendapat Robby yang—jika dipikir-pikir—ada benarnya juga. Maka dari itu, bibir tipisnya bergerak untuk mengatakan, "Atur jadwal keberangkatan satu hari sebelum acara. Pastikan pesawat dan pilot pribadiku dalam kondisi aman. Dan jangan lupa carikan tempat penginapan dengan pelayanan bintang lima.""Laksanakan, Tuan!" Laki-laki berpakaian serba hitam tersebut menempelkan telapak tangannya ke pelipis. "Ada lagi yang ingin saya sampaikan, Tuan," katanya.Zach melirik dengan santai. Bahkan tanpa harus mengeluarkan suara, Robby tahu kalau bosnya itu sedang menunggu dirinya kembali bersuara."Tiga minggu yang lalu, laki-laki yang merupakan calon suami Nona Evelyn memilih untuk melanjutkan pernikahan dengan gadis lain. Beritanya ramai diperbincangkan di berbagai platform, terutama YouTube."Pria yang duduk sambil menyilangkan kaki itu tampak mengerutkan dahi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Robby. "Lalu?""Setelah ditelusuri, pengantin pengganti Nona Evelyn adalah sahabat dari Nona Evelyn sendiri. Berita ini pasti akan menjadi kejutan dan membuat Nona Evelyn sangat sedih," ujar Robby yang masih dengan posisi berdiri di hadapan tuannya."Lalu apa aku harus peduli?" Zach terkekeh sinis. "Untuk apa kau menyampaikan sesuatu yang tidak penting padaku?!" hardiknya, membuat Robby terperanjat dan hanya menundukkan kepala."Maaf, Tuan ...." Robby bergumam pelan, seperti anak kucing yang terjebak di dalam got. Ia pikir segala sesuatu yang berkaitan dengan Evelyn akan menjadi topik yang cukup menarik bagi bos mafia tersebut. Namun, ternyata tidak."Cepat pergi dari sini! Atur jadwal keberangkatanku ke New York, lalu pastikan keamanan pesawat dan pilot seperti yang kukatakan sebelumnya. Itu jauh lebih baik daripada kau sibuk mencari tahu hal yang sama sekali tidak menguntungkan bagiku!" omel Zach sambil membetulkan kerah kemeja abu-abunya.Tanpa banyak omong, Robby segera berlalu meninggalkan ruangan usai membungkukkan sedikit badannya dengan hormat. Menyisakan Zach yang kini hanya seorang diri di ruangan.Dalam kesendirian, suara Robby kembali berputar di dalam memori Zach ketika pria itu menyampaikan informasi tentang tunangan Evelyn yang memutuskan menikah dengan sahabat Evelyn sendiri.Jadi, selain harus terpenjara di ruang tahanan tanpa ada tindak kejahatan yang ia lakukan, selain harus menelan ketidakadilan dengan mendengar kabar mengenai ayahnya yang disandera di ruang bawah tanah, gadis itu juga harus siap-siap terluka lagi karena telah dikhianati oleh tunangan dan sahabatnya sendiri?"Gadis yang malang ..." ucap Zach sangat pelan. Lirih ... dan bahkan nyaris seperti desau angin yang tidak terdengar.Halo, Semuanya!Aku mau nanya, kira-kira ada gak yang masih mau baca novel ini kalau aku bikin S2?Tapi di S2 ini pemeran utamanya bukan Evelyn & Zach, melainkan karakter lain di dalam cerita ini. Nah, kalian mau aku bikin cerita lanjutan tentang perjalanan kisah siapa nih?Ada beberapa pilihan yang bisa kalian pertimbangkan—tentunya dengan konflik berbeda yang nggak kalah seru dan bikin senyum-senyum sendiri.1. Oliver2. Aldrick3. Bryan4. Fathe5. Florez6. Freya7. Atau ada request?Btw, terima kasih banyak buat yang udah baca S1—baik yang baru baca beberapa BAB atau udah sampe selesai. Semoga rezekinya selalu lancar dan berkah, biar bisa top up banyak-banyak dan ikutin terus karya-karya aku yang lain, hehehe. Luv♥️
“Apa yang kau lakukan pada adikku?!”Suara bocah laki-laki dari arah lain berhasil mengalihkan perhatian Bastian dan Freya, membuat keduanya menoleh ke sumber suara, lalu terkejut mendapati Fathe yang sedang menghampiri dengan raut marah tercetak jelas di wajahnya.“Fathe!” Freya bergumam, merasa bala bantuan sudah datang kepadanya.Di belakang Fathe, tampak Florez membuntuti dengan ekspresi khawatir.Ketika Bastian menurunkan kedua tangannya dari sisi tembok, Freya langsung memaanfaatkannya untuk berlari kecil dan bersembunyi di balik punggung Fathe.Fathe menatap tajam Bastian. Satu jarinya terangkat, menunjuk-nunjuk wajah Bastian. “Kau ... jangan sekali-sekali mengganggu adikku lagi, atau aku akan mematahkan kakimu!” ancamnya dengan suara kesal.Bastian terlihat ketakutan. “Ti–tidak, Fathe. Aku tidak berniat mengganggu Freya.” Lutut kakinya terasa lemas sekarang.“Pergi sana, sebelum aku benar-benar akan menghajar wajahmu!” gertak Fathe sambil mengangkat kepalan tangannya.Bastian y
