Share

Sesuatu Yang Tidak Terduga.

Pada saat yang genting itu, ketika ujung pedang Yan Wei bersikap seolah-olah akan membelah tubuh Rong Guo menjadi dua, tiba-tiba terdengar sebuah suara keras.

KRAK!

Dengan kecepatan yang tidak masuk akal, sebuah kerikil terpental dan menghantam pedangnya.

“Aduh!” Yan Wei meringis kesakitan.

Ketika batu itu menyentuh pedangnya, ia merasakan aliran listrik menyengat tangannya, membuat detak jantungnya tersentak.

Pedangnya terlepas dan jatuh berdenting di tanah.

Beberapa saat kemudian, Yan Wei mengangkat kepalanya dan mencari siapa yang melakukan itu.

“Siapa yang berani menghalangi aku? Keluarlah dan tunjukkan dirimu! Kita akan bertarung sampai selesai!” Suaranya penuh kecongkakan. Yan Wei berani bertindak seenaknya selama ini, karena mengandalkan ayahnya yang adalah wakil pemimpin di Sekte Wudang. Jadi selama ini tidak ada yang berani menantangnya.

Suasana menjadi hening, hanya terdengar angin berdesir.

Tidak lama kemudian, seorang pria sekitar tiga puluh dua tahun muncul dari balik batu cadas.

Wajahnya serius, mengenakan pakaian dan jubah yang biasa dikenakan oleh para penatua di Sekte Wudang. Namanya Teng Yuhan, seorang penatua yang bertanggung jawab atas murid-murid pelataran luar.

Dia sendiri seorang imam agama Tao, seperti kebanyakan penatua di sekte itu.

Di belakang Imam Teng Yuhan, seorang gadis berdiri agak takut-takut. Namanya Xiao Ning, berusia 9 tahun, dan merupakan murid pelataran luar. Dia adalah keponakan Imam Teng Yuhan. Xiao Ning sendiri adalah teman dekat Rong Guo.

Kenyataannya, Xiao Ning lah yang melaporkan kejadian ini pada Imam Teng Yuhan, penatua di pelataran luar.

Imam Teng menatap Yan wei dengan mata mencorong. “Aku yang melakukan itu. Sengaja menggunakan kerikil untuk menghentikan tindakanmu!” kata Imam Teng dengan suara dingin.

Yan Wei segera menundukkan kepala setelah mendengar kata-kata tajam dari penatua.

Meskipun Yan Wei adalah murid dari wakil pemimpin sekte, di hadapan seorang pena tua, ia harus patuh. Apalagi baru saja ia hampir saja membunuh Rong Guo.

“Yan Wei, murid pelataran dalam! Dengarkan aku!” kata Penatua Teng Yuhan dengan suara tegas, terdengar seperti hakim yang memberikan putusan.

“Sebagai seorang pena tua pelataran luar, menurut pengetahuanku, murid-murid di sekte ini tidak diperbolehkan melakukan tindakan pembunuhan saat berduel antara sesama murid. Tetapi tadi, aku melihat dengan jelas bahwa kamu menggunakan teknik tingkat satu menyerang seorang murid pelataran luar yang jelas-jelas tidak memiliki kemampuan selevel denganmu!” Suaranya penuh dengan penghakiman.

“Apalagi, kamu adalah murid pelataran dalam yang jelas lebih unggul dalam hal keahlian dan pengetahuan. Katakan padaku, apa alasanmu untuk datang ke tempat murid-murid pelataran luar dan bahkan berusaha melukai salah satu dari mereka?”

Wajah Yan Wei memucat, terlihat jelas dia sedang berjuang keras untuk mengendalikan kemarahannya. Dia merasa campur tangan Penatua Teng Yuhan sebagai sesuatu berlebihan.

“Bukankah ini urusan diantara sesame murid? Bagaiamn bisa orang tua itu ikut campur?”

Meskipun Yan wei hendak membantah, kata-kata terakhir dari Penatua Teng Yuhan membuatnya menahan diri.

“Aku ingin tahu bagaimana reaksi Wakil Pemimpin Sekte, Tuan Yan Bai, jika dia mendengar laporan ini. Anaknya hampir saja membuat celaka seorang murid pelataran luar…” Suasana menjadi hening.

Kata-kata tajam dari Penatua Teng Yuhan meredakan amarah dan dendam di hati Yan Wei. Dia takut dengan ancaman yang disampaikan oleh pena tua ini. Yan Wei sering membuat masalah, dan kejadian terakhir ketika dia membully seorang murid pelataran luar membuat ayahnya sangat marah, bahkan mengancam akan mengusirnya dari sekte.

Jika tindakannya kali ini dilaporkan kepada ayahnya, Yan Wei yakin bahwa sang ayah tidak akan ragu untuk mengusirnya dari Sekte Wudang.

