Share

6. Sepasang Kekasih?

Setelah ada kata sepakat, mereka melanjutkan menikmati hidangan makan malam. Tak ada perbincangan selama mereka makan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Kamu tadi kemari sendiri kan, Han?” tanya Andhika memecah keheningan di antara mereka.

“Iya, sesuai dengan kesepakatan kalau perjanjian nikah sementara ini nggak boleh ada yang tahu. Pokoknya nanti kalau kita pisah, alasan kita karena nggak ada kecocokan saja, dan seringnya ada pertengkaran di rumah,” sahut Hana kalem.

Andhika pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia senang karena ternyata Hana bisa menepati janjinya.

“Bawa mobil kemari?” tanya Andhika lagi.

“Nggak. Saya malas bawa mobil. Soalnya jalanan yang selalu macet. Enakan naik taksi, tinggal duduk manis saja. Nggak perlu pusing mikir cari celah di jalanan yang macet,” sahut Hana dengan senyuman.

“Oh ok. Kalau begitu nanti kamu pulangnya saya antar. Sekarang ini kan kamu adalah calon istri saya. Jadi saya harus pastikan kalau calon istri saya, akan aman tiba di rumahnya,” cetus Andhika serius.

Hana tersenyum dan mengangkat kedua bahunya. Dia lalu melanjutkan kembali makan malamnya.

Selesai makan malam, mereka langsung meninggalkan ruang privat dan melangkah menuju depan pintu masuk restoran. Andhika meminta petugas valet restoran itu untuk mengambilkan mobilnya. Tak lama, mobil Andhika pun tiba di depan pintu masuk restoran tersebut.

Andhika membuka pintu penumpang untuk Hana. “Masuk, Han!”

Setelah Hana masuk ke dalam mobil, Andhika memutari mobil dan masuk melalui pintu kemudi. Selanjutnya, dia melajukan mobilnya meninggalkan halaman restoran menuju ke jalan raya.

“Alamat rumah kamu di mana, Han?” tanya Andhika ketika mobil sedang melaju dengan kecepatan rendah, karena mulai terjebak kemacetan ibukota. Dia menoleh ke samping untuk melihat lawan bicaranya.

“Saya akan arahkan, Pak. Pokoknya Bapak arahkan mobil ke kawasan Pasar Minggu saja. Nanti saya akan arahkan ke alamat rumah saya,” sahut Hana kalem.

“Ok.” Andhika lalu kembali menatap ke arah depan, fokus ke jalan raya. Setelah beberapa menit saling diam, Andhika kembali membuka suaranya. “Oh ya, omong-omong kuliah kamu bagaimana? Apa nggak terganggu dengan pekerjaan kamu sebagai seorang fotomodel?”

“Kebetulan saat saya mulai bekerja sebagai seorang fotomodel, sudah di semester akhir. Saya hanya tinggal menyelesaikan skripsi saya. Alhamdulillah, skripsinya sudah selesai dan sudah disetujui sama dosen pembimbing. Jadi tinggal menjalani sidang skripsi saja, Pak. Setelah itu, saya tinggal membiayai sekolah adik saya saja. Dia sudah kelas tiga SMA. Tahun depan mulai kuliah. Makanya saya panik saat wajah saya terluka. Wajah saya kan aset berharga. Sumber saya mencari rizki. Tabungan memang ada, Pak. Tapi, yang saya alami ini kan karena kecelakaan kerja. Jadi pihak Barata Group juga harus ikut bertanggung jawab. Makanya saya melalui Mbak Mutia, bersikeras minta ganti rugi untuk memulihkan wajah saya ini,” papar Hana, yang membuat Andhika tersenyum.

“Ya sudah, sekarang kan saya sudah transfer uang ke rekening kamu. Jadi selesaikan masalahnya. Mulai besok, kamu buat janji sama dokter untuk jadwal operasinya. Saya ingin segera mengenalkan kamu pada kedua orang tuaku,” sahut Andhika.

“Secepat itu, Pak?” tanya Hana. Dia menatap Andhika dengan kening yang berkerut.

“Iyalah, Han. Masalah kamu sudah selesai. Saya ingin masalah saya cepat selesai juga. Jadi kalau wajah kamu sudah mulus lagi, secepatnya kita menikah. Tentunya sebelum menikah, kamu kenalan dulu dengan calon mertua kamu,” sahut Andhika dengan senyuman.

