Aldo menggigit kepalan tangannya yang tadi gagal digunakan untuk kembali menampar Hanna, matanya masih menatap nyalang pada istrinya, amarah masih membuatnya panas, serasa ingin meledakkan tubuhnya.
"Si4l!" Kembali Aldo mengumpat.Prang!Sebuah vas bunga kristal yang terpajang di meja tamu tiba-tiba di lempar Aldo untuk mengalihkan kekesalannya. Sengaja lelaki itu melemparnya didekat Hanna, untuk menunjukkan betapa emosi dirinya saat ini.Vas bunga itu keras membentur dinding dan hancur. Kepingan-kepingan vas itu berserakan di lantai. Hanna memandang vas yang hancur itu dengan sorot mata yang dingin. Dengan wajah yang menyeringai."Kau benar-benar keterlaluan. Aku menyesal menikah denganmu. Siska bahkan sepuluh kali lebih baik darimu." Sesal Aldo sambil terus memaki."Oh, benarkah! Baguslah. Artinya setelah ini, aku tak perlu mengurusi kebutuhanmu lagi," balas Hanna spontan.Ada rasa nyeri dihati Hanna ketika mendengar pernyataan Aldo. Mata dengan bulu mata lentik itu nampak berkaca. Meski berbalut emosi, perkataan Aldo sungguh mencubit hati dan perasaannya.Menyesal katanya?Rasanya Hanna ingin tertawa mendengarnya. Harusnya ia yang mengatakannya, tahukah lelaki itu jika rasa sesalnya kini sebesar gunung? karena menikahi seorang penghianat bukanlah cita citanya.Ah, rasanya Hanna ingin memukul kepala suaminya agar otaknya bisa berfungsi dengan normal. Tapi ... Sudahlah.Hanna menyeringai sambil mengatur irama nafasnya kembali. Tak lama, terdengar Aldo memuji wanita simpanannya itu."Siska lebih menggairahkan darimu, ia tahu bagaimana cara menyenangkan diriku," Aldo berucap sinis. Entah apa maksudnya lelaki itu memuji simpanannya di depan wanita yang telah satu setengah tahun dinikahinya.Mendengar itu, spontan Hanna terkekeh."Tentu saja, wanita itu mengetahuinya karena sudah mempelajarinya langsung dengan beberapa laki laki, dan kau adalah lelaki ke sekian yang menggaruk sel*ngkangannya. Kau benar-benar menyedihkan, mas. Lelaki b*d0h," Balas Hanna."Tutup mulutmu!" Murka Aldo tak terima."Kau lelaki b0d*h yang menyedihkan. Penampungan barang bekas, cuih!" Hanna membuang ludah. "Naj!s!" "Hanna!" Teriak Aldo begitu keras. Siapapun yang mendengar akan menutup telinga karena volume suaranya yang maksimal.Rasa tersinggung membuat tangan kekar Aldo mendorong tubuh istrinya dengan kasar hingga ke dinding. Matanya memerah karena amarah yang sudah tidak tertahan. Mendapati Hanna yang diam tanpa perlawanan, karena memang tidak sempat mengelak dari serangan Aldo yang mendadak, membuat mata lelaki itu membulat, lalu mencengkram bahu Hanna dengan kuat."Aku masih suamimu, Hanna! Beraninya kau memaki dan menghinaku seperti itu."Kembali Hanna menyeringai. Matanya mendelik ke arah lemari kaca yang berisi koleksi kristalnya dengan sebuah lengkungan tipis penuh arti di bibirnya. Tak lama sebuah cekikan berhasil dilayangkan Aldo ke leher istrinya. Hanna menjerit tertahan karena rasa sakit akibat cekikan Aldo yang kini menjalar ke seluruh tubuhnya. Rasa seperti tersengat listrik ia rasakan ketika Aldo menguatkan cengkraman di lehernya.Mata Hanna tiba-tiba membulat, dengan nafas tersengal Hanna mencoba mencakar wajah, tangan atau apapun yang bisa digapai tangannya demi melepas cengkraman itu.Sayang usahanya tak berguna karena tenaganya kalah besar.Melihat tak ada celah untuk lepas, Hanna berhenti melawan. Entah mengapa, Aldo juga melepas cengkramannya