Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.
“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.
“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.
“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.
Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.
“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.
“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.
“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar kamu pulang, iya?” tanya Widya memastikan.
Hana menganggukkan kepalanya seraya berkata, “Benar, Bu.”
“Hana, tatap wajah Ibu!” titah Widya yang membuat Hana mengangkat wajahnya.
Tatapan ibu dan anak itu pun saling bertemu. Terlihat tatapan penuh selidik terpancar jelas di wajah Widya, yang masih terlihat cantik di usianya yang tak muda lagi.
“Kamu serius mau menikah dengan bos besar itu? Kalian saling cinta atau...karena balas budi?” tebak Widya dengan tatapan tajam pada Hana.
Hana kebingungan untuk menjawabnya. Di satu sisi, dia ingin terus terang pada ibunya. Tapi di sisi lain, dia sudah berjanji pada Andhika untuk menutup rapat-rapat perihal pernikahan kontrak mereka.
“Kok diam? Coba jawab pertanyaan Ibu, Han! Pernikahan bukan untuk dipermainkan lho. Kalau bisa, pernikahan ini hanya sekali seumur hidup. Jangan salah dalam mengambil keputusan. Supaya kamu nggak menyesal nantinya,” ucap Widya.
“I-iya, Bu. Aku dan Pak Andhika saling cinta. Eh, maksudku begini. Pak Andhika diam-diam suka sama aku. Makanya dia bersedia membantu dengan membiayai operasi pada wajahku. Terus aku menerima lamarannya, ketika mengetahui Rama telah berselingkuh,” sahut Hana berbohong. Terpaksa dia membohongi ibunya agar rahasianya aman.
“Terus perasaan kamu sendiri sama dia bagaimana? Kamu jadikan dia sebagai pelarian kamu, begitu?” tanya Widya dengan kening yang berkerut.
“Mungkin dengan pernikahan ini, aku bisa membalas kebaikan Pak Andhika. Mungkin lambat laun aku bisa mencintainya seperti dia mencintai aku, Bu,” sahut Hana yang kembali berbohong demi menjaga rahasianya.
Widya menghela napas panjang dan menatap anaknya dengan tatapan sendu.
“Kamu yakin dengan pernikahan ini, Han? Apa kamu yakin kalau Pak Andhika itu mencintai kamu? Soalnya saat pertama kali Ibu ketemu sama dia ketika mengantar kamu pulang, Ibu lihat kayaknya dia nggak cinta sama kamu,” celetuk Widya yang membuat Hana terkesiap.
Deg.
‘Waduh, naluri ibu memang tajam. Tapi, aku harus tetap dengan kebohonganku tadi. Maaf ya, Bu. Aku sudah berbohong sama ibu. Tapi, ini demi kebaikan bersama,’ ucap Hana dalam hati.
“Pak Andhika memang begitu, Bu. Dia orangnya pendiam soalnya. Suka sama aku saja dalam diam. Tapi, dia mengawasiku di setiap pemotretan,” sahut Hana dengan jantung yang berdegup kencang karena terus membohongi ibunya.
“Ya sudah kalau kamu sudah yakin. Semoga dia lelaki yang baik untuk kamu. Ibu doakan supaya kamu selalu bahagia, Han.” Widya berucap sambil menghela napas panjang. Entah kenapa ada rasa gelisah dalam dirinya ketika mendengar kabar tersebut. Apakah ini sebuah firasat, atau dirinya yang belum rela berpisah dengan Hana? Widya tak bisa menerka. Dia hanya berharap kalau anak sulungnya itu berbahagia hidup bersama dengan Andhika.
“Nanti malam, Pak Andhika akan menjemputku. Dia akan mengenalkan aku dengan orang tuanya. Kebetulan nanti malam ada acara di sana.”
Widya menganggukkan kepalanya, dan melanjutkan kembali sarapannya. Namun, tiba-tiba dia tertegun kala mengingat sesuatu. Dia lalu kembali menatap Hana.
“Han, kok kamu panggil Pak Andhika dengan sebutan ‘Pak’ sih? Apa nggak aneh kedengarannya nanti kalau di depan orang tuanya?” tanya Widya.
“Ibu juga kenapa memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’?” ucap Hana balas bertanya, yang membuat Widya terkekeh.
“Ya sudah, deh. Biar nggak kaku, kita ganti sebutannya. Ibu akan memanggil dia dengan sebutan ‘Nak’ biar enak kedengarannya. Terserah kalau kamu mau memanggil dia apa.” Widya berkata sambil mengulum senyumnya. Tak menduga kalau dirinya akan memiliki menantu sebentar lagi.
“Aku akan memanggil dia dengan sebutan ‘Mas’ sesuai dengan permintaannya,” sahut Hana kalem.
“Oh, dia sudah minta dipanggil ‘Mas’ sama kamu, ya?”
“Hu’um. Cuma aku tadi sengaja panggil dengan sebutan ‘Pak’ dulu di depan Ibu. Tadi kan aku minta restu dari Ibu. Sekarang sudah direstui, ya aku akan panggil dengan sebutan lain.” Hana tersenyum ketika menatap ibunya yang kini geleng-geleng kepala.