“Kita harus pergi!” bentak Yan Wei kasar sambil menarik dua temannya, Tang Wu Xie dan Huo Shin, untuk meninggalkan tempat itu.

Mereka berdua mengikuti Yan Wei kembali ke tempat tinggal para murid pelataran dalam di Sekte Wudang.

Sejak kedatangan Penatua Teng Yuhan tadi, para penonton dari murid-murid pelataran luar Sekte Wudang langsung membubarkan diri. Tak seorang pun berani berkomentar setelah kedatangan penatua yang tegas ini.

Setelah keadaan menjadi sepi, Penatua Teng Yuhan mengibaskan lengan bajunya, kemudian menghilang dalam gerakan yang ringan.

Pada saat itu, Xiao Ning segera terlihat berlari menuju Rong Guo, yang masih terduduk karena terkena pukulan. Pedang Yan Wei hampir saja merenggut nyawanya.

“Rong Guo, apa kamu baik-baik saja?” tanya gadis itu sambil memeriksa tubuh Rong Guo dengan teliti, mencari tanda-tanda luka.

“Ah, semuanya hanyalah goresan kecil. Semua akan sembuh seiring berjalannya waktu,” jawab Xiao Ning sendiri, sambil mengeluarkan salep untuk mengobati goresan pedang di tubuh Rong Guo. Selama proses pengolesan salep oleh Xiao Ning, Rong Guo hanya diam, memperhatikan dengan seksama setiap gerakannya.

“Xiao Ning, apakah kamu yang memanggil Penatua Teng Yuhan tadi?” tanya Rong Guo.

Xiao Ning tidak menjawab, tetapi hanya mengangguk sambil tetap fokus pada tugasnya.

“Sudah kusampaikan berulang kali. Tidak perlu campur tangan dalam urusan antara aku, Yan Wei, dan kawan-kawannya. Takutnya kamu akan mendapat masalah,” kata Rong Guo dengan nada cemas.

Namun, Xiao Ning hanya mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. “Jika bukan aku yang melaporkan kejadian ini, lalu siapa? Kelakuan Yan Wei memang seharusnya mendapat hukuman. Aku tidak terkejut jika suatu saat nanti dia akan menghadapi kesulitan karena sikapnya yang sombong.”

Rong Guo akhirnya mengucapkan terima kasih. Baginya, bantuan Xiao Ning adalah penyelamat yang mungkin telah mencegahnya dari bahaya yang lebih besar.

Keduanya berpisah, dengan Rong Guo menuju dapur sekte, tempat ia bekerja sehari-hari sebagai murid pelataran luar dan pekerja.

“Berhati-hatilah di perjalanan pulang nanti. Aku akan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam,” kata Rong Guo sebelum berpisah.

+++

Di dapur sekte yang besar itu, suara keretakan api terdengar serta hawa panas menyebar. Persiapan makan malam harus disediakan untuk banyak penghuni sekte, terutama bagi mereka dari murid-murid pelataran dalam, para pejabat, dan pemimpin sekte. Murid-murid pelataran luar tidak dianggap dan harus mencari makan sendiri. Bagi yang tidak mampu bertahan, mereka dapat pergi meninggalkan sekte, karena ini adalah pilihan terbaik.

Malam itu, Rong Guo pulang ke pondok sederhana tempat tinggalnya.

Dia sangat kelelahan. Dua dari sepuluh tenaga kerja yang bertugas bersama dengan pemimpin koki hari ini tidak masuk, sehingga pekerjaan harus ditangani oleh mereka bertujuh.

“Lebih baik aku langsung tidur. Tak bisa lagi, menghafal salinan teknik bela diri dan salihan berlatih menghimpun hawa murni.”

Rong Guo sangat rajin berlatih karena memiliki cacat bawaan yang menghalangi dia untuk menghimpun energi hawa murni. Mengejar ketertinggalannya adalah upaya yang dia lakukan untuk menantang hukum alam.

Pada saat itu, waktu telah menunjukkan pukul 19.00 – 21.00, sesuai dengan kentongan pertama. Jalanan menuju tempat kediamannya di tepi hutan amatlah sepi.

Tempat tinggal Reong Guo amat terpencil.

Tidak banyak murid-murid pelataran luar yang memilih mendirikan pondok di sana karena terlalu jauh dari pusat dan cukup berbahaya saat malam tiba, karena kadang-kadang ada hewan liar keluar dari dalam hutan.

Saat Rong Guo baru saja membuka pintu gubuknya, tiba-tiba sebuah balok kayu menghantam kepalanya.

PANG!

Dunia seketika menjadi gelap. Bintang-bintang berputar di benak Rong Guo saat ia jatuh pingsan, tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya...

Suara angin malam terdengar berdesir, dan burung hantu bersiul pertanda malam semakin larut.

Pada saat itu, bunyi derap kaki terdengar mendekati Rong Guo yang terkapar pingsan, lalu menyeretnya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status