Share

bab 7

Penulis: Lindaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-22 11:02:03

Duduk di bangku belakang mobil hitamnya yang meluncur menembus malam, Tobias mengetuk-ngetukkan kakinya dengan gelisah. Pikirannya terus berputar, mengulang-ulang percakapannya dengan Amara beberapa jam yang lalu.

Semakin ia mengingat wajah dingin perempuan itu saat dengan mudah mengucapkan kata cerai, darahnya makin mendidih.

Betapa beraninya dia.

Dulu Amara seperti anak anjing yang sedang jatuh cinta, selalu menempel padanya, memandangnya dengan mata yang penuh kekaguman seolah-olah dia adalah satu-satunya pria di dunia ini. Tapi sekarang?

Dia ingin pergi. Ingin hidup bebas, dibiayai oleh sugar daddy-nya.

Tobias mendengus, matanya menyipit tajam ke luar jendela.

Tidak.

Dia tidak akan membiarkan perempuan itu lolos begitu saja. Tidak kali ini.

Kalau Amara ingin bercerai, maka Tobias akan memastikan proses itu menjadi mimpi buruk baginya. Setiap langkahnya, setiap keputusannya, setiap nafas yang diambilnya—akan dipenuhi dengan penyesalan. Dia akan membuat Amara menyesali keberaniannya bermain di belakangnya.

Namun di balik amarahnya yang membara, Tobias tak bisa mengabaikan satu hal, keberanian Amara benar-benar membuatnya bingung.

Sambil menghembuskan napas kasar, dia bergumam lirih,

“Seharusnya aku tahu sejak awal kalau menikah dengannya adalah kesalahan. Ular tetap saja ular, tak peduli seberapa halus kulit barunya.”

Ucapan itu membawanya kembali ke masa lalu—ke hari di mana semuanya dimulai.

Tahun pertamanya di universitas. Saat itu, ia menerima kabar bahwa kakeknya, Gustavo, terkena serangan jantung. Ia langsung meninggalkan ujian dan melesat ke rumah sakit.

Dan di sanalah dia bertemu Amara—gadis dengan wajah polos dan senyum lembut yang mengaku “kebetulan” berada di tempat kejadian dan menolong kakeknya.

Kebetulan? Tobias tahu, tidak ada hal seperti itu di dunia ini. Tapi Gustavo mempercayainya. Bahkan mengundang gadis itu makan malam. Dari sana segalanya berubah.

Gustavo menyukai Amara, bahkan sampai menawarinya tinggal bersama mereka setelah tahu dia hidup sendirian dan sedang kesulitan keuangan.

Dan tentu saja, seperti penggali emas sejati, Amara langsung menerima tawaran itu tanpa ragu—dengan mata berbinar dan senyum manis yang menipu.

Sejak saat itu, Tobias membenci Amara. Bukan karena sesuatu yang jelas, tapi karena firasatnya mengatakan ada sesuatu yang busuk di balik kepolosannya.

Kebenciannya bertambah ketika Gustavo mendaftarkan Amara di universitas yang sama dengannya dan Celestine. Gadis itu selalu muncul di antara mereka, seolah berusaha memisahkan keduanya.

Dan ketika Tobias mencoba memprotes, Gustavo hanya menjawab dengan tenang,

“Kau harus terbiasa dengannya, Tobias. Dia akan menjadi istrimu suatu hari nanti. Dia menyelamatkan nyawaku—ini hal kecil yang bisa kulakukan untuk membalasnya.”

Itu adalah titik di mana segalanya mulai runtuh.

Tapi bahkan setelah mereka menikah, Amara tetap memainkan perannya dengan sempurna.

Dia memasak, membersihkan, mengurus rumah—semuanya dilakukan dengan senyum lembut tanpa pernah mengeluh.

Hingga suatu saat Tobias mulai berpikir... mungkin dia salah.

Mungkin Amara memang istri ideal yang diimpikan semua pria.

Namun semuanya berubah ketika Celestine kembali.

