Share

Malam Pertama Yang Pilu

Syifa duduk terpaku di sisi ranjang, jiwa dan raganya terasa membeku. Bayangan kebahagiaan yang pernah ia rasakan kini sirna dengan kenyataan pahit yang ia terima. 

Cukup lama Hamzah tak menyusulnya, entah apa yang ia lakukan untuk membujuk sang ibu agar mau kembali makan setelah dirinya mengganti lauk menu yang di sediakan.

Gadis berhijab itu menyangga kepalanya dengan kedua tangan.

“Malang nian nasibku,” keluhnya lirih.

“Ya Allah kalau ini memang takdir hidupku maka berikan kesabaran pada hamba yang kurang bersyukur ini,” lanjutnya dengan menghiba.

Sontak ia mengingat bagaimana kesepian hidup yang ia alami selama ini, tanpa abi maupun umi yang membesarkannya.

Paman Aris dan Bibi Laras selalu mengatakan kebaikan-kebaikan kedua kakanya selama hidup, sampai akhirnya kecelakaan merenggut keduanya dan menyisakan Syifa sendirian yang selamat saat itu.

Sudut mata gadis berperawakan kurus itu mengembun, berulang kali ia menghela nafas panjangnya guna menahan gemuruh kepiluan yang mendera hati dan juga perasaannya.

Ceklek!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka seraya menampilkan wajah suaminya yang muncul dan langsung kembali menutupnya.

Segera Syifa menghapus semua sisa air mata yang sempat jatuh melewati pipi mulusnya.

“Adek belum makan?” ujar Hamzah sembari memperhatikan makanan yang masih utuh di atas meja.

“Belum,” balas Syifa seraya menggelengkan kepala.

“Mas ‘kan nyuruh ade buat nunggu, nanti makan bareng aja katanya,” sambung Syifa.

“Ohya? Maaf Dek.” Hamzah menepuk kepalanya pelan.

“Mas lupa, tadi malah makan sama ibu. Astaghfirullahal adzim,” ucapnya.

Hamzah mengambil nampan di atas meja itu, lalu mendekatkannya kepada sang istri. 

Laki-laki berkumis tipis itu memilih duduk di samping sang istri. Ia menyendokkan nasi kemudian mendekatkannya di depan mulut Syifa.

“Mas, aku bisa makan sendiri,” tolak Syifa dengan sedikit sungkan.

“Nggak, nggak papa. Mas pengen menyuapi Adek makan.” Hamzah tersenyum simpul, lalu semakin mendekatkan sendok di depan mulut Syifa. 

Sang istri membuka mulutnya dan membuat Hamzah semakin mengembangkan senyum di wajah.

Sesuap demi suap akhirnya nasi di atas piring itu telah habis.

“Minum Dek!” Hamzah memberi gelas berisi air putih yang ia ambil dari atas nampan yang sama.

Hamzah menatap Syifa lekat, ia memperhatikan seteguk demi teguk air yang melewati kerongkongan istrinya itu hingga tandas.

“Kenapa Mas?” tanya Syifa. Merasa risih di perhatikan tak biasa oleh laki-laki di hadapannya.

Sontak Hamzah mengembangkan senyumnya. 

“Nggak papa, mas seneng aja liat Ade minum,” jawabnya sambil tersenyam-senyum.

Syifa menundukkan kepalanya seraya tersipu malu, ia menaruh gelas di atas nakas lalu gadis itu bergeming dengan posisi merunduk seperti semula, sesekali jari-jemarinya memainkan ujung hijab yang menjuntai hingga dada.

“Dek!” Hamzah meraih kedua tangannya, seketika Syifa menoleh dan menatap wajah laki-laki yang lebih dulu memperhatikannya lekat. 

“Iya Mas,” balas Syifa singkat.

“Maafkan mas, ya?” ucapnya sembari menarik tubuh mungil sang istri ke atas ranjang. 

Tak lama berselang terjadilah penyatuan jiwa raga sepasang suami istri yang terikat sejak akad pagi tadi.

******

Syifa membuka kedua kelopak matanya, ia melirik Hamzah yang telah terpejam di sisinya dengan tubuh yang masih bertelanjang dada. 

Seketika ia berbalik memeriksa keadaan dirinya yang hanya berbalut selimut.

Sejurus kemudian wanita itu mengenakan semua pakaian lengkap dengan hijabnya yang tergeletak di sisi ranjang. 

Rasa kantuk telah lenyap di matanya, Syifa terduduk di bawah ranjang dengan menyenderkan kepala di sana.

