"Wanita murahan! Rendahan! Apa yang kamu lakukan padaku!" Luna hanya bisa menatap wajah laki-laki yang dikaguminya itu dengan mata terbelalak.
Laksa baru saja terbangun dari tidurnya, dan memandang Luna penuh kebencian saat melihat kondisi mereka berdua. Luna tak tahu apa yang sedang terjadi, Laksa yang memperkosanya, dan sekarang laki-laki itu malah meneriakinya seolah Luna hanya seekor anjing yang tak punya perasaan. Tapi Luna terlalu takut untuk membuka suara, seumur hidup dia belum pernah mendapatkan bentakan sekasar itu. Luna bergeming, tubuhnya menggigil oleh semua rasa yang hinggap dalam tubuhnya, dia bahkan berharap saat ini Tuhan mencabut nyawanya saja. Dengan memegang erat selimut yang menyelubungi tubuh polosnya, dia duduk meringkuk dipojokan dengan menyedihkan. Sedangkan laki-laki di depannya masih meneriakkan sumpah serapah. Luna terlonjak saat suara bantingan pintu memenuhi ruangan. Sungguh Luna tak mengerti apa yang terjadi bukankah seharusnya dia yang marah, dia yang mencaci maki laki-laki itu bukan sebaliknya. Luna memang hanya anak seorang guru saja, yang gajinya tak seberapa tapi sang ayah menerapkan pendidikan moral yang sangat baik untuk Luna. Mungkin bagi sebagian orang kehilangan keperawaan di luar nikah bukan hal yang perlu dirisaukan, tapi bagi Luna itu dosa besar yang harus dia tanggung seumur hidup. Tubuhnya yang serasa remuk redam, tak bisa mengalahkan rasa sakit di dalam hatinya, Luka tergugu, apalagi saat membayangkan wajah ayahnya yang sudah pasti akan kecewa padanya. Lagi-lagi bantingan pintu mengagetkan Luna, Laksa keluar kamar mandi rambutnya terlihat basah. Laki-laki itu terlihat menawan dengan kaos oblong dan celana jins panjang, kaosnya yang tidak terlalu tebal memperlihatkan bentuk tubuhnya yang menawan, pantas saja banyak wanita yang tergila-gila padanya apalagi dia juga seorang Ceo di hotel milik keluarganya. Luna yang biasanya tak terlalu peduli dengan tampilan laki-laki kali ini juga tidak imun dengan penampilan Laksa. Tapi tatapan Laksa yang langsung menghujam bola matanya membuat Luna merinding. "Kupikir kamu wanita baik-baik, tapi kamu sama saja dengan wanita lain yang menghalalkan segala cara," katanya dingin. "Apa kamu pikir cara ini bisa membuatmu mengikatku, mimpimu terlalu tinggi." Laksa menatap sinis Luna yang masih duduk meringkuk dengan menyedihkan tak ada rasa iba sedikitpun pada gadis yang baru saja dia ambil keperawanannya itu. Laksa terlalu jijik melihat gadis-gadis bertampang polos yang munafik, dan sialnya kali ini dia masuk dalam jebakan gadis ini. "Apa maksudmu, kamu yang memperkosaku!" entah keberanian dari mana Luna menjerit histeris dan tak terima. "Menjijikkan bahkan kamu masih saja sok polos," kata Laksa dengan kernyitan jijik yang tidak dia tutup-tutupi. "Apa maksudmu? Aku korban di sini, masa depanku hancur karena kamu." Laksa berdecih melihat Luna yang menangis. "Kamu memilih cara rendahan dengan memberikan obat perangsang dalam minumanku, apa itu yang kamu maksud sebagai korban?" "Minuman... Minuman ap- maksudmu gelas yang aku berikan padamu, mana mungkin, aku tidak memasukkan apapun ke dalamnya." Luna bahkan tidak habis pikir bagaimana mungkin Laksa berpikir kalau dia yang memasukkan sesuatu dalam minuman itu, itu minuman yang akan dia berikan pada ayahnya, bukan untuk Laksa. "Sudah ingat, atau kamu akan tetap pura lupa," ejeknya sinis. Laksa memandang baju gadis itu yang bertebaran di lantai dengan kilatan mata marah, bagaimana mungkin dia melakukan hal sebrutal itu. Gadis ini benar-benar sangat murahan andai saja dia laki-laki Laksa pasti tak akan ragu untuk menempelengnya. "Pakai baju ini dan pergi dari kamarku, aku tidak sudi bertemu lagi denganmu." Dengan kasar Laksa melemparkan kaos yang tadi diambilnya dari almari, dia memang marah tapi otaknya masih bekerja dengan baik. Dia tak mungkin membiarkan gadis ini keluar kamarnya hanya dengan selimutnya atau baju yang sudah koyak dibeberapa tempat. Andai saja di luar tidak sedang banyak orang tentu Laksa akan dengan senang hati menyeretnya keluar. Tapi belum juga Luna beranjak dari duduknya pintu