Di tengah keriuhan suasana sebuah pelataran masjid, tiba-tiba seorang ibu menarik anaknya yang telah mengenakan busana kemeja putih dengan balutan jas hitam.
Pria itu membetulkan peci yang melekat di kepalanya lantaran tubuhnya sedikit terhuyung akibat tarikan cukup keras dari sang ibu.
“Apa-apaan kamu? Kenapa ada cincin segala?” ucapnya usai melepas ikatan tangan pada sang anak.“Aku ingin menambahkan mas kawin dengan cincin ini Bu.” Hamzah mengeluarkan benda melingkar berwarna kuning emas itu dari saku celana, lengkap dengan wadahnya berbentuk hati berwarna merah.“Uang dari mana kamu?!” ujar Bu Santi seraya melototkan kedua bola matanya.“Sejak ingin menikah, aku mulai menabung Bu. Walaupun hasilnya tidak banyak, hanya bisa membeli cincin dua gram ini saja,” jelas Hamzah sembari menunduk memperhatikan cincin dalam genggaman tangannya.“Nggak usah! Cukup mas kawin dari pak yai saja.” Bu Santi segera merebut benda kecil dari tangan anak tertuanya itu.“Tapi Bu ....” Hamzah berusaha meminta kembali cincin yang telah di rampas oleh sang ibu, akan tetapi Bu Santi tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri.“Hamzah, dengerin! Wanita yang baik itu nggak akan memberatkan mempelai pria. Semakin kecil maharnya, itu tandanya dia gadis yang semakin baik dan mulia,” sangkal Bu Santi sembari memasukan cincin itu ke dalam dompetnya. Tak lama kemudian ia kembali menghampiri tempat acara yang telah di hadiri tamu undangan dan juga di tunggui oleh penghulu.“Ya Allah ....” Hamzah menepuk jidatnya pelan seraya menghela nafas panjangnya, lalu berbalik dan melangkahkan kaki menuju kerumunan orang-orang penting yang telah menantinya.Tak lama berselang dengan satu tarikan nafas akhirnya Hamzah berhasil meminang seorang wanita. Usai akad nikah di ucapkan, mempelai wanita di iring dua orang wanita lainnya hingga sampai dan duduk di sisi Hamzah.Syifa Az Zahra, istri sahnya itu mencium punggung telapak tangan Hamzah untuk pertama kali. Bersamaan dengan itu Hamzah mendaratkan tangan kiri di kepala sang istri.Dengan di liputi perasaan haru, lalu Hamzah mendo’akannya di hadapan para tamu undangan yang hadir menyaksikan.
*****Syifa mengikuti langkah kaki suaminya memasuki sebuah rumah sederhana bercat merah, di dampingi ibu mertua berjalan mendahuluinya melewati ambang pintu yang telah di bukakan oleh Hamzah.
Usai melewati ambang pintu, Syifa termenung sejenak. Masih ingat di benaknya beberapa hari yang lalu Pak Yai Abdul Wahid guru ngaji dan orang yang selalu membimbing selama ini menawarkannya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang juga menjadi murid beliau.Tak banyak yang Syifa pertimbangkan, baginya guru adalah orang tua yang membimbing dan mengarahkan anak-anak didiknya. Lagi pula setelah lulus dari kuliah, ia tak lagi mengejar banyak impian kecuali memiliki pendamping yang seiman, sholeh dan mampu membimbingnya menuju jalan yang benar.“Dek, ayo masuk!” ujar Hamzah membangunkan lamunannya.“Iya Mas,” jawab Syifa, dengan sedikit malu ia menundukkan wajahnya ketika sang suami meraih tangan dan membawanya masuk ke dalam kamar yang terletak tepat di samping ruang tamu.Syifa duduk di tepi ranjang, sedangkan sang suami telah berada di sampingnya.“Mas, apa yang menyebabkan kamu mau menikahiku?” ujar Syifa seraya tertunduk malu menatap lantai keramik berwarna putih di bawah sana.Sejenak terdengar suara helaan nafas suaminya.“Hmmm ... mas memang sudah butuh menikah,” balas Hamzah singkat.Tak lama berselang Hamzah kembali bersuara.“Mas dengar kamu lulusan sarjana, ya?” lanjutnya. Seketika Syifa mengangkat kepalanya dan menatap wajah sang suami.“Iya Mas, aku mendapatkan beasiswa S1 dari sekolah dulu,” jelas Syifa datar.“Mas nggak sekolah, hanya ikut belajar sedikit-dikit di pondok, lalu bantuin pak yai di madrasah karena mas punya tanggung jawab orang tua yang perlu di nafkahi, jadi mas nggak banyak belajar seperti para santri," papar Hamzah panjang lebar.Wanita berjilbab putih yang menjuntai hingga lutut itu menghela nafas panjangnya, lalu menghempaskan dengan sedikit kasar.Sejenak ia teringat sosok pak yai, sebagai pengasuh pondok pesantren yang cukup besar beliau masih begitu memperhatikan satu demi muridnya, bahkan sampai urusan menikah.