***
Malam ini, Andhika membawa Hana ke rumah orang tuanya. Di sana sedang ada pesta perayaan hari jadi pernikahan orang tua Andhika.
“Ayo, kita ke sana dulu! Aku mau kenalin kamu ke saudara-saudaraku. Di sana ada sepupu dan adikku. Ingat peran kamu sebagai calon istriku!” ucap Andhika yang langsung Hana angguki.
“Iya, aku nggak lupa. Terus panggil dengan sebutan Mas Dhika, iya kan?” sahut Hana dengan memutar bola matanya.
“Kalau sebutan itu harus selalu kamu ingat! Pokoknya kamu harus memanggil aku seperti itu dari sekarang sampai selesai jadi istriku!” tegas Andhika.
“Iyaaa...aku nggak lupa, dan aku ini bukan anak kecil lagi yang harus selalu diingatkan. Aku tahu, kalau CEO Barata Group adalah seorang yang dominan. Setiap perkataannya selalu menyelipkan kata ‘Harus’ dan ‘pokoknya’. Paham aku!” sahut Hana agak ketus. Dia lalu berjalan anggun meninggalkan Andhika.
Kedua sudut bibir Andhika terangkat membentuk senyuman. Dia lantas berjalan menyusul Hana.
“Aku selalu bilang begitu, karena kamu ini cewek yang keras kepala. Makanya harus aku beri penekanan supaya kamu menurut,” sahut Andhika kalem.
Hana menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Andhika. Begitu juga dengan Andhika, melakukan hal yang sama seperti Hana.
“Keras kepala?”
“Hu’um.”
“Di bagian mana aku yang keras kepala, hah?” tanya Hana ketus.
Andhika tertawa mendengar pertanyaan Hana. “Masak nggak sadar kalau kamu ini cewek yang keras kepala. Untung punya wajah yang cantik. Kalau nggak, sudah ke laut kamu.”
Setelah berkata, Andhika lantas memeluk pinggang Hana dengan mesra. Dia melihat salah seorang sepupunya tengah memperhatikan gerak-gerik dirinya dengan Hana.
“Mulai akting! Ada sepupuku yang melihat ke arah kita,” bisik Andhika.
“Kasih tahu dulu, di mana letak aku yang keras kepala?” ucap Hana balas berbisik.
“Sekarang saja kamu sudah keras kepala. Disuruh akting saja susah!” jawab Andhika ketus.
Hana menghela napas panjang, dan akhirnya menuruti kata-kata Andhika. Mereka lantas melangkah menuju ke tempat di mana saudara-saudara Andhika berkumpul.
“Hai, Bos! Siapa cewek yang kamu bawa ini?” sapa Raditya-sepupu Andhika.
“Dia ini, Hana. Dia calon istriku,” sahut Andhika, yang membuat para sepupu Andhika terkejut mendengar penuturannya. Tak terkecuali Aluna-adik kandung Andhika.
“Oh, ini ya calon kakak iparku? Cantik juga. Tapi, sudah pasti cantik hatinya nggak, Kak?” ucap Aluna sinis. Dia menatap Hana dari atas hingga ke bawah. Dari tatapannya, tampak Aluna kurang suka dengan Hana.
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
“Orang tua saya sudah setuju. Semalam juga sudah berkenalan dengan Hana. Hanya saja karena saya mendadak ada urusan bisnis ke Singapura dalam beberapa hari ke depan, maka pernikahan ini saya percepat, Bu. Saya rencananya akan membawa Hana ke sana. Jadi kalau sudah menikah, nggak akan masalah kalau kami pergi bersama. Karena mendadak inilah orang tua saya nggak bisa ikut kemari, tapi restu sudah diberikan kok. Nanti mereka akan datang saat kami melangsungkan akad nikah,” sahut Andhika yang membuat Widya tertegun. Begitu juga dengan Hana dan Mutia.“Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan akad nikah tiga hari lagi. Maaf untuk saat ini saya belum bisa memberikan pesta pernikahan untuk Hana. Tapi, suatu saat saya akan mengadakan resepsinya. Oh iya, asisten saya juga sudah mencarikan katering untuk acara akad nikah nanti. Jadi Ibu nggak usah repot lagi mengenai konsumsi. Semua sudah beres. Sekarang saya hanya minta data pribadi Hana untuk kelengkapan administrasi pernikahan k
Andhika berjalan mendekati sang adik yang berdiri di jarak lima langkah darinya.“Kamu serius, Lun?” tanya Andhika ketika sudah berada di hadapan adiknya.“Iya, aku serius. Aku nggak mau Kak Dhika malu karena nggak ada keluarga yang mendampingi,” sahut Aluna yang membuat Andhika tersenyum.“Terima kasih. Ternyata adikku ini pengertian juga pada kakaknya,” sahut Andhika. Dia lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Pa, Ma, sekali lagi aku ijin untuk menikah. Aku nggak memaksa kalau kalian nggak mau datang. Kehadiran Aluna sudah cukup mewakili keluarga.”“Iya, Papa restui kamu. Papa minta maaf kalau nggak bisa hadir. Papa menjaga agar penyakit jantung mama kamu nggak kumat. Tolong dipahami ya, Dhika,” ucap Aryo.“Iya, Pa. Terima kasih atas restunya.” Andhika lalu memeluk papanya dengan erat. Dia kemudian melirik ke arah sang mama yang kini tengah menekuk wajahnya.Setelah beberapa detik memeluk sang papa, Andhika melonggarkan pelukannya di tubuh Aryo dan mengalihkan tatapann