ketika melihat senyuman yang terasa begitu menakutkan di wajah Hanna.Aargghh!Sebuah jeritan tertahan terdengar keluar dari bibir Aldo, melihat tubuh Hanna yang jatuh di lantai dengan mata yang masih menatapnya tajam. Kakinya mundur beberapa langkah, saat menyadari Hanna diam dengan nafas yang tersengal-sengal."Apa yang sedang kau rencanakan?" tanpa sadar, Aldo melempar pertanyaan.Hanna masih diam, namun ekor mata Aldo masih bisa menangkap seringai tipis yang baru saja terlukis di wajah istrinya itu. Melihat Hanna yang diam dan tidak bereaksi, membuat Aldo mulai gelisah, beberapa kali tangan lelaki itu meremas rambutnya sendiri. Lalu, kemudian berjalan ke sofa, duduk diam di sana, menenangkan diri.Hanna masih memperhatikan, namun karena ia memang kehabisan pasokan oksigen akibat cekikan tangan Aldo, membuat wanita itu masih diam mengumpulkan sedikit tenaga. Tak lama, Hanna kembali bangkit dan berdiri dengan kepala yang tegak."Sudah puas kau mencekik leherku demi si j4lang murahan itu?""Diam!" Aldo membentak keras."Kau menjijikkan, menyedihkan, pengecut, dan pecundang yang memalukan." Hanna kembali memancing."Kubilang diam! Tak bisakah kau menutup mulutmu?" Aldo berteriak keras."Kau ingin aku diam, baik aku akan diam, tapi, ....." Belum selesai Hanna menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara ponsel Aldo berbunyi. Menginterupsinya.Tanpa menghiraukan perasaaan Hanna, Aldo menjawab panggilan teleponnya. Senyum Hanna semakin nampak mengerikan ketika ia mendengar jawaban suaminya atas keinginan wanita simpananya itu."Apa?""Kau ingin melaporkan Hanna ke polisi karena penganiayaan yang dilakukannya padamu di mall tadi siang?" Mendengar perkataan Aldo, membuat Hanna memiringkan kepalanya. Tampak kini wajah Aldo terlihat gelisah seakan mencemaskan sesuatu."Aku akan meneleponmu nanti," ucap Aldo memutus sambungan teleponnya. Lalu kembali beradu pandang dengan Hanna yang sudah sedikit lebih tenang."Kenapa melihatku seperti itu, Mas? Apa kau kasihan padaku? Ingin melaporkan kasus penganiayaan yang kulakukan pada j4lang simpananmu itu ke polisi?" Sinis Hanna bertanya."Lakukan saja, hanya saja kuingatkan padamu, Jangan salahkan aku jika hasilnya tidak seperti yang kalian harapkan." Selesai mengatakan kalimat itu, Hanna membalikkan badan, berniat kembali ke kamarnya, sayang ia tak menyadari jika Aldo kini sudah berdiri di belakangnya dan dengan kasar mendorong punggungnya dari belakang. Menyebabkan Hanna tersungkur dengan dahi menyentuh ujung kaki lemari jati yang berada di sisi kiri wanita itu."Apa yang kau rencanakan Hanna, katakan sebelum aku khilaf melenyapkanmu di sini!" Suara Aldo terdengar keras karena dikuasai amarah.Hanna diam dan memegang dahinya yang terasa hangat oleh cairan amis. Tak lama, tangan Aldo menjambak kasar rambut istrinya itu dan mendekap lehernya dengan salah satu tangannya."Apa yang sedang kau rencanakan? Katakan!" Wajah Aldo mengeras.Bukannya takut, Hanna kembali terkekeh. Dengan mengesampingkan rasa sakit dan kepalanya yang berdenyut nyeri, Hanna melotot tajam pada suaminya."Kau ingin melenyapkanku? Ayo lakukan? Aku tak akan mungkin bisa melawan. Kau tahu, mas? Aku sungguh kecewa denganmu karena lebih membela selingk*hanmu daripada istrimu sendiri," Bisik Hanna."Jangan membuatku kehilangan kesabaran.""Kenapa? Kau marah karena ucapanku benar, kan? Laki laki memang aneh, sudah tahu melakukan