Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.
“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.
Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.
“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.
“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.
“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba di rumahnya,” cetus Andhika serius.
Hana tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. Dia lalu melanjutkan kembali makan malamnya.
Selesai makan malam, mereka langsung meninggalkan ruang privat dan melangkah menuju depan pintu masuk restoran. Andhika meminta petugas valet restoran itu untuk mengambilkan mobilnya. Tak lama, mobil Andhika pun tiba di depan pintu masuk restoran tersebut.
Andhika membuka pintu penumpang untuk Hana. “Masuk, Han!”
Setelah Hana masuk ke dalam mobil, Andhika memutari mobil dan masuk melalui pintu kemudi. Selanjutnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan halaman restoran menuju ke jalan raya.
“Alamat rumah kamu di mana, Han?” tanya Andhika ketika mobil sedang melaju dengan kecepatan rendah, karena mulai terjebak kemacetan ibukota. Dia menoleh ke samping untuk melihat lawan bicaranya.
“Saya akan arahkan, Pak. Pokoknya Bapak arahkan mobil ke kawasan Pasar Minggu saja. Nanti saya akan arahkan ke alamat rumah saya,” sahut Hana kalem.
“Ok.” Andhika lalu kembali menatap ke arah depan, fokus ke jalan raya. Setelah beberapa menit saling diam, Andhika kembali membuka suaranya. “Oh ya, omong-omong kuliah kamu bagaimana? Apa nggak terganggu dengan pekerjaan kamu sebagai seorang fotomodel?”
“Kebetulan saat saya mulai bekerja sebagai seorang fotomodel, sudah di semester akhir. Saya hanya tinggal menyelesaikan skripsi saya. Alhamdulillah, skripsinya sudah selesai dan sudah disetujui sama dosen pembimbing. Jadi tinggal menjalani sidang skripsi saja, Pak. Setelah itu, saya tinggal membiayai sekolah adik saya saja. Dia sudah kelas tiga SMA. Tahun depan mulai kuliah. Makanya saya panik saat wajah saya terluka. Wajah saya kan aset berharga. Sumber saya mencari rizki. Tabungan memang ada, Pak. Tapi, yang saya alami ini kan karena kecelakaan kerja. Jadi pihak Barata Group juga harus ikut bertanggung jawab. Makanya saya melalui Mbak Mutia, bersikeras minta ganti rugi untuk memulihkan wajah saya ini,” papar Hana, yang membuat Andhika tersenyum.
“Ya sudah, sekarang kan saya sudah transfer uang ke rekening kamu. Jadi selesaikan masalahnya. Mulai besok, kamu buat janji sama dokter untuk jadwal operasinya. Saya ingin segera mengenalkan kamu pada kedua orang tuaku,” sahut Andhika.
“Secepat itu, Pak?” tanya Hana. Dia menatap Andhika dengan kening yang berkerut.
“Iyalah, Han. Masalah kamu sudah selesai. Saya ingin masalah saya cepat selesai juga. Jadi kalau wajah kamu sudah mulus lagi, secepatnya kita menikah. Tentunya sebelum menikah, kamu kenalan dulu dengan calon mertua kamu,” sahut Andhika dengan senyuman.
“Memang apa sih masalahnya Pak Andhika? Saya boleh tahu nggak?” tanya Hana yang mulai kepo.
“Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Oh ya, mulai sekarang kita panggilnya dengan sebutan aku, ya. Biar kelihatan akrab. Kalau dengan sebutan saya, kesannya jadi formal banget gitu. Terus kamu panggil saya jangan dengan sebutan Pak lagi. Tapi, panggil saya dengan sebutan Mas, gimana?” sahut Andhika.
Hana terkesiap dengan penuturan Andhika barusan. Memanggil dengan sebutan aku, nggak masalah untuknya. Tapi, untuk menyebut dengan sebutan Mas, lidahnya terasa kaku.
“Kok diam sih?” tanya Adhika setelah Hana terdiam cukup lama.
“Eh, i-iya.” Hana mengangguk dan tersenyum canggung menatap Andhika.
“Iya apa, Han?” tanya Andhika dengan senyum yang dikulum.
“Iya, Mas.”
