Share

Terungkap

“Sampai kapan kamu menghindar terus, Ra?”

Suara berat khas seorang pria muncul tiba-tiba di belakang Aurora. Pantri pada jam makan siang mulai sepi. Staff OB lain banyak yang memilih makan siang di kantin bawah.

Aurora yang tengah menyeduh mie instan langsung tersentak dan menoleh ke sumber suara. Seperti dugaannya, suara itu amat Aurora kenal.

“Aku nggak mau karyawan di sini salah paham, Nan. Mereka nggak boleh tau kalau kita pernah punya hubungan dulu,” jawab Aurora kembali membelakangi Keenan.

Keenan kini duduk di kursi kayu dengan meja panjang terhampar di depannya. Tatapannya terus lekat memperhatikan punggung Aurora dan rambut halusnya yang terikat rapi seperti ekor kuda.

“Mereka nggak akan tahu kalau kita nggak kasih tahu, kan? Jadi, mari bersikap biasa dan seperti dua teman baru.”  Keenan menaikkan alisnya menatap Aurora.

“Kalau aku sama karyawan lain mungkin akan biasa. Tapi, kamu bos di sini. Gosip apa yang akan tersebar kalau mereka lihat bos berteman dekat dengan office girl. Lagipula, ini bukan drama di TV-TV, Nan.” Aurora masih sibuk dengan mie instan sebagai menu makan siangnya. Hari pertama kerja dengan sisa uang mulai menipis membuat Aurora harus hidup lebih hemat. Dan, setahunya mie instan adalah penyelamat saat dompet sedang sekarat.

“Jadi, please, aku mohon sama kamu, jangan pernah bahas apapun tentang kita di sini.” Aurora berbalik dan mengangkat garpu di tangannya.

Permintaan itu membuat Keenan tersenyum penuh arti. Ia segera bangkit dan berjalan menghampiri Aurora yang tenggelam lagi dengan mie yang baru siap diseduh di depannya. Sambil melirik mangkuk dan Aurora bergantian, Keenan merapatkan posisinya sampai jarak mereka hanya tersisa dua jengkal saja.

“Kalau gitu, kita makan siang di luar bareng, yuk. Biar ngobrolnya leluasa,” ajak Keenan memberikan solusi.

“Nggak. Aku nggak bisa. Lagipula, nggak ada yang perlu kita obrolin.”

Aurora terpaksa mengatakan sesuatu yang berseberangan dengan hatinya. Sambil menghirup aroma menggiurkan mie instan di depannya, Aurora memicing. Ingatan tentang ia dan Keenan di masa lalu berkelebat, namun segera ditepis.

“Mungkin itu menurut kamu, Ra. Kalau aku, banyak tanya yang belum ada jawabannya sejak dua tahun lalu. Bagaimana pernikahan kamu? Kamu bahagia, kan?”

Saat tengah berbincang dalam posisi yang cukup dekat itu, seorang OB tiba-tiba masuk dan langsung rikuh menyaksikan Keenan begitu akrab dengan office girl baru. Keenan terkesiap buru-buru mengambil cangkir di depannya saat OB tersebut batuk kecil menghampiri mereka.

“Eh, ada Pak Keenan. Kenapa nggak suruh OB aja Pak kalau mau minum teh?” tanya OB tersebut berdiri tepat di samping Keenan. Kini mereka bertiga sama-sama menghadap kitchen set.

“Siapa yang mau teh?” Keenan belum sadar apa yang ada di tangannya.

“Loh? Itu yang Pak Keenan masukin ke dalam gelas, kan, teh. Menurut Pak Keenan itu apa?”

Keenan ikut menunduk kembali memperhatikan gelas di depannya. Seutas tali kecil dari teh celup menjuntai keluar dari cangkir.

“Oh, iya, lagi mau minum teh buatan sendiri,” dalih Keenan menyembunyikan kegugupannya.

Office boy teman baru Aurora itu hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala. Tubuhnya yang gempal kini beranjak meninggalkan pantri. Tanpa Keenan sadari Aurora tidak lagi berdiri di sampingnya sejak OB itu mendekat.

Keenan sempat kaget melirik ke samping dan tidak ada Aurora di sana. Rupanya Aurora sudah duduk di meja panjang di tengah ruangan.

