Laksa membalikkan sendok makannya tanda kalau dia sudah selesai makan.
“Kakak masih marah tentang aku yang ngobrol dengan kak Vano? Kami hanya-““Aku mengerti. Maaf aku hanya takut kamu lebih nyaman ngobrol dengannya daripada denganku.”“Kenapa kakak mikir begitu?”Laksa menggelengkan kepalanya itu tidak penting lagi untuk sekarang.“Kamu percayakan kalau aku sayang kamu dan tidak akan menyakitimu secara sengaja?”Luna mengangguk. “Setelah hubungan kita membaik dan aku putus dengan Raya lima bulan yang lalu aku tidak pernah bertemu dengannya sampai minggu lalu.”“Aku tahu, dia ada di luar negeri dan kakak selalu pulang tepat waktu jadi tidak mungkin menemuinya.”“Benar.”“Lalu?”“Dia tadi mengajakku bertemu di restoran, maaf aku tidak mengatakannya padamu tadi,” kata Laksa pelan dengan kepala masih menunduk dalam, dia tidak ingin terjadi kesalahpahaman. Raya dan keluarganya pasti akan“Apa kita bisa bicara sambil duduk saja,” kata sang dokter yang mengarahkan pasangan orang tua itu untuk duduk di sofa. Luna menoleh pada ranjang Dio, dan dia tersenyum penuh terima kasih pada salah satu perawat yang menemani putranya itu. Laksa mengenggam tangan sang istri dengan erat seolah ingin mencari kekuatan dari tangan yang terasa dingin itu. Baik Laksa maupun Luna bukan pribadi yang lemah, terutama beberapa waktu ini keduanya telah banyak merasakan kerasnya hidup, tapi sebagai orang tua tentu keduanya tak akan sanggup melihat buah hati tersayangnya terbaring lemah tak berdaya. “Mohon maaf kalau membuat Bapak dan Ibu menunggu dengan cemas,” kata sang dokter dengan senyum sopan, lalu mengambil amplop lebar dan mengeluarkan kertas dari dalamnya. “Dari hasil test yang telah kami lakukan anak Dio menderita gejala penyakit roseola, tapi dengan pengobatan dan juga istirahat cukup, Dio bisa sembuh sepe
Luna menggeleng. “Aku sengaja menunggu kakak tadi, ku kira akan pulang lebih cepat.” Laksa memandang Luna penuh rasa bersalah. “Maaf tadi ada sedikit masalah dan ibu juga meminta aku mampir ke rumahnya sebentar, dia juga sduah tahu kalau Dio dirawat di ruamh sakit.”“Bukan masalah, bagaimana pertemuan tadi?” tanya Luna yang memang sudah penasaran dengan pertemuan hari ini. “Semua keluarga ibu berkumpul tadi dan yah... mereka mau tak mau harus setuju dengan rencana pernikahan itu.” “Mau tak mau? Jadi terpaksa?” “Bukan terpaksa, maksudku mereka tak bisa bicara banyak, mereka juga telah lama hidup tanpa saling mempedulikan, ke sana hanya sebagai formalitas saja, apalagi ibu juga sudah menentukan tanggal pernikahannya, tanpa campur tangan keluarga.” “Ibu sepertinya tidak sabar untuk segera menjadi istri om Hardi.” Laksa mengedikkan bahunya. “Saudara ibu sebenarnya menyayangkan rencana ibu yan terkesan buru-buru, mereka
