POV Mirza**Aku menghentikan laju motor ketika sampai di depan rumah. Rumahku dulu saat hidup bersama Mala dana Zaki. Sekarang sudah menjadi mantan. Mantan rumah hunian. Hanya tinggal menunggu hari sebelum pemilik yang baru menempati.Sengaja mencari tempat parkir di luar pagar. Sebab, aku malu jika Mala akan menertawakan aku yang saat ini kesulitan masalah ekonomi. Aku mengendarai sepeda motor, tak ingin dia melihatku seperti ini.Uang hasil bagi penjualan mobil berada di tangan ibu. Biasanya, uang yang masuk ke ibu pasti sulit untuk diambil lagi. Alasannya, akan dipergunakan untuk biaya makan dan sebagian lagi di tabungan.Aku mengetuk pintu.Dadaku berdebar mendatangi rumah yang sudah tiga tahun aku tempati. Sudah sedemikian jauhaku berubah, sehingga rumah dan lingkungan sekitar terasa asing.Tiba-tiba dadaku berdebar ketika seseorang membuka pintu. Mala, mungkinkah dia. Apakah dia memperbolehkan aku masuk setelan kejadian siang tadi?“Mama,” sapaku ketika tampak sosok mama, buka
POV MirzaSatu panggilan tak terjawab terlihat di ponselku. Mala calling.Benarkah dirinya?Aku tersenyum semringah. Akhirnya, sesuatu yang kunanti- nantikan datang juga. Dia pasti mengajak bertemu.Aku mencari tempat yang lumayan sepi untuk melakukan panggilan. Semoga kali ini dimudahkan. Berharap ada jalan yang mulus untuk bisa membuat aku dan Mala bersama kembali.“Assalamualaikum,” sapanya.Hatiku tiba-tiba berbunga-bunga, seperti ada kupu-kupu yang tengah beterbangan. Ternyata Mala tidak berubah. Dia masih seperti dulu, mengucapkan salam ketika menerima panggilan dariku. Nada suaranya pun sangat lembut. Aku merasa, Mala yang dulu kembali pulang.“Mas.”Dia memanggilku?“Iya, Dek. Kenapa? Ada perlu?” tanyaku beruntun karena saking senangnya.“Datang ke rumah sekarang juga. Aku tunggu,” ucapnya tanpa basa-basi.“Oh, oke. Aku segera datang.”“Makasih, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Tiba-tiba ada yang mengalir sejuk di dalam sini. Ada pengharapan baru.Aku segera meluncur ke rum
POV MirzaAku mengangguk. Menyetujui saja apapun kata-katanya, karena merasa di pihak yang bersalah.Tak ingin melihat kepergiannya, akupun berbalik dan memejam. Hatiku hancur dalam seketika. Seperti gelas yang sengaja dibanting pada lantai yang keras, lalu hancur berkeping-keping.Mala, kenapa jadi begini, sih!Ponsel dalam saku kemeja berdering tanda pesan.Palingan dari Hesti. Dia makin posesif sekarang. Mungkin pesannya hanya berisi pertanyaan-pertanyaan membosankan.Di mana? Sama siapa? Jam berapa pulang? Jangan lupa, bawa ini, bawa itu!Sudah persis bertanya seperti nyonya pada kacungnya. Penasaran, aku membuka pesannya juga. Mana tau tiba-tiba dia mau lahiran.Ternyata bukan dari Hesti, tapi Mala.Ada apa mengirimkan pesan? Apa terjadi sesuatu dengannya? Atau dia sedang dalam kesulitan. Ada apa dengan aku ini? Kenapa pula jadi perduli?Satu foto masuk dan langsung terpampang bukti transfer bank senilai lima belas juta.Sial! Segini doang?*Segelas kopi kuhabiskan di teras ru
POV MirzaSial memang. Ketika mati-matian melupakan dia, eh malah nongol aja di depan mata. Lebih parahnya lagi, aku seperti kambing ompong yang tak punya omong. Bisu, bahkan mulutku mendadak bungkam.Mala merusak pikiran. Meeting yang kupersiapkan matang-matang jadi sia-sia. Pekerjaanku diambil alih Doni. Presentasi yang seharusnya berjalan singkat, harus diundur beberapa saat. Aku ke toilet tanpa bisa ditahan. Beruntung Doni tau seluk beluk bahan presentasi yang kugarap, sehingga dia maju untuk menggantikan aku.Tidak hanya itu, kehadiran Lian juga sedikit banyak mengganggu. Sedikit-sedikit berbisik-bisik pada Mala, lalu terjadi obrolan yang intens sekali. Panas.Wajahku terasa panas, apalagi dadaku berdebar-debar campur aduk. Antara cemburu, kesal, benci dan rindu yang berbaur jadi satu.Meeting terjeda sejenak. Kami menikmati capuccino bersama sambil membicarakan kerjasama yang sedang berjalan.Sialnya lagi, pandanganku tetap tidak mau berpindah dari sosok paling cantik di sini.M
