Luna mengeratkan rangkulannya di lengan sang ayah. Dia perlu pegangan agar tidak terjatuh karena gugup, dadanya berdebar sangat kencang, sampai dia takut sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah.
Pesta malam ini begitu meriah, lampu-lampu yang tertata apik menambah semarak suasana. Ini bukan kali pertama Luna menemani sang ayah ke sebuah pesta, tapi ini pertama kalinya Luna akan bertemu lagi dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki yang sangat dikaguminya dan selalu menghiasi setiap mimpi-mimpi indahnya. Luna ingat sekali saat sang ayah memberikan selembar foto padanya. Dia menatap foto itu dengan tak percaya. Luna mencubit lengannya sekedar meyakinkan diri, bahwa ini semua nyata. Rasanya dia ingin tertawa bahagia saat dirasakannya sakit di lengannya. Ini memang nyata dan matanya masih cukup normal untuk mengenali foto laki-laki tampan yang menjadi bunga-bunga tidurnya, yang membuatnya seolah terbang ke awan meski hanya melihat kelebat bayangnya. “Bagaimana, Nak, apa kamu mau? Ayah tidak akan memaksa jika ka–“ "Luna mau, Yah.” Sang ayah melotot mendengar Luna memotong ucapannya. Luna dididik dengan baik oleh sang ayah, dan memotong pembicaraan orang yang lebih tua, terlebih ayahnya sangat bertentangan dengan didikan itu. Luna hanya nyengir mendapati ayahnya melotot padanya. Luna terlalu senang, jadi dia tak sadar telah berbuat tak sopan. Tapi ayahnya tersayang pasti akan memaafkannya jika Luna meminta maaf. “Maaf, Yah,” kata Luna sambil menundukkan kepalanya dalam penuh penyesalan. “Kamu itu,” Sang ayah hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. Dan benar saja sang ayah tak marah. "Tanganmu Dingin, kamu baik-baik saja, Nak?" pertanyaan sang ayah berhasil mengembalikan Luna pada saat sekarang. Ah, dia melamun ternyata sampai tak sadar kalau mereka sudah memasuki ruang pesta. Nyonya Widia Sanjaya, yang Luna tahu ibu dari Laksa, sedang berulang tahun hari ini dan tentu saja Luna dan ayahnya juga diundang. "Luna hanya gugup, Yah," jawabnya terus terang yang membuat sang ayah tertawa. "Tenang saja ada ayah di sini, tidak ada yang perlu kamu takutkan." "Luna tahu ayahkan pahlawan bertopeng untuk Luna." "Padahal ayah lebih suka superman." "Idih Luna enggak suka superman dia tidak bisa pake celana dengan benar." Sang ayah tertawa mendengar alasan Luna. Sapaan tuan rumah menghentikan pembicaraan mereka. "Ini yang namanya Luna, cantik sekali." Luna menyalami pasangan paruh baya itu dan tangannya bertambah dingin saat harus bersalaman dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki itu masih setampan yang Luna ingat, tatapan matanya yang tajam membuat Luna seolah menggelepar, Ya Tuhan laki-laki ini akan jadi suaminya. Betapa indahnya hidup ini. *** Para orang tua membiarkan dua orang itu saling mengenal satu sama lain. "Aku ingin bicara, ikut aku." Luna menganggukkan kepalanya dia terlalu senang untuk hanya sekedar bertanya. Laksa membawanya ke taman belakang rumah, memintanya duduk di bangku panjang di sana. Di bawah payungan lembutnya sinar bulan, mereka duduk bersebelahan, tangan Luna yang dari tadi sudah dingin sekarang makin dingin. Luna tidak tahu apa yang harus dilakukan pasangan yang dijodohkan. Jadi dia hanya bisa duduk diam sambil menenangkan debar jantungnya yang menggila. "Langsung saja aku tak ingin berbasa basi, aku menolak perjodohan ini. Aku punya seseorang yang aku inginkan untuk menjadi istri dan itu bukan kamu." Duar! Bagai petir di siang bolong, Luna begitu terkejut dengan ucapan Laksa, dia hanya bisa menatap laki-laki itu dengan nanar. Mimpi indahnya langsung hancur seketika, salahnya juga yang terlalu berharap. Laki-laki seperti Laksa tak mungkin melirik dirinya yang hanya pegawai biasa. Sedapat mungkin Luna berusaha menelan air matanya, Laksa berhak menolak memang. "Terima kasih untuk kejujuranmu, aku sadar aku hanya wanita biasa, kamu yang dari dulu di kelilingi wanita cantik tentu tak kesulitan menemukan pasangan." Laksa mengerutkan keningnya. "Apa kita saling kenal?" Luna tersenyum, dia memang bukan cewek populer dulu jadi wajar kalau Laksa lupa. "Kita satu