“Nah, begitu dong. Enak kan kedengarannya. Masak panggil calon suaminya dengan sebutan Pak,” celetuk Andhika dengan senyum semringah menghiasi wajah tampannya.
***
Satu bulan kemudian.
Wajah Hana sudah kembali pulih. Bengkak di wajahnya sebagai akibat dari operasi yang dia jalani, sudah tak tampak lagi. Dia juga sudah bisa memakai make up seperti biasanya. Seperti pesan Andhika, bahwa dirinya harus mengirimkan foto wajahnya. Agar pria itu tahu perkembangan hasil operasi yang telah Hana jalani. Dia lalu memotret wajahnya. Ini adalah foto ke sekian kalinya yang Hana sendiri lupa, telah berapa banyak foto yang dia kirim pada Andhika. Tapi, yang jelas saat ini pria yang katanya menjadi calon suaminya itu, memberikan respons yang membuat Hana terkesima. Andhika langsung menelepon Hana sesaat setelah foto terkirim.
“Halo,” sapa Hana.
“Halo, Han. Hasilnya sudah bagus itu. Malam ini, aku akan mengajak kamu ke rumah orang tuaku. Kebetulan di sana sedang ada acara. Jadi sekalian aku kenalin kamu pada saudara-saudaraku yang pastinya hadir di acara itu. Kita akan berperan menjadi sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Jadi kamu jangan keberatan ya kalau nanti aku selalu peluk pinggang kamu, atau aku kecup punggung tangan kamu. Biar kelihatan mesra gitu, Han. Pokoknya nanti jangan ada penolakan dari kamu, yang bisa bikin keluargaku curiga,” ucap Andhika ketika dia menelepon Hana, setelah menerima kiriman foto terakhir wajah Hana yang cantik jelita.
Hana tertegun mendengar penuturan Andhika barusan. Dia menghela napas seraya berkata, “Sepasang kekasih yang di mabuk cinta? Hm, jangan modus kamu ya, Mas Dhika. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Awas saja nanti kalau kamu ternyata mau ambil kesempatan.”
“Apa, Han? Mas Dhika? Enak juga kedengarannya. Nah, begitu ya. Nanti kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika. Mulai sekarang dan sampai kamu jadi istriku.” Andhika berkata dengan nada ceria, berbeda dari biasanya yang datar dan dingin.
“Eh, aku tadi keceplosan rupanya,” sahut Hana yang tak terasa kalau saat ini wajahnya mulai merona.
“Ah, nggak usah alasan deh. Pokoknya jangan diubah lagi! Sudah cocok itu, Han. Aku suka kalau kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika! Pokoknya yang aku suka, kamu harus turuti! Jangan membantah, ok!” tegas Andhika, yang membuat Hana terpaku di tempatnya.
‘Dasar cowok egois! Untung cuma satu tahun jadi istrinya. Jadi sabar saja deh hadapi dia yang nge-bosi banget. Ngomongnya selalu dengan menyebut kata ‘pokoknya’ yang mencerminkan kalau dirinya memang orang yang egois. Menyebalkan sekali, huh!’ ucap Hana dalam hati.