“Kenapa harus menunggu pulang sekolah? Kau bisa mengatakannya sekarang juga. Kebetulan sedang tidak ada Fathe,” ucap Revano.“Benar juga. Ayo! Kau bisa melakukannya, Bastian." Kenzo menyemangati.Bastian diam saja. Namun, isi kepalanya tidak benar-benar diam. Dia sedang berpikir mengenai apa yang harus dilakukan saat ini.“Apa kau takut ketahuan Fathe?” tanya Revano. “Kau dan Freya bisa berteman dulu. Tidak harus langsung menjalin hubungan.”“Bukan,” bantah Bastian yang tidak terima dibilang takut. “Aku hanya khawatir Freya tidak mau berteman denganku.”Revano mengibaskan telapak tangan di depan wajah Bastian. “Tidak mungkin. Aku perhatikan, Freya itu anak yang sangat baik dan berhati lembut. Dia pasti mau berteman dengan siapa saja,” ucapnya mengompori.“Revano benar. Aku bahkan tidak sengaja pernah menabrak Freya, tetapi malah dia yang menyesal dan minta maaf,” beritahu Kenzo.Karena terus didesak oleh kedua temannya, Bastian pun merasa tertantang untuk maju mendekati gadis berpipi c
“Mami, Mami, tadi Fathe mengatakan kalau dia mau memukul orang jahat,” adu Florez yang sedang dipakaikan dasi oleh Evelyn.“Iya, Mami. Papi juga malah mendukung, bukannya menegur,” tambah Freya. Seperti biasa, dia selalu menjadi orang pertama yang selesai mengenakan seragam dibandingkan kedua kakaknya.“Bukan begitu, Mami.” Fathe yang sedang memegang rompi merah itu langsung buka suara, tidak terima atas tuduhan yang telah dilayangkan Florez dan Freya kepadanya. “Aku hanya ingin memukul orang-orang yang bersikap jahat pada mereka.”“Ih, tapi, Mami ... bukankah kita tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain? Nanti Tuhan yang akan membalasnya,” ujar Florez. “Iya, ‘kan, Mi?” tanyanya memastikan.Evelyn menghela napas sejenak. Sudah biasa baginya mendengar perdebatan atau keluh kesah putra-putrinya di pagi hari, dan itu tidak pernah membuatnya merasa kesal.“Iya, betul. Kita memang tidak boleh membalas perbuatan jahat orang lain, tetapi bukan berarti kita harus diam saja pada saat di
Sinar mentari menembus jendela kamar ketika Evelyn menyibak tirai gorden. Sejak pukul setengah lima pagi, dia sudah bangun untuk mandi dan menyiapkan sarapan.Ini adalah hari Senin. Ketiga anak kembarnya akan beraktivitas seperti biasa, yaitu mengikuti program prasekolah yang sudah mereka jalani sejak usia tiga tahun. Jadi, tidak heran kalau Evelyn akan lebih sibuk dibandingkan di tanggal merah.Selain mengurus anak-anak mungil itu, Evelyn juga tidak lupa dengan kewajiban sebagi istri yang harus menyiapkan segala keperluan suami yang juga akan berangkat kerja pagi ini.Masing-masing seragam sudah Evelyn letakkan dengan rapi di atas kasur, lengkap dengan dasi, topi dan kaos kaki, sedangkan beberapa pasang sepatu dia taruh di lantai.Sekarang Evelyn kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Sementara itu, di dalam toilet ....“Papi, aku ingin duduk di sana.” Freya, gadis kecil yang masih memakai baju tidur dengan rambut ikalnya yang sudah berantakan, baru saja mendongak ke arah pria ber
“Siapa yang mau sandwich?” Terdengar suara dari arah lain, dan ternyata itu adalah Alice yang baru saja datang membawakan beberapa sandwich di atas piring.“Aku mau! Aku mau!” Ketiga anak itu berseru, lalu berlari dengan riang gembira menghampiri Alice.Melihat itu, Bryan ikut berlari ke arah Alice. “Ibu, aku mau dua! Untuk Fathe, berikan yang paling kecil dan isinya sedikit saja,” ledeknya.Fathe menoleh sambil mengerucutkan bibir dengan tatapan tajam. “Dasar serakah! Nanti perutmu bisa meledak karena terlalu banyak makan,” katanya, terlihat kesal.Bryan menjawab, “Aku tahu kapan waktunya berhenti makan, tidak seperti ikan hias yang makan banyak melebihi kapasitas perutnya yang kecil.”Fathe merasa tersinggung mendengar kata ‘ikan’. Karena, sebelumnya Bryan mengatai dirinya sekecil ikan hias. “Aku tidak pernah makan terlalu banyak,” ucapnya.“Kau menganggap dirimu seperti ikan?” ledek Bryan. “Padahal aku benar-benar sedang membahas ikan hias. Apa kau tidak tahu, ikan akan makan sebany