[Aku otewe sekarang ya, Dan]
Kembali pesan singkat itu masuk.
“Siapa, Sayang? Kok bete gitu?”
“Temenmu!”
“Loh, kok, marah? Teman yang mana?” Mas Danu mengambil ponselnya.
“Oh, biarin aja lah, kan, di sana dia punya tetangga kenapa juga musti ke sini,” ujar Mas Danu lalu mematikan ponselnya.
“Sudah makan lagi nanti nasinya nangis kalau enggak dihabisin. Apa mau Mas suapin?”
“Iya, aku habisin. Mas, bisa tidak kalau enggak dekat-dekat lagi sama teman kamu itu?” pintaku.
“Bisa, kalau itu yang minta istriku apa pun akan aku lakukan,” jawab Mas Danu. Hatiku lega. Setidaknya meski perempuan itu mepet terus, tapi suamiku menghindar.
“Perempuan tadi siang, Ta?” Mamah Atik ikutan kepo.
“Iya, Mah, ini pakai kirim pesan segala minta tolong minep di sini katanya diusir suami dan keluarga suaminya.”
“Kasihan sih, tapi pasti ada alasannya kenapa begitu. Danu, apa orang tuanya tidak ada di sini?”
“Ada sih, Mah. Setahuku dulu waktu kecil memang asli orang kampung sebelah sini, tapi enggak tahu kalau sekarang.”
“Ingat Danu, apa yang kamu miliki sekarang berkat doa-doa tulus dari istrimu. Kalau sampai kamu berani macam-macam Mamah tidak akan pernah tinggal diam.”
“Iya, Mah ... aku tahu. Mamah jangan begitu ih, aku jadi takut.” Aku terkekeh melihat ekspresi Mamah Atik yang melotot pada Mas Danu.
“Kali aja kamu khilaf gitu, karena manusia kan, tempat salah dan lupa. Sebelum itu terjadi Mamah ingetin duluan.”
“Iya, Mah, terima kasih sudah ingetin aku,” ucap Mas Danu menarik turunkan alis matanya.
“Serius Danu!”
“Iya, Mah, ini serius,” jawab Mas Danu.
Selesai makan kami bersiap salat isya. Aku menyiapkan baju salat Mas Danu. Alhamdulillah lelakiku ini selalu berjamaah di masjid lima waktunya meski hujan pun tetap berangkat.
“Man, ayo, salat di masjid sudah azan, nih!” ajak Mas Danu.
“Enggaklah, Dan. Kapan-kapan aja,” tolak paman tangannya masih sibuk memegang remot memindah channel TV.
“Salat, Man. Salat itu wajib. Kalau Paman tidak salat bagaimana nanti Paman bisa bertanggung jawab terhadap diri Paman sendiri.” Mas Danu mematikan TV. Paman mendengus kesal lalu ikut beranjak dan mengekor Mas Danu ke Masjid.
“Kamu juga salat, Vi. Taruh dulu itu HP-mu,” titah Mamah Atik.
“Ogah! Aku masih M,” jawab Evi seraya beranjak dari duduknya entah mau pergi ke mana.
“Tunggu! Kamu masih M, hari ke berapa?” tanya Mamah Atik meyakinkan.
“Iya, Bulek, baru hari ke dua masih deras-derasnya,” jawab Evi malas.
Bok!
Bok!
“Aaa! Bulek apa-apaan, sih!” teriak Evi.
Kutahan mulutku agar tidak tertawa. Bagaimana tidak Mamah Atik menabok pant*t Evi kuat sekali.
“Kamu itu yang apaan! Mens enggak bilang M. Mana buktinya kamu pakai pembalut aja enggak! Alasan saja dasar pemalas! Kalau mau tinggal di sini ikuti aturan bukan seenak jidatmu sendiri!” omel Mamah Atik. Lagi-lagi kepala Evi tak luput dari toyoran mautnya. Mau tidak mau Evi menurut dan ikut salat jamaah di rumah.
Selesai salat Evi tidak berdoa dia langsung ngacir ke depan membukakan pintu. Rupanya ada tamu.
“Mah, siapa yang bertamu malam-malam tumben sekali?”
“Mamah mana tahu, sudah kita berdoa dulu. Terus simaan 10 ayat aja ya, Mamah ada janji mau telpon Charles katanya dia sudah berangkat ke Jerman Alhamdulillah dapat beasiswa kuliah di sana.”