kesalahan tapi tetap saja merasa dirinya selalu benar." Tuding Hanna."Sampaikan pada j4langmu itu jika ia sampai berani melaporkanku ke polisi, maka kalian berdua akan menanggung resikonya. Kau sangat tahu bahwa aku tidak pernah main-main dengan setiap ucapanku.""Jangan harap kalian bisa menyingkirkanku dengan mudah. Kuberi tahu mas, bahwa aku tak akan mungkin hancur sendiri. Kau dan j4lang murahanmu itu juga akan ikut hancur bersamaku." Ucap Hanna setenang mungkin.Mendengar ucapan Hanna, refleks tangan Aldo kembali mendorong tubuh Hanna, hingga tubuh ramping itu kembali jatuh mencium lantai. Tak lama terdengar suara Aldo yang menjerit tertahan."Shit!" Sambil memegang kepalanya, Hanna bangkit, dengan sisa tenaganya wanita itu mendekati Aldo yang kini mencengkram kuat bahunya."Kau akan menyesali semuanya, aku pastikan itu!" Ucap Hanna terkekeh dengan mata yang membulat sempurna, membuat Aldo kembali gelap mata dan melayangkan sebuah tamparan keras di wajah istrinya tanpa menyadari jika sebuah kamera kecil yang disembunyikan Hanna di balik pajangan koleksi kristalnya sudah merekam semua perbuatan kasar Aldo padanya sejak tadi.Bab Ekstra 2Sementara itu di tempat lain."Darimana saja kau Siska?" Ketus seorang pria padanya "Aku keluar sebentar, mas," Jawab Siska gugup."Aku tahu kau keluar, yang kutanyakan darimana?""A-aku ke minimarket depan, mas. Beli beberapa perlengkapan mandiku yang sudah habis," jawab Siska menunduk."Mana?""Hah?""Aku tanya mana perlengkapan mandi yang kau beli itu? Aku tak melihatnya?" "Itu, a-ada ..." Ucap Siska gugup, karena ia tahu mengapa pria itu bertanya padanya seperti ini.Plak!Sebuah tamparan keras diberikan pria itu di wajah Siska, belum puas, pria itu lantas menjambak rambutnya dengan kasar."Kau pikir aku tidak tahu, kau baru saja menemui istriku, bukan?""Sial," umpat Siska dalam hati."Kau benar benar lacur! Apa semua yang kuberikan padamu belum cukup hingga kau membuat onar di rumahku, Hah!" "Mas, istrimu yang lebih dulu menghinaku. Lagipula, kau sudah berjanji akan menceraikan istrimu setelah menikahiku!" Siska meraung."Kau benar-benar lancang!" Hardik pria itu
Bab Extra 1Aldo termangu memandangi Andira, putri semata wayangnya dengan Siska, dengan tatapan sayu. Hatinya menjerit melihat anak perempuannya itu tumbuh tanpa sosok ibu di sampingnya.Balita berusia dua tahun itu tampak sedang berpegangan tangan pada ujung meja, sedang asyik belajar berjalan, sesekali tampak ia terjatuh.Dipandanginya wajah putrinya, wajah yang persis sama dengan Siska. Lelaki itu berharap jika putrinya tidak mengikuti jejak ibunya, bahkan demi bisa fokus merawat dan mengasuh Andira, Aldo terpaksa keluar dari pekerjaannya.Membuka sebuah warung bengkel kecil di depan rumah, itulah pekerjaannya yang ditekuni Aldo sekarang untuk menafkahi putrinya. Sesekali ia menerima pekerjaan sampingan sebagai sales freelance. Untung saja ia tak perlu mengeluarkan uang untuk tempat tinggal, karena Ridwan mengizinkan dirinya dan putrinya untuk tinggal bersamanya. Sudah dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Roy, sang ayah biologisnya. Sesekali beliau menelpon, sekedar
