Rengekan Diyara menghentikan aktivitasku mengepak pakaian. Kulirik anakku itu masih menggeliat di atas tempat tidur. Tak lama ia pun bangkit dan menghampiriku. Dengan terpaksa kutinggalkan tumpukan pakaian itu dan memilih mengurus gadis kecilku dulu."Ayo sayang, sarapan dulu. Hari ini mama akan membawamu bertemu papamu," ucapku lembut padanya.****Taksi online yang kupesan kuminta untuk berhenti sejenak tak jauh dari rumah Mas Bayu, karena melihat sebuah mobil hitam yang diparkir tepat didepan rumahnya. Untuk sesaat aku merasa pernah melihat mobil itu. Jika aku tak salah itu adalah mobil Kania.Aneh.Kenapa Kania datang kemari dan untuk urusan apalagi ia menemui Mas Bayu? Bukankah katanya mereka tak jadi menikah tiga tahun lalu?Sudah sepuluh menit berlalu tapi si pemilik mobil hitam itu masih belum keluar dari rumah yang pernah kutinggali dulu. Kepalaku mulai berpikir hal yang buruk dan rasa penasaran kini mulai menyeruak."Bagaimana bu, apa kita
"Aku pernah bersalah padamu dan seluruh keluargaku, karena tidak mendengar nasihat mereka saat melamar Kania. Pengalaman sudah mengajarkanku untuk tidak langsung mempercayai orang begitu saja," ungkapnya."Begitu ya.""Lalu sekarang, setelah tiga tahun berlalu apa kau masih mempercayaiku?"****Mas Bayu sejenak kembali tak bersuara. Mata itu masih menolak untuk menatapku. Membuatku akhirnya mengulas senyum getir."Aku percaya padamu, Alina." Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Namun rasanya terdengar seperti dipaksakan.Aku menghela nafas berat. Mataku kini menerawang jauh. Aku tak tahu tapi aku bisa merasakan jika ia meragu padaku. "Kau tahu siapa Rahwana, mas? Seorang tokoh antagonis dalam cerita epic kisah Ramayana yang terkenal itu?"Rahwana adalah seorang raja Alengkadireja yang lebih dikenal sebagai penguasa kegelapan. Semua hal buruk selalu dinisbatkan kepadanya. Bahkan semenjak lahir pun sudah dianggap sebagai anak haram, ha
Aku kembali menghempaskan tubuhku di sofa ini, lalu menyandarkan punggungku di bahu sofa. Mataku menatap langit langit rumah, lalu tersenyum getir."Beri aku satu jawaban, mas. Andai saja, tiga tahun lalu aku tidak pergi dari rumah. Apakah rasa penyesalan itu akan datang? Apakah kau akan membatalkan pernikahanmu dengan Kania."****Hening. Untuk beberapa saat kami berdua saling diam, sesekali terdengar hembusan nafas berat dari Mas Bayu. Tak lama suara tangis Diyara akhirnya memecah keheningan kami. Suara Mbak Sita yang menenangkan gadis kecilku terdengar. Hanya sebentar saja ia menangis. Karena beberapa saat kemudian suara celotehan Diyara sampai ke telingaku.Aku kembali memandang Mas Bayu, Bibir suamiku itu mengatup, wajahnya masih terlihat kesal dengan pertanyaanku. Aku masih diam dan menunggu jawaban darinya."Pertanyaan macam apa itu, Alina?"Kalimat itu terucap dari mulutnya, aku menggigit bibirku. Aku tahu jika Mas Bayu mencoba berkeli
" ... Sebegitu menyedihkannya hidupku sekarang hingga mama sampai berniat menjodohkanku?""Kania dengar dulu, nak. Mama melakukan semua ini untuk kebaikanmu."Brak!Aku menggebrak meja cukup keras, lalu dengan kasar aku menggeser kursi yang tadi kududuki, sambil berdecak kesal, aku melangkah menjauh dari meja makan ini.****"Kania, setidaknya cobalah dulu berkenalan dengannya. Tolong lakukan demi dirimu nak, mama tak ingin kau terus menerus hidup dalam bayang bayang masa lalu, mama ingin melihatmu bahagia," teriak mama."Berusahalah untuk belajar melupakan masa lalu. Kania."Aku mengibaskan tangan, seakan tak peduli, ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan mama. Kulangkahkan kaki menuju kamar, mengambil tas dan kunci mobil."Kania! Panggilan mama membuat telingaku berdenging, sengaja kuabaikan. Dengan pandangan kedepan, aku bergegas pergi menuju mobilku karena semakin lama suara mama terdengar seperti palu yang menusuk kepalaku.