Charles cucu paling besar dari anak pertama Mamah Atik yang di Riau. Rupanya anak itu selain tampan juga pintar.
“Masya Allah keren sekali. Semoga nanti nular ke anak-anakku ya, Mah.”
“Aamiin. Ayo, doa dulu terus mulai kamu dulu, ya?” Aku menyimak bacaan ayat Alquran Mamah Atik. Beginilah rutinitas kami selama 6 bulan ini. Atas nasihat dari ustazah kami. Alhamdulillah makin banyak keberkahan. Tadinya kami mengaji setelah Maghrib, tapi waktunya tidak keburu karena harus makam malam juga akhirnya diganti habis isya.
“Ta, itu ada tamu laki-laki seumuran Danu. Apa teman Danu?” tanya Mamah Atik setelah mengambil ponselnya. Aku sedang ngajarin Kia ngaji iqro.
“Kalau teman Mas Danu pasti bikin janji dulu, Mah. Di depan sama siapa?”
“Sama Evi ngobrol sudah dibuatin minum juga. Kamu tanya dulu sana biar Kia sama Mamah sekalian ikut teleponan.”
Aku akhirnya ke ruang tamu. Benar juga ada pria seumuran Mas Danu sedang ngobrol akrab dengan Evi. Duduk bersama membelakangi ruang dapur jadi mereka tidak tahu aku berdiri di belakang mereka. Itu pasti teman Evi berani sekali dia bawa laki-laki ke rumah ini.
Derrrtt!
Pesan dari Maya lagi.
[Aku sudah mau sampai, Dan!]
Astaghfirullah ini perempuan nekat sekali malam-malam datang ke sini. Memang cari masalah. Lebih baik aku abaikan saja.
“Rumahmu bagus banget ya, Vi? Baru kali ini aku bertamu ke rumah gedongan begini jadi enggak enak,” ucap laki-laki itu.
“Iya, ini rumah Kakakku. Dia memang orang kaya. Tokonya besar, kebunnya luas berhektar-hektar jadi wajar kalau rumahnya bagus begini,” jawab Evi bangga.
“Kalau kita menikah nanti apa kakakmu itu mau modali kita untuk buka usaha juga?” Aku terperangah kaget dengan pernyataan laki-laki di samping Evi. Menikah katanya? Jadi, laki-laki ini pacarnya. Lah, Evi kan, masih punya suami dan anak.
“Tentu ... Kakakku itu orangnya baik dan juga tidak pelit. Mas, aku pingin deh, beli tas ini.” Evi menyodorkan ponselnya pada laki-laki itu.
“Em, mahal itu, Vi. 300 ribu rupiah cukup untuk aku makan 1 bulan di kontrakan. Cari yang lebih murah lagi, ya?” Rasanya aku ingin tertawa melihat penolakan pacar Evi itu.
Evi cemberut karena permintaannya ditolak.
“Baru segini mahal, gimana nanti jadi suamiku. Kamu enggak lihat Mas aku ini adiknya orang kaya. Nanti kalau kamu menikah denganku pasti bakalan banyak keuntungan juga. Segitu doang pelit banget.”
“Emh ... baiklah. Kamu pesan saja nanti aku yang bayar.” Akhirnya pria itu tidak mampu menolak hanya karena iming-iming dapat imbalan setelah menikahi Evi.
Hebat sekali Evi merayunya. Memberi harapan palsu.
“Eghem!” Aku berdehem kuat sekali karena laki-laki itu nyosor pipi Evi dan berhasil. Modal cium pipi dapat tas seharga 300 ribu rupiah. Bukan main hebatnya Evi. Ups!
“Mbak! Ih, ngagetin aja, deh! Enggak sopan banget!” bentak Evi.
Kusilangkan tangan di dada lalu duduk di depan mereka. Laki-laki itu justru bengong melihatku.
“Mas! Ih, apaan sih, kamu lihatnya gitu amat!” Evi merajuk.
“Cantik sekali. Siapa dia, Vi?”
“Ih, apaan sih, Mas! Dasar mata keranjang!” Evi mencubit paha laki-laki di sampingnya.
“Bu—kan begitu, maksudnya siapa dia kok, ada di sini juga?” tanya lagi.
“Dia istri kakakku. Orangnya galak juga judes. Kamu jangan tertipu dengan wajah cantiknya,” sahut Evi.