kampus dulu, mungkin kamu lupa dan aku juga bekerja di hotel keluarga kalian." Laksa menatap wanita di depannya dengan seksama. "Ah ya aku ingat kamu adek tinggatku," katanya, wajahnya yang tadi dingin sedikit lebih ramah. Luna mengangguk senang. "Maafkan aku, kita tidak bisa bersama mungkin kita bisa berteman saja. Aku tahu orang tua kita pasti kecewa tapi aku akan menjelaskannya." Laksa mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Luna hanya bisa menyambut tangan itu dengan pahit. Dia ditolak, bahkan sebelum berkenalan. Rasanya sakit, tapi Luna tidak akan memaksa. Dia sudah kalah sebelum berperang. "Aku mengerti." Dengan canggung Luna akhirnya berdiri dan melangkah mencari ayahnya. Setetes air bening bening mengalir di pipinya, tapi Luna berusaha meyakinkan diri bahwa dia baik-baik saja. Dia bukan gadis lemah. Tapi entah kemana sang ayah, Luna bahkan sudah lelah berkeliling tempat pesta ini tapi tidak juga bertemu ayahnya. Dan itu membuatnya capek dan kehausan. "Silahkan Nona." seorang pelayan memberikan segelas minuman berwarna Orange yang terlihat sangat menggoda. "Terima kasih." Luna langsung mengambil dua buah gelas sekaligus, siapa tahu nanti ayahnya juga haus, jadi dia bisa memberikannya. Tapi sekarang dia ingin mencari tempat duduk terlebih dulu, ayah akan marah kalau dia minum sambil berdiri. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Luna saat menemukan sebuah kursi panjang untuk duduk, tapi di sana juga ada seorang laki-laki yang sudah duduk terlebih dahulu. Luna merutuki pesta yang bahkan tak mau repot-repot menyediakan kursi. "Luna." Rasanya Luna ingin menghilang saja, sifat cerobohnya kenapa tidak juga hilang, dari semua orang kenapa dia harus bertemu Laksa lagi, orang yang baru saja menolaknya dengan kejam. "Itu untukku." Laksa mengambil gelas di tangan Luna dan meneguknya dengan rakus, sepertinya dia haus. Ya sudahlah nanti dia bisa mengambil lagi untuk ayahnya. Sekarang yang penting menyelamatkan diri dulu, hatinya masih tidak baik-baik saja oleh penolakan tadi. "Kamu mau kemana?" "Eh?" Luna yang sudah berdiri menoleh pada Laksa yang terlihat sangat tidak nyaman. Tapi belum juga Luna berpikir lebih jauh tangannya sudah ditarik kasar. "Pak Laksa kita mau kemana? Saya harus mencari ayah saya." Luna bergetar ketakukan tatapan Laksa sangat tidak biasa, dan Luna sangat takut, tubuhnya dingin dan gemetar, dan dia bersumpah bukan karena dekat dengan Laksa. Tanpa mempedulikan penolakan Luna, Laksa menariknya ke lantai dua rumah ini. Kaki kecilnya terseok-seok mengimbangi langkah panjang Laksa, tangannya sakit oleh cengkraman laki-laki itu. Laksa menariknya ke sebuah kamar, dan tanpa basa basi berusaha menyentuh Luna. Merasa bahaya mengancamnya Luna tentu saja memberontak lebih keras, tapi itu malah membuat Laksa bersemangat menyentuhnya di semua sisi, pakaiannya bahkan sudah tak berbentuk lagi. Dan saat sadar Laksa sudah menyatukan tubuh mereka, membuat Luna merasakan sakit yang luar biasa, di hati dan tubuhnya. Luna hancur."Mungkin lusa, entahlah dia belum memberikan waktu yang pasti, entah kenapa aku merasa dia bahkan tak ingin memberitahu keluarganya." "Lalu?" "Tidak ada, aku akan mengikuti kemauannya," jawab Laksa enteng. "Apa aku perlu ikut?" Laksa mengedikkan bahunya tapi kemudian berkata. "Terserah saja, tapi aku harap kamu menyiapkan hati untuk semua kemungkinan yang terjadi. Sore harinya Dirga muncul di rumah keluarga Sanjaya dengan wajah kusut dan lelah, tapi terlihat senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. "Selamat sore." "Sore, apa ada berita baru?" tanya Laksa langsung. "Akhirnya kita berhasil," kata Laki-laki itu dengan senyum lebar dibibirnya. "Benarkah?" "Kamu bisa lihat sendiri." Dirga lalu membuka laptopnya dan memperlihatkan sistem yang baru saja dia bangun dan memberikan demo di beberapa b