Lewat pengakuannya, Tobias akhirnya tahu kenyataan pahit yang selama ini disembunyikan—bahwa Amara-lah yang membujuk Gustavo untuk mengirim Celestine jauh ke luar negeri.

Dan keputusan itu hampir merenggut nyawa Celestine.

Rasa bersalah menyelimuti Tobias. Ia merasa ikut bertanggung jawab atas semua itu. Maka untuk menebus kesalahannya, ia mulai menemui Celestine diam-diam, hanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.

Tapi entah bagaimana, Amara tahu.

Dia pasti menyuruh seseorang mengawasinya.

Sejak saat itu, Tobias yakin—Amara bukan hanya manipulatif, tapi juga berbahaya.

Dan ketika malam ulang tahun pernikahan mereka tiba, Amara malah mengirim pesan dingin tanpa makna. Tobias pun memutuskan saat itu juga: dia akan memberinya pelajaran.

Ancaman perceraian seharusnya cukup untuk membuatnya hancur, memohon maaf, dan berlutut. Tapi ternyata tidak.

Amara malah menerima semuanya dengan ringan—seolah itu adalah tiket kebebasan menuju pelukan sugar daddy-nya.

Dan itu… menyulut amarah Tobias sampai ke dalam hatinya.

“Ular tetap lah ular,” gumamnya lagi, tepat ketika mobil berhenti.

Dean, sopirnya, menoleh. “Kita sudah sampai, Tuan Larsen.”

Saat Tobias keluar dari dalam mobil, tatapannya langsung tertuju pada gedung apartemen Celestine. Dari luar saja, kekacauan sudah terlihat. Polisi berkeliaran, garis kuning membentang di depan pintu masuk.

Dia mendengus pelan. Ini akan jadi masalah besar. Tapi sebelum semua beres, dia harus memastikan Celestine aman.

Begitu masuk, pandangan orang-orang langsung tertuju padanya. Tapi Tobias tak peduli. Langkahnya mantap menuju sosok pirang di sofa, tubuhnya terbungkus selimut cokelat, bahunya gemetar.

“Celeste.” Suaranya lembut, tapi tegas.

Gadis itu menoleh dan seketika ekspresinya berubah lega. “Toby... aku senang kamu datang.”

Ia langsung berdiri, memeluk Tobias. Pria itu membalas pelukannya, menepuk kepalanya dengan lembut.

“Apakah pelakunya sudah ditangkap?” tanyanya tanpa basa-basi.

Celestine hanya menggeleng pelan. Namun Tobias tahu, ada sesuatu yang disembunyikannya.

Gerak-geriknya terlalu gelisah, apalagi ketika ia mulai menggigit kuku jempolnya, kebiasaan lama yang selalu muncul setiap kali dia gugup.

“Ada apa, Celeste?” tanyanya pelan.

Gadis itu menatapnya ragu, lalu berbisik, “Toby... tolong janji dulu, kamu nggak akan marah pada Amara.”

Alis Tobias berkerut tajam. “Marah? Untuk apa aku marah padanya?”

Celestine menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.

“Polisi bilang, pelaku itu terhubung dengan sebuah unggahan skandal di media sosial beberapa hari yang lalu. Unggahan itu berisi rumor jahat tentang aku...”

Dia terdiam sejenak, menelan ludah sebelum akhirnya berbisik pelan,

“Dan orang yang membuat unggahan itu... adalah Amara.”

Hening.

Tobias terdiam. Tatapannya kosong beberapa saat sebelum perlahan rahangnya mengeras. Ia melepaskan tangannya dari bahu Celestine dan mengepalkannya.

“Aku... aku minta maaf,” bisik Celestine, suaranya bergetar.

Tobias menatapnya dengan mata gelap. “Ini bukan salahmu.”

Nadanya datar, dingin—terlalu tenang untuk seseorang yang nyaris meledak dalam amarah.

“Ini salah Amara,” katanya pelan. “Dan dia akan menyesalinya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 13

    Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 12

    Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 11

    Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 10

    Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 9

    "Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 8

    “Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status