Manik matanya melirik angka jarum jam yang masih bergerak di angka 2. 

Ada perasaan pilu yang merasuki hatinya mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami sejak sah berubah status menjadi seorang istri.

Syifa memeluk kedua kakinya itu, tiba-tiba kedua netranya kembali mengembun. Dengan segera ia menyeka sudut matanya sebelum beberapa bulir air jatuh dari sana.

“Menyesal? Apa yang perlu aku sesalkan? Bukankah ini sudah takdirku? Tanpa orang tua, menikah, lalu aku harus menghormati keluarganya, belajar mencintainya dan ....” Syifa meremas kedua kepalanya yang telah terbungkus kain hijab itu.

“Hiks ... hiks ... hiks ... Kang Ali, seandainya kau mengerti apa yang kurasakan saat ini,” gumam Syifa dengan terisak.

“Ya Allah ampuni aku, jangan biarkan hatiku terbelenggu. Berikan aku kesabaran menjalani suratan takdir yang harus ku tempuh.” Syifa menengadahkan kedua tangannya di bawah sana.

“Hmmmmmm!” Terdengar suara Hamzah di atas ranjang sana. 

Syifa bergegas menyapu bersih air matanya, lalu berdiri dan memeriksa tubuh suaminya yang telah menyamping menghadap dirinya dengan posisi memeluk sebuah bantal guling.

“Alhamdulillah, beruntung ada guling itu.” Syifa mengelus kedua dadanya.

“Hmmmm ... Dek, kamu kenapa? Lagi ngapain?” Hampir saja ia di buat jantungan saat tiba-tiba sang suami memanggil dirinya seraya mengucek kedua mata.

“Ng-nggak Mas, adek kebangun aja,” jawab Syifa dengan sedikit terbata. Ia kembali naik ke atas ranjang dan terbaring di sisi sang suami. 

Kedua tangan Hamzah menutupi tubuh sang istri dengan selimut.

“Biar nggak dingin, nanti Adek masuk angin,” ucapnya, lalu sebuah kecupan mendarat di kening Syifa sekilas membuat wanita berhijab itu menutup mata.

********

Wanita berselimut itu memicingkan kedua netranya, ia berusaha membuka mata saat telinganya mendengar kebisingan di luar sana.

Setelah beberapa saat Syifa berhasil membuat tubuhnya terduduk di atas ranjang, sesekali ia mengucek kedua matanya sembari mengumpulkan kesadaran saat rasa kantuk masih menguasai dirinya.

Samar-samar masih terdengar di telinganya suara wanita dewasa dengan seorang laki-laki beradu pendapat di luar sana. 

Syifa menoleh ke tempat dimana suaminya terbaring semalam.

“Dimana Mas Hamzah?” lirih Syifa.

Kemudian ia melirik jam di dinding kamar bercat merah muda itu menunjukkan jam setengah lima pagi.

“Huft! Ini mah hampir subuh, belum sholat tahajjud ... mana harus mandi besar dulu lagi,” oceh Syifa. Ia menurunkan kakinya dari atas ranjang itu. 

“Ini nih gara-gara semalem kebangun, terus nggak langsung mandi,” keluhnya lagi.

“Kamu belum menikah atau sudah menikah pokoknya jatah ibu tidak boleh kamu kurangi!” Suara keras itu menghentikan langkah kakinya untuk keluar dari kamar.

“Apalagi sekarang apa-apa serba mahal Hamzah! Kamu mau berbakti sama orang tua atau milih wanita yang baru jadi istrimu itu!” Tak terdengar jawaban apapun dari laki-laki yang sebelumnya menyahuti suara wanita yang kini sangat Syifa kenal.

“Beri Syifa nafkah secukupnya! Ibu lebih butuh, lagi pula dia belum punya anak, belum punya kebutuhan yang banyak,” tandasnya. 

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki yang berjalan. 

Syifa segera kembali ke atas kasur dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

Ceklek! 

Setelah terdengar pintu di buka, dua tangan kekar menyentuh tubuh Syifa yang memejamkan mata.

“Dek, bangun! Ayo siap-siap sholat subuh, Adek harus mandi dulu!” ujarnya seraya mengguncangkan tubuh Syifa. 

Perlahan wanita di ranjang itu membuka mata. 

“Adek mandi dulu, ya? Mas mau tiduran dulu sebentar,” ucap Hamzah sembari membaringkan tubuhnya di samping Syifa dengan melipat kedua tangan di bawah kepala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status