Selain mengenal sang guru dengan baik, Syifa juga pernah mendengar mengenai kebaikan dan kesabaran laki-laki bernama Hamzah itu, lagipula ia tak lagi punya arah tujuan selain membangun kehidupan rumah tangga saat dia hidup sebatang kara.
“Dek ....”“Mas ....” ucap mereka bersamaan usai hening sejenak di antara keduanya.“Biarlah kamu dulu Dek.” Hamzah mempersilahkan seraya tersenyum simpul.“Aku ini nggak punya siapa-siapa Mas, bapak dan ibuku sudah tiada sejak aku kecil.” Mendengar ucapannya Hamzah segera menarik tubuh sang istri dalam dekapannya. “Sejak kecil aku di rawat sama bibi dan paman,” lanjut Syifa. Ia merasakan tangan kekar suaminya mengusap-usap punggungnya dengan gerakan naik turun.“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada Mas dan keluarga kita,” ujar Hamzah. Syifa perlahan melepas dekapan sang suami, lalu menatapnya tajam seolah menuntut suatu penjelasan. “Kenapa?” tanya Hamzah dengan kebingungan sekaligus heran.“Tadi Mas mau bilang apa?” ujar Syifa. Sontak Hamzah menghempaskan nafasnya dengan kasar.“Dek ...." Hamzah menggenggam kedua tangan Syifa. “Mas ini orang nggak mampu, apakah kamu masih mau menerima Mas?” lanjutnya dengan sedikit menundukkan pandangan. “Jangan berkata seperti itu, Mas! Kita adalah suami istri, susah senang kita jalani bersama. Insyaallah setelah menikah rezeki kita akan semakin bertambah,” tukas Syifa. Hamzah tertegun mendengar penuturan sang istri, perlahan ia mengangkat tangan lembut di genggamannya itu lalu mendaratkan sebuah kecupan disana. Syifa nampak tersipu dan canggung mendapat perlakuan manis untuk pertama kalinya dari sang suami.Hamzah beralih menangkupkan kedua tangannya di kedua pipi mulus Syifa, laki-laki beralis tipis dengan hidung mancung serta kumis tipis itu semakin mendekatkan wajahnya.“Hamzah!” seru Bu Santri dari luar. Seketika aktivitas keduanya terhenti. Hamzah kembali menarik tubuhnya.“Mas di panggil ibu sebentar,” pamitnya seraya menunjuk pintu untuk keluar.“Iya Mas,” sahut Syifa sembari menganggukkan kepalanya. Setelah pintu kembali tertutup gadis itu membanting tubuhnya di atas kasur.“Astaghfirullahaladzim, kenapa aku mengingatmu? Kenapa yang kuingat alis hitam legam serta suaramu yang merdu? Mengagumimu sudah cukup bagiku,” gumam Syifa sendiri. Rasa tertarik yang akhir-akhir ini hadir dalam hatinya terpikat kepada seorang laki-laki yang pernah mengajarinya saat di pondok, ia berusaha meredam perasaan itu setelah di pinang oleh Hamzah. Namun, sesaat rasa itu kembali mencuat.“Ibu lapar, suruh istrimu buatkan ibu makanan!” Suara Bu Santi begitu jelas terdengar menghentikan gumamannya sendiri.Seketika gadis berhijab putih itu mengangkat tubuhnya dari kasur bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka menampilkan wajah suaminya yang langsung menatapnya tajam.
