Share

7. Pengakuan Hana

Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.

“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.

“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.

“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.

Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.

“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.

“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.

“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar kamu pulang, iya?” tanya Widya memastikan.

Hana menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Benar, Bu.”

“Hana, tatap wajah Ibu!” titah Widya yang membuat Hana mengangkat wajahnya.

Tatapan ibu dan anak itu pun saling bertemu. Terlihat tatapan penuh selidik terpancar jelas di wajah Widya, yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi.

“Kamu serius mau menikah dengan bos besar itu? Kalian saling cinta atau...karena balas budi?” tebak Widya dengan tatapan tajam pada Hana.

Hana kebingungan untuk menjawabnya. Di satu sisi, dia ingin terus terang pada ibunya. Tapi di sisi lain, dia sudah berjanji pada Andhika untuk menutup rapat-rapat perihal pernikahan kontrak mereka.

“Kok diam? Coba jawab pertanyaan Ibu, Han! Pernikahan bukan untuk dipermainkan lho. Kalau bisa, pernikahan ini hanya sekali seumur hidup. Jangan salah dalam mengambil keputusan. Supaya kamu nggak menyesal nantinya,” ucap Widya.

“I-iya, Bu. Aku dan Pak Andhika saling cinta. Eh, maksudku begini. Pak Andhika diam-diam suka sama aku. Makanya dia bersedia membantu dengan membiayai operasi pada wajahku. Terus aku menerima lamarannya, ketika mengetahui Rama telah berselingkuh,” sahut Hana berbohong. Terpaksa dia membohongi ibunya agar rahasianya aman.

“Terus perasaan kamu sendiri sama dia bagaimana? Kamu jadikan dia sebagai pelarian kamu, begitu?” tanya Widya dengan kening yang berkerut.

“Mungkin dengan pernikahan ini, aku bisa membalas kebaikan Pak Andhika. Mungkin lambat laun aku bisa mencintainya seperti dia mencintai aku, Bu,” sahut Hana yang kembali berbohong demi menjaga rahasianya.

Widya menghela napas panjang dan menatap anaknya dengan tatapan sendu.

“Kamu yakin dengan pernikahan ini, Han? Apa kamu yakin kalau Pak Andhika itu mencintai kamu? Soalnya saat pertama kali Ibu ketemu sama dia ketika mengantar kamu pulang, Ibu lihat kayaknya dia nggak cinta sama kamu,” celetuk Widya yang membuat Hana terkesiap.

Deg.

‘Waduh, naluri ibu memang tajam. Tapi, aku harus tetap dengan kebohonganku tadi. Maaf ya, Bu. Aku sudah berbohong sama ibu. Tapi, ini demi kebaikan bersama,’ ucap Hana dalam hati.

“Pak Andhika memang begitu, Bu. Dia orangnya pendiam soalnya. Suka sama aku saja dalam diam. Tapi, dia mengawasiku di setiap pemotretan,” sahut Hana dengan jantung yang berdegup kencang karena terus membohongi ibunya.

“Ya sudah kalau kamu sudah yakin. Semoga dia lelaki yang baik untuk kamu. Ibu doakan supaya kamu selalu bahagia, Han.” Widya berucap sambil menghela napas panjang. Entah kenapa ada rasa gelisah dalam dirinya ketika mendengar kabar tersebut. Apakah ini sebuah firasat, atau dirinya yang belum rela berpisah dengan Hana? Widya tak bisa menerka. Dia hanya berharap kalau anak sulungnya itu berbahagia hidup bersama dengan Andhika.

“Nanti malam, Pak Andhika akan menjemputku. Dia akan mengenalkan aku dengan orang tuanya. Kebetulan nanti malam ada acara di sana.”

Widya menganggukkan kepalanya, dan melanjutkan kembali sarapannya. Namun, tiba-tiba dia tertegun kala mengingat sesuatu. Dia lalu kembali menatap Hana.

“Han, kok kamu panggil Pak Andhika dengan sebutan ‘Pak’ sih? Apa nggak aneh kedengarannya nanti kalau di depan orang tuanya?” tanya Widya.