Kini Hana sedang duduk berhadapan dengan ibunya. Dia harus mengatakan kalau dirinya akan menikah dengan Andhika. Walaupun alasan dia menikah dengan pria itu tetap menjadi rahasianya, tapi ibunya berhak tahu perihal pernikahannya ini. Suka atau tidak suka, Hana sudah menyetujui menjalani pernikahan kontrak ini dengan Andhika.“Bu, ada yang mau aku bicarakan,” ucap Hana ketika dirinya sudah menyelesaikan sarapannya.“Ngomong saja, Han,” sahut Widya-ibunda Hana.“Aku...aku mau menikah, Bu.” Hana berkata sambil menundukkan wajahnya, tak sanggup menatap wajah sang ibu.Widya yang sedang menikmati nasi goreng, seketika meletakkan sendok di atas piring.“Mau menikah? Dengan siapa? Katanya, kamu sudah putus sama Rama,” ucap Widya. Dia menatap lekat wajah cantik anaknya yang sudah mulus kembali.“De-dengan Pak Andhika, Bu. CEO Barata Group yang sudah membantu aku menjalani operasi pada wajahku,” sahut Hana dengan suara perlahan.“Apa?! Kamu mau menikah dengan lelaki yang waktu itu mengantar ka
Hana yang ditatap sedemikian rupa menjadi jengah.“Ya pasti cantik hatinya juga dong. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Sekarang aku mau menemui mama dan papa dulu. Mau ucapin selamat pada mereka,” sahut Andhika. Dia lalu membawa Hana ke tempat orang tuanya, yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.Andhika menunggu hingga tamu undangan berlalu dari hadapan orang tuanya. Di saat menunggu itulah, Hana memberanikan diri untuk bertanya pada Andhika tentang sikap Aluna.“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Hana.“Boleh. Mau tanya apa?” sahut Andhika balas berbisik.“Mengenai adik kamu, Aluna.”“Kenapa dia?”Andhika mengerutkan kening ketika mendengar penuturan Hana. Dia lalu membawa Hana melangkah menjauhi tempat itu, agar pembicaraan mereka tak ada yang mendengar. Andhika membawa Hana menuju meja prasmanan.“Kita makan sambil bicara saja, ya. Biar enak. Ayo, ambil makanannya!” ucap Andhika. Dia lalu meraih piring dan diserahkannya pada Hana. Setelah itu, dia ambil sa
Lestari yang kesal karena diabaikan oleh anak sulungnya, tak tinggal diam. Dia berjalan cepat menyusul Andhika. Hingga berhasil meraih lengan anaknya.“Kamu dengarkan kata-kata Mama, Dhika! Jangan pergi begitu saja!” sentak Lestari dengan tatapan tajam pada Andhika.“Iya, aku dengar. Mama nggak setuju kan kalau aku menikah dengan Hana.”“Mama mau kamu turuti kata-kata Mama untuk menikah dengan Tania, titik!” ucap Lestari yang membuat Andhika menghela napas panjang.“Aku kan sudah menolak sebelumnya, Ma. Jadi jangan paksa aku dong untuk menikah dengan Tania. Tolong Mama mengerti aku, ya. Aku sudah punya calon istri sekarang. Jadi hentikan usaha Mama untuk menjodohkan aku dengan Tania, ok.” Andhika berkata lembut untuk meredakan amarah sang mama. Selanjutnya, dia menarik lengannya dengan perlahan dan berlalu dari hadapan Lestari.Lestari hanya bisa memandang punggung anaknya yang menjauh dengan tatapan sendu.“Maaf, kamu jadi sendirian di sini. Tadi ada yang aku omongin sama mama soalny
“Orang tua saya sudah setuju. Semalam juga sudah berkenalan dengan Hana. Hanya saja karena saya mendadak ada urusan bisnis ke Singapura dalam beberapa hari ke depan, maka pernikahan ini saya percepat, Bu. Saya rencananya akan membawa Hana ke sana. Jadi kalau sudah menikah, nggak akan masalah kalau kami pergi bersama. Karena mendadak inilah orang tua saya nggak bisa ikut kemari, tapi restu sudah diberikan kok. Nanti mereka akan datang saat kami melangsungkan akad nikah,” sahut Andhika yang membuat Widya tertegun. Begitu juga dengan Hana dan Mutia.“Kami sudah mempersiapkan semuanya untuk melangsungkan akad nikah tiga hari lagi. Maaf untuk saat ini saya belum bisa memberikan pesta pernikahan untuk Hana. Tapi, suatu saat saya akan mengadakan resepsinya. Oh iya, asisten saya juga sudah mencarikan katering untuk acara akad nikah nanti. Jadi Ibu nggak usah repot lagi mengenai konsumsi. Semua sudah beres. Sekarang saya hanya minta data pribadi Hana untuk kelengkapan administrasi pernikahan k
