Kecanggungan itu bahkan tak terpecahkan sampai Laksa menghentikan mobilnya di sebuah mini market.
“Aku tidak akan lam,” kata Luna yang bersiap untuk membuka pintu mobil, tapi tangan Laksa menahannya. “Tunggu.” “Ya?” “Tolong tunggu sebentar lagi sampai aku bisa mencintaimu, apa kamu akan marah padaku jika aku berkata begitu?” “Aku hanya ingin menjalani semuanya seperti air, saat ini aku istri kak Laksa, aku hanya perlu menjalankan kewajibanku sebagai istri yang baik, melayani kakak baik lahir maupun batin.” “Hanya kewajiban, bukan cinta?” tuntut Laksa. “Bukankah kakak juga begitu, aku rasa tidak masuk akal kita membicarakan cinta untuk sekarang, kita hanya perlu menjalani takdir yang digariskan sebaik mungkin. Jadi kakak mau nitip sesuatu?” Laksa hanya menggeleng merasa tertampar dengan kata-kata sederhana Luna. Benarkah sikap kerasnya sudah berusaha melawan takdir dan ditetapkan untuk dirinya.Yah, seburuk itulah pemikiran Luna pada Raya, bukan karena dia dendam pada wanita itu. Bukan, tapi lebih kepada pelajaran yang bisa dia petik dari hasil kelakuan Raya selama ini, tidak semua orang memiliki sifat yang baik dan tulus. “Mama tahu selama ini kamu sangat tidak percaya diri, kamu merasa insecure dan tidak pantas mendampingi Laksa.” Sang mama menarik napas sebentar, berusaha menyusun kata-kata agar tidak menyinggung perasaan menantunya ini. “Kamu punya banyak kelebihan yang bahkan tidak dimiliki mantan kekasih Laksa, mama tidak bicara tentang harta, karena seperti yang kamu tahu keluarga ini sama sekali tidak butuh harta lagi, kamu istri Laksa sah di mata hukum agama dan negara, jadi mama mohon buang jauh-jauh rasa tak percaya dirimu dan pertahankan Laksa sampai titik darah penghabisan,” kata sang mama dengan wajah penuh semangat dan tangan mengepal persis seperti para motivator yang sering Luna lihat di televisi. Suara dering po
Luna memandang cangkir teh yang ada di depannya dengan pikiran mengelana, dia sudah tahu kalau Raya orang yang nekad dan jangan lupakan latar belakang keluarganya yang meskipun tak sekaya keluarga Laksa, tapi tetap saja memiliki pengaruh yang sangat penting di pemerintahan. Jabatan ayahnya sebagai pejabat tinggi di kantor pajak membuatnya bisa mempermainkan orang lain, dan Luna yakin kalau masalah yang menimpa Laksa sekarang ada campur tangan keluarga Raya, meski dia tak tahu bagaimana tepatnya. "Apa mama pikir masalah hotel kali ini juga ulah Raya?" "Mama tidak bisa mengatakan iya, tapi juga tidak bisa mengatakan tidak, kita masih belum memiliki bukti, tapi hal itu tidak mustahil." Luna mengangguk mengerti, dia tahu menghadapi orang-orang seperti mereka harus hati-hati, salah-salah mereka sendiri yang hancur. "Apa Laksa sudah menemukan titik terang?" Luna menggeleng, bukan mengatakan belum, tapi dia memang tidak tahu. "Kak Laksa tidak mengatakan apapun, Ma, tadi malam dia terli
“Bagaimana rasanya? waktu muda mama pernah belajar dari seorang teman cara meracik teh yang tepat tapi katanya mama waktu itu gagal, karena tak memenuhi ekspektasinya, tapi beberapa bulan yang lalu mama bertemu dengannya dan dia memuji teh racikan mama, meski sebenarnya itu hanya tentang selera saja, bukan begitu, Nak?” Luna yang memang sama sekali buta dengan dunia pertehan tentu saja hanya bisa mengangguk sok mengerti, setahunya membuat teh hanya tinggal memasukkan teh dalam air panas hingga warnanya berubah keemasan, bukan teknik rumit seperti yang ada di depan mereka.“Jadi apalagi ulah wanita itu tadi?” tanya sang mama tenang sambil menyesap teh dalam cangkir yang dia bawa. “Wanita?” tanya Luna yang gagal paham. “Raya.”“Mama tahu kami baru saja bertemu dengan Raya?” “Mama tidak tahu hanya menebak dari ekspresi wajahmu dan sedikit fakta kalau Raya juga pernah di rawat di sana.” “Dia masih di rawat di sana,” L
“Bisa temani mama minum teh sebentar di taman belakang, Nak?” tanya sang mama saat melihat Luna yang baru saja datang dari rumah sakit dalam kondisi lelah fisik dan juga hatinya, tapi dia tak mungkin menolak permintaan mama mertuanya yang sudah begitu baik padanya, apalagi sekarang hari masih belum terlalu siang, tidak enak rasanya dia yang statusnya menantu di rumah ini tidak bisa mengabulkan pemintaan kecil itu. “Sebentar, Ma, Luna ganti baju dulu,” kata Luna.“Mama tunggu di sana.” Luna hanya mengangguk dan berjalan pelan menuju kamarnya. Luna sedikit meringis saat ingat setelah mereka pergi meninggalkan Raya, Laksa sama sekali tak bicara apapun padanya, wajahnya tetap saja dingin, bahkan saat Luna sudah duduk di mobil yang dikendarai oleh sopir keluarga, laki-laki itu hanya bilang, akan pergi bekerja, itu saja sudah dengan wajah datar. Tak ada kecupan di kening yang biasa Laksa lakukan tiap pagi, bahkan Luna juga tak sempat untuk mencium t
