Share

bab 6

Penulis: Lindaaaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-21 09:27:13

“Apakah Larsen belum menandatanganinya?”

“Maaf, Nyonya Crawford,” sahut Philip di ujung telepon dengan nada lelah. “Saya sudah mendesak pihak Tuan Larsen, tapi mereka mengabaikan kami. Saya sedang mengajukan prosedur pengadilan untuk Anda, tapi hakim menyarankan agar Anda berkomunikasi dengan tuan Larsen terlebih dahulu.”

Mendengar itu, Amara tertawa getir. Tobias yang dulu bersih keras ingin bercerai, kini justru menghalanginya di setiap langkah. Apa sebenarnya pria itu inginkan? Dengan napas berat, Amara menenangkan diri. Kalau Tobias ingin bermain, dia pun bisa bermain.

“Saya mengerti, Philip. Saya akan menemui Tobias nanti.” Ia menutup telepon, mengambil tasnya, dan melangkah keluar menuju Labyrinth, Perusahaan Tobias.

Begitu melewati pintu putar, suara yang tak asing menghentikannya.

“Amara?”

Suara itu… Suara yang tidak ingin ia dengar.

Saat berbalik, dua wajah yang paling ia hindari berdiri di sana—Giselle dan Fiona Larsen. Ibu dan saudara perempuan Tobias. Dua wanita yang membuat enam tahun pernikahannya terasa seperti neraka.

“Apa yang kau lakukan di sini, Amara?” tanya Giselle dengan tatapan merendahkan. dan kemudian ia mencengkeram pergelangan tangan Amara dengan kasar. “Berpakaian seperti ini? Apakah kau ingin mempermalukan putraku?”

Amara menatap pakaiannya—jeans biru tinggi, kaus putih, dan kardigan garis-garis. Jelas bukan pakaian pembantu. Tapi tentu saja, bagi Giselle, apa pun yang ia kenakan selalu tampak salah.

Kali ini, Amara tak berniat diam. Ia menarik tangannya dengan paksa hingga Giselle tersentak. “Sebaiknya jaga ucapanmu kalau tak mau menyesal.”

Mata Giselle membulat, kaget mendengar nada dingin yang tak pernah Amara gunakan sebelumnya.

“Berani sekali kau bicara begitu pada mertua mu!” bentaknya.

Amara hanya menatap mereka tanpa ekspresi. Tatapan itu saja sudah cukup membuat ibu dan anak itu gelisah.

“Lihat, gadis sombong ini!” Fiona menimpali.

“Kalau bukan karena Kakek, kau sudah diusir sejak lama.”

“Cukup,” ucap Amara sambil mengangkat dagunya.

“Aku tak perlu lagi hidup di bawah belas kasihan kalian.” Ia mengangkat amplop cokelat dari tasnya. “Begitu ini ditandatangani, aku bebas. Kalian tak perlu melihat wajahku lagi.”

Fiona dan Giselle saling berpandangan tak percaya. Tapi sebelum sempat membalas, beberapa pria berbaju hitam muncul dari lobi, mengawal Tobias Larsen yang lagi berjalan bersama seorang pria paruh baya.

Tobias mengerutkan alis. “Apa yang terjadi di sini?”

Suara dinginnya membuat semua menoleh. Tatapannya bertemu dengan Amara—dan senyum kecil muncul di bibirnya. Dalam pikirannya, dia sudah menang.

“kakak!” seru Fiona cepat. “Wanita ini bilang dia datang untuk menceraikanmu! Bukankah itu lucu?”

Ekspresi Tobias langsung mengeras. Amara mendekat dengan langkah mantap, menyerahkan berkas itu di hadapannya.

“Apakah kau pikir aku datang untuk memohon padamu?” katanya dingin. “Turunlah dari singgasana arogansimu, Tobias. Dan jangan lupa hadir di sidang nanti.”

Nada suaranya membuat rahang Tobias mengeras. Ia nyaris membalas ketika Giselle melangkah maju dan menampar Amara dengan keras.

PLAKKK

“Beraninya kau berbicara begitu kepada putraku!”

Tamparan itu diberikan dengan kekuatan penuh, menyebabkan wajah Amara miring ke satu sisi. Amara menjilat sudut bibirnya dan merasakan darah. Tanpa ragu, dia menampar balik dengan keras, menyebabkan Giselle jatuh ke lantai dan perhiasan di rambutnya jatuh beberapa meter jauhnya.