kamar yang kali ini dibuka dengan kasar. Beberapa orang berdiri di sana menyatap mereka berdua dengan pandangan beragam. Pandangan Luna langsung bersitatap dengan laki-laki paruh baya yang sangat dia sayangi. Ayahnya pahlawan dalam hidupnya memandangnya dengan kekecewaan di matanya. Bahkan Luna bisa melihat mata sang ayah berkaca-kaca. Orang tua Laksa juga ada di sana memandang keduanya dengan kecewa. "Ini tidak seperti yang mama pikir, Laksa dijebak dengan obat perangsang," Laksa meraih tangan mamanya dan berlutut di hadapan wanita yang sudah melahirkannya. "Mama harus percaya sama aku, aku tidak mungkin melakukan perbuatan terkutuk itu, dia memberiku minuman dengan obat perangsang di dalamnya." tunjuk Laksa pada Luna. Luna tak tahu harus bagaimana, dia tak bisa membela dirinya, lidahnya seolah kelu dan kaku tak bisa untuk berkata, pandangan kecewa ayahnya cukup membuatnya mati rasa. Luna bahkan tak peduli kalau semua orang tak mempercayainya, asalkan ayahnya tidak. Luna tak sanggup kalau ayahnya juga tak percaya padanya. "Ma, Pa, tolong percaya pada Laksa." Terdengar lagi suara Laksa yang berusaha menjelaskan pada orang tuanya. Laksa berdiri dan menatap mamanya dengan memohon, tapi wanita itu hanya menangis sambil memegangi dadanya lalu terkulai lemah dalam pelukan suaminya. Laksa langsung panik dan berniat menggendong mamanya tapi tatapan tajam sang papa menghentikannya. "Selesaikan masalahmu." hanya itu kata yang dia keluarkan lalu tanpa mempedulikan apapun menggendong sang istri. Semua orang masih membeku ditempatnya. Laksa memandang Luna dan juga ayah wanita itu secara bergantian dengan pandangan marah. "Saya tidak tahu kalau putri, om, akan melakukan hal serendah ini untuk menjebak saya dalam perjodohan gila kalian," seru Laksa marah. Perjodohan mereka memang permintaan kakeknya dan ayah gadis itu. "Putriku tidak mungkin berbuat seperti itu," jawabnya tak terima. Luna putrinya yang manis dan manja tak mungkin berbuat senekad itu, dia tahu dari reaksi Luna kalau dia mencintai laki-laki di depannya. Dan mereka sudah dijodohkan jadi tak mungkin Luna berbuat begitu. "Tanyakan saja pada anak om, kenapa dia memberiku obat itu, perlu om tahu saya sudah bicara padanya baik-baik kalau saya punya wanita lain yang ingin saya nikahi, tapi ternyata gadis yang diceritakan kakek tak sebaik itu, atau mungkin om juga terlibat." "Cukup!" Luna berteriak keras tak terima ayahnya disalahkan. "Aku tidak memasukkan apapun pada minuman itu, dari tadi kamu menyalahkan aku, seolah hanya kamu orang suci yang tidak berdosa." Luna lalu berdiri menyambar gaunnya yang sudah sangat menyedihkan dan kaos yang tadi dilempar Laksa ke mukanya, dia harus berganti baju dan pergi dari sini. Luna tak terima ayahnya dihina, meski oleh laki-laki yang dia kagumi. Dia tak peduli lagi dengan semua kemarahan membuatnya begitu muak berada satu tempat dengan Laksa. Dadanya berdebar kencang, bukan karena berdekatan dengan Laksa tapi karena kemarahan yang menenggelamkannya."Mungkin lusa, entahlah dia belum memberikan waktu yang pasti, entah kenapa aku merasa dia bahkan tak ingin memberitahu keluarganya." "Lalu?" "Tidak ada, aku akan mengikuti kemauannya," jawab Laksa enteng. "Apa aku perlu ikut?" Laksa mengedikkan bahunya tapi kemudian berkata. "Terserah saja, tapi aku harap kamu menyiapkan hati untuk semua kemungkinan yang terjadi. Sore harinya Dirga muncul di rumah keluarga Sanjaya dengan wajah kusut dan lelah, tapi terlihat senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. "Selamat sore." "Sore, apa ada berita baru?" tanya Laksa langsung. "Akhirnya kita berhasil," kata Laki-laki itu dengan senyum lebar dibibirnya. "Benarkah?" "Kamu bisa lihat sendiri." Dirga lalu membuka laptopnya dan memperlihatkan sistem yang baru saja dia bangun dan memberikan demo di beberapa b