“Iya Mas, aku buatkan makan malam dulu,” tutur Syifa seraya menurunkan tubuhnya dari kasur sebelum sang suami mengucapkan kata-kata.Hamzah terdiam ketika Syifa berjalan melewati dirinya tepat di ambang pintu. Ia menatap langkah wanita yang telah menjadi istrinya itu berjalan ke belakang menuju dapur yang tertutup tirai berwarna biru.Hamzah termenung sejenak, lalu ia melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Tangannya tergerak menggerakkan handle pintu yang masih tertutup, begitu terbuka ia melihat sang ibu sedang terbaring sembari menatap layar ponsel di tangannya. Menyandari kehadiran seseorang, Bu Santi segera menaruh ponselnya menyamping di atas kasur itu.“Ibu kecapean Hamzah! Tangan dan kaki ibu pegal-pegal semua,” ucapnya seraya menatap sang anak dengan wajah memelas.Sontak anak laki-lakinya itu menghempaskan nafasnya kasar.Hamzah melangkahkan kakinya menuju tepi ranjang. Ia raih kaki sang ibu, lalu di pijatnya perlahan. Bu Santi tersenyum tipis menatapnya seraya terbaring, tak lama berselang ia kembali mengambil benda pipih yang sebelumnya ia letakkan di samping dirinya.“Hahaha.” Tawa Bu Santi menggelegar di dalam ruangan itu. "Ada apa sih Bu?” tanya Hamzah dengan raut penasaran sembari terus memijat kaki ibunya.“Ini ibu lagi chat’an sama Jeng Rani,” sahutnya.“Hmmmm,” balas Hamzah. Sejenak kemudian laki-laki itu terdiam, ia jadi ingat sang istri yang masih di belakang sana. “Hamzah mau ngecek Syifa dulu Bu,” tutur Hamzah menyudahi aksi pijat memijatnya, sejurus kemudian ia keluar dari ruangan itu.“Hmmm, istri manja! Masak aja di temenin,” geram Bu Santi saat pintu kembali tertutup.“Dek, kamu masak apa?” ujar Hamzah seraya menghampiri Syifa di dapur. Sang istri nampak sibuk mengulek sesuatu di atas cobek. Hijab nya terselampir di bahu den
Syifa duduk terpaku di sisi ranjang, jiwa dan raganya terasa membeku. Bayangan kebahagiaan yang pernah ia rasakan kini sirna dengan kenyataan pahit yang ia terima. Cukup lama Hamzah tak menyusulnya, entah apa yang ia lakukan untuk membujuk sang ibu agar mau kembali makan setelah dirinya mengganti lauk menu yang di sediakan.Gadis berhijab itu menyangga kepalanya dengan kedua tangan.“Malang nian nasibku,” keluhnya lirih.“Ya Allah kalau ini memang takdir hidupku maka berikan kesabaran pada hamba yang kurang bersyukur ini,” lanjutnya dengan menghiba.Sontak ia mengingat bagaimana kesepian hidup yang ia alami selama ini, tanpa abi maupun umi yang membesarkannya.Paman Aris dan Bibi Laras selalu mengatakan kebaikan-kebaikan kedua kakanya selama hidup, sampai akhirnya kecelakaan merenggut keduanya dan menyisakan Syifa sendirian yang selamat saat itu.Sudut mata gadis berperawakan kurus itu mengembun, berulang kali ia menghela nafas panjangnya guna menahan gemuruh kepiluan yang mendera ha
Syifa menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi, isakan tangisnya tersamarkan bunyi keran mengucur air deras yang sengaja ia putar untuk meredam suara-suara yang mungkin saja timbul dari dirinya.“Hiks ... hiks ... hiks ....” Syifa terus saja mengeluarkan semua emosi yang memuncak di dada, yang sempat ia bendung sejak semalam.Tok! Tok! Tok!“Dek, sudahkah mandinya? Ini sudah jam lima lebih, mas belum sholat.” Suara resah Hamzah terdengar di depan pintu kamar mandi. Syifa segera menghapus semua sisa air mata di wajahnya dan menahan isak tangis agar tak terdengar dari luar sana.“Iya Mas, sebentar lagi,” sahut Syifa seraya menuang-nuangkan air dari kolam ke bawah lantai. “Mas tunggu,” tandas suaminya.Syifa menghela nafas panjangnya, tak terasa menangis menyita waktu mandinya begitu lama.Usai beberapa waktu kemudian, Syifa telah selesai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi, kini saatnya ia merapihkan diri guna bersiap menjalankan tugasnya sebagai guru di salah satu lembaga pendidi
Sesampainya di tempat sekolah berbasis Madrasah Tsanawiyah itu Syifa berlari kecil menuju ruang guru, suasana telah sepi. Seluruh siswa telah masuk ke kelasnya masing-masing.Dengan perasaan malu dan takut Syifa terus melajukan kakinya melewati lorong kelas satu persatu.Hampir saja ia memasuki ruangan tempat stand by para pengajar, akan tetapi laki-laki matang berseragam dengan kepala pelontos menghadangnya di depan pintu.Syifa segera menundukkan wajahnya usai melihat raut wajah laki-laki dewasa di hadapannya.Tak menunggu lama, Syifa di giring laki-laki berstatus kepala sekolah itu ke ruang kerjanya.“Dasar nasib, udah jatuh ketimpa tangga ... di rumah gaduh, di sini berurusan dengan kepala sekolah,” keluh Syifa dengan perasaan gusar.Pak Amin duduk di kursi tugasnya, membuat hati Syifa semakin tegang di buatnya.“Guru baru sudah bisa terlambat masuk.” Pak Amin membanting kertas absensi guru di hadapan Syifa.Walaupun tak begitu keras dan tak terdengar nyaring. Namun, cukup membuat
