Share

Peringatan yang pertama (2)

Sayangnya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Pintar juga si Hesti mengendalikan perasaannya. Yah, setidaknya, aku sudah mendapat

dua pembelaan yang membuatku merasa menang, paling tidak di hadapan Hesti.

“Makan

yang banyak, Hes. Kamu butuh banyak tenaga ...” ucapanku menggantung.

“Buat?”

Melati menyambung. Kurasa cuma dia yang paham bahasa seperti ini.

“Buat

menerima kenyataan,” balasku sambil menepuk lengan iparku. Melati tertawa

lebar. Aku pun sama.

“Hush!

Di meja makan gak boleh tertawa.” Ibu memperingatkan. Aku

masih menyemburkan sisa-sisa tawa bersama Melati.

Kulirik

Hesti yang tampak tenang tanpa pengaruh, begitu pun dengan mas Mirza.

Dasar,

nurani kedua manusia ini memang sudah mati. Hesti menyendok makanannya dengan

segan, terlihat kikuk dan serba salah. Ternyata, segitu saja nyalinya. Lihat,

wajahnya saja yang tampak polos, merasa tak bersalah. Beraninya cuma main

belakang.

“Sampai

kapan Hesti tinggal di sini?” Pertanyaanku membuat mas Mirza mengangkat wajah,

memanda
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status