Share

Mantan Sahabat

Keenan segera beranjak menuju pintu ruangan dan membubarkan karyawan lain yang mulai berkumpul. Tentu tindakan itu mengundang riuh rendah protes dari mereka. 

Setelah menutup pintu, Keenan kembali menghampiri Malika dan mengusap lengannya lembut. Malika masih mendengus kesal. Gara-gara gagal menahan emosi, atasannya itu jadi melihat sisi buruknya. Padahal, selama ini Malika selalu berusaha menjaga image sebagai wanita lembut di kantor.

“Tarik napas dulu, Malika. Kamu mau bikin satu kantor heboh sama masalah pribadi kamu? Kalau saya jadi kamu saya malu.” Keenan menatap Malika serius dan berusaha menenangkan.

Bukannya tenang, Malika kembali meradang. Matanya menatap Keenan tidak terima. Lelaki yang tidak tahu apa-apa itu berada di tempat dan waktu yang salah. Yang Malika butuh bukan masukan apalagi nasehat yang seolah memojokkan sekalipun itu dari atasannya.

“Tapi saya nggak mau, Pak, lihat wanita ini ada di sekitar saya,” sanggah Malika masih tetap pada emosinya yang sudah memuncak.

“Itu masalah kamu, Malika. Jangan sangkut pautkan dengan kantor ini. Sekarang … dia,” Keenan melirik Aurora sejenak, “memenuhi persyaratan yang kantor butuhkan. Malah saya pikir posisi office girl yang tidak cocok buat dia,” tutup Keenan memberi pandangan.

Tentu saja Malika semakin masam mendengar ucapan atasannya itu yang seakan menyanjung Aurora. Sedang Aurora masih berusaha menenangkan diri mencerna semua tuduhan Malika atas dirinya itu. Tadinya Aurora ingin lanjut menjelaskan apa yang Malika tuduhkan, tetapi melihat Malika yang berani membantah perintah Keenan membuat Aurora merasa apapun yang akan dia sampaikan sekarang hanya sia-sia.

Malika menarik napas dalam. Tatapannya tajam melirik Aurora. Tampak kilatan kemarahan dan dendam yang tidak pernah padam di sana. Bibir merahnya yang dari tadi tak henti bergerak kini menyungging licik sembari tangan nya menarik berkas yang tadi dikembalikan Keenan.

“Baiklah kalau memang menurut Pak Keenan wanita ini pantas bekerja di sini,” ucap Malika melunak.

Aurora mengangkat wajahnya menunggu kelanjutan ucapan Malika. Perubahan intonasi yang keluar membuat tanda tanya besar bersarang di kepala Aurora. Padahal, Aurora ingat betul beberapa menit yang lalu Malika masih tetap pada pendiriannya.

“Jadi … aku diterima?” tanya itu keluar dari mulut Aurora. Kejadian tadi masih belum bisa hilang di ingatannya.

“Iya. Kamu nggak budek, kan?” jawab Malika sinis. Hal itu mengundang senyum tipis yang Keenan berikan pada Aurora. Senyum yang pernah Aurora dapatkan dua tahun silam.

Keenan lantas mengulurkan tangan ke arah Aurora, memberikan ucapan selamat sekaligus memperkenalkan diri secara formal. Meskipun Aurora sudah mengenal Keenan dengan baik begitu juga sebaliknya. Hanya saja mereka tampak tidak ingin memperlihatkan di depan orang kantor kalau mereka adalah sepasang masa lalu yang kembali bertemu.

“Selamat ya … “ Keenan mengintip kembali berkas di atas meja Malika, “Aurora. Saya Keenan Deedath. Kamu bisa panggil Keenan saja.”

“Pak Keenan maksudnya,” sela Malika tidak suka melihat Keenan menyambut Aurora dengan ramah begitu.

Bukan tanpa alasan. Di mata Malika, Aurora sudah terlanjur ia pandang sebagai pelakor yang sudah merebut Sakti, kekasihnya dulu.

“I—iya Pak … Keenan, terima kasih sudah menerima saya di sini,” jawab Aurora berusaha setenang mungkin menyambut tangan Keenan. Kini keduanya sama-sama tersenyum. Senyum canggung sekaligus menyimpan rahasia di baliknya.

“Ehm … “ Malika lagi-lagi menginterupsi keduanya.

Sontak Aurora langsung melepaskan tangannya begitu juga Keenan. Bahkan Keenan kini bersiap untuk pamit dari ruangan tersebut, meninggalkan Malika dan Aurora berdua melanjutkan urusan mereka.

