Bab 6. Karena Perempuan Berstatus Istri Wajib Patuh Pada Suami
“Ning, apa ini?” Tiba-tiba Mas Sigit mencekal lenganku.
“Singkirkan tanganmu, Mas!” sergahku mengibaskan tangannya, tetapi tak bisa.
“Kenapa masukin pakaian ke dalam koper? Kamu mau pergi?” tanyanya malah makin mengeratkan cekalan. Sakit dan perih di pergelangan tanganku, tak dihiraukannya.
“Sakit, Mas! Lepas!” teriakku mengibaskannya dengan kasar. Cekalannya terlepas. Kulanjutkan memasukkan beberapa potong pakaian lagi. Daster lusuhku belum masuk dua potong lagi. Daster yang kata Mbak Ambar lebih buruk dari kain lap di dapur. Namun, tetap akan kubawa. Karena hanya itu yang aku punya.
“Kau tidak boleh pergi!” Tiba-tiba Mas Sigit mengeluarkan isi koper lagi. Dia bahkan mencampakkannya secara sembarangan ke segala arah.
“Kenapa? Kenapa aku tidak boleh pergi!” sergahku seraya memunguti pakaian itu lalu memasukkannya kembali ke dalam koper.
“Pokoknya tidak boleh pergi!” bentak Mas Sigit mengeluarkannya lagi. Kurebut lagi, kami saling tarik menarik. Tentu saja tenagaku kalah kuat.
Aku terduduk di lantai kasar itu. Nada memeluk Rara dan Bima yang ketakutan, mereka membeku di sudut kamar.
“Kenapa kau ingin pergi? Karena Yosa?” tanya Mas Sigit menghenyakkan tubuhnya di atas dipan. Menghela napas dengan kasar, seolah begitu lelah. Wajahnya kusut masai, menatapku dengan tatapan dongkol.
Laki-laki egois! Perasaanku yang dia hancurkan, tapi dia yang dongkol!
“Dengar, Bening! Aku sudah sering bilang, apapun yang terjadi kau harus bertahan! Bukan hanya demi aku, tapi demi anak-anak! Tiga bulan kita sudah jalani ini, buktinya kau tahan selama ini. Lalu kenapa tiba-tiba kau ingin pergi malam ini?” tanyanya menatapku nanar.
“Kau pikir kenapa aku bertahan selama ini di sini? Kau pikir kenapa aku mau menjadi babu bagi seluruh keluargamu selama ini? Itu karena aku pikir aku masih butuh kau, Mas! Aku butuh kau sebagai ayah dari anak-anakku! Demi anak-anak! Semua akan aku lakukan demi mereka.” jawabku ketus.
Mas Sigit membuka mulut hendak berbicara, namun segera kupotong.
“Kau bawa kami menumpang di rumah ibumu ini, aku ikut saja. Kau janjikan padaku kita akan segera pindah dan mengontrak rumah sendiri, aku sabar menanti. Kau suruh aku sabar meski dijadikan babu, dihina dan selalu dicaci maki oleh ibu dan kakak-kakakmu, aku penuhi! Itu semua demi anak-anak. Aku takut jika aku membantahmu, kau akan meninggalkan kami. Kalau hanya aku, aku tak masalah meski tak bersuami. Tetapi anak-anak? Aku tak tega bila mereka tak punya ayah, Mas! Mereka butuh sosokmu! Itu sebab aku ikuti semua kemauanmu selama ini!” paparku panjang lebar.
“Lalu apa yang salah, Ning? Kenapa kau menyerah?” sergahnya dengan ekspresi wajah tak berdosa. Seolah dia tak melakuakn kesalahan apa-apa. Aku semakin jengkel.
“Apa yang salah? Kau tanya apa yang salah, Mas?”
“Ya, bukankah semua baik-baik saja? Aku sayang pada kalian, aku berjuang demi kalian?”
“Astaga! Kau … Kau tidak sadarkah, kalau ternyata kau tak pernah memikirkan mereka! Kau hanya memikirkan dirimu sendiri dan keluargamu! Kau bahkan lebih memilih ibumu daripada anak-anakmu!”
“Bening!”
