Kemana Erika? Mengapa ia bisa tega meninggalkan ibunya sendirian?Batinku kini berperang antara ingin melanjutkan perjalanan ini atau berhenti saja. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi ke gang, menuntaskan rasa penasaran yang sedari tadi menggangu pikiranku.***Aku menatap nanar pada bangunan rumah yang ada dihadapanku, tidak, ini tidak seperti rumah pada umumnya, ini adalah petakan yang hanya terdiri dari tiga sekat saja didalamnya.Langkahku terhenti di petakan empat pintu ini, tampak disana seorang ibu bertubuh gempal dan seorang wanita yang usianya lebih muda sedang menggendong bayi kini sedang memandangiku penuh tanya. Seorang wanita tiba-tiba datang dari arah belakang dan tak sengaja menyenggol lenganku, lalu meminta maaf. Segera saja ku tahan langkahnya dan menanyainya sebentar."Maaf mbak mau tanya, apa benar ibu nur tinggal disini?""Oh si tante sombong itu? Iya ada tuh di petakan paling ujung," jawabnya sambil menunjuk arah petakan yang berada persis disebelah pohon pis
Bab 167"Tidak ada aku hanya mampir saja, kebetulan tadi lewat sini dan aku ingat pernah melihat tante di sekitar sini. Sekalian saja aku mampir," ujarku beralasan."Hmm ... Tante, dari tadi aku tidak melihat Erika, dimana dia?" Lanjutku kemudian bertanya.***Mendengar perkataanku seketika wajah Tante Nur berubah murung, entahlah, rasanya tak ada yang salah dengan ucapanku, lagipula bertanya tentang kabar seseorang tidak salah, bukan?Tante Nur nampak gelisah, ekor matanya tampak ingin menghindar dari tatapan mataku, tak lama, kulihat matanya seperti berkaca-kaca.Ah, seharusnya mungkin tadi aku tidak bertanya, tapi, aku juga ingin tahu dimana Erika sekarang. Yah, anggap saja mungkin aku sedang cemburu saat ini.Tante Nur mendesah, lalu menunduk, memainkan jemarinya yang keriput. Untuk beberapa saat tak ada dari kami yang bicara. Membuat keheningan diantara kami seolah menjadi jarak."Erika, dia ...."Hembusan nafasnya terdengar berat, ia menggantung ucapannya sesaat, seakan sedang
"Apa tante bersedia tinggal di panti jompo? Maaf tante, aku tidak bermaksud buruk, kupikir daripada tante tinggal disini sendiri, lebih baik di panti jompo, jangan khawatir, aku yang akan menanggung biayanya." Ujarku hati hati karena takut akan menyinggung perasaannya."Alina ...!" mata itu mendelik tajam padaku."Tidak tante, tolong jangan salah paham, aku hanya tidak ingin melihat tante hidup sendiri disini, setidaknya jika di panti, ada teman sekedar untuk bicara dan yang terpenting ada perawat yang akan mengurus." Lanjutku sambil melempar tatapan teduh padanya.***"Tante mengerti, Alina. Terima kasih atas niat baikmu, tapi tante tak ingin tinggal di panti jompo, biarlah di sini saja, lagipula tante malu jika harus menerima bantuan darimu," jawabnya."Mengapa harus malu, tante? yang berlalu biarlah saja berlalu. Yang penting sekarang adalah tante sudah menyadari semuanya dan mau berubah, bagiku itu sudah cukup," ujarku berusaha membujuknya."Kau memang baik, Alina. Tante menyesal
"Apa ini untukku?" Tanyaku pada Mas Reyhan saat ia memperlihatkan sebuah kunci padaku."Iya, itu untukmu Alina, rumah yang kemarin kau lihat. Itu adalah hadiah dariku atas kehamilanmu ini," jawab Mas Reyhan.Mataku berbinar mendengarnya," benarkah itu mas?" Sahutku meraih kunci itu dari tangannya."Tentu saja, apa kau suka?""Pake nanya lagi, ya tentu saja mas," desisku cemberut.Mas Reyhan tertawa melihat sikapku, segera saja ku cubit lengannya. Tak mungkinlah aku menolak hadiah sebagus itu. Rasanya tak akan ada istri yang akan menolak diberi hadiah rumah mewah berlantai dua oleh suaminya, iya kan?Kadang aku merasa suamiku ini benar-benar absurb."Syukurlah jika kau suka. Sertifikatnya juga sudah ku ubah menjadi namamu," ujar Mas Reyhan."Terima kasih mas, kau sungguh baik," aku memujinya."Ini tidak sebanding dengan hadiah yang kau berikan padaku, sayang. Kau memberikan kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna untukku, apapun yang kau minta jika aku mampu, pasti akan kuberikan," uca