“Beraninya kau memukul ibuku?!” Tobias mengaum marah sambil bergegas membantu ibunya berdiri. Napasnya memburu, matanya menatap Amara dengan tajam.

Sejak kapan Amara menjadi begitu kasar? Bahkan jika ibunya memang bereaksi berlebihan, dia tetap orang yang lebih tua — seharusnya Amara tahu batasannya.

Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya begitu ia melihat wajah Amara dengan jelas.

Bekas telapak tangan merah mencolok tampak di pipinya, kontras di kulitnya yang pucat.

Tobias terdiam. Untuk pertama kalinya, dia kehilangan kata-kata.

“Setimpal,” ujar Amara datar.

Tobias terdiam, hatinya bergetar aneh melihat luka di wajah wanita itu. Tapi sebelum ia sempat berkata, Fiona menjerit marah.

“kakak! Kita harus menyeret jalang ini ke penjara!”

Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh Amara, seorang pria paruh baya menahan pergelangan Fiona.

“Cukup.” Suaranya tegas. Semua menoleh. Tobias menegang—itu Timothy Carson, klien terpentingnya.

“Apakah seperti ini cara kau mengatur keluarga mu tuan Larsen? membiarkan ibu dan saudara perempuan mu membully istrimu?” tanya Timothy dengan tatapan tajam.

“Tak heran wanita ini ingin bercerai.” Ia mendengus. “Aku harus meninjau ulang kerja sama kita.”

Fiona dan Giselle saling memandang dengan panik.

Giselle buru-buru memohon, “Tuan Carson, tolong. Ini hanya kesalahpahaman. Putraku tak bersalah.”

“Benarkah?” Timothy menatapnya dengan sinis.

“Lalu siapa yang bersalah?”

Giselle menggigit bibirnya. Ia ingin menuduh Amara, tapi tatapan tajam pria itu membuatnya menahan diri. Dengan berat hati ia menunduk.

“Saya terlalu impulsif. Kami akan meminta maaf padanya.”

“Ibu—” Fiona memprotes, tapi Giselle memberi isyarat tajam agar diam.

“Maafkan aku,” ucap Fiona akhirnya, nyaris berbisik.

Amara mendengus pelan. “Kata yang indah setelah enam tahun kalian memperlakukan aku seperti sampah.” Tatapannya beralih ke Tobias. “Bagaimana denganmu, Tuan Larsen?”

Tobias mengepalkan tangan. “Jangan keterlaluan, Amara.”

“Jadi kau akan bersembunyi di balik ibumu?” sindir Amara dengan lembut.

Tobias menahan napas, lalu dengan nada menekan berkata, “Maafkan aku.”

“Bagus.” Amara mengangguk ringan. Ia menepuk jasnya seolah menghapus debu tak terlihat.

“Dan Jangan lupa tanda tangani surat ceria ini.”

Tanpa menunggu jawabannya, dia berbalik dan mulai berjalan pergi.

"Nah, kerja sama kita bisa dilanjutkan. Aku akan meminta asistenku menghubungi timmu nanti," ujar Timothy dan kemudian bergabung dengan Amara untuk pergi tanpa melihat ke belakang. Dia bertaruh keluarga Larsen akan menyesali bagaimana mereka memperlakukan Amara.

Keduanya melangkah keluar tanpa sekali pun menoleh ke keluarga Larsen yang terpaku di tempat.

Tobias menatap punggung Amara hingga menghilang di balik pintu kaca. Setiap langkahnya terasa menusuk dada.

“Dasar wanita murahan,” dengus Giselle di belakangnya. “Langsung menempel pada pria lain.”

“Benar, Ibu,” timpal Fiona. “Kau lihat caranya tersenyum pada Tuan Carson? Memalukan.”

Tobias mengepalkan tangannya. Ya, dia melihatnya. Senyum itu—hangat dan tenang—senyum yang sudah lama tidak pernah ia dapatkan.

“Pulanglah,” katanya dingin.

“Tapi—”

“Aku bilang pulang!”

Tanpa menunggu jawaban, Tobias berbalik masuk ke gedung. Tangannya merogoh saku celananya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya.

“James.”