“Saya nggak tahu ada masalah apa kalian berdua, tapi saya harap kalian bisa jaga sikap selama di kantor. Bekerjalah dengan profesional, oke?” pesan Keenan sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Malika dan Aurora.

Aurora mengangguk pelan sedang Malika tidak memberi jawaban apa-apa. Jemarinya sibuk mengetikkan sesuatu di papan ketik komputer jinjing di depannya.

“Jangan kamu pikir setelah bercerai dari Sakti kamu bisa mencari mangsa baru di kantor ini,” ucap Malika lirih mengancam Aurora. Sekali lagi tatapannya masih saja tajam seakan ingin menerkam Aurora. Kemana tatapan teduh Malika dulu? Batin Aurora bertanya-tanya.

Malika mengambil kembali dokumen lamaran kerja milik Aurora lalu membubuhkan sebuah cap di atasnya, sebagai tanda diterima bekerja di sana. Aurora tersenyum tipis menyaksikan Malika akhirnya luluh. Meskipun jauh di dalam hatinya ada sedikit kekecewaan atas hubungan persahabatan mereka yang berubah drastis tak sehangat dulu lagi.

“Nih! Kamu bisa ke ruangan General Affair buat lapor diri dan minta seragam. Mulai besok kamu sudah harus kerja.” Malika menyodorkan selembar kertas ke arah Aurora.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Aurora langsung menerima kertas itu, dan beranjak pergi meninggalkan kursi empuk yang dari tadi ia duduki. Namun, baru saja Aurora melangkah dari ambang pintu, tubuhnya langsung berbalik. Ada satu hal yang lupa ia tanyakan pada Malika.

“Emm … Sorry, Mal. Ruangannya ada di lantai berapa, ya?” tanyanya kemudian.

Malika memutar bola matanya malas dan masih meneruskan pekerjaannya tanpa mau menatap ke arah Aurora.

“Kamu tanya, dong, sama karyawan lain,” jawab Malika ketus.

Aurora menyipitkan mata setengah kesal mendengar jawaban Malika dan caranya merespons yang membuat Aurora tidak lagi mengenal sahabatnya itu. Malika berubah tidak lagi menjadi sahabat Aurora seperti dulu.

“Emm … Mal, aku boleh bicara sebentar sama kamu? Aku mau meluruskan kesalahpahaman kita selama dua tahun ini,” pinta Aurora ragu-ragu. Aurora melihat Malika sudah tidak setegang tadi menyikapinya. Sehingga ia berharap Malika mau memberinya kesempatan bicara walau hanya sebentar. Aurora ingin menegaskan permasalahan mereka selama ini.

“Salah paham apa? Dari dulu semua udah jelas, Ra, kamu itu pelakor. Nggak usah nyangkal lagi. Aku nggak sudi dengar omong kosong kamu.” Malika mengibaskan tangan pertanda meminta Aurora segera pergi.

“Tapi, Mal … ini penting,” desak Aurora masih bergeming di tempatnya berdiri.

“Aurora! Kamu mau aku berubah pikiran dan batal menerima kamu di sini?” ancam Malika tidak mau mengalah.

Akhirnya Aurora hanya bisa pasrah. Saat ini ia sangat butuh pekerjaan tersebut untuk menyambung hidup.  Dengan berat hati Aurora keluar dari ruangan dan berjalan hati-hati di koridor lantai dua tersebut sambil netranya aktif memindai papan kecil yang menggantung di tiap-tiap pintu.

“Cari siapa, Mbak?” tanya seorang pria berkacamata mengagetkan Aurora.

“Eh … I—ini, aku lagi nyari departemen General Affair, adanya di lantai berapa, ya?”

“Oh. Kalau GA ada di lantai tiga, Mbak. Mbak ini karyawan baru?”

“Iya, Mas. Besok mulai kerja sebagai …” Aurora tidak percaya akan memberitahukan posisinya pada orang tersebut. “Office girl,” tutupnya menahan getir kenyataan hidupnya kini.

“Wah, kebetulan. Saya OB juga di sini. Mau saya antar?”

“Biar saya aja, Bang Sup.” Suara seseorang menginterupsi obrolan mereka tiba-tiba. Aurora langsung menoleh mencari sumber suara. Mukanya langsung berubah menyadari kehadiran Keenan yang kini semakin mengikis jarak di antara mereka.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status