“Mau kemana?” tanya Laksa saat Luna berusaha melepaskan belitan tangannya di pinggang sang istri. Luna menghentikan gerakannya dan menoleh menatap sang suami yang masih terlihat sangat mengantuk. “Mau bangun, ini sudah pagi.” Laksa menoleh pada jam dinding yang masih menunjukkan angka empat pagi. “Ini masih terlalu pagi, nanti saja aku masih mengantuk.” “Kakak boleh tidur lagi, aku mau bantu bibi siapkan sarapan dulu.” “Mana enak tidur sendiri tanpa guling hidup.” dengan kata itu Laksa kembali menarik sang istri untuk tidur kembali tak peduli dengan Luna yang masih menggerutu tak terima tapi mana mau Laksa peduli, sampai tangisan keras Dio membuat Laksa mau tak mau melepaskan pelukan di pinggang istrinya. “Kakak tidur saja lagi biar aku lihat Dio dulu.” Laksa hanya menjawab dengan gumamam lalu kembali melanjutkan tidurnya, Luna hanya bisa
“Apa om seorang polisi atau semacamnya?” tanya Laksa kembali menelisik penampilan laki-laki di depannya ini. “Bukan, Om hanya pegawai negeri di kantor kecamatan.” Pantas terlihat rapi. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan Laksa tapi dia bigung mulai dari mana, sang kakek juga hanya mengatakan waktu itu menyuruh ornag kepercayaannya mengawasi sang ibu, dia bahkan tidak tahu perkembangannya akan sejauh ini. “Apa ibu yang meminta om kemari?” Laki-laki itu menggeleng. “Ibumu tidak tahu kalau Om kemari, tapi om juga tidka masalah kalau dia tahu.” “Begitu,” Laki-laki itu berdehem dan memandang Laksa dengan penuh tekad, membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung. “Om hanya ingin minta ijin padamu untuk menikahi ibumu, karena bagaimanapun kamulah yang memiliki kekerabatan paling dekat dengannya salain saudara-saudaranya,.” “Om mungkin sudah tahu sej
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Laksa, dengan menghela napas kesal dia meletakkan penanya dan melirik Dio yang sedang tertidur pulas di box bayinya, dia memang sengaja melakukan itu supaya bisa memantau anaknya. Laksa ingat komnetar Dirga saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu ejekan bapak rumah tangga, sering dilontarkan sepupunya itu, tapi Laksa tidak tersinggung sama sekali dia memang ingin dekat dengan anaknya dan tidka ingin mengulangi kesalahan sang papa yang bersikap sangat dingin padanya. “Masuk!” teriak Laksa. Kepala Tuti menyembul dari celah pintu. “Ada apa?” tanya Laksa langsung. “Itu Mas, ada tamu di bawah.” “Tamu? Mencariku?” “Iya.” “Siapa? Aku tidak ada janji dengan seseorang?” Tuti berdiri di sana dengan bingung, mungkin Laksa lupa kalau dia di rumah bukan di kantornya yang setiap tamu harus membuat janji dulu
“Makanannya tidak enak? Apa aku pesankan yang lain?” tanya Luna lagi, tapi Laksa tetap diam, seolah tak mendengar ucapan Luna, seolah mereka terpisah tempat yang jauh. Luna menghela napas dan berdiri dari duduknya, menarik piring di hadapan Laksa dan mencuil sedikit ayam bakar di piring itu, dengan tangannya Luna menyuapkan makan itu ke mulut Laksa. “Aku bisa makan sendiri, tanganku baik-baik saja.” “Aku tahu, buka mulut kakak sekarang,” kata Luna garang dengan mata melotot, tapi bukannya takut Laksa malah tersenyum dan membuka mulutnya. “Nah pinter, papanya Dio mau makan.” “Berasa jadi anak kecil aku.” “kakak memang bukan anak kecil, kan sudah bikin anak kecil, tapi hari ini tidka mau makan seperti anak kecil,” omel Luna. “Bukan tidak mau makan hanya saja-“ “Galau.” “Eh?” “Iya kakak lagi galau karena pernikahan ibu, aku buk
“Mas Hardi ingin pernikahan kami sederhana saja asal sah,” kata sang ibu. Pagi ini memang Laksa secara khusus mengunjungi rumah ibu kandungnya ini, letak rumah yang ada di pinggiran kota membuat mereka harus berangkat lebih awal. Yah mereka karena Luna juga ikut serta, bukan tanpa alasan juga Luna melakukannya, di samping tak pantas membiarkan Laksa pergi sendiri, juga karena masih ada rasa kecewa dan amarah yang membuat Laksa bisa saja melakukan hal yang mungkin saja mereka sesali. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang tamu, hanya ada mereka bertiga, karena orang yang disebut sebagai Mas Hardi, calon suami sang ibu memang sedang pergi bekerja. Luna menoleh pada suaminya dan mendapati wajah itu masih saja datar. “Sederhana bagaimana maksudnya?” tanya Luna memperjelas. Sang ibu mertua memandang Luna dengan wajah masam, entah karena pertanyaan Luna atau karena hal lainnya. “Hanya hajatan kampung, deng