“Kenapa? Kau membantah? Tiga bulan sudah kita menumpang di sini. Selama itu pula anak-anak tak pernah minta uang jajan seperti anak kakak kakak kamu. Kau tahu bagaimana perasaanku melihat mereka menelan ludah saat anak Mbak Ambar dan Mbak Sekar menikmati makanannya? Sakit, Mas! Kau tak pernah tau itu, kan? Kakak-kakakmu tega, tak pernah membagi makanannya kepada anak-anakmu! Hari ini, karena untuk pertama kalinya kau mendapat uang, aku janjikan pada mereka untuk membeli jajanan. Tapi apa yang kau lakukan? Kau menyerahkan utuh semua gajimu kepada ibumu!” ungkapku melampiaskan semua uneg-uneg yang kutahan selama ini.
“Kenapa itu lagi yang kau bahas?”
“Karena kau bilang kau sayang pada anakmu, tapi buktinya kau lebih memilih ibumu! Tak bisakah kau sisakan sedikit saja buat mereka? Tidak bisakan? Tapi sudahlah! Itu tak penting lagi sekarang. Anak-anakku adalah anak-anak yang hebat! Aku akan membawa mereka keluar dari rumah terkutuk ini! Aku akan berjuang untuk kebahagiaan mereka.”
“Tidak! Kau tidak boleh pergi, juga anak-anak! Aku yang akan membawa kalian keluar dari sini. Aku sudah janji itu selama ini, bukan? Kita akan keluar dari sini, Ning.”
Aku terkekeh. Tawa perih menahan sedak di dalam dada. Laki-laki berengs*k ini rupanya belum paham juga apa yang paling menyakiti hatiku. Dengan bangganya dia mengatakan akan membawa kami keluar dari rumah ibunya.
“Kenapa kau tertawa, Ning? Apa yang lucu? Kua tidak percaya aku akan membawa kalian keluar dari sini?” Pria itu menatapku bingung.
“Percaya, memang benar kau akan membawa kami keluar dari sini. Tetapi bukan ke rumah kontrakan seperti janjimu! Melainkan ke rumah yang disediakan oleh istri barumu! Maaf, Mas! Aku tidak mau! Aku sudah memintamu untuk menolak lamaran perempuan itu, tapi kau memilih menerimanya. Baik, aku tidak akan memaksamu! Terserah! Tapi, maaf, aku tidak bisa menjadi madu untuk istri barumu, ataupun tetap menjadi babu bagi keluargamu! Aku akan pergi dari rumah ini bersama anak-anak!” tegasku berapi-api.
Mas Sigit turun dari Dipan lalu berjongkok di depanku.
“Tenang, Ning! Kau sedang emosi, sabar, ya! Aku minta maaf atas sikap Ibu, Mbak Ambar dan Mbak Sekar selama ini. Aku bersumpah, setelah aku menikahi Yosa, semua itu tak akan terjadi lagi. Yosa akan menyediakan satu rumahnya untuk kita tempati. Kau akan menjadi ratu di sana, bukan babu. Anak-anak juga akan terjamin hidupnya. Mereka juga bisa membeli jajanan sepuasnya. Jangan risau lagi, ya!” bujuknya seraya membelai kepalaku.
Sontak kutepis tanganya.
“Maaf, aku tertarik sama sekali! Bagiku, kau bukan suamiku lagi! Kau juga bukan ayah dari anak-anakku lagi. Kau bukan siapa-siapa lagi bagi kami, sejak kau putuskan untuk menikahi perempuan itu! Kuharap kau mengerti!” sergahku.
“Bening … kenapa kau jadi sensitif begini hanya karena Yosa!? Kau cemburu? Tidak perlu, Ning! Dia itu bukan siapa-siapa. Ok, aku memang akan menikahinya, tapi itu hanya nikah siri! Istri sahku hanya kamu! Hanya dirimu! Apa salahnya aku nikah lagi, kalau kedudukannya tetap jauh di bawahmu! Aku menikahinya juga bukan untuk diriku, tapi untuk kita! Untuk kebaikan anak-anak kita, Sayang!”
“Bukan! Jangan kau kaitkan anak-anak sebagai alasanmu menikahi perempuan itu! Kau menikahinya semata-mata untuk kesenanganmu dan keluargamu! Tak usah beralasan ini itu! Dan satu lagi, keputusanku sudah bulat! Tolong jangan halangi aku! Hari makin malam, aku takut kami kemalaman di jalan!”