“Benar yang dibilang Evi. Jadi, jangan macam-macam di rumahku ini. Kamu Evi apa tidak tahu malu. Kamu itu masih istri orang sudah punya anak kenapa juga pakai pacaran segala sama laki-laki lain apa kamu mau dimarah Mas Danu?” kataku telak. Tentu saja laki-laki yang berstatus pacar Evi itu terbelalak kaget.
“Apaan sih, Mbak ganggu kesenangan orang aja, deh!” bantah Evi tidak terima.
“Apa benar yang dikatakan Mbak ini, Vi? Kamu istri orang?”
“Enggak usah dipercaya sudah aku bilang kalau istri kakakku ini memang galak, judes, dan sok tahu!” sungut Evi.
“Tapi, kalau itu benar nanti aku dicap pebinor dan aku tidak mau,” sahut pacar Evi.
“Terserah kamu saja, Mas mau percaya padaku atau tidak, tapi kamu jangan menyesal kalau nanti aku nikah sama orang lain terus suamiku itu dapat harta dari kakakku dan kami hidup bahagia.” Aku terkekeh, omongan Evi sungguh tidak masuk akal
“Ba—baik, aku percaya padamu.” Akhirnya luluh juga laki-laki ini. Ancaman Evi sungguh membuatnya lupa diri.
“Kenapa Mbak, masih di sini? Sana masuk!” bentak Evi padaku.
“Ogah, ini rumahku jadi aku mau di mana juga terserah aku. Evi aku peringatkan ya, jangan lagi-lagi kamu bawa tamu sembarangan ke rumah ini.”
“Terserah akulah mau bawa siapa juga. Ini rumah Kakakku kok,” jawab Evi santai.
Krucuk!
Bunyi perut lapar dari pacarnya Evi.
“Vi, aku lapar kamu enggak masak? Aku ke sini kok, cuma dikasih air minum doang?”
“Ehm, itu ... baiklah ayo, makan!” Evi mengajak ke ruang makan. Aku tetap di sini sambil main ponsel. Biarlah mereka makan ... nasi dan lauk juga banyak. Kasihan pasti dia bakalan puasa karena 300 ribu rupiah miliknya lenyap untuk beli tas Evi. Untung Mamah Atik masih video call dengan cucunya kau tidak habis riwayat Evi.
“Makanannya enak sekali, Vi?”
“Iya, ini belum seberapa, Mas. Biasanya ada 12 macam lauk dan sayur terhidang di sini,” jawab Evi berbohong.
Tak kudengar lagi suara mereka hanya suara sendok beradu dengan piring.
“Aku pulang dulu, ya, Vi. Makasih jamuanya ini aku langsung mampir ke indoapril untuk bayar pesenan kamu. Besok bawain aku bekal kerja ya, biar hemat. Besok malam aku ke sini lagi.”
“Oke!”
“Tidak boleh datang ke sini lagi! Besok Evi mau aku kembalikan ke asalnya. Kasihan suami dan anaknya kalu ditinggal lama-lama.” Pacar Evi terlihat bingung, tapi sejurus kemudian pamit.
“Mbak, apa-apaan, sih! Kamu itu merusak kesenangan orang aja!” bentak Evi seraya mendorongku.
“Evi! Berani sekali kamu mendorong Mbak Ita!” bentak Mas Danu dari arah pintu depan. Evi langsung diam tidak bergerak sama sekali dia ketakutan.
Mas Danu baru pulang ini sudah hampir jam 10 malam, tapi ... tunggu dulu itu siapa dibalik badan Mas Danu dan paman. Kok, seperti perempuan.
“Benar kata Ita, besok tidak boleh bawa laki-laki masuk ke rumah ini. Ingat kamu itu istri orang dan suamimu itu baik!” bentak Mas Danu lagi.
Aku tidak fokus pada pembelaan Mas Danu aku hanya fokus pada perempuan yang bersembunyi di balik badan Mas Danu. Tidak salah lagi itu Maya.
Tak mau banyak omong aku langsung masuk kamar. Mas Danu menyusulku.
“Sayang, hanya malam ini saja kasihan dia udah kadung ke sini jalan kaki loh, katanya. Kasihan ya, Sayang. Malam ini saja, Mas janji.”