"Biarkan aku menikahi suamimu, Alina, atau tinggalkan dia."Aku tertegun mendengar apa yang wanita ini katakan. Ia masih menatapku tajam, menunggu jawaban dariku."Alina, aku tahu pernikahan kalian hanyalah perjodohan, Mas Bayu juga tidak mencintaimu bukan, lalu, untuk apa kau masih bertahan dengan pernikahan ini?"Ia terus mendesakku, untuk kedua kalinya, wanita ini meminta hal yang tak masuk akal padaku.Aku hanya bisa menggeleng pelan dengan permintaannya yang tidak masuk akal itu, entah mengapa sampai sekarang ia masih mengejar suamiku. marah, kesal. jangan ditanya lagi.Wanita yang berdiri dihadapanku ini adalah mantan kekasih suamiku. Ia dan Mas Bayu telah menjalin hubungan dengan selama empat tahun, bahkan mereka sempat hampir menikah, sayangnya selama mereka berhubungan, ibu mertuaku, tak pernah merestui hubungan mereka.Pernikahanku dengan Mas Bayu, memang atas dasar perjodohan ibu mertuaku dengan Almh. Mama. Menurut cerita, dulu mereka berdua d
Sejak pagi perutku terasa mual. Entah sudah berapa kali aku menghirup aroma minyak kayu putih demi meredakan rasa mual ini, kepalaku pusing membuatku hanya bisa terbaring ditempat tidur.Ku raih ponsel yang tergeletak di atas nakas, berniat menghubungi Nisa, untuk sekedar mencari teman bicara.Teleponku tersambung, setelah bertanya kabar tentangnya, kuberitahu keperluanku menelponnya, untuk beberapa saat ia diam, lalu terkekeh geli. [Alina, coba beli test pack, sepertinya kau hamil]Hamil?Mendengar perkataan Nisa membuatku mengerutkan kening. Namun, baru kusadari jika bulan ini tamu bulananku memang tidak datang.Entah lah, aku tak tahu apakah ini kabar gembira atau buruk untukku. Lidahku kelu untuk berkata kata lagi. Aku terlalu takut untuk memikirkan jika ucapan Nisa ini benar.[Selamat ya, aku yakin sekali kau hamil, Alina.]Kucoba untuk menepis ucapan Nisa, namun tak bisa, entah mengapa, hatiku mencoba meyakinkan jika perkataan Nisa adala
Beberapa detik aku berdiri terpaku menatapnya. Aku bisa menduga jika ia akan mengajakku membicarakan Kania, wanita yang menjadi duri dalam pernikahan kami selama ini.Wajah itu memandangku dalam. Membuat rasa gugup kini hadir melanda. Kuhela nafas panjang, mencoba untuk tenang menghadapinya."Bicara saja mas, aku tak pernah melarang sesuatu hal apapun padamu," sahutku.Ia menggangguk perlahan, memandangku sambil membuang napas kasar, lalu memilih duduk di tepian ranjang."Duduklah di sini sebentar bersamaku, agar kita bisa bicara," pintanya sambil menepuk pelan ranjang kami.Aku mengangguk pelan, mengikuti keinginannya, jantungku berdegup kencang, aku mulai gugup. Meski demikian, aku masih menguatkan hati dan kaki untuk menghampirinya, lalu mengikutinya duduk ditepian ranjang. tepat berada di sebelahnya.Beberapa detik berlalu dalam diam, hanya terdengar helaan nafasnya dan irama detak jantungku yang kian berpacu dengan
"Alina, Kenalkan ini Bayu," ucap Mama mengenalkan kami.Pria itu tersenyum datar menatapku, tubuhnya tinggi dengan berat tubuh yang proporsional, kulit putih yang bersih, dengan jambang tipis diwajahnya, membuatnya terlihat maskulin. Sungguh penampilan yang menarik perhatian kaum hawa. Jujur saja, aku tak menampik pesonanya saat pertama kali kami bertemu. Mas Bayu datang kerumah bersama ibunya, yang merupakan sahabat baik mama. Bahkan menurut cerita mama, Bu Ratih, ibunya Mas Bayu merasa berhutang budi pada keluarga mama, karena keluarga mama yang membantu biaya pendidikannya dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.Dari cerita mama. Sebelum menikah, Bu Ratih adalah seorang yatim yang dibesarkan sendiri oleh ibunya. Persahabatannya yang terjalin dengan mama, membuat kakekku, yang kala itu masih menjabat sebagai seorang perwira polisi, menjadikannya seorang anak asuh, dan membiayai pendidikannya hingga sekolah menengah atas.