Share

Wanita Tangguh
Wanita Tangguh
Penulis: Naily L

Peristiwa Saat Akad

Di tengah keriuhan suasana sebuah pelataran masjid, tiba-tiba seorang ibu menarik anaknya yang telah mengenakan busana kemeja putih dengan balutan jas hitam.

Pria itu membetulkan peci yang melekat di kepalanya lantaran tubuhnya sedikit terhuyung akibat tarikan cukup keras dari sang ibu.

“Apa-apaan kamu? Kenapa ada cincin segala?” ucapnya usai melepas ikatan tangan pada sang anak.

“Aku ingin menambahkan mas kawin dengan cincin ini Bu.” Hamzah mengeluarkan benda melingkar berwarna kuning emas itu dari saku celana, lengkap dengan wadahnya berbentuk hati berwarna merah.

“Uang dari mana kamu?!” ujar Bu Santi seraya melototkan kedua bola matanya.

“Sejak ingin menikah, aku mulai menabung Bu. Walaupun hasilnya tidak banyak, hanya bisa membeli cincin dua gram ini saja,” jelas Hamzah sembari menunduk memperhatikan cincin dalam genggaman tangannya.

“Nggak usah! Cukup mas kawin dari pak yai saja.” Bu Santi segera merebut benda kecil dari tangan anak tertuanya itu.

“Tapi Bu ....” Hamzah berusaha meminta kembali cincin yang telah di rampas oleh sang ibu, akan tetapi Bu Santi tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri.

“Hamzah, dengerin! Wanita yang baik itu nggak akan memberatkan mempelai pria. Semakin kecil maharnya, itu tandanya dia gadis yang semakin baik dan mulia,” sangkal Bu Santi sembari memasukan cincin itu ke dalam dompetnya. 

Tak lama kemudian ia kembali menghampiri tempat acara yang telah di hadiri tamu undangan dan juga di tunggui oleh penghulu.

“Ya Allah ....” Hamzah menepuk jidatnya pelan seraya menghela nafas panjangnya, lalu berbalik dan melangkahkan kaki menuju kerumunan orang-orang penting yang telah menantinya.

Tak lama berselang dengan satu tarikan nafas akhirnya Hamzah berhasil meminang seorang wanita. 

Usai akad nikah di ucapkan, mempelai wanita di iring dua orang wanita lainnya hingga sampai dan duduk di sisi Hamzah.

Syifa Az Zahra, istri sahnya itu mencium punggung telapak tangan Hamzah untuk pertama kali. Bersamaan dengan itu Hamzah mendaratkan tangan kiri di kepala sang istri.

Dengan di liputi perasaan haru, lalu Hamzah mendo’akannya di hadapan para tamu undangan yang hadir menyaksikan.

*****

Syifa mengikuti langkah kaki suaminya memasuki sebuah rumah sederhana bercat merah, di  dampingi ibu mertua berjalan mendahuluinya melewati ambang pintu yang telah di bukakan oleh Hamzah.

 

Usai melewati ambang pintu, Syifa termenung sejenak. Masih ingat di benaknya beberapa hari yang lalu Pak Yai Abdul Wahid guru ngaji dan orang yang selalu membimbing selama ini menawarkannya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang juga menjadi murid beliau.

Tak banyak yang Syifa pertimbangkan, baginya guru adalah orang tua yang membimbing dan mengarahkan anak-anak didiknya. Lagi pula setelah lulus dari kuliah, ia tak lagi mengejar banyak impian kecuali memiliki pendamping yang seiman, sholeh dan mampu membimbingnya menuju jalan yang benar.

“Dek, ayo masuk!” ujar Hamzah membangunkan lamunannya.

“Iya Mas,” jawab Syifa, dengan sedikit malu ia menundukkan wajahnya ketika sang suami meraih tangan dan membawanya masuk ke dalam kamar yang terletak tepat di samping ruang tamu.

Syifa duduk di tepi ranjang, sedangkan sang suami telah berada di sampingnya.

“Mas, apa yang menyebabkan kamu mau menikahiku?” ujar Syifa seraya tertunduk malu menatap lantai keramik berwarna putih di bawah sana.

Sejenak terdengar suara helaan nafas suaminya.

“Hmmm ... mas memang sudah butuh menikah,” balas Hamzah singkat.

Tak lama berselang Hamzah kembali bersuara.

“Mas dengar kamu lulusan sarjana, ya?” lanjutnya. Seketika Syifa mengangkat kepalanya dan menatap wajah sang suami.

“Iya Mas, aku mendapatkan beasiswa S1 dari sekolah dulu,” jelas Syifa datar.

“Mas nggak sekolah, hanya ikut belajar sedikit-dikit di pondok, lalu bantuin pak yai di madrasah karena mas punya tanggung jawab orang tua yang perlu di nafkahi, jadi mas nggak banyak belajar seperti para santri," papar Hamzah panjang lebar.