Malas menjawab omongan Mas Danu aku segera mengambil bedcover di lemari lalu Keluar tanpa mempedulikan Mas Danu.
Tampak Maya sedang ngobrol dengan paman. Kuseret lengan Maya keluar rumah.
“Jangan macam-macam di rumahku ini apa lagi berusaha mengambil pemiliknya. Silakan tidur di luar! Evi! Tolong antar perempuan ini ke rumah sebelah!”
“Rumah ibunya Mas Danu?” tanya Evi tidak mengerti.
“Bukan! Paviliun kecil itu kan, kosong. Antar ke sana.”
“Ayo! Buruan!” Evi menarik tangan Maya.
“Danu! Ikut Mamah ke kamar!” Mas Danu pasrah saja dia mengekor Mamah Atik.
Entah apa yang dipikirkan perempuan bernama Maya itu. Dia kan, orang sini pasti keluarganya juga ada di sini kenapa repot-repot datang ke rumah orang lain. Astaghfirullah aku sampai tidak bisa mengontrol amarahku.
Wak Tono melotot begitu juga dengan istrinya. Pasti mereka benar-benar tidak menyangka bahwa aku akan nekat seperti ini mempolisikan mereka berdua.“Sabar Ita, sabar dulu. Kita dengarkan dulu penjelasan Wak Tono. Barangkali itu memang bukan barang milik Wak Tono atau mungkin memang punya dia, tapi tidak untuk dipakai mencelakai kamu ataupun Danu,” bela Mbak Ning.“Kalau tidak tahu apa-apa enggak usah banyak komentar Mbak. Lama-lama mulut Mbak Ning, aku sumpel pakai paku ini. Aku tidak butuh saran dari Mbak Ning dan Mbak Ning tidak usah mencampur urusan rumah tanggaku. Aku sudah benar-benar kesal dan batas ambang sabarku sudah habis, Mbak! Pokoknya aku mau kita selesaikan ini secara hukum. Wak Tono dan istrinya harus benar-benar dihukum dengan setimpal karena ini membahayakan nyawa orang lain,” tegasku. Mbak Ning diam saja mungkin dia takut akan aku masukkan ke penjara juga jika membantah ucapanku.“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Ita. Baik Wak Tono maupun istrinya harus kita pro
"Hentikan! Tolong hentikan dan jangan kamu pukuli suamiku!” sela istri Wak Tono seraya memukul-mukul punggung Mas Danu. Aku yang geram pun langsung mendorong tubuh tua istri Wak Tono hingga dia tersungkur tepat di bawah kaki suaminya.“Jahat! Kalian jahat!” teriak istri Wak Tono lagi dan berusaha bangun untuk menyerangku. Badannya yang gemuk membuatnya susah untuk leluasa bergerak sedangkan wajah Wak Tono sudah babak belur. Wak Tono diseret oleh Pak RT dan beberapa warga ke rumah kami.Istri Wak Tono terus saja meraung-raung menangisi suaminya. Semua saudara-saudara yang sudah terlelap tidur pun terpaksa bangun untuk melihat apa yang terjadi di sini, bahkan ibu mertuaku dan Mbak Lili yang berada di rumahnya pun tergopoh-gopoh menghampiri kami.“Ada apa ini, Ita? Kenapa istrinya Wak Tono menangis begitu?” tanya ibuku.“Mereka itu penjahat, Bu! Ternyata yang meneror keluarga kita selama ini adalah Wak Tono dan juga istrinya. Itu sebabnya istrinya Wak Tono menangis karena Wak Tono sudah
Aku bergegas keluar. Tak pedulikan panggilan Mamah Atik dan juga Ibuku. Rupanya mereka juga belum tidur. Mungkin sedang menyusun rencana untuk acara besok. Sedangkan Dina tadi tidak aku memperbolehkan ikut karena dia harus tetap tinggal di kamar untuk menjaga anak-anak.Teras depan langsung sepi sepertinya bapak-bapak yang ikut mengobrol tadi langsung menuju ke samping kamarku. Ya, Allah aku deg-degan sekali. Takut sesuatu terjadi pada Mas Danu karena dia jalannya saja susah agak pincang kalau dia berduel dengan orang yang mengetuk jendelaku tentu saja dia kalah.Aku yakin sekali bahwa itu adalah manusia, kalau hantu tentu saja tidak akan seperti itu. Mana bisa hantu melakukan hal-hal yang bisa dilakukan oleh manusia. Walaupun ada itu hanya dalam cerita saja.“Wak, kenapa di luar begini? Apa Wak dengar keributan juga?” tanyaku pada istri Wak Tono, tapi istri Wak Tono diam saja justru jalannya terburu-buru menghampiri kerumunan. Rupanya dia pun penasaran sama sepertiku.Memang sih,