Andhika berjalan mendekati sang adik yang berdiri di jarak lima langkah darinya.“Kamu serius, Lun?” tanya Andhika ketika sudah berada di hadapan adiknya.“Iya, aku serius. Aku nggak mau Kak Dhika malu karena nggak ada keluarga yang mendampingi,” sahut Aluna yang membuat Andhika tersenyum.“Terima kasih. Ternyata adikku ini pengertian juga pada kakaknya,” sahut Andhika. Dia lalu menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Pa, Ma, sekali lagi aku ijin untuk menikah. Aku nggak memaksa kalau kalian nggak mau datang. Kehadiran Aluna sudah cukup mewakili keluarga.”“Iya, Papa restui kamu. Papa minta maaf kalau nggak bisa hadir. Papa menjaga agar penyakit jantung mama kamu nggak kumat. Tolong dipahami ya, Dhika,” ucap Aryo.“Iya, Pa. Terima kasih atas restunya.” Andhika lalu memeluk papanya dengan erat. Dia kemudian melirik ke arah sang mama yang kini tengah menekuk wajahnya.Setelah beberapa detik memeluk sang papa, Andhika melonggarkan pelukannya di tubuh Aryo dan mengalihkan tatapann
Andhika membuka pintu kamar dan dia tercekat serta menelan saliva ketika melihat Hana, wanita yang tadi pagi resmi menjadi istrinya tengah berganti pakaian. Matanya tak berkedip, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman. Seketika dia menyesali perjanjian yang dia buat bersama Hana, kalau dirinya tak akan menyentuh Hana meskipun wanita itu sudah resmi menjadi istrinya.‘Ah, kenapa aku tak pikir panjang sebelum menyetujui permintaan Hana agar aku tak menyentuhnya? Sangat mubazir rasanya melewatkan begitu saja tubuh Hana yang seksi. Padahal dia sudah halal untukku, tapi tak bisa aku raih dan sentuh. Andhika, kamu sungguh ceroboh. Andaikan kamu tak menyetujui permintaan Hana, tentu sekarang sudah bisa menikmati tubuh seksi itu. Ah, Andhika bodoh sekali kamu ini,’ rutuk Andhika dalam hati.Raut penyesalan terpancar jelas di wajah Andhika yang masih terpaku di ambang pintu kamar.Hana masih tak menyadari kehadiran suaminya di ambang pintu. Dia masih sibuk mengganti pakaiannya dengan piama. D
“Mas,” ucap Hana lirih yang ketakutan saat wajah Andhika semakin mendekat ke wajahnya. Bahkan kini dahi mereka sudah menempel satu sama lain. Bahkan wajah Hana memanas terkena hembusan napas Andhika yang memburu. “Ingat perjanjian itu, mencium sama saja menyentuh.”Andhika menatap wajah cantik sang istri yang putih bersih. Naluri lelakinya berontak.“Aku lelaki normal, Han. Kini kita berdua sudah resmi sebagai pasangan suami istri. Aku ingin menuntut hakku sebagai seorang suami. Apa itu salah? Walaupun hanya mencium, apa salah?” ucap Andhika dengan mata yang terpejam. Menahan desakan yang begitu menyiksa. Menormalkan hormonnya yang kini menggila.“Tapi, kita sudah terikat suatu perjanjian, Mas.” Hana kembali berkata lirih. Kali ini dia menggigit bibir bawahnya dengan tubuh yang bergetar karena takut diterkam suaminya, yang sudah diliputi gairah.“Bagaimana...bagaimana kalau kita revisi perjanjiannya, Han,” bisik Andhika lagi.“Hah?! Direvisi?” tanya Hana bingung.“Iya, direvisi sebagi
Andhika menghela napas panjang dan menatap Hana dengan frustrasi. Dia lalu berguling ke samping tubuh sang istri yang menatapnya dengan lugu. Tak lama, Hana bangkit dari posisi rebahan dan meraih piamanya yang teronggok di lantai, lalu memakainya kembali. Kemudian melangkah ke kamar mandi. Sedangkan Andhika menjambak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. “Sial benar ini. Baru akan mulai, ada saja halangannya,” umpat Andhika dengan nada frustrasi. Dia lalu meraih pakaian tidurnya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali. Sementara itu di kamar mandi, Hana tertawa kecil. Dia mengingat ekspresi suaminya tadi, yang awalnya tampil laksana ksatria yang siap berperang. Namun, dalam sekejap berubah seperti prajurit yang kalah perang, ketika bercak merah menginterupsi aktivitas panas mereka. Senyum Hana masih menghiasi wajah cantiknya, ketika dirinya sudah rapi dan kembali melangkah ke tempat tidur. Di sana, Andhika sedang menonton tayangan TV dari atas tempat tidur. Hana pun be