Suara di seberang terdengar gugup. “Tuan Larsen…”

"Dua puluh empat jammu berakhir kemarin pukul sembilan malam, James. Kau sedang menguji kesabaranku atau sudah bosan dengan pekerjaanmu?"

"T-tidak. Tidak seperti itu, Tuan Larsen. Tolong maafkan aku karena tidak menelepon lebih cepat, tapi..." James ragu-ragu.

"Tapi, apa?"

"A-aku... mengalami sedikit masalah saat mengumpulkan data tentang Nyonya Larsen-"

"Masalah apa yang kau hadapi?"

"Data yang lebih serius tentang Nona Amara dijaga dengan ketat!" James dengan cepat mengakuinya.

Tobias tidak bisa menghentikan alisnya mengerut. "Apa?"

"Seperti yang kau dengar, Tuan Larsen. Beberapa kekuatan misterius melindungi informasi tentang Nyonya Larsen. Tapi jangan khawatir Tuan Larsen, aku bisa-"

Tobias menutup telepon sebelum James bisa menyelesaikan apa yang dikatakannya dan membanting ponselnya ke meja.

Tidak kompeten! pikirnya. Mereka semua sialan tidak kompeten. hanya satu tugas tapi mereka gagal mengerjakannya!

Seluruh hal ini mulai membuatnya kesal. Gagal mengakuisisi perusahaan Melanie dan sekarang informasi tentang Amara.

Dia melirik amplop coklat di mejanya, yang berisi surat perceraian.

Semuanya membuat sarafnya tegang. Mengapa hal-hal terus berjalan salah setelah dia meminta cerai?

"Berapa banyak hal yang telah kau sembunyikan dariku, Amara?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 13

    Lorenzo menyebut nama Tobias dengan nada yang membuat darahnya mendidih. Entah karena cara pria itu mengucapkannya, atau bagaimana ia terdengar begitu percaya diri saat membicarakan Amara, seolah-olah dia tahu segalanya tentang wanita itu. Tobias menatapnya tajam, menahan diri agar tidak langsung meledak. “Amara menginginkan kebebasan, Tobias,” kata Lorenzo santai, menyilangkan tangan di dada. “Dia ingin hidup tanpa bayangan masa lalumu.” Nada suaranya terdengar terlalu ringan, terlalu menantang. Tobias mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. “Dan kau pikir kau tahu apa yang dia mau?” tanyanya dingin. Lorenzo tersenyum tipis. “Aku tahu cukup banyak. Cukup untuk menyadari bahwa dia sudah berhenti menunggumu.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Tobias diam selama beberapa detik, berusaha memahami apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap pria di hadapannya dengan rahang mengeras. “Kau berbicara seolah-olah kau tahu segalanya tentang Amara,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku tahu apa

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 12

    Menatap nama yang tertera di layar ponselnya, Tobias sempat mengira akan muncul sesuatu di dadanya—amarah, mungkin, terhadap Celestine, wanita yang kini menjadi pusat skandal akibat foto-foto yang tersebar. Namun yang ia rasakan justru kekosongan. Bukan kemarahan, bukan kepedihan, hanya hampa yang dingin. Seolah seluruh emosinya telah terkuras, meninggalkan ruang kosong yang tak berisi apa pun. Ada penolakan yang samar di dalam dirinya. Penolakan terhadap Celestine, terhadap masa lalu, bahkan terhadap dirinya sendiri. Segalanya masih terlihat utuh di permukaan—hubungan yang masih bertahan, kehadiran Celestine yang belum pergi—namun jauh di dalam hatinya, Tobias tahu semua itu hanya bayangan yang tersisa. Yang ada kini hanyalah jarak. Dan di balik jarak itu, kelegaan aneh menyelinap, seolah kehilangan sesuatu yang seharusnya memang tidak pernah ia genggam. Dengan tatapan kosong, Tobias membiarkan ponselnya berdering lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya ia mengangkat. “Halo?”