Dua tahun kemudian."Aku tak menyangka jika kau akan membeli keripik kentang sebanyak itu," keluh Hanna sambil melirik beberapa jenis merk keripik kentang yang ada dalam troli."Aku hanya membeli untuk jatah satu minggu," jawab Reza santai.Hanna menggeleng melihat kelakuan dokter tampan itu, lalu kembali memandang deretan produk pencuci wajah yang ada di hadapannya.Awalnya Hanna hanya berdua saja dengan mbok Yem, asisten rumah tangganya, belanja dan mendorong troli supermarket ini, tapi di tengah perjalanan ke supermarket tadi, Reza mendadak meneleponnya, dan entah bagaimana caranya tiba tiba lelaki itu bisa ada di supermarket tersebut dan akhirnya ikut berbelanja."Apa masih ada yang ingin dibeli, mbok?" Tanya Hanna pada Mbok Yem ketika meletakan sebuah sabun pencuci wajah kedalam troli belanjanya."Nggak ada, semuanya sudah ada dalam troli," jawab mbok Yem."Baguslah, berati kita langsung saja ke kasir," sahut Hanna lalu menoleh pada lelaki yang berdiri di sebelahnya."Aku juga su
Hanna melirik arloji di tangannya, ketika tangan Dina menyenggol lengannya. Hanna mengerti apa yang ingin disampaikan Dina, wajahnya tampak mengangguk perlahan, lalu berpaling melirik ke sekelilingnya.Ridwan dan Roy terlihat sedang menyandarkan punggung mereka sementara Aldo menjambak rambutnya. Kemarahan masih terlihat jelas di matanya. Hanna bisa mengerti, mantan suaminya itu membutuhkan waktu untuk bisa menerima semua kenyataan ini."Hanna, ayo kita pulang," bisik Dina di telinga Hanna."Baiklah." sahut Hanna. Hanna dan Dina terlihat meraih tas mereka, lalu melirik Ridwan yang masih diam, segera saja mereka mengutarakan niatnya untuk pamit pulang dan segera pergi dari sini."Amanah ibu Marina sudah saya sampaikan, mohon maaf saya dan Dina pamit pulang, pak," ucap Hanna pada Ridwan."Oh ya, terima kasih banyak atas bantuannya, Hanna. Tunggu sebentar," ujarnya lalu bangkit dan berjalan tergesa masuk ke salah satu ruangan di dalam rumahnya.Hanna hanya bisa menunggunya, untung saja
"Tenangkan dirimu, nak. Bapak tahu, sulit bagimu menerima kebenaran ini, tolong jangan biarkan kemarahanmu yang berbicara karena itu tidak baik. Karena bagaimanapun dia adalah ibumu, seseorang yang harus kau hormati."Hanna melirik Roy yang tampak diam dengan kepala tertunduk. Ada luka dan kesedihan di wajah lelaki paruh baya itu. Sesekali mata tua itu melirik putranya yang masih belum bisa menerima dirinya dan kenyataan tersebut.Sentuhan tangan Dina membuat Hanna menoleh, mata Dina mengisyaratkan jika mereka harus pamit pulang, segera Hanna melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, seakan meminta waktu sebentar lagi."Baiklah, tapi sebentar saja ya," bisik Dina."Iya." Bisik Hanna pelan."Sejak kapan bapak tahu semua ini dan tahu bahwa aku bukan anak kandung bapak?" Tanya Aldo dengan suara parau, sungguh, wajah lelaki itu kini tampak begitu muram."Satu bulan sebelum ibumu memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah," ujar Ridwan sambil terus memandang Aldo." ... Saat itu?" Kenin
"Pe-pemeriksaan apa ini, apakah ini adalah pemeriksaan identifikasi DNA milikku? Siapa itu Mario Darmawan? Apakah itu nama asli dari lelaki bernama Roy ini?" Lanjut Aldo sambil memandang fokus pada Ridwan, ayahnya.Ridwan tak menjawabnya, manik mata lelaki itu memandang lurus pada Aldo dengan tatapan teduh dan sikap yang begitu tenang, tak tampak kegelisahan dan rasa takut di wajahnya. Di lihatnya tangan Aldo yang gemetar, ia tahu suatu saat, hari ini pasti akan tiba, hari di mana lelaki itu mengetahui jati dirinya. Hari di mana sebuah rahasia yang disimpan bertahun-tahun akan terbongkar.Suasana hening sesaat, baik Hanna maupun Dina memilih diam, tak bersuara. Tak terkecuali Roy, lelaki berusia lima puluh tahunan itu juga memilih bungkam."Apa maksud semua ini pak? Tes DNA?" Kembali Aldo bertanya lirih."A-pa pemeriksaan ini benar?" Mendengar pertanyaan Aldo, Ridwan hanya mengangguk. Di lihatnya wajah Aldo yang tampak begitu terluka. Sungguh, ia tak berharap melukai perasaan Aldo,