Suara keduanya begitu kentara terdengar di telinga Syifa dan Rachel.Dua wanita muda itu saling bertatapan sejenak dengan langkah yang terus di pijaki.Saat kedua netranya menatap kedepan, tiba-tiba bola matanya tercengang melihat sosok laki-laki yang sangat ia kenal keluar dari ruangan TU dan melenggang menuju gerbang depan.Sontak Rachel menepuk lengan Syifa perlahan, akan tetapi wanita bersuami di sampingnya telah lebih dulu menangkap kehadiran sang suami di sana.“Suamimu habis ngapain Syif? Bawa map segala,” seloroh Rachel melihat laki-laki memakai kemeja putih lengkap dengan celana dan sepatu hitam.“Nggak tau,” balas Syifa. Kedua netranya tak lepas dari tubuh suaminya yang melangkah pergi.Tak lama kemudian tanpa menunggu lama lagi Syifa berlari kecil mengejar tubuh suaminya yang menghilang di pandangan matanya. “Syif, mau kemana?” teriak Rachel memanggilnya. Namun, Syifa tak menghiraukan panggilannya.Ia segera menghampiri sang suami dengan ayunan kaki yang di percepat. “Mas
“Aku malu Hel,” ungkap Syifa merunduk malu. “Santai aja, kamu kaya sama siapa aja,” ujar Rachel sembari tersenyum riang, ia berusaha mencairkan suasana canggung pada diri Syifa.“Kamu pulang sama aku nggak?” lanjut Rachel menawarinya. “Hmmmm.” Syifa melirik tempat kosong tepat dimana sang suami berdiri sebelumnya.Bahkan ia melihat beberapa guru telah mondar-mandir di tempat itu seperti biasa layaknya suasana pulang sekolah.Ada yang menatap dirinya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya tanpa menegur sapa. Syifa menghempaskan nafasnya kasar.“Kamu pulang aja Hel,” ujar Syifa datar.“Kamu pulang sama siapa?” Rachel mengernyitkan dahinya.“Biasa, di jemput suami.” Syifa menyunggingkan senyumnya. Sejurus kemudian ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Emmm ... paling Mas Hamzah udah nungguin aku di jalan, Hel,” sambung Syifa sekenanya.“Kamu yakin?” ulang Rachel meyakinkan.Syifa manggut-manggut meresponsnya, sesaat kemudian kedua sudut bibirnya melengkung menampilkan deretan gigi
“Hamzah! Gimana ini? Ibu tungguin sampe kamu pulang belum di beli juga token listriknya. Mati listrik tuh!” pekik suara wanita yang tak asing dan memekakan telinga.Seketika rona keindahan bunga memudar dalam pandangan Syifa, ia berbalik menatap tubuh suaminya yang hendak masuk ke dalam rumah.“Kamu tuh, ya? Bilangnya mau keluar sekalian beli token, nyatanya sampe sore begini,” ujar Bu Santi merutuki sang anak, wanita separuh baya itu telah berdiri seraya berkacak pinggang seolah menyambut kedatangan sang anak dengan kemarahannya.Syifa membuntuti langkah Hamzah di belakang, sekilas ia melihat jelas wajah geram sang ibu kepada anaknya. Sejurus kemudian Hamzah berbalik menatap sang istri dan memberi isyarat untuk masuk ke dalam kamar lebih dulu.Sontak Syifa mengangguk pelan merespons sang suami.“Gini Bu, Hamzah jelasin dulu, ya?” Hamzah merangkul pundak sang ibu dan menuntunnya menuju ke dapur.Di dalam kamar bernuansa pink itu ia menatap sekeliling, apa saja. Namun, hanya hening ya
“Kenapa Bu?” tutur Hamzah saat pintu terbuka yang menampakkan ibunya berdiri tepat di ambang pintu.“Kasih ibu uang belanja!" pinta Bu Santi seraya menengadahkan tangan di depan sang anak. Tanpa banyak berkata Hamzah segera berbalik melangkahkan kakinya mendekati sang istri. Ia mengulurkan tangannya mengambil salah satu uang hijau dua puluh ribuan yang berjumlah dua lembar di atas meja rias itu. Sontak Syifa menatap wajah suaminya dengan heran. “Adek nggak jadi beli handbody, Mas?” ucap Syifa saat Hamzah mengambil uang yang sebelumnya ia berikan saat Syifa meminta hand body baru karena telah habis.“Belinya nanti aja, ya, Sayang? Hari ini mas akan mencari pekerjaan tambahan buat menghasilkan uang lebih,” jelas Hamzah membuat Syifa terpaksa menganggukan kepalanya pelan. Lalu dengan langkah sigap Hamzah memberikan lembaran kertas rupiah itu kepada sang ibu. “Ya Allah gusti! Cuman di kasih segini? Sekali-kali di tambahin lah Hamzah! Jaman sekarang uang segini cuman bisa beli tahu te