Wanita berjilbab putih yang menjuntai hingga lutut itu menghela nafas panjangnya, lalu menghempaskan dengan sedikit kasar.

Sejenak ia teringat sosok pak yai, sebagai pengasuh pondok pesantren yang cukup besar beliau masih begitu memperhatikan satu demi muridnya, bahkan sampai urusan menikah.

Selain mengenal sang guru dengan baik, Syifa juga pernah mendengar mengenai kebaikan dan kesabaran laki-laki bernama Hamzah itu, lagipula ia tak lagi punya arah tujuan selain membangun kehidupan rumah tangga saat dia hidup sebatang kara.

“Dek ....”

“Mas ....” ucap mereka bersamaan usai hening sejenak di antara keduanya.

“Biarlah kamu dulu Dek.” Hamzah mempersilahkan seraya tersenyum simpul.

“Aku ini nggak punya siapa-siapa Mas, bapak dan ibuku sudah tiada sejak aku kecil.” Mendengar ucapannya Hamzah segera menarik tubuh sang istri dalam dekapannya. 

“Sejak kecil aku di rawat sama bibi dan paman,” lanjut Syifa. Ia merasakan tangan kekar suaminya mengusap-usap punggungnya dengan gerakan naik turun.

“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada Mas dan keluarga kita,” ujar Hamzah. 

Syifa perlahan melepas dekapan sang suami, lalu menatapnya tajam seolah menuntut suatu penjelasan. 

“Kenapa?” tanya Hamzah dengan kebingungan sekaligus heran.

“Tadi Mas mau bilang apa?” ujar Syifa. Sontak Hamzah menghempaskan nafasnya dengan kasar.

“Dek ...." Hamzah menggenggam kedua tangan Syifa. 

“Mas ini orang nggak mampu, apakah kamu masih mau menerima Mas?” lanjutnya dengan sedikit menundukkan pandangan. 

“Jangan berkata seperti itu, Mas! Kita adalah suami istri, susah senang kita jalani bersama. Insyaallah setelah menikah rezeki kita akan semakin bertambah,” tukas Syifa. 

Hamzah tertegun mendengar penuturan sang istri, perlahan ia mengangkat tangan lembut di genggamannya itu lalu mendaratkan sebuah kecupan disana. 

Syifa nampak tersipu dan canggung mendapat perlakuan manis untuk pertama kalinya dari sang suami.

Hamzah beralih menangkupkan kedua tangannya di kedua pipi mulus Syifa, laki-laki beralis tipis dengan hidung mancung serta kumis tipis itu semakin mendekatkan wajahnya.

“Hamzah!” seru Bu Santri dari luar. Seketika aktivitas keduanya terhenti. Hamzah kembali menarik tubuhnya.

“Mas di panggil ibu sebentar,” pamitnya seraya menunjuk pintu untuk keluar.

“Iya Mas,” sahut Syifa sembari menganggukkan kepalanya. 

Setelah pintu kembali tertutup gadis itu membanting tubuhnya di atas kasur.

“Astaghfirullahaladzim, kenapa aku mengingatmu? Kenapa yang kuingat alis hitam legam serta suaramu yang merdu? Mengagumimu sudah cukup bagiku,” gumam Syifa sendiri. Rasa tertarik yang akhir-akhir ini hadir dalam hatinya terpikat kepada seorang laki-laki yang pernah mengajarinya saat di pondok, ia berusaha meredam perasaan itu setelah di pinang oleh Hamzah. Namun, sesaat rasa itu kembali mencuat.

“Ibu lapar, suruh istrimu buatkan ibu makanan!” Suara Bu Santi begitu jelas terdengar menghentikan gumamannya sendiri.

Seketika gadis berhijab putih itu mengangkat tubuhnya dari kasur bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka menampilkan wajah suaminya yang langsung menatapnya tajam.

“Iya Mas, aku buatkan makan malam dulu,” tutur Syifa seraya menurunkan tubuhnya dari kasur sebelum sang suami mengucapkan kata-kata.

Hamzah terdiam ketika Syifa berjalan melewati dirinya tepat di ambang pintu. Ia menatap langkah wanita yang telah menjadi istrinya itu berjalan ke belakang menuju dapur yang tertutup tirai berwarna biru.

Hamzah termenung sejenak, lalu ia melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Tangannya tergerak menggerakkan handle pintu yang masih tertutup, begitu terbuka ia melihat sang ibu sedang terbaring sembari menatap layar ponsel di tangannya. 

Menyandari kehadiran seseorang, Bu Santi segera menaruh ponselnya menyamping di atas kasur itu.

“Ibu kecapean Hamzah! Tangan dan kaki ibu pegal-pegal semua,” ucapnya seraya menatap sang anak dengan wajah memelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status