Laksa bertemu Raya lebih dari lima tahun yang lalu, saat itu wanita itu menjadi brand ambasador sebuah kosmetik yang kebetulan milik kawan baiknya, tak jarang pemotretan yang mereka lakukan juga mengambil tempat di hotelnya. Gadis yang sangat cantik, dan mandiri juga smart membuat Laksa langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan ternyata gayung pun bersambut, Raya juga memiliki perasaan yang sama, meski hubungan mereka tak selalu mulus, karena keluarganya yang sepertinya kurang suka dengan Raya, tapi menurut Laksa itu bukan masalah. Laksa mencintai Raya demikian juga Raya mencintainya, dan itu sudah lebih dari cukup, dia bahkan tak mempedulikan Dirga yang sering memperingatkannya untuk menjauhi Raya. Semua terasa indah waktu itu. Tapi kini, penilaiannya terhadap Raya berubah seratus delapan puluh derajat, sikap mandiri dan smart yang dulu dia kagumi hilang entah ke mana, berganti dengan gadis keras kepala dan lici
Padahal tadi malam Luna tidur sangat nyenyak dalam dekapan hangat lengan suaminya, dia tidak ingat sama sekali kalau mimpi barang sedetik pun, tapi kenapa pagi ini lagi-lagi dia bertemu nenek lampir yang membuat paginya yang baik-baiknya jadi hancur berantakan. Luna memang sosok yang cuek dan pendiam, tapi bukan berarti dia wanita yang tidak memiliki empati sama sekali, dia sama saja dengan wanita-wanita lain, yang akan mudah terbawa emosi saat melihat hal yang dapat memancing emosinya, termasuk saat ini. Sebenarnya Luna juga tak habis pikir kenapa Raya yang hanya mengalami pendarahan masih saja di rumah sakit ini, dia saja yang melahirkan saja sudah diperbolehkan pulang. Dengan tatapan lekat Luna memperhatikan wanita cantik di depannya, bahkan Raya juga sudah bisa berjalan normal dan tidak memakai kursi roda sejak bertemu dengannya waktu itu, dan juga dia juga sudah bisa berteriak dan memakinya, apa mungkin orang sakit sempat melakukan hal itu.Raya memang hanya mengenakan baju r
“Apa mama dan opa baik-baik saja? Kenapa mereka tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya Luna yang baru ngeh tentang keadaan mertuanya itu, sungguh bukannya Luna melupakan dua keluarga suaminya itu, tapi masalah yang menderanya akhir-akhir ini membuat otaknya penuh sesak. “Mereka baik-baik saja, kemarin papa juga sudah menghubungi dokter keluarga, dan dokter hanya menyarankan mereka untuk tenang dan beristirahat.” Luna mendongak tak menatap mata sang suami, mencari kebenaran di sana, dan saat kebenaran itu dia dapatkan,Luna bisa menarik napas lega, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan. Malam ini kedua insan itu tidur dengan saling berpelukan erat seolah mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya, tidur lelap yang sangat mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok yang penuh dengan aral rintangan yang menghadang. Pukul enam pagi baik Luna maupun Laksa sudah berpakaian rapi, tentu saja Laksa akan berangkat kerja, akan tetapi sebelu
Luna merasakan usapan tangan di pipinya, dia memandang pemilik tangan itu.“Jangan menangis, aku tidak ingin melihat air matamu,” kata Laksa dengan lembut. Ternyata dia menangis, Luna bahkan tak menyadari itu semua, pikirannya terlalu kalut sampai dia tak bisa merasakan apapun. Luna berusaha tersenyum, meski siapapun tahu kalau senyum itu terpaksa bertengger di wajahnya sekedar supaya tidak menjadi tambahan beban untuk suaminya “Semuanya akan baik-baik saja, aku tidak tahu apa yang sudah kamu dengar, tapi percayalah semuanya akan teratasi dengan baik, Kemarin aku bekerja keras bersama opa dan papa juga Dirga untuk membongkar semuanya,” kata Laksa lebih kepada untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada sang istri. Pandangan laki-laki itu sedikit menerawang, masalah kali ini memang cukup rumit untuknya, hotel yang dipimpinnya bisa saja dianggap melakukan kelalaian pajak yang harusnya dibayar oleh semua warga negara yang baik, meski
"Kemana semua orang?" "Mereka ada, mungkin sedang beristirahat di kamar."Luna menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam, waktu makan malam memang baru saja terlewat, biasanya keluarga ini masih sibuk mondar-mandir melakukan beberapa hal, tapi sekarang tak ada satu pun yang muncul bahkan para asisten rumah tangga juga tak kelihatan batang hidungnya. "Sudah nyaman?" tanya Laksa saat membantu Luna bersandar pada beberapa bantal yang telah disusun oleh suaminya itu."Iya, terima kasih, Kak."Laksa tersenyum dan berniat akan meninggalkan kamar tapi cepat-cepat Luna mencegahnya."Kakak mau kemana? Kenapa dari tadi menghindar terus, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Raya sampai mengamuk seperti orang gila begitu, kakak tidak berjanji aneh-anehkan padanya?""Istriku sayang, lancar banget ngomelnya kayak kenek metromini," kata Laksa yang terdengar geli dengan omelan sang istri. "Kenapa tidak di