Ekor mata Aldo melirik lelaki yang duduk di sebelah ayahnya dengan begitu tajam. Suasana hatinya mendadak buruk. Ia tak menyangka jika ayahnya bisa mengundang lelaki itu untuk bergabung bersama mereka di sini.Tangannya mengepal kuat, melihat wajah lelaki itu, telapak tangannya terasa gatal untuk memukul atau pun mengajak lelaki itu bertengkar.Sesekali tampak lelaki itu melirik pada Aldo, sekilas ia melihat beberapa bagian dari wajah Marina yang terpahat di sana. Mata mereka begitu mirip. Begitu juga dengan bentuk dagunya yang persis sama dengan Marina, ibunya."Untuk apa mengundangnya kemari, Pak? aku tak suka melihatnya ada di sini," ujar Aldo setengah berbisik pada Ridwan ayahnya."Bapak mengundangnya karena kehadirannya berhubungan dengan isi amplop itu, nak," jawab Ridwan."Tapi ..." Ujar Aldo yang masih tampak begitu keberatan.Yah, Aldo mengetahui persis siapa lelaki itu. Lelaki yang menjadi penyebab rumah tangga kedua orang tuanya berakhir di pengadilan. Lelaki itu pula yang
"Maaf membuatmu menunggu. Aku memintamu datang kesini karena ingin menyampaikan amanah dari ibumu," ujar Hanna sambil meletakkan sebuah amplop putih yang masih bersegel di atas meja.Aldo tampak mengernyitkan dahi, tatapan matanya lurus pada amplop putih yang baru saja diletakkan Hanna di meja, ada gurat kebingungan di wajahnya, wajar saja karena di matanya Hanna seakan ingin bermain teka-teki dengannya.Amplop itu tampak rapi dengan logo sebuah rumah sakit di salah satu sudutnya. Sebuah amplop yang berisi rahasia kelahiran Aldo.Menyadari kemana arah pandangan Aldo, Hanna terlihat menuduk sesat, lalu berbicara pelan."Sebelumnya aku minta maaf padamu, mas. Karena menahan amanah ini cukup lama. Aku tahu aku sangat egois dan salah, karena tidak langsung menyampaikannya padamu.""Sebenarnya, ibu memintaku untuk segera memberikan amplop ini padamu setelah ia meninggal, namun, saat itu kau sangat gencar menuduhku berselingkuh, hal itu membuatku geram dan sakit hati hingga ..." Hanna menje
Sementara itu di tempat lain."Kita tunggu Hanna datang, karena dia yang memegang amanah ibumu," Sahut Ridwan yang langsung di balas dengan kerutan di kening Aldo."Hanna? Amanah ibu? Apa sebenarnya maksud semua ini, pak?""Tunggulah sebentar, bapak yakin tak lama lagi Hanna akan tiba.""Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini," ungkap Aldo dengan wajah kebingungan.Untuk beberapa saat mereka saling diam, tak lama, terdengar Ridwan berdehem cukup keras."Bapak ke belakang sebentar membuatkan teh hangat untukmu. Sementara itu, buatlah dirimu senyaman mungkin disini. Lagipula, sudah lama kau tidak pulang ke rumah," Selesai mengucapkan kalimat itu, Ridwan pun berlalu meninggalkan Aldo sendiri.Aldo menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, mengikuti saran sang ayah untuk membuat dirinya senyaman mungkin. Sesekali terlihat ia memejamkan matanya, mencoba mencari ketenangan di sana.Rumah ini adalah tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Selepas menyelesaikan pendidikan das