"Untuk apa lagi kau berada disini? Lebih baik cepat kau pergi. Aku tak mau melihat wajahmu, Kania," usir Tante Maryam kasar.Aku menggeram kesal, gigiku gemeretak menahan amarah. Wanita tua ini benar benar membuatku kesal. Apa haknya mengusirku?***Sial.Jika bukan karena masih menghormatinya, sudah kumaki maki dirinya. Kau lihat sendiri perlakuan Ibumu padaku, Jeni. Apakah kau pikir semua ini karena kesalahanku?Mata Mas Reyhan kini memandangku dengan tatapan tak nyaman, wajahnya sangat tak terlihat bersahabat, seakan aku adalah musuh yang paling dibencinya. Baiklah, aku menyerah kali ini. Akan kutinggalkan tempat ini. Aku membalikkan badan, rasanya enggan menyapa mereka kembali. Kuhentakkan keras ujung sepatuku, melangkah pergi dari sini. Hatiku masih bergemuruh emosi. Apa katanya tadi? Aku belum meminta maaf, untuk apa? Aku tak merasa melakukan kesalahan. Pernikahan Jeni dibatalkan oleh Mas Arif. Harusnya laki laki itu yang bertanggung jawab, lalu,
"Kau benar benar wanita mengerikan, Kania."Brak!Aku menggebrak meja ini keras, emosiku kini tak bisa kukendalikan lagi. Aku bangkit dan berdiri, dengan tangan terkepal kuat. Aku balik menatapnya tanpa berkedip.****PoV. Kania."Bisa tidak kau tutup mulut sampahmu itu?" Geramku.Beberapa pengunjung kafe ini menoleh padaku, bahkan kudengar salah seorang diantara mereka menegurku. Aku membalasnya dengan membulatkan mataku padanya.Seorang pelayan wanita datang mendekat sambil mengulurkan tangan memintaku untuk duduk tenang agar tidak menggangu kenyamanan pengunjung cafe yang lain. Kutepis kasar tangannya lalu kembali duduk.Mas Arif menjelaskan pada pelayan wanita itu, bahwa semua baik baik saja. Ia bahkan meminta maaf karena menganggu kenyamanan para pengunjung lainnya.Aku mencebik kesal karena melihat sikapnya pada pelayan itu. Tak lama, Mas Arif memandangku tajam."Belajarlah untuk mengakui kesalahanmu, Kania. Tidakkah kau sadar sudah
Ucapan Mas Bayu tadi masih kuingat, bukan aku tak menghargai usahanya, hanya saja aku masih kesal padanya. Kunyalakan sepeda motorku, tak ingin membuang waktu, aku pun langsung memacu sepeda motorku menuju tempatku mencari nafkah. ***"Beri aku waktu untuk memperbaiki semuanya, Alina. Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," ucap Mas Bayu.Mataku membulat begitu mendengarnya, saat baru saja hendak melangkah masuk kekamar. Aku memandangnya tak berkedip, seakan tak percaya jika ia yang mengatakannya."Aku lelah, mas. Bisakah kita bicarakan ini lain waktu.""Apa kau tak ingin memperbaiki hubungan kita, membenahi kembali rumah tangga kita, Alina?" Aku menghela nafas panjang beberapa kali, cukup lama aku berpikir. Entah mengapa, masih ada sepercik keraguan di hati, mengingat rasa sakit hati yang kurasakan dulu.Orang bilang tak baik menyimpan dendam. Tapi, hatiku masih belum bisa sepenuhnya menerima dirinya kembali. Selama tiga tahun aku menghadap
Ia diam. Tanpa mendengar persetujuan darinya, segera kulangkahkan kaki menuju kekamar ini, lalu menutup pintunya. Terlihat Diyara dan Mbak Sita yang sudah tertidur di atas ranjang itu. Sejenak kusandarkan punggungku di dinding ini, sambil mengusap wajahku.Ya Rabb, tolong ampuni aku. ****Aku luruh dan akhirnya duduk bersandar didinding dengan kedua kaki yang bertekuk. Perlahan, kudengar langkah seseorang mendekat, duduk menghampiriku."Menangis saja bu. Siapa tahu bisa sedikit lega," ucap Mbak Sita."Kau belum tidur, Mbak?""Maaf Bu, aku mendengar pertengkaran kalian lagi," sesalnya."Tak apa apa. Maaf, jika pertengkaran kami membuat istirahatmu terganggu," balasku."Tak masalah Bu, jangan dipikirkan. Aku tak merasa terganggu," hiburnya"Tidurlah, mbak. Istirahatlah." "Baik Bu," jawabnya.Mbak Sita bangkit dan berdiri, saat tangannya menyentuh kenop pintu, segera hendak keluar dari sini, dengan cepat aku mencegahnya."Tidu