Share

Adaptasi Dengan Kesabaran

Syifa menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi, isakan tangisnya tersamarkan bunyi keran mengucur air deras yang sengaja ia putar untuk meredam suara-suara yang mungkin saja timbul dari dirinya.

“Hiks ... hiks ... hiks ....” Syifa terus saja mengeluarkan semua emosi yang memuncak di dada, yang sempat ia bendung sejak semalam.

Tok! Tok! Tok!

“Dek, sudahkah mandinya? Ini sudah jam lima lebih, mas belum sholat.” Suara resah Hamzah terdengar di depan pintu kamar mandi. 

Syifa segera menghapus semua sisa air mata di wajahnya dan menahan isak tangis agar tak terdengar dari luar sana.

“Iya Mas, sebentar lagi,” sahut Syifa seraya menuang-nuangkan air dari kolam ke bawah lantai. 

“Mas tunggu,” tandas suaminya.

Syifa menghela nafas panjangnya, tak terasa menangis menyita waktu mandinya begitu lama.

Usai beberapa waktu kemudian, Syifa telah selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, kini saatnya ia merapihkan diri guna bersiap menjalankan tugasnya sebagai guru di salah satu lembaga pendidikan swasta terdekat dari rumah suaminya.

Tangan wanita yang kepalanya tertutup ciput berwarna cream itu memoles wajah mulusnya dengan bedak, ia pandangi pantulan dirinya di depan cermin sana. “Agak sembab, tapi nggak ketara sih,” gumamnya seraya memperhatikan kedua bola netranya.

Cup! 

Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pipi kanannya, Syifa seketika terperanjat di buatnya.

“MasyaAllah cantiknya istri mas,” puji Hamzah seraya merangkul kedua pinggul sang istri.

Syifa diam terpaku menatap ekspresi wajahnya yang begitu tegang terlihat di depan cermin sana. 

“Kenapa? Adek nggak suka di peluk sama mas?” ujar Hamzah sembari memutar tubuhnya dan menatap wajah istrinya lebih dekat.

“Hmmmm ... nggak Mas, a-aku senang,” sahut Syifa dengan sedikit terbata dan tersenyum kikuk.

Sontak jawabannya membuat sudut bibir Hamzah melengkung ke atas.

Cup!

“Tambah lagi, ya?” ucapnya usai berhasil mengecup kening istrinya.

Syifa menganggukan kepalanya ringan.

“Udah selesai? Ayo kita makan!” ajak Hamzah sembari mengusap lembut kepala istrinya.

“Bentar lagi Mas, aku selesaikan dulu, ya?” balas Syifa seraya tersenyum simpul.

Cup! 

Hamzah meninggalkan ciuman terakhirnya di pipi bagian kiri Syifa sebelum akhirnya ia beranjak keluar meninggalkan wanita berdandan itu.

Usai tubuh suaminya menghilang di balik pintu, senyum riangnya kian memudar. Sejurus kemudian Syifa mengetok kepalanya dengan sebuah pensil alis.

“Bisa-bisanya kau tadi membayangkan Kang Ali yang menjadi suamimu. Astaghfirullahal adzim tobat Syifa.” Syifa merutuki dirinya sendiri.

Tak lama berselang ...

Syifa menghentikan langkah kakinya di depan tirai biru itu, ada perasaan takut saat harus menghadapi ibu mertuanya. 

Ia menghela nafas panjangnya dan menghembuskannya perlahan.

“Bismillahirrahmanirrahim, berharap semuanya akan baik-baik saja dan tanpa kendala Ya Rab,” ucapnya, lalu ia kembali melangkahkan kaki dengan mantap.

Hamzah, Syifa dan Bu Santi duduk berhadapan, ketiganya mengitari meja makan berbentuk bulat itu. 

“Alhamdulillah,” ucap syukur Syifa usai menghabiskan sesuap terakhir makanannya, ia juga bersyukur sebab semuanya berjalan baik-baik saja tanpa hal-hal yang ia khawatirkan sebelumnya.

 

Wanita muda berseragam putih dan hitam itu melirik sekilas wajah mertuanya yang terlihat tanpa ekspresi seraya menyuapi mulutnya dengan makanan. 

Beruntung pagi ini dirinya bisa memasak opor ayam dan perkedel kentang dengan tambahan krupuk dan sambal sebagai pelengkap.

Manik mata Syifa menatap Hamzah yang begitu lahap memakan masakannya dan membuat senyum bangga mengembang di sudut bibirnya.

Syifa beranjak lebih dulu, kemudian melangkahkan kaki menuju wastafel sembari membawa piring kotor.

“Biarkan saja! Adek siap-siap gih! Ini udah siang,” seru Hamzah dengan lantang menghentikan tangannya yang hendak mencuci piring.

Benar saja jarum jam di pergelangan Syifa mengarah ke angka tujuh dengan jarum panjang di angka sembilan.