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 11

    Properti pertama yang Tobias beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri adalah rumah tempat ia tinggal saat ini. Sebuah kediaman megah berwarna krem lembut, berdiri anggun di kawasan paling eksklusif di kota—tersembunyi, tenang, namun penuh kemewahan yang tidak mencolok. Ada sepuluh kamar tidur, kolam renang indoor dan outdoor, taman luas yang selalu terawat, tiga dapur, dan sebuah kantor pribadi. Bagi kebanyakan orang, rumah itu sudah seperti istana. Tapi bagi keluarga Larsen, yang terbiasa hidup dalam kemewahan berlebihan, tempat ini justru dianggap sederhana. Berkali-kali keluarganya menyuruhnya pindah ke mansion keluarga di pusat kota, tapi Tobias menolak. Entah kenapa, rumah “sederhana” ini terasa jauh lebih nyaman baginya dibanding semua tempat mewah lain yang pernah ia tinggali. Kini, ketika langkah kakinya menyusuri lorong panjang yang sunyi, Tobias baru benar-benar mengerti alasannya. Ia berhenti di ruang tamu, memandang ke sekeliling, membiarkan pandangannya menelusuri s

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 10

    Tamparan yang melayang dari tangan Amara bukanlah sesuatu yang direncanakan. Gerakannya spontan, secepat kilat, lahir dari luapan emosi yang tak sempat ia kendalikan. Suara keras tamparan itu menggema di ruangan sempit, memantul di antara dinding dan jantungnya yang berdebar tak karuan. Udara tiba-tiba terasa menegang, seperti berhenti bergerak sesaat. Amara menatap tangannya yang masih terangkat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Pipinya sendiri terasa panas dan memerah, bukan karena disentuh, melainkan karena rasa kaget yang menghantam dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar halus, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan di dada. Di hadapannya, Tobias berdiri kaku. Tatapan pria itu menusuk tajam, begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Amara berdiri. Mata gelap Tobias menyala, menahan amarah yang jelas bergolak di dalam dirinya. Tidak ada kata yang keluar, hanya udara tegang yang menggantung di antara mereka. “Kenapa kau ada di sini?” suara Tobias

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 9

    "Sudah berapa lama?" tanya pria berambut pirang dengan mata cokelat lembut. Suaranya tenang, namun terdengar rasa ingin tahu di dalamnya saat ia menuntun Amara menuju tempat duduk. Setelah menarikkan kursi untuknya, ia menambahkan dengan senyum tipis, "Tiga tahun?" "Empat," jawab Amara singkat sambil duduk, suaranya hampir berbisik, "Terima kasih." Ia menunggu sampai pria itu duduk di depannya sebelum menanyakan, "Bagaimana hidupmu di Italia, Lorenzo?" “Luar biasa, sebenarnya,” ujar Lorenzo dengan nada hangat dan tenang. “Aku tidak akan pulang jika bukan karena Kakek yang memintaku untuk membantumu sedikit, sejak kau sadar kembali.” Amara tersenyum kecil mendengar ucapannya. Lorenzo, kakak laki-lakinya, selalu pandai merangkai kata—sama seperti Kakek mereka. Meski begitu, ia benar-benar senang kakaknya ada di sini bersamanya. “Aku benar-benar senang kau di sini, Lorenzo,” ucapnya tulus, membuat kakaknya tersenyum. Namun senyuman itu segera memudar ketika Lorenzo berkata pelan,

  • Wanita Yang Kucampakkan, Kini Menguasai Hasratku   bab 8

    “Semua tuduhan dan klaim yang ditujukan kepada saya dalam unggahan terakhir adalah kebohongan serta bentuk pencemaran nama baik. Saya berharap kalian semua, sebagai penggemar setia, dapat mengabaikan tuduhan berbahaya dan tidak profesional itu, serta terus mendukung karier akting saya ke depannya. Terima kasih atas pengertian kalian.” Keesokan paginya, Melanie yang membaca pernyataan itu mencibir keras. Ia muak dengan betapa suci dan polosnya Celestine terdengar, padahal kenyataannya, wanita itu lebih hitam daripada papan tulis. “Omong kosong,” desisnya sambil menutup laptop dengan kesal. Tatapannya beralih pada Amara yang sedang tenggelam membaca berkas-berkas dari kakeknya—materi penting sebelum ia benar-benar mengambil alih perusahaan keluarga. “Bagaimana bisa dia berbohong sepolos itu di depan semua orang? Perempuan itu benar-benar definisi domba hitam. Dan kalau ada yang masih polos di sini, jelas itu kamu, Amara.” Namun Amara terlalu tenggelam dalam pekerjaannya untuk me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status