“Ayo, Ra. Makan siang di luar. Kamu nggak akan kuat cuma makan mie instan. Aku yang traktir, deh,” bujuk Keenan tidak habis ide.

“Kenapa salah tingkah waktu OB tadi datang? Kamu juga nggak mau, kan, orang lain lihat kamu lagi sama aku,” tanya Aurora mengalihkan pembicaraan.

“Buat apa aku mikirin orang. Tadi cuma kaget aja, itu orang munculnya tiba-tiba.”

Aurora sangat mengenal Keenan. Meski sudah berpisah selama dua tahun, pria itu tidak mengalami banyak perubahan. Apalagi dalam menghadapinya. Keenan begitu sabar dan pengertian.

Aurora diam-diam tersenyum di dalam hati. Selama dengan Sakti belum pernah ia merasa berdebar seperti ini. Pernikahan atas dasar paksaan memang tidak akan pernah bisa membekas di hati.

“Waw … Apa, nih?” Baru saja memasukkan satu sendok mie ke dalam mulutnya, Aurora langsung terbatuk melihat kemunculan Malika di ambang pintu.

Seperti sudah Aurora duga. Malika tidak akan suka jika melihat ia dan Keenan terlibat komunikasi apalagi sedekat itu. Mereka hanya dipisahkan sebuah meja yang membentang di tengah-tengah.

Dengan cepat Aurora meninggalkan meja dan menghampiri Malika. Kuah mie menjejak di sudut bibirnya. Ia selayaknya pelakor yang tertangkap basah dengan suami orang.

“Ini nggak kayak yang kamu pikirin, Mal,” ucap Aurora membela diri.

Aurora tahu ia tidak perlu menjelaskan sebab ia dan Keenan memang tidak melakukan apa-apa selain berbincang. Walaupun dari tadi Keenan terus mendesaknya untuk ikut makan siang di luar.

“Memang apa yang akan kamu pikirkan, Mal, kalau melihat saya dan Aurora sedang berdua begini?” Keenan menatap Malika tajam.

“Nggak, Pak. Saya nggak mikirin apa-apa. Aurora aja yang suuzon. Ya … saya cuma mau ingetin Pak Keenan lagi aja. Aurora ini—”

“Pelakor?” potong Keenan sudah hafal kata yang akan Malika keluarkan.

Netra Aurora yang dari tadi menatap Malika kini beralih pada Keenan saat mendengar gelar itu disebut oleh mantan kekasihnya itu. Aurora merasa Keenan kini juga percaya kalau dirinya seorang pelakor seperti yang Malika tuduhkan sejak pertama kali mereka bertemu lagi.

“Itu Pak Keenan tahu.”

“Omong kosong murahan seperti itu jangan dibawa-bawa ke kantor, Mal. Saya nggak mau karyawan kantor ini menyibukkan diri dengan gosip nggak bermanfaat begitu,” bela Keenan membuat Aurora menyesali dugaannya.

Dalam hati, Aurora berjanji akan menjelaskan pada Keenan semua yang terjadi semenjak perpisahan mereka dulu. Alasan kenapa Aurora tidak bisa melanjutkan impian mereka dan tentu saja Aurora juga ingin menanyakan ke mana saja Keenan selama ini tidak pernah menghubunginya lagi.

“Ini bukan gosip murahan, Pak. Saya ini korbannya. Aurora sudah merebut kekasih saya dan menikah dengannya. Saya pikir dia sahabat yang baik tetapi ternyata dia musuh dalam selimut,” cerca Malika tidak menghargai posisi Keenan sebagai atasan lagi. Hatinya masih saja sakit setiap melihat Aurora. Terlebih kini Aurora sering tertangkap penglihatannya berada di dekat Keenan. Malika makin panas dan dendam di hatinya terus menyala.

“Malika cukup! Aku udah bilang, kan, aku bukan pelakor. Kamu cuma salah paham.” Air mata Aurora tiba-tiba jatuh membasahi pipinya. Tadinya ia berusaha kuat saat Malika mencacinya dengan sebutan pelakor—bahkan sudah berkali-kali—tetapi kini ia tidak tahan lagi.

Aurora langsung berdiri meninggalkan meja pantri dan mie instan yang masih tersisa setengah bagian dalam mangkuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status