“Baik Mas,” sahut Syifa, lalu ia bergegas melangkahkan kakinya untuk meninggalkan dapur.

Prank!

Suara benda di benturkan itu menghentikan langkahnya, sejurus kemudian ia berbalik arah dan menatap meja makan yang berubah suasana menjadi tegang.

“Ibu kenapa?” tanya Hamzah menuntut penjelasan.

“Kamu mau menjadikan ibu sebagai babu Hamzah?” pekik Bu Santi dengan sorot mata yang tajam.

“Astaghfirullahal adzim kenapa Ibu bilang seperti itu?” sahut Hamzah dengan nada resah.

“Kamu membiarkan istrimu bebas mengurus rumah tangga, lalu siapa yang mau ngurus ini semua kalau bukan ibu, hah?” jelasnya dengan mata nyalang seraya berdiri di depan meja makan.

“Nyuci piring, nyapu, nyuci baju, ngurusin jemuran, beres-beres rumah haruskah ibu lagi yang melakukan semua? Dari dulu sampe tua selalu di buat susah sama anak,” keluh Bu Santi, wajahnya terlihat merah padam selaras dengan rona gincu di bibirnya.

“Bu! Ibu jangan bilang seperti itu!” Hamzah berdiri berhadapan dengan sang ibu.

“Kenapa? Apa ibu salah? Iya memang ibu yang selalu salah sejak hatimu mencintai wanita,” balas Bu Santi.

“Ibu ...!” seru Hamzah memotong ucapan sang ibu.

“Udah Mas, aku saja yang mengerjakan semuanya, ini sudah tugasku.” Syifa menarik lengan Hamzah seraya menundukkan wajah di hadapan sang ibu mertua.

“Memang begitu seharusnya,” sambung Bu Santi, lalu meninggalkan keduanya di dapur itu.

Syifa menghela nafas panjangnya saat sang ibu mertua menghilang di balik tirai, sejurus kemudian kedua tangannya di genggam erat oleh sang suami.

Laki-laki di hadapannya merundukkan wajahnya beberapa saat, lalu terdengar hempasan nafasnya bersamaan dengan kepalanya yang terangkat dan menatap lekat wajah Syifa

“Maafkan mas, Dek! Maafkan ibu juga,” ucap Hamzah, ekspresi wajahnya terlihat sendu.

“Nggak papa Mas, adek nggak sakit hati kok. Mas tenang aja,” balas Syifa dengan lembut. 

“Aku tak tega melihatmu, lagipula kau memang suamiku,” batin Syifa.

“Terlepas dari sikap ibumu yang menyeramkan,” lanjut Syifa seraya menelan pil pahit kenyataan hidupnya.

****

Beberapa saat kemudian usai mengerjakan semua pekerjaan yang di bebankan kepadanya, Syifa kembali merapihkan diri di depan cermin dengan begitu tergesa-gesa seraya terus memperhatikan jam di pergelangan tangannya yang mendekati angka delapan.

“Huft!” Beberapa kali ia menghempaskan nafasnya dengan kasar, perasaan resah, khawatir, takut dan kecewa bercampur baur dalam emosinya.

“Dek, biar mas yang antar,” ujar Hamzah melangkah masuk ke dalam kamar bernuansa merah muda itu.

Syifa terdiam membisu serta tak beraksi apapun kecuali menyelesaikan urusannya untuk segera berangkat ke tempat kerja.

Setelah di rasa siap, Syifa menenteng sling bag berukuran medium berwarna coklat muda tanpa motif itu dan melangkah menuju pintu keluar.

“Dek! Dek, tunggu!” panggil Hamzah berulang kali.

Tepat di depan pintu dengan tangan yang telah memegang handle, Syifa menghentikan langkahnya. Ia menarik nafas panjang dan menghempaskannya secara perlahan.

“Ada apa Mas?” tutur Syifa berbalik arah dengan mendengus kesal.

“Biar mas antar,” ujar Hamzah.

“Adek udah kesiangan,” sambungnya seraya menghampiri sang istri.

Syifa bergeming saat sang suami berusaha meraih tangannya.

“Dek, tolong jangan marah, ya? Maafin mas,” ucap Hamzah dengan nada memohon sembari mengusap-usap punggung tangan istrinya.

Syifa memejamkan matanya seraya mengatur pola nafas yang sedikit menyulitkan fikiran jernihnya.

“Hufft, fyuuuh ....” Syifa menghempaskan nafas penuh emosi dengan netra terbuka serta membuang semua memori buruk yang tertoreh pagi tadi.

“Baik Mas, antarkan aku berangkat sekarang,” sahut Syifa lebih tenang membuat Hamzah bernafas lega. 

Laki-laki itu segera mengambil kunci di atas nakas, lalu bergegas keluar dengan menggandeng tangan sang istri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status