Kembali kupungut pakaian yang berhamburan dan memasukkan ke dalam koper.
“Aku melarangmu pergi! Kau dengar, aku tidak mengizinkanmu pergi!” Mas Sigit meninggikan suaranya sambil mencampakkan lagi isi koper.
“Kau tak bisa melarangku, Mas! Kau sudah memilih menikahi wanita itu! Aku sudah memintamu untuk menolaknya! Tapi kau tidak mendengarkan aku. Lalu kenapa aku mesti mendengarkan laranganmu?”
“Karena kau masih istriku! Kau wajib patuh padaku!”
****
Bab 117. Tamat (Malam Pertama Elang Dan bening)“Kamu terima aku, kan, Ning? Tapi, maaf, mungkin aku tak bisa memuaskanmu di ranjang. Kamu bisa terima aku apa adanya, kan?” Mas Elang menggenggam tanganku, tatapannya tepat di bola mataku, begitu sayu dan menghiba. “Aku sangat mencintai kamu, Ning. Maya bukan siapa siapa bagiku. Tolong terima lamaranku, aku mohon!” lirihnya lagi.“Mas Elang …?” gumamku tercekat.“Aku janji akan berusaha menjadi ayah yang baik buat anak-anak kamu. Aku juga sudah baca-baca tutorial memuaskan istri bila senjata suami gak mampu bertahan lama. Aku akan praktekkan cara itu. Aku akan buat kamu sampai benar-benar puas, baru aku tuntaskan diriku sendiri. Asal kamu sudah puas, meski aku hanya bisa tahan sebentar, gak masalah, kan?”“Mas?”“Mau praktekin sekarang?”“Tidak.”“Ya, kita halalin dulu, ya!”Mas Elang memelukku, kembali melumat bibirku. Kali ini aku membalasnya. Kurasakan ada yang menegang di areal sensitifnya. Hatiku membuncah, aku bersumpah, ta
Bab 116. Lamaran Mengejutkan Mas Elang“Mbak Nuri di sini? Kenapa? Kapan Mbak datang dari Tawang Sari? Kenapa enggak langsung ke rumah Ibu, kok, malah ke sini?” cecar Mas Elang begitu turun dari mobilnya dan menghampiri kami. Pria itu hanya menatap Mbak Nuri, sedikitpun tak melihat ke arahku. Padahal posisiku tepat di samping kakaknya itu.“I-ya, aku sengaja langsung ke warung Bening. Bening nelpon kakak. Dia ngadu tentang hubungan kalian.” Mbak Nuri mulai bersandiwara.Kulihat wajah Mas Elang memerah. Dia sempat melirikku sekilas, tatapan kami beradu, pria itu lalu berpaling.“Kita pulang sekarang, aku tunggu di mobil!” titahnya langsung meninggalkan kami.Kuhela nafas panjang, mengembuskannya dengan sangat berat. Mbak Nuri menepuk bahuku dengan halus, seperti hendak mentransfer kekuatan agar stok sabarku tak habis. Buru-buru kami mengunci pintu warung, lalu menyusul ke mobil Mas Elang. Mbak Nuri membukakan pintu untuk kami. Memintaku masuk duluan di jok tengah.“Kenapa dia ikut?”