“Mau kemana?” tanya Laksa saat Luna berusaha melepaskan belitan tangannya di pinggang sang istri. Luna menghentikan gerakannya dan menoleh menatap sang suami yang masih terlihat sangat mengantuk. “Mau bangun, ini sudah pagi.” Laksa menoleh pada jam dinding yang masih menunjukkan angka empat pagi. “Ini masih terlalu pagi, nanti saja aku masih mengantuk.” “Kakak boleh tidur lagi, aku mau bantu bibi siapkan sarapan dulu.” “Mana enak tidur sendiri tanpa guling hidup.” dengan kata itu Laksa kembali menarik sang istri untuk tidur kembali tak peduli dengan Luna yang masih menggerutu tak terima tapi mana mau Laksa peduli, sampai tangisan keras Dio membuat Laksa mau tak mau melepaskan pelukan di pinggang istrinya. “Kakak tidur saja lagi biar aku lihat Dio dulu.” Laksa hanya menjawab dengan gumamam lalu kembali melanjutkan tidurnya, Luna hanya bisa
“Apa om seorang polisi atau semacamnya?” tanya Laksa kembali menelisik penampilan laki-laki di depannya ini. “Bukan, Om hanya pegawai negeri di kantor kecamatan.” Pantas terlihat rapi. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan Laksa tapi dia bigung mulai dari mana, sang kakek juga hanya mengatakan waktu itu menyuruh ornag kepercayaannya mengawasi sang ibu, dia bahkan tidak tahu perkembangannya akan sejauh ini. “Apa ibu yang meminta om kemari?” Laki-laki itu menggeleng. “Ibumu tidak tahu kalau Om kemari, tapi om juga tidka masalah kalau dia tahu.” “Begitu,” Laki-laki itu berdehem dan memandang Laksa dengan penuh tekad, membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung. “Om hanya ingin minta ijin padamu untuk menikahi ibumu, karena bagaimanapun kamulah yang memiliki kekerabatan paling dekat dengannya salain saudara-saudaranya,.” “Om mungkin sudah tahu sej
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Laksa, dengan menghela napas kesal dia meletakkan penanya dan melirik Dio yang sedang tertidur pulas di box bayinya, dia memang sengaja melakukan itu supaya bisa memantau anaknya. Laksa ingat komnetar Dirga saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu ejekan bapak rumah tangga, sering dilontarkan sepupunya itu, tapi Laksa tidak tersinggung sama sekali dia memang ingin dekat dengan anaknya dan tidka ingin mengulangi kesalahan sang papa yang bersikap sangat dingin padanya. “Masuk!” teriak Laksa. Kepala Tuti menyembul dari celah pintu. “Ada apa?” tanya Laksa langsung. “Itu Mas, ada tamu di bawah.” “Tamu? Mencariku?” “Iya.” “Siapa? Aku tidak ada janji dengan seseorang?” Tuti berdiri di sana dengan bingung, mungkin Laksa lupa kalau dia di rumah bukan di kantornya yang setiap tamu harus membuat janji dulu
“Makanannya tidak enak? Apa aku pesankan yang lain?” tanya Luna lagi, tapi Laksa tetap diam, seolah tak mendengar ucapan Luna, seolah mereka terpisah tempat yang jauh. Luna menghela napas dan berdiri dari duduknya, menarik piring di hadapan Laksa dan mencuil sedikit ayam bakar di piring itu, dengan tangannya Luna menyuapkan makan itu ke mulut Laksa. “Aku bisa makan sendiri, tanganku baik-baik saja.” “Aku tahu, buka mulut kakak sekarang,” kata Luna garang dengan mata melotot, tapi bukannya takut Laksa malah tersenyum dan membuka mulutnya. “Nah pinter, papanya Dio mau makan.” “Berasa jadi anak kecil aku.” “kakak memang bukan anak kecil, kan sudah bikin anak kecil, tapi hari ini tidka mau makan seperti anak kecil,” omel Luna. “Bukan tidak mau makan hanya saja-“ “Galau.” “Eh?” “Iya kakak lagi galau karena pernikahan ibu, aku buk
“Mas Hardi ingin pernikahan kami sederhana saja asal sah,” kata sang ibu. Pagi ini memang Laksa secara khusus mengunjungi rumah ibu kandungnya ini, letak rumah yang ada di pinggiran kota membuat mereka harus berangkat lebih awal. Yah mereka karena Luna juga ikut serta, bukan tanpa alasan juga Luna melakukannya, di samping tak pantas membiarkan Laksa pergi sendiri, juga karena masih ada rasa kecewa dan amarah yang membuat Laksa bisa saja melakukan hal yang mungkin saja mereka sesali. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang tamu, hanya ada mereka bertiga, karena orang yang disebut sebagai Mas Hardi, calon suami sang ibu memang sedang pergi bekerja. Luna menoleh pada suaminya dan mendapati wajah itu masih saja datar. “Sederhana bagaimana maksudnya?” tanya Luna memperjelas. Sang ibu mertua memandang Luna dengan wajah masam, entah karena pertanyaan Luna atau karena hal lainnya. “Hanya hajatan kampung, deng