“Memang apa sih masalahnya Pak Andhika? Saya boleh tahu nggak?” tanya Hana yang mulai kepo.

“Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Oh ya, mulai sekarang kita panggilnya dengan sebutan aku, ya. Biar kelihatan akrab. Kalau dengan sebutan saya, kesannya jadi formal banget gitu. Terus kamu panggil saya jangan dengan sebutan Pak lagi. Tapi, panggil saya dengan sebutan Mas, gimana?” sahut Andhika.

Hana terkesiap dengan penuturan Andhika barusan. Memanggil dengan sebutan aku, nggak masalah untuknya. Tapi, untuk menyebut dengan sebutan Mas, lidahnya terasa kaku.

“Kok diam sih?” tanya Adhika setelah Hana terdiam cukup lama.

“Eh, i-iya.” Hana mengangguk dan tersenyum canggung menatap Andhika.

“Iya apa, Han?” tanya Andhika dengan senyum yang dikulum.

“Iya, Mas.”

“Nah, begitu dong. Enak kan kedengarannya. Masak panggil calon suaminya dengan sebutan Pak,” celetuk Andhika dengan senyum semringah menghiasi wajah tampannya.

***

Satu bulan kemudian.

Wajah Hana sudah kembali pulih. Bengkak di wajahnya sebagai akibat dari operasi yang dia jalani, sudah tak tampak lagi. Dia juga sudah bisa memakai make up seperti biasanya. Seperti pesan Andhika, bahwa dirinya harus mengirimkan foto wajahnya. Agar pria itu tahu perkembangan hasil operasi yang telah Hana jalani. Dia lalu memotret wajahnya. Ini adalah foto ke sekian kalinya yang Hana sendiri lupa, telah berapa banyak foto yang dia kirim pada Andhika. Tapi, yang jelas saat ini pria yang katanya menjadi calon suaminya itu, memberikan respons yang membuat Hana terkesima. Andhika langsung menelepon Hana sesaat setelah foto terkirim.

“Halo,” sapa Hana.

“Halo, Han. Hasilnya sudah bagus itu. Malam ini, aku akan mengajak kamu ke rumah orang tuaku. Kebetulan di sana sedang ada acara. Jadi sekalian aku kenalin kamu pada saudara-saudaraku yang pastinya hadir di acara itu. Kita akan berperan menjadi sepasang kekasih yang sedang di mabuk cinta. Jadi kamu jangan keberatan ya kalau nanti aku selalu peluk pinggang kamu, atau aku kecup punggung tangan kamu. Biar kelihatan mesra gitu, Han. Pokoknya nanti jangan ada penolakan dari kamu, yang bisa bikin keluargaku curiga,” ucap Andhika ketika dia menelepon Hana, setelah menerima kiriman foto terakhir wajah Hana yang cantik jelita.

Hana tertegun mendengar penuturan Andhika barusan. Dia menghela napas seraya berkata, “Sepasang kekasih yang di mabuk cinta? Hm, jangan modus kamu ya, Mas Dhika. Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Awas saja nanti kalau kamu ternyata mau ambil kesempatan.”

“Apa, Han? Mas Dhika? Enak juga kedengarannya. Nah, begitu ya. Nanti kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika. Mulai sekarang dan sampai kamu jadi istriku.” Andhika berkata dengan nada ceria, berbeda dari biasanya yang datar dan dingin.

“Eh, aku tadi keceplosan rupanya,” sahut Hana yang tak terasa kalau saat ini wajahnya mulai merona.

“Ah, nggak usah alasan deh. Pokoknya jangan diubah lagi! Sudah cocok itu, Han. Aku suka kalau kamu panggil aku dengan sebutan Mas Dhika! Pokoknya yang aku suka, kamu harus turuti! Jangan membantah, ok!” tegas Andhika, yang membuat Hana terpaku di tempatnya.

‘Dasar cowok egois! Untung cuma satu tahun jadi istrinya. Jadi sabar saja deh hadapi dia yang nge-bosi banget. Ngomongnya selalu dengan menyebut kata ‘pokoknya’ yang mencerminkan kalau dirinya memang orang yang egois. Menyebalkan sekali, huh!’ ucap Hana dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status