Bab 115. Hampir Diperkos* Mas Wisnu“Menikah? Kalian mau menikah?” seruku masih saja kaget. Padahal aku tahu hubungan Kak Runi dengan Mas Dayat akhir-akhir ini makin dekat saja. Kukira mereka masih dalm tahap saling menjajaki, ternyata sudah sampai pada tahap yang paling tinggi. Menikah.“Iya, Ning, kami minta ijin cuti, ya. Buat Persiapan lamaran.” Kak Runi menunduk. Sepertinya, dia masih saja malu-malu. Mungkin karena Mas Dayat pernah menyukaiku dulu. Dia bahkan sempat ikut berjuang untuk menyatukan antara aku dan Mas Dayat dulu.“Ya, sudah. Selamat, ya! Semoga acaranya berjalan lancar. Kapan rencana kalian pulang kampung?” tanyaku menatap mereka bergantian.“Sore ini, kalau kamu ijinin.” Kak Runi mendongak.“Tentu aku ijinin. Tapi, maaf, acara lamarannya aku enggak bisa hadir, nanti di acara pernikahannya saja, ya, aku datang?”“Ya, datang bareng Mas Elang, ya, Ning!” Mas Dayat langsung nyeletuk. Aku hanya tersenyum tipis. Kualihkan suasana dengan bergerak ke laci kasir. Meraih p
Bab 114. Janji Nek AyangAku menoleh ke belakang, Nek Ayang berdiri kaku di sana. Tatapannya lekat kepadaku. Tatapan dengan sorot mata sayu.“Nenek?” gumamku terkejut. “Sejak kapan Nenek di sini?” tanyaku gelisah.“Sejak tadi,” sahutnya pelan.“Nenek tidak mendengar apa apa, bukan?” tanyaku mendekatinya, kuraih lengannya, lalu kubimbing berjalan menuju bangku panjang yang tersedia di halaman belakang warung itu. Tetapi dia bertahan tak bergerak. Tetap kokoh di posisi berdirinya.“Nenek sudah mendengar semuanya. Sekarang nenek paham apa yang membuat Elang berubah.”“Nek, tolong jangan salah paham! Apa yang Nenek dengar tadi tak seperti yang sebenarnya.”“Mungkin Elang memang benar, Ning! Cucuku itu …, wess lah, Ning! Kowe ora usah ikut stress, Nduk! Keputusan Elang, pasti sudah dia pikirkan baik baik.”“Nenek! Kenapa sekarang Nenek malah ikut-ikutan seperti ini? Bening mau, Nenek itu membantu Bening meyakinkan Mas Elang. Bantu Bening, Nek!”“Elang sudah dewasa, Nduk! Dia tau apa ya
Bab 113. Rahasia TerbongkarWajah Nek Ayang tampak sangat semringah sekarang. Setelah dia mendengar penuturanku barusan. Sepertinya dia begitu lega, dan mengira cucunya hanya cemburu buta. Dia pasti berfikir hubunganku dengan cucunya baik-baik saja.“Elang enggak tahu hati perempuan, apa dikiranya kita mau saja diajak ehem ehem padahal hati kita sudah sangat benci? Hehehe … biarkan dia dibakar cemburu, kowe tenang saja! Itu artinya Elang cinta banget karo kowe, iyo, toh, Ning?” ungkapnya seraya mengusap punggung tanganku.Aku mengangguk saja. Biarlah Nek Ayang berfikir seperti itu. Padahal masalahnya tak sesederhana itu. Ada masalah yang begitu pelik tengah melanda antara aku dan cucunya. Bukan sekedar cemburu buta, tetapi lebih kepada rasa minder Mas Elang akan kelemahannya.Mas Elang merasa dia kalah jauh dibandingkan dengan Mas Sigit dalam urusan ranjang. Perasaan minder itu semakin membakar hatinya saat tahu kalau Mas Sigit memaksaku melakukan hubungan badan kemarin. Mas Elang
Bab 112. Perintah Nek AyangMereka semua terperangh kaget. Pernyataanku barusan jelas tak bisa mereka percaya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlanjur. Aku tak peduli entah apa tanggapan Mas Sigit juga keluarganya. Yang aku pikirkan justru perasaan Mas Elang. Aku begitu mengkhawatirkan dia sekarang.Entah bagaimana tanggapannya terhadapku. Setelah jelas-jelas dia mulai menghindariku, aku justru ungkapkan perasaan cintaku. Padahal dia mulai mencipta jarak denganku. Tak pernah lagi menelpon, apa lagi mendatangi aku. Biasanya dia menjemputku ke warung di malam hari, mengantarku pulang ke rumah karena dia mengkhawtirkn aku pulang sendiri di tengah malam. Lalu, dia akan menjemputku lagi di pagi hari.Sekarang itu tak lagi dia lakukan. Bukankah itu artinya dia sudah mundur. Dan saat itu pula aku menyatakan perasaanku. Ah, betapa rendah aku di matanya sekarang. Mungkin dia menganggap aku wanita murahan. Tapi, sudahlah. Aku pasrah saja. Yang penting aku lolos dulu dari Mas Sigit.“Apa? Kau bil