“Iya, Din, Betul kata kamu. Makanya tadi pas Mbak ke sana, ya, hanya ngasih saran sekedarnya saja. Sepertinya juga Mas Roni tadi ketakutan karena aku ancam akan kupolisikan kalau masih memaksa Mbak Asih dengan kekerasan.”“Ya, Allah ngeri banget, sih! Mas Roni benar-benar nekat!” ujar Dina.“Ya, begitulah kalau orang sudah nekat pasti segala cara akan dilakukan. Sebentar, ya, Din, aku mau WA Mas Danu dulu. Tadi mau manggil dia enggak enak karena sedang ngobrol sama Pak RT dan juga bapakku.”[Mas, ada yang ketuk-ketuk jendela kamar kita. Sewaktu Dina berniat untuk melihatnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Tolong Mas Danu awasi barangkali setelah ini akan ada ketukan selanjutnya.] terkirim dan langsung dibaca oleh Mas Danu.[Iya, Sayang! Ini Mas juga sambil ngawasin saudara-saudara kita. Karena tadi Mas seperti melihat bayangan hitam menyelinap. Mas pikir hanya halusinasi saja.][Iya, Mas. Sepertinya yang meneror keluarga kita mulai beraksi lagi, setelah tiga hari kemarin dia tidak mela
"Mbak, Mbak, itu apa seperti bayangan hitam?” tanyaku pada Mbak Mala. Dia justru memegang lenganku dengan erat. Mbak Mala ketakutan.“Duh, apa, ya, aku pun tidak tahu Ita? Aku takut. Ayo, ah, kita masuk rumah saja!” ajak Mbak Mala seraya menyeret lenganku untuk segera masuk ke dalam rumah.“Itu manusia loh, bukan hantu. Kakinya saja tadi napak tanah, tapi dia tidak melihat kita. Mungkin dia terburu-buru. Ayo, Mbak, kita, intip!” ajakku pada Mbak Mala.“Enggak maulah, Ta, aku takut!” tolak Mbak Mala kemudian dia buru-buru menutup pintu aku pun mengekorinya.“Tuh, kan, Ta, semuanya sudah tidur hanya para bapak-bapak saja itu di depan yang sedang main gaple. Ayolah, kita tidur juga biar besok bisa bangun pagi! Mungkin tadi itu beneran hantu tahu, Ta. Kita sih, malam-malam kelayapan,” ucap Mbak Mala. Lucu sekali ekspresinya dia. Mbak Mala menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan.“Iya, Mbak Mala tidur sana. Terima kasih infonya nanti kalau misalnya beneran ada apa-apa kita selidiki b
“Mbak Asih, kamu tidak apa-apa, Mbak? Bagaimana perutmu apa sakit? tanyaku khawatir pada Mbak Asih. Mbak Asih hanya menggeleng saja mulutnya terus saja beristighfar. Kasihan sekali. Aku tidak tega melihat dia begini.“Ayo, Ibu, Mbak Lili, Mbak Mala sudah jangan hiraukan Mas Roni dulu. Kita tolong Mbak Asih. Kasihan dia sedang hamil pasti perutnya sakit karena tersungkur begini. Ini pasti Mas Roni kan, yang sudah mendorong Mbak Asih,” kataku lagi. Mereka bertiga bergegas menghampiri untuk membantu Mbak Asih berdiri dan pindah duduk ke sofa.“Iya, benar sekali ini ulah si Roni laknat itu! Padahal Asih sudah menolaknya berkali-kali ini tetap saja si Roni memaksanya untuk kembali. Asih tidak mau lalu si Roni mendorong Asih. Dia itu tidak punya otak dan pikiran padahal Asih sedang hamil besar. Ibu benar-benar benci pada dia. Kalau bisa jebloskan saja Roni ke penjara!” ucap ibu.“Mana bisa begitu, Bu, kalian tidak berhak mengatur hidupku dan juga Asih. Aku ini masih suami sahnya Asih, ja