POV MirzaMinggu sore Zaki bersiap-siap menunggu jemputan. Tadinya berkeinginan mengantarnya langsung ke rumah mama, tapi Mala melarang. Sebab, tidak ada seorang pun di rumah. Keluarga besar Mala sedang liburan.Lama menunggu Mala, Zaki sampai mengeluh karena bosan menunggu.“Mama lama, Pa.” Dia merebahkan kepala pada bantal di depan televisi. Mengeluhkan dengan tatapan tertuju pada kartun pilihannya.Aku memilih tidak menjawab pertanyaannya. Sebab, sudah berulang kali Zaki melontarkan pertanyaan yang sama seperti itu. Pun aku balas dengan jawaban yang sama.“Pa, lama amat!” Dia mulai marah dan menghentak-hentakkan kaki.“Lagi di jalan,” jawabku menghibur. Entah sudah sampai mana Mala. Perasaan bilang sebentar lagi sampai ketika aku telepon.“Dari tadi. Papa bohong!” Dia mulai berteriak.“Eh, bocah! Mama kamu yang bohong. Kan dia yang telat jemputnya.”Tiba-tiba suara Hesti nyaring di belakangmu. Zaki jadi bangun dari posisi tidur. Dia beringsut mendekatiku. Sorot matanya manandakan k
POV Anggi“Dasar sampah! Kalau gak ada duit ya gak usah ngontrak. Sononoh, di bawah jembatan masih ada tempat!” Aku meneriaki satu keluarga yang baru saja meninggalkan kontrakan.Kesal, mengontrak hampir empat bulan tapi gak bayar-bayar.Terpaksa mengusirnya. Gak perduli punya anak bayi. Dia pikir, hidup di kotabesar bisa gratisan. Kemarin-kemarin sudah aku beri kesempatan nyicil, bayarnyapun sedikit-sedikit. Aku merasa seperti tukang kredit.Mereka sudah menjauhi kontrakanku. Satu keluarga, suami,istri dan dia anak balitanya.Haduh, bisa-bisa wajahku cepat keriput kalau selalu marah-marah begini.Aku buru-buru menutup pintu dan mengunci. Saatnya mencari orangbaru untuk menempati. Kalau dibiarkan kosong lama, aku bisa rugi.Mana biaya kuliah Melati mahal. Belum lagi di rumahketambahan Mirza dan istrinya. Pengeluaran makin membengkaknya. Pusing ....*Setelah puas berputar selama satu jam tanpa tujuan,akhirnya mobil kuparkirkan di depan pusat perbelanjaan. Keinginan untuk membeli baju
POV AnggiAku masukkan lagi ponsel dalam tas. Alasan panggilan sebenarnyahanya pengalihan saja. Mendingan kabur dari pada harus bergaya membeli tas di sana.Aku menatap ke lantai atas. Tak tampak sosok mamanya Mala. Syukurlah kalau dia tidak mencariku. Mudah-mudahan begitu. Jadinya, aku tidak merasa malu karena ketauan pergi tanpa pamit.Aku buru-buru keluar, keinginan untuk membeli baju, sirna sudah gara-gara bertemu dengan mamanya Mala. Akhirnya, aku mengubah rencana. Memutuskan pergi dari tempat itu.Pulang saja. Ya, pulang adalah solusi terbaik sebelum aku benar-benar terjebak di situasi sulit ini. Kapan-kapan aku sambangi lagi toko ini. Urusan baju masih bisa terbeli, walaupun dengan membohongi Mirza atau Melati. Tetapi tas itu? Tidak lagi untuk untuk kumiliki, apalagi dengan keuanganku yang sulit seperti ini.Ini gara-gara menantu miskin itu.Menantuku kere. Hesti bisa apa? Bisanya cuma mengadu pada Mirza jika aku berbuat kasar padanya. Lalu, Mirza akan menegurku. Dasar pengadu.
POV ArmalaLian membawakan tiga kotak makanan lengkap dengan minumandingin, jus alpukat tanpa gula. Tangannya yang kekar menyodorkan bungkusan itupadaku, lalu kami melaju kembali setelah memesan nasi kotak di sebuah restoran.Pulang dari kantor, aku sengaja mengajaknya mampir ke rumahku yang sudah terjual. Ada beberapa barang yang belum sempat aku ambil. Satu lukisan dansebuah figura Zaki saat masih bayi.Lusa adalah sidang putusan pengadilan. Aku mau menyelesaikansemua urusan yang berhubungan dengan mas Mirza, termasuk rumah ini.Aku tak mau ketika sudah berpisah, masih ada buntut berselisih. Hubungan kami selesai, berarti tidak ada urusanlagi kecuali masalah Zaki. Begitu mauku.Aku pun sudah mendapatkan tempat yang baru. Sebuah apartemen menjadi pilihan terakhir setelah memilah dan memilih beberapa rumah yang akhirnya gak cocok dengan seleraku.Lian menawarkan apartemen di dekat kantor. Denganbegitu, aku tidak perlu bolak balik dari rumah mama yang jaraknya cukup jauh. Belumlagi aku