Aku tak mungkin salah mengenali, sosok yang berdiri di samping Jeni benar benar Kania.Haruskah aku bertanya pada Bu Maryam, apa hubungan mereka berdua, dan dimana Jeni sekarang berada?**Kupandangi wajah itu berulang kali, memastikan jika penglihatanku tidak salah, aku tak menyangka jika Kania dan Jeni ternyata saling mengenal.Kebetulan kah ini?Bu Maryam masih menceritakan kilas balik saat Jeni kuliah. Entah mengapa, ada getar kesedihan yang kutangkap saat ia bercerita.Aku dan Mas Reyhan, tak menyela sepatah kata pun ketika Bu Maryam bercerita, kulirik Mas Reyhan menatap sendu ibunya, lalu mengenggam tangan ibunya."Ma, mama tak apa apa?"Kulihat, mata Bu Maryam berkaca kaca, membuatku merasa bersalah, Karena lancang telah membuatnya menceritakan sesuatu yang mengiris hatinya, sesuatu yang ingin dilupakannya."Maaf Bu, saya tidak bermaksud ...""Tidak apa apa, bukan salah nak Alina, saya hanya teringat saja," cepat, Bu Maryam me
"Apa yang terjadi pada Jeni setelah pengkhianatan Kania terbongkar, apakah Kania yang menjadi penyebab Kematiannya. Entahlah, yang jelas aku tetap akan meminta Mas Reyhan untuk melanjutkan ceritanya padaku. Rasa penasaran ini harus kupuaskan.**"Maaf mbak, aku jadi merepotkan," lirih Desi terisak."Tak apa apa, aku justru mengkhawatirkan kandunganmu, mbak.""Tak apa apa," jawabnya.Aku memintanya untuk berbaring dikamarku. Aku tahu saat ini yang dibutuhkannya adalah berpikir jernih. Kutinggalkan ia sebentar karena kudengar langkah kaki di teras depan.Beberapa warga bergerombol, melihat Syarief yang masih mengoceh dan memaki Mas Reyhan karena ikut campur dalam urusannya, membuat salah seorang warga kesal hingga memukulnya."Dinginkan dulu kepalamu, baru mulutmu itu boleh memaki lagi. Dasar pemabuk. Kau tak tahu siapa Mas Reyhan.""Sudah Mas, usir saja orang ini dari sini, bikin malu saja.""Laki laki beraninya mukulin istri, dasar
Sehari sebelum akad nikah.PoV Kania.Kupandangi kebaya pengantinku. Yang tergantung di sebelah meja rias ini. Kebaya yang didesain oleh seorang perancang busana favorit selebriti itu terlihat sangat memukau. Kebaya dengan kilauan permata Swarovski di bagian dadanya ini, benar benar terlihat mewah dan elegan.Aku duduk menatap wajahku dicermin. Suara suara sumbang yang mengutukku itu sebentar lagi akan menghilang. Semua kutukan itu tak akan terjadi padaku. Karena esok adalah hari pernikahanku.Sejak kemarin sore aku, mama dan Keysa, sudah berada di hotel ini. Hotel yang terdekat dengan lokasi pernikahanku.Sudah satu jam aku menunggu kabar dari Mas Bayu. Tadi siang, ia memberi kabar padaku dan mengatakan bahwa dirinya bersama beberapa orang kerabat, dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung.Pernikahan kami memang akan digelar di Bandung. Konsep pernikahan outdoor menjadi pilihanku, dan kota Bandung kupilih karena ini adalah kota dimana hampir seluruh
Aku tersenyum puas ketika memandang koperku, persiapan untuk berlibur ke Jogja sudah hampir selesai, tinggal menunggu besok akan berangkat.Seminggu berlalu setelah kejadian yang menimpa Desi. Namun, kisruh rumah tangganya masih sesekali terdengar dibicarakan warga. Sedang suaminya pergi setelah warga mengusir dan memarahinya. Insiden seminggu yang lalu itu, cukup viral, banyak warga yang akhirnya datang ke komplek kontrakan ini sekedar untuk mencari bahan gosip. Mas Reyhan bahkan sempat menegur seorang ibu yang terlalu memaksa bertanya padaku mengenai kejadian itu, ketika ia datang mengambil copy KTP ku.Cuaca hari ini cukup cerah, secerah hatiku saat ini, perasaanku mulai ringan. Sedikit demi sedikit aku mulai bisa melepas sosok Mas Bayu. Meski sesekali kadang masih terpikir bagaimana keadaannya sekarang, namun, hatiku tak begitu sesak kala pikiran itu melintas.Kisah Jeni benar benar menguras emosiku. Aku bisa mengerti mengapa ibu mertuaku dulu menolak keras
PoV. Kania.Pagi pun menjelang, namun, aku masih diam terpaku menatap wajahku dicermin. Wajah itu sembab dengan mata yang masih memerah karena menangis.Sejak tadi Keysa menemaniku. Mama yang memintanya agar tidak meninggalkan ku sendiri, karena mama pergi kerumah sakit tempat Mas Bayu dirawat.Aku masih geram dan marah atas semua yang terjadi. Mengapa semua ini harus menimpaku? Pernikahanku tak mungkin bisa diundur. Semua persiapan sudah rampung hanya tinggal menunggu pelaksanaannya saja.Sudah pukul enam pagi, namun, mama belum juga memberikan kabar. Apa saja yang dikerjakan mama disana hingga belum juga bisa mengabariku?Mas Bayu belum mati, ia hanya kecelakaan. Bukankah gampang langsung mengajaknya kesini saja? Apa perlu aku sendiri yang mendorong kursi rodanya hingga kehadapan penghulu?Berkali kali aku berdecak kesal, kuremas rambutku mengingat semua kesialan ini, tanganku mengepal kuat. Aku marah. Kesal. Semua perasaan bercampur aduk jadi satu.