Andhika membuka pintu kamar dan dia tercekat serta menelan saliva ketika melihat Hana, wanita yang tadi pagi resmi menjadi istrinya tengah berganti pakaian. Matanya tak berkedip, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman. Seketika dia menyesali perjanjian yang dia buat bersama Hana, kalau dirinya tak akan menyentuh Hana meskipun wanita itu sudah resmi menjadi istrinya.‘Ah, kenapa aku tak pikir panjang sebelum menyetujui permintaan Hana agar aku tak menyentuhnya? Sangat mubazir rasanya melewatkan begitu saja tubuh Hana yang seksi. Padahal dia sudah halal untukku, tapi tak bisa aku raih dan sentuh. Andhika, kamu sungguh ceroboh. Andaikan kamu tak menyetujui permintaan Hana, tentu sekarang sudah bisa menikmati tubuh seksi itu. Ah, Andhika bodoh sekali kamu ini,’ rutuk Andhika dalam hati.Raut penyesalan terpancar jelas di wajah Andhika yang masih terpaku di ambang pintu kamar.Hana masih tak menyadari kehadiran suaminya di ambang pintu. Dia masih sibuk mengganti pakaiannya dengan piama. D
“Mas,” ucap Hana lirih yang ketakutan saat wajah Andhika semakin mendekat ke wajahnya. Bahkan kini dahi mereka sudah menempel satu sama lain. Bahkan wajah Hana memanas terkena hembusan napas Andhika yang memburu. “Ingat perjanjian itu, mencium sama saja menyentuh.”Andhika menatap wajah cantik sang istri yang putih bersih. Naluri lelakinya berontak.“Aku lelaki normal, Han. Kini kita berdua sudah resmi sebagai pasangan suami istri. Aku ingin menuntut hakku sebagai seorang suami. Apa itu salah? Walaupun hanya mencium, apa salah?” ucap Andhika dengan mata yang terpejam. Menahan desakan yang begitu menyiksa. Menormalkan hormonnya yang kini menggila.“Tapi, kita sudah terikat suatu perjanjian, Mas.” Hana kembali berkata lirih. Kali ini dia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang bergetar karena takut diterkam suaminya, yang sudah diliputi gairah.“Bagaimana...bagaimana kalau kita revisi perjanjiannya, Han,” bisik Andhika lagi.“Hah?! Direvisi?” tanya Hana bingung.“Iya, direvisi sebagi
Andhika menghela napas panjang dan menatap Hana dengan frustrasi. Dia lalu berguling ke samping tubuh sang istri yang menatapnya dengan lugu. Tak lama, Hana bangkit dari posisi rebahan dan meraih piamanya yang teronggok di lantai, lalu memakainya kembali. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Sedangkan Andhika menjambak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. “Sial benar ini. Baru akan mulai, ada saja halangannya,” umpat Andhika dengan nada frustrasi. Dia lalu meraih pakaian tidurnya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali. Sementara itu di kamar mandi, Hana tertawa kecil. Dia mengingat ekspresi suaminya tadi, yang awalnya tampil laksana ksatria yang siap berperang. Namun, dalam sekejap berubah seperti prajurit yang kalah perang, ketika bercak merah menginterupsi aktivitas panas mereka. Senyum Hana masih menghiasi wajah cantiknya, ketika dirinya sudah rapi dan kembali melangkah ke tempat tidur. Di sana, Andhika sedang menonton tayangan TV dari atas tempat tidur. Hana pun be
Perubahan wajah Andhika terbaca jelas di mata Hana. Membuat wanita muda itu merasa tak enak hati, telah membuka luka lama pria yang kini berstatus suaminya. “M-maaf, kalau Mas keberatan menjelaskan padaku, nggak apa-apa. Aluna sudah menceritakan sekilas tadi. Jadi lupakan kata-kataku tadi. Anggap saja kalau aku nggak pernah berkata begitu. Aku mau tidur sekarang.” Hana lalu merebahkan tubuhnya dan mengambil posisi memunggungi Andhika. Andhika menatap punggung Hana dengan resah. Malam pertama yang sudah kacau gara-gara Hana kedatangan tamu bulanan, kini semakin kacau gara-gara sang istri yang ingin tahu tentang masa lalunya. Walaupun kesal, tapi Andhika berusaha menurunkan egonya. Dikesampingkan rasa gengsi yang selama ini melekat di dirinya. Dia ingin mengobati luka dihatinya dengan mencoba menerima Hana sebagai istri seutuhnya. Meskipun ada perjanjian yang mengikat mereka, bisa saja Andhika membatalkannya apabila ada getaran cinta di antara mereka berdua nantinya. Oleh karena itu, A