Laksa sampai di rumah sakit tepat pukul dua siang. kelelahan jelas terpancar dari wajahnya yang kusut, padahal dia pergi bersama seorang sopir yang mengantarnya. Drama keluarga dan juga hubungannya dengan sang ibu yang tidak sehat memicu kelelahan ini, mungkin benar kata Luna dia harus berusaha melupakan kesalahan sang ibu di masa lalu, meski Laksa akui itu tak akan mudah. Laksa membuka pelan pintu ruang rawat Dio, takut kalau putranya itu sedang tertidur dan kaget mendengar suara pintu yang terbuka, tapi perkiraan Laksa salah jagoan kecilnya itu sekarang sedang sibuk menggigiti mainannya, di sampingnya Luna memandang sang anak dengan senyum merekah. Ada kehangatan yang merambat di dada Laksa saat melihat pemandangan indah itu dan seketika mengangkat semua rasa tak nyaman yang sejak tadi memeluk erat dirinya. “Papa sudah pulang, dek,” kata Luna pada sang anak yang ditanggapi bayi kecil itu dengan memandang sang ayah, lalu melanjutkan kembali k
Seolah tak memberi waktu Laksa untuk kembali berpikir, ponsel yang tadinya sudah senyap kini kembali menjerit-jerit meminta perhatian. Mau tak mau Laksa mengambilnya apalagi saat Luna mengatakan kalau mungkin saja ada sesuatu yang penting yang ingin dibahas sang ibu. “Ya, Halo.” “Ibu senang senang akhirnya kamu mengangkat panggilan ibu.” Laksa hanya terdiam, di saat seperti ini dia sama sekali tak ingin basa basi dengan siapa pun, apalagi pada ibunya. “Nak kamu masih di situ?” “Iya, saya masih di sini.” Sama seperti sebelumnya cara bicara Laksa dengan sang ibu juga masih sama. Dingin dan formal. “Syukurlah, apa kabarmu hari ini, Nak, kalau kabar ibu baik... kemarin Mas Hardi bilang menemuimu, dia memang begitu-“ “Kabar saya baik, Maaf saya sedang sibuk, ada apa anda menghubungi saya?” “Oh, kamu pasti sedang sibuk bekerja ya, ibu hanya mau meny
Kemunculan Dirga memutus segala hal yang ada dipikiran keduanya, serempak dua orang itu menoleh dan mendapati sang sepupu membawa banyak makanan di tangannya. Luna beranjak berdiri dan mengambil makanan yang dibawa Dirga, hanya untuk menatanya saja,napsu makannya seolah hilang melihat kondisi anaknya. “Kenapa? Tidak suka?” tanya Dirga yang melihat Luna hanya bengong setelah menyiapkan makanan yang tadi dia bawa. “Bukan hanya tidak napsu makan saja.” “Kalau lihat Laksa masih napsukan?” tanya Dirga dengan tampang serius yang membuatnya mendapat hadiah lemparan plastik pembungkus makanan dari Laksa.“Sialan kena rambutku itu ada minyaknya woi,” seru Dirga tak terima. “Mulut jangan asal jeplak saja.” “Lho di mana salahku? Aku cuma bertanya, lagian kalau itu sampai terjadi bisa gawat bukan...ckkk...ckkk.” “Sok tahu kamu, nikah saja belum, eh tapi kamu sudah sering kawin pasti.” Sekarang ganti Dirga
Ini memang bukan kali pertama Dio sakit, kelahirannya yang lebih cepat dari waktu seharusnya membuat daya tahan tubuhnya tak terlalu baik, baik Luna dan laksa menyadari betul hal itu. Konsultasi ke dokter dan berbagai vitamin sudah bukan hal yang asing untuk mereka, bahkan Dio punya dokter khusus yang setiap minggu mengecek perkembangannya, tapi kali ini berbeda, panas yang disertai ruam di beberapa tempat itu membuat Dio sangat tidak nyaman dan terus menangis. “Maafkan, aku yang tidak perhatian pada anak kita sampai dia seperti ini,” kata Luna lirih mereka sudah duduk di ruang rawat anak. Dokter memutuskan Dio rahus dirawat inap untuk melakukan beberapa pengecekan. “Jangan menyalahkan diri sendiri, ini juga salahku yang tidak bisa menjaga anak kita dengan baik dan memintamu membantu di perusahaan,” jawab Laksa tak kalah lirih. Dua orang itu sama-sama menghela napas dan memandang putra mereka yang terbaring lemah dengan tatapan send