PoV. Kania."Kania, sejak kapan kau disini? Apakah kau mendengar semua pembicaraan kami?" Aku tertegun mendengarnya pertanyaan mama. Kulihat mama memintaku untuk duduk.Pembicaraan? Pembicaraan apa? Sebenarnya apa yang mereka sedang mereka bicarakan?**"Duduklah dulu." Pinta mama sambil menarik kursi dihadapannya. Meski bingung dengan sikap mama, akupun menuruti keinginannya dengan memindahkan bobot tubuhku keatas kursi ini, lalu memandang mama dengan tatapan penuh tanya."Apa yang kalian bicarakan, ma. Kenapa mama terlihat cemas seperti itu?" "Kau sudah lama berdiri dipintu tadi, Kania?" "Tidak ma, aku baru saja datang," Jawabku.Kualihkan pandanganku kearah Mas Bayu, mencoba mencari jawabannya. Begitu pandangan mata kami bertemu, wajah itu menyunggingkan senyum tipis padaku."Bagaimana keadaanmu, mas. Kau baik-baik saja kan?" Tanyaku pada Mas Bayu."Iya, dokter bilang tak apa apa, hanya tulang kering pada kaki kan
"Kau ingin membatalkan pernikahan kita, Jangan mimpi mas, kau tak tahu berapa banyak yang sudah kukorbankan demi menunggu hari ini tiba."**PoV. Kania.Aku pulang ke hotel dengan pikiran kalut, sepanjang perjalanan dari rumah sakit, mama berusaha membuatku tenang. Sungguh, pemikiran Mas Bayu untuk membatalkan pernikahan ini benar benar membuatku marah.Begitu tiba dihotel, aku bergegas melempar asal tasku. Aku kesal, marah. Emosi ku sudah mencapai ubun-ubun. Mama bilang ia sudah meminta dua orang berjaga didepan kamar rawat Mas Bayu. Jika perlukan, akan kuminta mereka untuk menyeret Mas Bayu hadir ke acara akad nikah kami."Mbak, persiapkan saja segala perlengkapannya. Aku akan mandi sebentar. Rencananya tidak akan berubah, akad nikahku akan digelar hari inii. Kuharap kau bisa membuatku secantik mungkin. Aku tak mau kecewa karena aku membayar mahal jasamu." Ketusku pada Suri, make up artist yang kupesan."Iya, mbak Kania."Keysa menatapku
PoV. Kania."Kau terlihat sangat cantik, mbak. Kalau begini wajah lampirmu itu tak kelihatan. Kau seperti Nyi Roro kidul sekarang," sindir Keysa sambil meletakkan sendal didekat Kaki ku.Aku terkekeh geli mendengar sindirannya. Meskipun begitu aku senang ia menyandingkanku dengan kecantikan Sang Ratu Penguasa Laut Selatan Jawa itu."Kenapa, kau baru tahu bahwa aku cantik?""Iya, karena kau selalu menampakkan wajah lampirmu yang menyebalkan itu," jawab Keysa asal."Apa Mas Bayu bisa hadir kesini? Bukankah katanya tulang kakinya retak?" Tanya Keysa."Tentu saja Ia akan hadir. Mama bilang sudah mengurus izin dari dokternya untuk membawa Mas Bayu ke acara akad nikah nanti. Mas Bayu hanya retak tulang saja, bukan lumpuh. Lagipula yang dibutuhkan saat akad adalah mulut saja untuk mengucapkan ikrar pernikahan," sahutku enteng.Mbak Suri masih mengoleskan lipstik berwarna merah muda ini ke bibirku. Lipstik 'ombre' yang di olesnya, kini membuat bibirku terlih