“Ibu juga kenapa memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’?” ucap Hana balas bertanya, yang membuat Widya terkekeh.

“Ya sudah, deh. Biar nggak kaku, kita ganti sebutannya. Ibu akan memanggil dia dengan sebutan ‘Nak’ biar enak kedengarannya. Terserah kalau kamu mau memanggil dia apa.” Widya berkata sambil mengulum senyumnya. Tak menduga kalau dirinya akan memiliki menantu sebentar lagi.

“Aku akan memanggil dia dengan sebutan ‘Mas’ sesuai dengan permintaannya,” sahut Hana kalem.

“Oh, dia sudah minta dipanggil ‘Mas’ sama kamu, ya?”

“Hu’um. Cuma aku tadi sengaja panggil dengan sebutan ‘Pak’ dulu di depan Ibu. Tadi kan aku minta restu dari Ibu. Sekarang sudah direstui, ya aku akan panggil dengan sebutan lain.” Hana tersenyum ketika menatap ibunya yang kini geleng-geleng kepala.

***

Malam ini, Andhika membawa Hana ke rumah orang tuanya. Di sana sedang ada pesta perayaan hari jadi pernikahan orang tua Andhika.

“Ayo, kita ke sana dulu! Aku mau kenalin kamu ke saudara-saudaraku. Di sana ada sepupu dan adikku. Ingat peran kamu sebagai calon istriku!” ucap Andhika yang langsung Hana angguki.

“Iya, aku nggak lupa. Terus panggil dengan sebutan Mas Dhika, iya kan?” sahut Hana dengan memutar bola matanya.

“Kalau sebutan itu harus selalu kamu ingat! Pokoknya kamu harus memanggil aku seperti itu dari sekarang sampai selesai jadi istriku!” tegas Andhika.

“Iyaaa...aku nggak lupa, dan aku ini bukan anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan. Aku tahu, kalau CEO Barata Group adalah seorang yang dominan. Setiap perkataannya selalu menyelipkan kata ‘Harus’ dan ‘pokoknya’. Paham aku!” sahut Hana agak ketus. Dia lalu berjalan anggun meninggalkan Andhika.

Kedua sudut bibir Andhika terangkat membentuk senyuman. Dia lantas berjalan menyusul Hana.

“Aku selalu bilang begitu, karena kamu ini cewek yang keras kepala. Makanya harus aku beri penekanan supaya kamu menurut,” sahut Andhika kalem.

Hana menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Andhika. Begitu juga dengan Andhika, melakukan hal yang sama seperti Hana.

“Keras kepala?”

“Hu’um.”

“Di bagian mana aku yang keras kepala, hah?” tanya Hana ketus.

Andhika tertawa mendengar pertanyaan Hana. “Masak nggak sadar kalau kamu ini cewek yang keras kepala. Untung punya wajah yang cantik. Kalau nggak, sudah ke laut kamu.”

Setelah berkata, Andhika lantas memeluk pinggang Hana dengan mesra. Dia melihat salah seorang sepupunya tengah memperhatikan gerak-gerik dirinya dengan Hana.

“Mulai akting! Ada sepupuku yang melihat ke arah kita,” bisik Andhika.

“Kasih tahu dulu, di mana letak aku yang keras kepala?” ucap Hana balas berbisik.

“Sekarang saja kamu sudah keras kepala. Disuruh akting saja susah!” jawab Andhika ketus.

Hana menghela napas panjang, dan akhirnya menuruti kata-kata Andhika. Mereka lantas melangkah menuju ke tempat di mana saudara-saudara Andhika berkumpul.

“Hai, Bos! Siapa cewek yang kamu bawa ini?” sapa Raditya-sepupu Andhika.

“Dia ini, Hana. Dia calon istriku,” sahut Andhika, yang membuat para sepupu Andhika terkejut mendengar penuturannya. Tak terkecuali Aluna-adik kandung Andhika.

“Oh, ini ya calon kakak iparku? Cantik juga. Tapi, sudah pasti cantik hatinya nggak, Kak?” ucap Aluna sinis. Dia menatap Hana dari atas hingga ke bawah. Dari tatapannya, tampak Aluna kurang suka dengan Hana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status